"Suci, kamu nggak apa-apa?" tanya Farhan, nadanya penuh kekhawatiran. Mereka baru saja tiba di rumah setelah perjalanan yang melelahkan dari hutan. Meskipun rasa lega sempat muncul ketika mereka akhirnya meninggalkan tempat itu, ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Suci.
Suci memaksa tersenyum, "Aku baik-baik saja, Han. Cuma capek." Farhan menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Matanya masih memancarkan bayangan gelap yang membuat Suci tak nyaman. Namun, dia memilih untuk tidak membahasnya, setidaknya untuk saat ini. Malam itu, setelah mandi dan mencoba untuk tidur, Suci merasa resah. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan-bayangan dari hutan itu kembali menghantui pikirannya. Bisikan yang samar dan tak henti-henti seolah-olah mengintai dari sudut-sudut gelap kamarnya. Namun, yang paling mengganggu adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang aneh dengan Farhan. Selama ini, Suci tahu Farhan sebagai orang yang rasional dan tak pernah percaya pada hal-hal gaib. Tetapi sejak kejadian di hutan, dia berubah. Bukan hanya lebih diam, Farhan juga tampak seperti menyembunyikan sesuatu. *** Keesokan harinya, Suci bangun lebih awal dari biasanya. Farhan masih tertidur di sebelahnya, wajahnya tampak damai dalam tidur, namun tetap saja ada sesuatu yang ganjil. Seolah-olah, sosok yang tidur di sebelahnya bukanlah Farhan yang dia kenal. Suci beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Dia berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi, tetapi langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang jarang dia perhatikan sebelumnya—pintu yang selalu terkunci di ujung koridor. Pintu itu mengarah ke sebuah ruangan kecil yang dulu pernah digunakan sebagai gudang. Namun, Suci tak pernah melihat apa yang ada di dalamnya sejak mereka tinggal di sini. Rasa penasaran tiba-tiba menyergapnya. Mengapa pintu ini selalu terkunci? Dan mengapa sekarang, di saat seperti ini, pintu itu menarik perhatiannya? Tanpa sadar, Suci mendekati pintu tersebut. Tangannya terulur, menyentuh kenop pintu yang dingin. Dia mencoba memutarnya, tapi tentu saja terkunci. "Aneh…" gumam Suci, sambil memeriksa kenop pintu itu sekali lagi. Rasanya seolah-olah sesuatu berada di balik pintu itu, menunggu untuk ditemukan. Suara langkah kaki yang mendekat membuat Suci tersentak. Dia segera melepaskan kenop pintu dan berpaling, mendapati Farhan berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan mata yang tampak kosong. "Apa yang kamu lakukan di sana?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tanpa emosi. "Oh, aku cuma… aku cuma mau ke dapur," jawab Suci gugup, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Farhan tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri di sana, memandang Suci dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian, tanpa sepatah kata, dia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Suci dengan perasaan yang semakin tidak nyaman. Suci merasa ada sesuatu yang disembunyikan Farhan. Sesuatu yang berhubungan dengan pintu terkunci itu. Dia harus tahu apa itu. Hari-hari berikutnya, Suci tak bisa melepaskan pikirannya dari pintu itu. Setiap kali dia berada di rumah sendirian, dia mendapati dirinya kembali berdiri di depan pintu terkunci itu, mendengarkan dengan saksama, berharap mendengar sesuatu—apa saja—yang bisa memberinya petunjuk. Namun, yang dia rasakan hanyalah keheningan yang mencekam. Suatu hari, saat Farhan pergi bekerja, Suci memutuskan untuk mencari tahu apa yang ada di balik pintu tersebut. Dia ingat pernah melihat kunci cadangan di salah satu laci di ruang tamu. Dengan hati-hati, dia mencarinya, dan setelah beberapa saat, dia menemukan kunci yang dia cari. Dengan napas tertahan, Suci kembali ke pintu terkunci itu. Tangannya sedikit gemetar saat dia memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Kenop pintu itu berputar dengan lembut, dan pintu terbuka dengan suara derit yang mengerikan. Ruangan di balik pintu itu gelap dan berdebu. Udara di dalamnya terasa dingin dan lembap, seolah-olah ruangan itu telah lama ditinggalkan. Suci menyalakan lampu senter dari ponselnya, cahaya kuning redup menyinari ruangan tersebut. Di dalam, Suci melihat sesuatu yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak. Ada sebuah cermin besar berdiri di sudut ruangan. Cermin itu tampak tua, dengan bingkai kayu yang sudah usang. Namun, yang paling aneh adalah pantulan di cermin itu. Bukannya memantulkan bayangan ruangan atau dirinya sendiri, cermin itu menampilkan sesuatu yang lain. Pemandangan hutan yang menyeramkan, sama persis seperti yang mereka kunjungi beberapa waktu lalu. Hanya saja, ada sesuatu yang lain di sana—sesosok bayangan gelap yang berdiri di tengah hutan, menatap ke arahnya. Suci melangkah mundur dengan panik, jantungnya berdegup kencang. Bagaimana bisa cermin itu menunjukkan pemandangan hutan? Dan siapa sosok itu? Ketika Suci hendak menutup pintu dan melarikan diri dari ruangan itu, sebuah suara lembut terdengar dari dalam cermin. Suara itu memanggil namanya, "Suci…" Suci terpaku di tempatnya, terperangkap antara ketakutan dan rasa penasaran. Siapa yang memanggil namanya? Dan mengapa dari dalam cermin? Farhan tiba-tiba muncul di belakangnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suaranya terdengar lebih dari sekadar khawatir—ada nada marah yang tidak pernah dia dengar sebelumnya. Suci berbalik dengan cepat, hampir terjatuh karena terkejut. "Farhan… Aku…" Namun, Farhan tidak memberinya waktu untuk menjelaskan. Dengan cepat, dia meraih lengan Suci dan menariknya keluar dari ruangan itu, menutup pintu dengan keras. "Kamu tidak seharusnya ada di sini," katanya dengan suara dingin. "Apa yang sebenarnya terjadi, Farhan? Kenapa kamu begitu aneh akhir-akhir ini? Apa yang kamu sembunyikan?" tanya Suci dengan nada putus asa. Farhan tidak menjawab. Dia hanya menatap Suci dengan mata yang penuh dengan sesuatu yang gelap, sesuatu yang tidak bisa Suci pahami. "Suci, ini untuk kebaikanmu sendiri," kata Farhan akhirnya, nadanya lebih lembut tetapi tetap dingin. "Jangan pernah masuk ke ruangan itu lagi." Malam itu, Suci tidak bisa tidur. Pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan cermin dan sosok di dalamnya. Siapa sosok itu? Mengapa cermin itu menunjukkan hutan, bukan pantulan dirinya? Dan apa yang sebenarnya Farhan sembunyikan? Ketika dia akhirnya tertidur, mimpi buruk segera menghampirinya. Dia kembali berada di hutan, dikelilingi oleh bayangan-bayangan gelap yang terus memanggil namanya. Namun, kali ini, Farhan ada di sana bersamanya, tetapi dia tidak terlihat seperti dirinya yang biasa. Matanya hitam sepenuhnya, dan dari mulutnya keluar bisikan-bisikan aneh. Pagi harinya, Suci terbangun dengan perasaan tidak enak di perutnya. Dia tahu ada sesuatu yang salah. Sangat salah. Ketika dia berjalan menuju kamar mandi, dia melihat bahwa pintu ruangan terkunci itu sekarang sedikit terbuka. Sesuatu di dalamnya memanggil namanya lagi, kali ini lebih jelas dan lebih mendesak. Dengan napas tertahan, Suci mendekati pintu itu sekali lagi, mencoba mengintip ke dalam. Dan di sana, di dalam cermin, dia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku. Sosok yang dia lihat di cermin sekarang berdiri di ambang pintu, keluar dari hutan, dan mendekat ke arahnya dengan senyum mengerikan yang terpatri di wajahnya. Suci berteriak dan mundur, tetapi ketika dia menoleh ke belakang, Farhan sudah berdiri di sana, menatapnya dengan mata yang sekarang benar-benar gelap. "Suci," bisiknya, "Kamu tidak seharusnya melihat ini."Suci dan Farhan melangkah memasuki ruangan yang tersembunyi di balik pintu yang baru saja mereka buka. Suasana di dalamnya sangat berbeda dari ruangan sebelumnya. Cahaya remang-remang dari lampu gantung tua menerangi ruangan dengan pendar kekuningan yang menambah suasana mencekam. Dinding-dindingnya penuh dengan lukisan dan foto-foto lama yang terlihat sudah pudar oleh waktu. Namun, ada sesuatu yang aneh dengan foto-foto tersebut semuanya menunjukkan orang-orang dengan wajah yang terdistorsi, seolah-olah mereka berusaha menyembunyikan sesuatu.Suci merasakan getaran yang tidak nyaman di tubuhnya. Dia mendekati salah satu foto dan tertegun saat melihat wajah yang mirip dengan seseorang yang pernah dia kenal. "Farhan, lihat ini," katanya dengan suara bergetar. "Ini... ini wajahnya."Farhan mendekat dan melihat foto tersebut. "Kau kenal orang ini?" tanyanya."Sepertinya," jawab Suci. "Tapi aku tidak bisa mengingat siapa dia. Wajahnya terlihat familiar, tapi aku tidak bisa mengingat di ma
Suci dan Farhan melangkah hati-hati memasuki ruangan yang tampaknya terbuat dari batu hitam pekat. Suasana di dalamnya sangat dingin dan menekan, terasa seperti udara di luar jangkauan waktu dan ruang. Di tengah ruangan, sebuah cermin besar berdiri tegak di atas podium, dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah lama padam. Cahaya dari lampu senter mereka bergetar di dinding, menciptakan bayangan yang menari-nari.“Jadi, ini cermin yang kau maksudkan?” tanya Farhan, suaranya bergetar oleh ketegangan.Suci mengangguk, menatap cermin yang tampaknya mengandung lebih banyak dari sekadar refleksi. “Ya. Kata orang yang memberi tahu kita tentang tempat ini, cermin ini dapat mengungkapkan kebenaran tersembunyi.”Farhan mengelilingi cermin itu dengan hati-hati. “Bagaimana cara kerjanya?”Suci tidak bisa menjawab langsung. Ia hanya berdiri di depan cermin, matanya terfokus pada permukaannya yang gelap. Ia bisa merasakan aura dingin yang memancar dari cermin itu, seolah-olah cermin itu sendiri memi
Suci dan Farhan duduk berhadap-hadapan di ruang kecil yang diterangi oleh cahaya redup dari lampu neon yang berkedip-kedip. Keheningan yang terasa berat di antara mereka seperti menyimpan ketegangan yang belum terungkap. Pikirannya berputar, mencoba mencerna kejadian yang baru saja mereka alami di bab sebelumnya. "Cermin itu... apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Farhan, suaranya nyaris berbisik, seolah takut jawabannya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam kegelapan yang tidak bisa mereka hindari.Suci, dengan pandangan yang masih terpaku pada pecahan cermin di lantai, mencoba merangkai kata-kata. "Cermin itu bukan hanya sekadar menunjukkan kebohongan kita, tapi juga membuka jalan ke sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang selama ini kita coba hindari."Mereka baru saja selamat dari sebuah cermin misterius yang memaksa mereka menghadapi kebohongan terbesar mereka sendiri. Setiap pantulan di cermin itu mencerminkan kebenaran yang menyakitkan, kebenaran yang mereka simpan dalam hati
Malam itu, suasana di sekitar Suci dan Farhan dipenuhi dengan keheningan yang mencekam, seolah seluruh dunia sedang menunggu dengan tegang. Setelah mengatasi berbagai rintangan dan menyingkap banyak rahasia gelap, mereka tiba di sebuah tempat yang terasa seperti pengujian terakhir. Ruangan itu, yang terletak jauh di bawah tanah, tampak seperti labirin tak berujung dengan dinding berbatu kasar yang menempel pada langit-langit. Cahaya dari lampu senter mereka berpendar lembut, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seolah-olah hidup."Apakah kamu yakin ini tempatnya?" tanya Farhan, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha untuk terdengar tenang.Suci hanya mengangguk, wajahnya menampilkan ekspresi kelelahan dan tekad. "Ini adalah satu-satunya petunjuk yang tersisa," jawabnya. "Kita tidak punya pilihan lain."Mereka berjalan perlahan, setiap langkah mereka terdengar berat di lorong-lorong sempit yang menuntun mereka semakin dalam ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan dari lamp
Dini hari itu, hutan di sekitar mereka tampak seperti lukisan suram dengan warna-warna yang tak hidup. Ranting-ranting pohon menjulang tinggi, menciptakan bayangan gelap yang mengerikan di bawah sinar bulan yang tertutup awan tebal. Suci dan Farhan, meskipun terluka dan lelah, terus melangkah dengan tekad yang kuat. Setiap napas yang mereka hirup terasa berat, dipenuhi oleh energi negatif yang semakin pekat seiring dengan semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan tersebut."Suci, kita harus berhenti sebentar. Luka-lukamu butuh perawatan," ucap Farhan dengan suara yang nyaris putus asa, memecah kesunyian di antara mereka.Suci menggeleng pelan, menahan rasa sakit yang berdenyut di tubuhnya. "Tidak bisa, Farhan. Kita tidak punya waktu. Bayangan itu sudah terlalu jauh. Kita harus mengejarnya sebelum terlambat."Mereka terus melangkah, melewati semak-semak yang tajam dan pohon-pohon yang tampak hidup dalam kegelapan. Udara di sekitar mereka terasa lebih dingin, seperti ada sesuatu yang me
Hutan Kelam semakin gelap saat Suci dan Farhan meneruskan perjalanan mereka. Kabut tebal menyelimuti setiap langkah mereka, membuat setiap gerakan terasa seperti perjuangan melawan kegelapan yang tak terlihat. Suara gemericik daun yang tersentuh angin seolah menjadi nyanyian kesedihan, menambah suasana mencekam di sekitar mereka. Bayangan besar yang mereka temui sebelumnya telah meninggalkan jejak kegelapan yang lebih dalam, seolah-olah menghalangi jalan mereka.Setiap langkah di tanah yang lembap dan penuh akar terasa berat. Pohon-pohon tinggi menjulang ke atas, daun-daunnya yang lebat hampir menutup cahaya bulan yang tersisa. Hutan ini tampaknya hidup dengan kekuatan jahat yang belum sepenuhnya mereka pahami. Suci dan Farhan mengandalkan satu sama lain untuk menjaga keseimbangan dan tetap fokus pada jejak yang mereka ikuti.Suci memimpin, mata dan telinga terbuka lebar, sementara Farhan mengikuti di belakang, sesekali melihat ke sekeliling untuk memastikan tidak ada ancaman mendekat
"Suci, kita sudah mencarinya berhari-hari," kata Farhan, suaranya serak karena kelelahan. "Tidak ada satu petunjuk pun yang tersisa. Kita hampir kehabisan waktu."Suci menggenggam peta tua yang mulai pudar, tatapannya tajam dan penuh tekad. "Kita tidak bisa berhenti sekarang. Ini satu-satunya petunjuk yang tersisa. Kita harus menemukan sesuatu di sini."Mereka berada di sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan, terletak di pinggir kota yang penuh dengan kenangan suram dan terabaikan. Rumah ini, yang dulu menjadi rumah bagi keluarga Suci, kini berdiri seperti rahasia yang terabaikan, tertutup debu dan kehampaan. Setiap langkah mereka menimbulkan suara berderak di lantai kayu yang lapuk.Rumah ini memiliki suasana yang suram dan menekan. Langit di luar gelap dengan awan mendung, memantulkan suasana hati mereka yang penuh kecemasan. Cahaya lampu senter mereka menciptakan bayangan yang bergerak-gerak, membuat setiap sudut ruangan tampak lebih misterius dan menakutkan. Dinding-dinding
“Temukan titik terang, Farhan,” bisik Suci, suaranya bergetar di tengah keheningan yang memenjarakan mereka di dalam rumah tua itu. “Kita harus segera keluar dari sini sebelum terlambat.”Farhan mengangguk, meski wajahnya menunjukkan betapa ketakutannya. Mereka berdiri di ambang pintu masuk ruang bawah tanah, di mana udara terasa dingin dan menekan. Keheningan yang menyelimuti tempat itu seperti selimut tebal, membungkus mereka dengan rasa takut yang mendalam. Lampu-lampu yang dipasang di langit-langit bergetar pelan, menambah suasana menakutkan di sekeliling mereka. Suara langkah kaki mereka bergema di dalam ruangan yang gelap dan berdebu.Di dalam ruangan, setiap langkah mereka disertai oleh suara creak dari lantai kayu tua yang sudah lapuk. Lantai di bawah mereka tampak rapuh dan hampir tak bisa menahan beban mereka. Suara berderit yang berasal dari struktur rumah yang tua semakin menambah ketegangan. Suara-suara aneh dari jauh, seperti bisikan dan jeritan yang tak jelas sumbernya,