"Keterlaluan kamu Nay." Teriak mama ketika aku baru saja diambang pintu.Mama menunjukku dengan raut wajah tang mengerikan, tak oernah aku melihat mama semarah ini. "Ma, udah jangan marah-marah." Mbak Risma berusaha menenangkan mama."Ada apa Ma?" Aku tak mengerti apa yang terjadi."Anisa sedang sakit, kamu malah kelayapan gak jelas.""Ma, Kanaya banyak urusan yang harus Naya diselesaikan, sedangkan Anisa sudah dewasa, tadi Naya sudah panggilkan tukang urut, makananpun sudah siap. Tidak mungkin Kanaya nungguin dia sepanjang waktu.""Halah, urusan apa kamu, sok sibuk bener.""Ma, sudah! Tidak baik ribut-ribut seperti ini." Potong mbak Risma."Ayo Ris, antar Anisa berobat!""Nisa sudah sembuh Ma, Nisa cuma kecapean saja." Ucap Nisa yang keluar dari kamarnya."Kamu pucat begitu.""Gak apa-apa Ma, Nisa memang ada riwayat darah rendah.""Beneran gak mau berobat?""Iya Ma, beneran, Nisa mau istirahat aja, nanti juga pulih sendiri.""Yaudah kamu istirahat sana, jangan lupa minum susu biar p
"Ayah." "Kalian mau pergi kemana?""Oh ini, Dimas mau ngajak nginap di toko weekend nanti.""Boleh Yah?" Tanya Dimas memohon."Eemmm ... Boleh gak ya?" Yuda menimbang-nimbang, membuat Dimas semakin gemas.Boleh deh, tapi Ayah ikut ya.""Eemmm ... Boleh gak ya? Bagaimana tuan putri?" Dimas menaikan kedua alisnya. Akupun mengangguk."Bisa diatur." Sambungnya lagi. Kamipun tertawa bersama melihat ringkah Dimas yang masih menggemaskan, walaupun sudah tidak balita lagi."Tam, Mama mau bicara!" Panggil mama dengan nada yang tinggi."Sebentar ya." Yuda bergegas menemui mama.Ba'da Magrib kami makan malam bersama, semua terdiam menikmati masakan yang kami masak tadi, hanya mama dan Anisa yang terdengar kasak kusuk. Dimaspun begitu, yang biasanya banyak celoteh, sekarang dia hanya fokus menikmati makanannya."Tam, mama sudah putuskan jika Kanaya harus pindah dari sini, biar Anisa tidak stres dan kalian bisa promil." Ucap mama penuh penekanan."Ma, apa-apaan ini?" Yuda terperangah mendengar pe
"May, tolong carikan sekolah untuk Dimas!" Pintaku kepada Maya setelah telfonku diangkat olehnya."Lho mbak, ada apa? Kok mendadak gitu?""Carikan saja, yang dekat sekitaran Mlati, nanti mbak cerita.""Oh iya mbak." Tanpa banyak bertanya Maya langsung menyanggupi permintaanku.Maya sendiri kuliah di UGM Jogja, dia mengambil jurusan kedokteran. Ya ... aku memutuskan untuk melakukan pengobatan di Jogjakarta karena bisa dekat dengan Maya, yang notabene sudah faham daerah Jogja.[Mbak, mau pilih yang mana] Maya mengirimkan beberapa brosur sekolah. Akupun memilih sekolahan yang paling dekat dengan rumah sakit, rencananya aku juga akan mencari kontrakan didekat situ."May, bisa gak sekali cari kontrakan yang dekat sama sekolahannya.""Mbak, sebenarnya ada apa? Kenapa mbak cari kontrakan?""Sudah cari saja, nanti mbak cerita, tapi kamu jangan bilang sama bapak dan ibu ataupun Yuda dulu ya.""Lho kenapa?""Udah turuti saja.""Iya mbak." Akhirnya gadis itu menurut."Mbak, kenapa gak tinggal d
Sakit yang paling sakit ketika mencintai, namun tak mampu mendampingi. Itulah yang terjadi padaku saat ini bertahun-tahun aku menunggu gadis pujaanku, Kanaya Amelia. Namun aku harus menelah pahit kenyataan ketika aku tahu dia telah menikah dengan pria lain. Salahku memang, aku tak pernah mengungkapkan perasaan itu.Rumah impiannya sudah aku bangun, cinta inipun selalu aku pupuk setiap saat untuknya. Tak pernah aku berikan setitikpun cintaku untuk wanita lain. Hingga akhirnya Allah menakdirkan wanita itu untukku.Penantianku berakhir, aku bisa merengkuh tubuhnya kedalam pelukkanku. Tapi ternyata tidak, hanya beberapa tahun saja, wanita itu kembali pergi. Dia kini pergi karena terluka oleh perkataan mama. Semenjak wanitaku itu mengalami keguguran dan harus rela rahimnya diangkat, sikap mama berubah dan paling menyakitkan, mama menghadirkan dengan paksa madu untuknya."Li, Kanaya ada?" Namun Lia tampak bingung."Em ... Mbak Nay pergi Kak.""Kemana?""Gak tahu, tadi cuma pamit mau perg
"Tam, Nisa pingsan, ayo bawa dia kerumah sakit."Aku bergeming, kubuang jauh-jauh pandanganku dari perempuan itu."Ada apa ini Ma?" Kak Risma mematung dipintu."Ris, ayo bantu Nisa, dia pingsan.""Tam, kenapa kamu diam aja? Ayo bantuin." "Udah, ambil bantal saja, biarkan dia terbaring disini.""Iya ma,""Sekalian minyak angin Ris." Teriak mama.Sementara aku masih mematung melihat mama dan kak Risma berusaha membangun Anisa. Namun sudah hampir tiga puluh menit, Nisa belum juga sadar, demi kemanusiaan, akhirnya aku angkat tubuh Nisa kemobil dan membawanya kerumah sakit."Tam, sebenarnya ada apa?" Kak Risma mulai mengintrogasiku."Dia hamil.""Hah? Kamu katanya.""Cukup kak, aku tidak pernah menyentuhnya, tanya saja sama Mama, 'kan perempuan itu bawaan mama."Kak Risma melirik mama yang memangku Nisa dibelakang."Kok mama, mana mama tahu." Dari spion terlihat Mama mengedihkan bahunya."Ya harusnya mama kalau apa-apa difikir dulu, sekarang Kanaya pergi karena ucapan mama, mama sudah men
Hari pertama di Jogja, aku ditemani Maya mengurus kepindahan Dimas di sekolah barunya. Alhamdulillah pihak sekolah menerima dengan baik, walaupun sekolah sudah dimulai dua bulan yang lalu. Dimas juga merasa senang."Mbak mau langsung ke rumah sakit? Biar aku antar sekalian.""Besok saja, kita beres-beres rumah dulu, mbak gak nyaman kalau masih berantakan.""Rumah biar Maya yang beresin mbak, mbak istirahat saja.""Yasudah ayo kita pulang.""Gak apa-apa kan kita naik motor begini mbak? Atau mau cari sewaan mobil?""Sementara pakai motor aja dulu, itu baru kita fikirkan nanti." Jawabku sambil berteriak. Karena suara kami terbawa oleh angin."Tapi kasian Mbak kalau harus kolar-kilir naik motor.""Gampang deh nanti, biar mbak suruh orang ngantar mobil yang di Bengkulu.""Iya mbak." Kupandangi wajah Maya dari spion, kini dia sudah tumbuh dewasa, rasanya baru kemarin kami main hujan bersama, main masak-masakan bersama. Kini gadis itu tumbuh menjadi gadis cantik yang mandiri.Tekadnya untuk
"Alhamdulillah Kanaya dirumah ibu."Aku memarkirkan kendaraanku dipinhgir jalan, karena halaman rumah Kanaya tidak begitu luas untuk parkir dua kendaraan. Rumah ibu mertua tampak sepi, tak ada pergerakan ataupun suara dari dalam. Mungkin mereka masih bekerja fikirku."Assalamualaikum." Ucapku.Hingga lima menit menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda ada orang yang akan menjawab salamku. Akupun duduk di beranda sambil memainkan ponsel. Pesanku belum juga terkirim untuk Kanaya. Kemana perginya mereka? Kenapa mobilnya ada, tetapi tak satupun orang dirumah ini.Menjelang Magrib aku berencana pulang kerumah mama, ba'da magrib nanti aku akan kembali kesini. Suara motor dari arah belakang rumah memecah kesunyian, tanpak bapak dan ibu berboncengan, raut terkejut menghiasi kedua wajah mertuaku.Mereka turun dari motor dan menemuiku, tanpa dikomando aku langsung berlutut dihadapan mereka. Aku merasa bodoh dan tak berguna sebagai seorang suami."Bu, Pak, maafkan Yuda, maafkan Yuda. Yuda memang
"Yuda, kamu tidak bisa seenaknya begitu mencampakkan Anisa!" Teriak Tante Mutiah."Mencampakkan? Mencampakkan bagaimana? Bahkan saya yang harus bertanggung jawab atas apa yang saya tidak lakukan.""Sudah Mi, jangan diperpanjang, ini kesalahan Anisa, jangan dibebankan sama nak Yuda.""Tapi bi, Yuda suaminya Anisa sekarang.""Sudah Mi, jangan menambah malu Abi.""Tapi Bi, Anisa.""Sudah Ummi, Anisa malu sama mas Yuda, sama tante Hilma juga." Sahut Anisa.Tante Mutiah akhirnya diam dan tak bersuara lagi. Akupun beranjak meninggalkan kediaman mama. Mama menatap sendu kepergianku, tak banyak yang mama ucapkan. Hanya kata maaf berkali-kali keluar dari mulut mama.Mobil melaju membelah jalanan pekat, hanya semak belukar dan pepohonan sawit menghiasi sepanjang jalan. Dua jam kemudian aku sudah sampai didepan rumah. Setelah mobil kuparkirakan digarasi, aku langsung membuka pintu utama, rumah sangat sepi tanpa Kanaya dan Dimas."Nay, apa kamu baik-baik saja?" Lirihku.Kukunci kembali pintu utama