"Tam, Nisa pingsan, ayo bawa dia kerumah sakit."Aku bergeming, kubuang jauh-jauh pandanganku dari perempuan itu."Ada apa ini Ma?" Kak Risma mematung dipintu."Ris, ayo bantu Nisa, dia pingsan.""Tam, kenapa kamu diam aja? Ayo bantuin." "Udah, ambil bantal saja, biarkan dia terbaring disini.""Iya ma,""Sekalian minyak angin Ris." Teriak mama.Sementara aku masih mematung melihat mama dan kak Risma berusaha membangun Anisa. Namun sudah hampir tiga puluh menit, Nisa belum juga sadar, demi kemanusiaan, akhirnya aku angkat tubuh Nisa kemobil dan membawanya kerumah sakit."Tam, sebenarnya ada apa?" Kak Risma mulai mengintrogasiku."Dia hamil.""Hah? Kamu katanya.""Cukup kak, aku tidak pernah menyentuhnya, tanya saja sama Mama, 'kan perempuan itu bawaan mama."Kak Risma melirik mama yang memangku Nisa dibelakang."Kok mama, mana mama tahu." Dari spion terlihat Mama mengedihkan bahunya."Ya harusnya mama kalau apa-apa difikir dulu, sekarang Kanaya pergi karena ucapan mama, mama sudah men
Hari pertama di Jogja, aku ditemani Maya mengurus kepindahan Dimas di sekolah barunya. Alhamdulillah pihak sekolah menerima dengan baik, walaupun sekolah sudah dimulai dua bulan yang lalu. Dimas juga merasa senang."Mbak mau langsung ke rumah sakit? Biar aku antar sekalian.""Besok saja, kita beres-beres rumah dulu, mbak gak nyaman kalau masih berantakan.""Rumah biar Maya yang beresin mbak, mbak istirahat saja.""Yasudah ayo kita pulang.""Gak apa-apa kan kita naik motor begini mbak? Atau mau cari sewaan mobil?""Sementara pakai motor aja dulu, itu baru kita fikirkan nanti." Jawabku sambil berteriak. Karena suara kami terbawa oleh angin."Tapi kasian Mbak kalau harus kolar-kilir naik motor.""Gampang deh nanti, biar mbak suruh orang ngantar mobil yang di Bengkulu.""Iya mbak." Kupandangi wajah Maya dari spion, kini dia sudah tumbuh dewasa, rasanya baru kemarin kami main hujan bersama, main masak-masakan bersama. Kini gadis itu tumbuh menjadi gadis cantik yang mandiri.Tekadnya untuk
"Alhamdulillah Kanaya dirumah ibu."Aku memarkirkan kendaraanku dipinhgir jalan, karena halaman rumah Kanaya tidak begitu luas untuk parkir dua kendaraan. Rumah ibu mertua tampak sepi, tak ada pergerakan ataupun suara dari dalam. Mungkin mereka masih bekerja fikirku."Assalamualaikum." Ucapku.Hingga lima menit menunggu, tetapi belum ada tanda-tanda ada orang yang akan menjawab salamku. Akupun duduk di beranda sambil memainkan ponsel. Pesanku belum juga terkirim untuk Kanaya. Kemana perginya mereka? Kenapa mobilnya ada, tetapi tak satupun orang dirumah ini.Menjelang Magrib aku berencana pulang kerumah mama, ba'da magrib nanti aku akan kembali kesini. Suara motor dari arah belakang rumah memecah kesunyian, tanpak bapak dan ibu berboncengan, raut terkejut menghiasi kedua wajah mertuaku.Mereka turun dari motor dan menemuiku, tanpa dikomando aku langsung berlutut dihadapan mereka. Aku merasa bodoh dan tak berguna sebagai seorang suami."Bu, Pak, maafkan Yuda, maafkan Yuda. Yuda memang
"Yuda, kamu tidak bisa seenaknya begitu mencampakkan Anisa!" Teriak Tante Mutiah."Mencampakkan? Mencampakkan bagaimana? Bahkan saya yang harus bertanggung jawab atas apa yang saya tidak lakukan.""Sudah Mi, jangan diperpanjang, ini kesalahan Anisa, jangan dibebankan sama nak Yuda.""Tapi bi, Yuda suaminya Anisa sekarang.""Sudah Mi, jangan menambah malu Abi.""Tapi Bi, Anisa.""Sudah Ummi, Anisa malu sama mas Yuda, sama tante Hilma juga." Sahut Anisa.Tante Mutiah akhirnya diam dan tak bersuara lagi. Akupun beranjak meninggalkan kediaman mama. Mama menatap sendu kepergianku, tak banyak yang mama ucapkan. Hanya kata maaf berkali-kali keluar dari mulut mama.Mobil melaju membelah jalanan pekat, hanya semak belukar dan pepohonan sawit menghiasi sepanjang jalan. Dua jam kemudian aku sudah sampai didepan rumah. Setelah mobil kuparkirakan digarasi, aku langsung membuka pintu utama, rumah sangat sepi tanpa Kanaya dan Dimas."Nay, apa kamu baik-baik saja?" Lirihku.Kukunci kembali pintu utama
"yaa Allah, Maya sudah jauh dan menghilang, bagaimana aku bisa menemukan Kanaya?""Pak, mari ikut kami ke kantor!""Sebentar pak, saya ambil helm dan pesanan soto saya, kasian pemilik warung, soalny belum saya bayar.""Baik kalau begitu, mari kami antar."Kedua polisi lalu lintas itu mengantarku mengambil helm dan soto yang kupesan tadi. "Maaf bu, soto saya dibungkus saja, saya buru-buru soalnya.""Oh, nggeh mas."Setelah membayar soto, kemudian aku mengikuti kedua polisi itu ke pos polantas terdekat. Seorang polisi membuat surat tilang untukku. Sementara polisi lainnya menanyaiku."Masnya ini dari mana?""Saya dari Bengkulu Pak, mau cari istri saya disini.""Istrinya kabur atau bagaimana?""Masalah rumah tangga pak.""Oh, sudah ada gambaran mau cari dimana?""Saya dengar dari mertua saya, dia disekitaran UGM.""Semoga lekas ketemu, ini surat tilangnya, minggu depan ikut sidang ya.""Iya Pak," jawabku singkat. Karena aku tak mau bertele-tele menghabiskan waktu. Nanti aku minta tolong
Yuda masih setia menunggu Kanaya, sudah satu hari pasca operasi, namun Kanaya belum juga sadar. Malam itu hanya Yuda dan Maya yang menunggu Kanaya, sementara orang tua Kanaya dan Dimas pulang ke kontrakan.Jemari kanaya bergerak pelan, disusul matanya yang perlahan terbuka. "Sayang, kamu sudah bangun?" Teriak Yuda, matanya berbinar. Wajahnya berubah berseri.Samar terdengar suara Yuda memanggil, tapi tak mungkin, Yuda tidak ada disini. Ini pasti halusinasi. Kanaya terbengong matanya memindai seluruh ruangan. Dalam hatinya seperti dia sedang berhalusinasi."May, Maya," Panggil Kanaya."Iya mbak, Maya disini." Maya mendekat, dia kemudian memgelus rambut Kanaya."Mbak dimana May?" Kanaya bingung. Sementara Yuda memdekat dari sisi kanan."Mbak dirumah sakit, kemarin mbak dioperasi, Alhamdulillah mbak sekarang sudah sadar.""Aku seperti halusinasi May, mbak dengar suara Yuda.""Dia ada disini mbak, tapi sebaiknya mbak istirahat, aku panggilkan dokter dulu ya.""May, kamu disini saja, aku
"Dimas!" Panggil Wira ketika yang dia lihat adalah Dimas--anaknya.Maya sengaja memgajak Dimas jalan-jalan ke mall agar Dimas bisa kembali ceria, karena semejak tiba di Jogja, terlebih ketika Kanaya pingsan hingga saat ini dia selalu murung. Celotehnya yang biasanya menggemaskan, kini seolah lenyap. Hanya doa-doa untuk Kanaya yang keluar dari mulut Dimas."Papa." Dimas mendekat dan memeluk Wira dengan erat."Kenapa kamu disini? Liburan?" tanya Wira."Mbak Nay sakit mas, dia operasi kemarin," jawab Maya."Sakit? Operasi? Kok kalian gak kabari aku?""Panjang ceritanya mas.""Ayo duduk dulu May," ajak Wira, Mayapun menurut, dia duduk diseberang kursi Wira."Sebentar, biar aku antar Dimas ke toilet dulu." Wira melangkah menuju toilet bersama Dimas.Sementara Lely sudah selesai dengan belanjaannya. Setelah membayar baju dikasir, dia menyusul Wira yang menunggu di cafe yang Wira tunjukkan tadi.Namun, betapa terkejutnya ketika Lely mendapati ada perempuan tengah duduk ditempat suaminya dudu
"Sayang, please! Maaf." Wira mencekal tangan Lely dan duduk berlutut. Kemudian dia mengeluarkan bunga dari dalam bajunya dan memberikannya pada istrinya."Kamu cantik sekali malam ini, baju ini sangat cocok buat kamu." sambung Wira. Lely memperhatikan baju yang dia kenakan, lingerie warna merah yang dia beli tadi masih sudah menempel ditubuhnya.Lely terpana, tak menyangka jika Wira bisa seromantis ini. Diambinya bunga mawar merah, kemudian dia hirup aromanya dalam-dalam.Wira bangkit, "kamu suka?" Wira mendekati wajahnya dipundak istrinya."Suka banget mas." Selanjutnya hanya mereka yang tahu dan merasakan apa yang terjadi di kamar itu. Lely tersenyum puas. Akhirnya dia bisa menaklukkan hati Wira. ----Di rumah sakit, Yuda termenung, tindakannya serba salah. Ingin tetap tinggal, namun penerimaan Kanaya tidak hangat, bahkan dia histeris melihat Yuda. Sedalam itukah luka hati Kanaya. Atau ini hanya karena efek dia setelah operasi. Jadi fikirkannya kacau."Yuda, aku mohon, pergi dari