"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.
Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja.
"Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya.
"Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya.
"Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.
****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya.
"Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
Lilian menghela napasnya dan kembali mendesah. Gadis berkacamata berambut hitam bergelombang itu tampak sangat gelisah di depan meja kerjanya. Kemarin saat dirinya menghadiri pesta pernikahan Myan dan Devon yang merupakan putra dari bos tempatnya bekerja, Lilian sudah merasakan firasat yang begitu buruk. "Ini untukmu, mungkin tidak seberapa, aku harap kau dapat menemukan kebahagiaanmu dan segera menyusulku Lilian." Ucapan Myan kemarin masih terngiang-ngiang jelas di pikirannya. Lilian ingat ekspresi lembut dan tulus dari Myan saat ia berkata pada dirinya. Setelahnya, ia merasa tidak tenang karena Myan, istri Devon memberikan sepasang gelang kulit berbandul kristal kepadanya tempo hari. Mengembalikan lebih tepatnya, karena memang gelang tersebut sebelumnya adalah miliknya. "Kau wanita yang baik, berkat dirimu aku dapat bersatu dengan orang yang aku cintai. Aku berharap kau pun dapat mengalaminya Lilian." Myan tersenyum padanya. "I
Lilian duduk di samping Greg selama meeting berlangsung. Setelah ia menyiapkan ruangan dan materi yang sekiranya sesuai dengan profil Jaden, ia berfokus pada laptopnya dan bersiap untuk mencatat poin-poin penting. "Selamat siang, maaf saya sedikit terlambat." Seth, sekretaris Jaden sendiri ikut bergabung beberapa menit sebelum meeting dimulai. Para peserta meeting lainnya juga telah bersiap di tempatnya masing-masing untuk pertemuan kali ini. Selain dirinya, perwakilan dari divisi Media Planner, Creative Director, serta seorang Account Executive senior kepercayaan Greg juga turut serta di dalam meeting. "Tak apa, silakan bergabung, Tuan." Greg tersenyum santai dan ramah. Klien yang agensi dapatkan kali ini adalah seorang selebriti chef terkenal yang sedang naik daun. Greg tentu saja akan memberikan pelayanan maksimal untuk memenuhi kebutuhan klien penting tersebut. Jaden yang memiliki begitu banyak penggemar sudah pasti akan menjadi magnet yang bagus untuk perusahaan agensi perik
"Jaden! Ya Tuhan, apa kau sudah tak waras? Entah mengapa kau mulai berlaku tak sopan padanya. Mengapa sepertinya kau hendak mencari gara-gara?!" Seth menyemburkan kegeramannya. "Kita di sini untuk bekerjasama dengan perusahaan ini, jadi aku harap kau tak melakukan sesuatu yang aneh lagi, apa pun itu, oke?!" Seth berani berteriak pada Jaden setelah Lilian keluar dari ruangannya. "Seth, taukah kau? Hanya ia wanita di sini yang tak menatapku sejak kedatanganku siang tadi. Bahkan saat pertama kali ia melihatku, wanita itu tampak begitu menghindariku. Aneh!" gumam Jaden sambil seolah sedang menerka-nerka jalan pikiran Lilian. "Bukan wanita itu. Jangan menyebutnya begitu! Namanya Lilian," ralat Seth. "Dan baguslah jika ia tak mempedulikanmu, berarti ia memiliki selera yang tinggi." Seth mengangkat kedua bahunya. "Dan, serius kawan, jangan mencari masalah, oke?" Jaden menggeleng, "Tidak ... tidak. Coba kau pikir, apa kau sebelumnya pernah melihat ada
Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya. Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian. Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya. Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal. Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari d
"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani." Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya. "Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap. "Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin. "Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?" "Tapi, Tuan ..." "Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat m
"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth." Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang. "Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?" "Seth ..." Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian. Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari. "Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung. "Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut me
Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u