Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya.
Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian.
Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya.
Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal.
Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari dari halaman atau pun balkon samping tamannya.
Edith adalah wanita hangat yang akan menyisihkan waktunya setiap hari untuk Lilian. Saat ia berangkat bekerja mau pun saat pulang, Edith sering membawakan Lilian masakannya. Ia akan mengajak Lilian bercerita atau mengobrol tentang apa pun. Menurut Lilian, Edith adalah wanita tua terhangat yang pernah ditemuinya.
Awal mula pertemuannya dengan Edith sangatlah emosional. Saat itu Lilian sedang berada di sebuah restoran untuk memesan makanan yang akan dibawanya pulang ke apartemennya.
Saat ia berada di dalam barisan antrian, entah disengaja atau tidak seorang pria menabraknya hingga ia terjatuh. Saat pria itu berjongkok kemudian mengulurkan tangannya sembari menatapnya untuk membantunya, Lilian tiba-tiba terkena serangan panik, atau psikiaternya biasanya menyebutnya Panic Attack.
Saat itu Lilian yang tiba-tiba merasa sesak napas, sangat takut dan gemetar tak dapat berbuat apa-apa selain membeku di lantai restoran.
Edith yang kebetulan berada di sana, dengan sigap segera membantunya berdiri dan membawanya keluar restoran untuk meredakan serangan paniknya. Edith membawanya duduk di sebuah bangku taman dan memeluknya dengan hangat sampai air mata dan kecemasannya menghilang.
Edith tak pernah bertanya apa pun padanya. Ia seolah mengerti bahwa memang ada yang salah dengan dirinya. Walau begitu ia tak pernah sekali pun ingin mengorek atau memaksanya untuk bercerita tentang keadaan dirinya.
Saat itulah awal pertemuan dan pertemanannya dengan Edith dimulai, hingga akhirnya ia membeli rumah wanita itu dan tinggal di sebelahnya untuk menjadi tetangganya.
"Aku merindukanmu, Edith," gumam Lilian sambil menatap pilu balkon kosong dan gelap di taman samping rumahnya.
Ia sangat merasakan kehilangan Edith, karena hampir setiap pagi atau malam Edith selalu mengunjunginya melalui pintu penghubung antara rumahnya dan taman samping miliknya. Ia dengan ceria selalu menyemangati Lilian dengan sekadar mengiriminya cake buatannya atau apapun yang bisa ia buat untuk dibagi dengan Lilian.
Kini, tak ada lagi yang akan melakukan itu padanya. Lilian merasa hampa dan kesepian. Ia menangis semalaman saat rumah sakit memberinya kabar tentang kematian Edith.
Sebelum kepergiannya, sekitar seminggu Edith sempat dirawat di rumah sakit karena penyakit kankernya yang telah kronis. Lilian saat itu terlalu takut untuk pergi ke rumah sakit untuk sekadar menengok Edith. Ia bahkan tak sanggup datang ke pemakaman Edith.
Jika ada banyak hal yang ia takuti di dunia ini, beberapanya adalah tempat pemakaman dan rumah sakit. Kedua hal itu membawanya kedalam trauma terburuknya.
Maka dari itu Lilian begitu menyesal tak dapat melihat Edith untuk yang terakhir kalinya. Jika ia tahu Edith akan segera pergi, ia pasti akan meluangkan lebih banyak waktu untuknya.
"Oh, Edith, aku sangat kesepian." ratapnya lagi sambil sedikit terisak.
Lilian menghela napasnya, dan melirik lagi rumah di sebelahnya yang begitu gelap. Sudah lama tak ada lagi cahaya kamar atau balkon indah dengan lampu temaram yang setiap malam Edith nyalakan untuknya, untuk mengurangi rasa cemas Lilian akan kegelapan.
Semenjak ibunya meninggal, Lilian tak pernah sekali pun mematikan lampu kamarnya. Ia tak dapat beristirahat jika keadaan ruangannya terlalu gelap.
Saat ini Lilian yang merasa begitu lelah, terbaring di atas ranjangnya begitu saja tanpa berganti baju. Ia terlalu letih untuk melakukan aktivitas lagi. Ia hanya ingin berbaring dan beristirahat malam ini.
****Sementara itu ....
Di dalam kondominiumnya Jaden duduk di depan meja kerjanya sembari menatap seberkas surat yang telah ia baca berkali-kali.
Berkas itu adalah secarik surat wasiat yang ia dapatkan dari pengacara neneknya, Edith.
Di dalam berkas surat wasiat tersebut diberitahukan dengan jelas tentang kepemilikan rumah Edith yang tertuju untuk seorang wanita dengan nama asing yang ia tahu betul siapa pemiliknya. Lilian Audrey Gray.
Seorang wanita asing yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba masuk ke dalam kehidupan Edith dan entah bagaimana juga ia berhasil membujuk Edith agar mencantumkan namanya menjadi salah satu ahli waris Edith di dalam surat wasiat tersebut sebelum kematiannya, membuat Jaden sangat curiga.
Sudah sejak seminggu ini ia bertanya-tanya, bagaimana bisa Edith begitu saja memberikan rumahnya pada wanita itu?
Hari ini bukanlah hari pertamanya ia melihat Lilian. Setelah kematian Edith, ia sengaja mencari informasi dari pengacaranya tentang wanita yang disebutkan dalam surat wasiat tersebut.
Berbekal informasi itu, ia berhasil memata-matai Lilian yang ternyata adalah salah satu karyawan Starry. Dan informasi itu membawanya pada acara pernikahan putra Greg kemarin.
Selama acara berlangsung kemarin, tanpa Lilian sadari, Jaden telah mengikutinya seharian. Bagaimana gerak-geriknya, hingga bagaimana ia bersikap, Jaden dapat menyimpulkan bahwa Lilian adalah wanita yang aneh dan misterius. Ia bahkan tak tahu apa sebutan tepatnya.
Hari ini setelah ia melihat Lilian dengan mata kepalanya sendiri dari dekat, Jaden semakin yakin, bahwa ada sesuatu tentang wanita itu yang sangat mencurigakan. Dan itu semakin membuatnya kesal. Berlipat-lipat lebih kesal dari sebelumnya!
Bagaimana Edith bisa mencantumkan nama wanita itu ke dalam daftar surat wasiatnya? Sedangkan seingatnya wanita itu tak pernah tampak di sekitaran Edith. Di rumah sakit, mau pun pada saat pemakamannya.
Selain masalah surat wasiat itu, Jaden semakin kesal lagi saat ia kembali teringat raut wajah Lilian. Saat ia mendapati mata itu, tatapan mata yang mengingatkannya pada ibunya itu semakin membuat kekesalannya bertubi-tubi.
Apa mungkin Lilian memperdaya Edith dengan cara itu? Ditambah saat Jaden mulai mengerjainya, reaksi wanita itu tak seperti yang ia bayangkan.
Ia masih tak yakin dengan kepribadian Lilian yang sebenarnya. Ia wanita baik yang secara kebetulan bertemu dengan Edith, atau sekadar penipu saja, yang pasti mulai sekarang ia memutuskan akan selalu berada di dekat wanita itu agar dapat mengamatinya dengan lebih leluasa. Setelah semua jelas, ia baru akan memutuskan akan melakukan apa dengannya.
Jaden membuka laci mejanya dan mengeluarkam sesuatu dari dalamnya. Kali ini ia mengamati benda yang ada di tangannya dengan raut penasaran. Dua buah benda serupa. Gelang kulit kecil berbandul kristal. Dan itu ia pungut saat berada di pesta pernikahan kemarin.
Sepasang gelang kulit dari mempelai wanita yang kemarin Lilian lempar di tengah-tengah hamparan bunga itu, membuatnya curiga dan penasaran. Jaden kemudian memungut dan menyimpan baik-baik benda tersebut di dalam lacinya.
Ia berpikir mungkin suatu saat benda itu akan berguna untuk memojokkan Lilian. Dilihat dari gerak-geriknya, Lilian sangat tidak suka dengan benda pemberian itu sehingga ia melemparnya begitu saja.
Sepasang gelang berbandul kristal itu kembali bercahaya dalam genggaman Jaden, sama seperti saat Jaden memungutnya di taman berbunga kemarin. Ia bahkan sekarang dapat dengan jelas melihat bandul itu bersinar dalam ruangannya.
____*****____"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani." Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya. "Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap. "Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin. "Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?" "Tapi, Tuan ..." "Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat m
"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth." Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang. "Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?" "Seth ..." Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian. Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari. "Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung. "Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut me
Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
Lilian telah sampai ke kantor dengan tepat waktu. Walau ia tidak terlambat, tetapi dalam sejarahnya, belum pernah ia berangkat bekerja begitu siang sebelumnya. Ia sedikit menghembuskan napasnya dengan lega saat ia duduk di kursinya. Lilian yang tak ingin membuang waktu lagi segera memulai pekerjaannya hari ini. Walau kakinya yang terkilir masih sedikit berdenyut, ia tak mempermasalahkan hal itu. "Lilian, apa hari ini aku akan mendampingi Tuan Greg lagi?" Silvia yang sudah melihat kedatangan Lilian tadi serta merta menghambur ke dalam kantornya begitu saja. "Ya, Silvia. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau akan bertugas mendampingi Tuan Greg untuk beberapa waktu ini." "Tapi, Lilian ...." "Silvia ..." Potong Lilian lagi, "Kau tahu bahwa Tuan Greg akan segera mengurus proyek penting bukan? Jadi, aku harap kau dapat bekerja sama dengan baik." "Lilian, bisakah hari ini kau menggantikanku? Hari ini saja, please? Kau tahu
Lilian memijat keningnya dan perlahan mengatur napasnya lagi. Ia beberapa kali mengembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya sendiri. "Begini ... jika kau ingin mempermainkanku, aku rasa kau telah bercanda dengan orang yang salah." Ia menatap Jaden dengan raut serius. "Bisakah kau pergi saja dan jangan menggangguku? Aku bahkan tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu hingga kau memperlakukanku seperti ini," lanjutnya lagi. Ia merasa seolah lelah karena menghadapi pria di hadapannya itu. Lilian hendak bangkit saat Jaden menghentikan dengan kata-katanya kemudian, "Sertifikat rumah ini, tolong tunjukkan padaku. Sebagai cucu satu-satunya Edith aku berhak menanyakan itu bukan?" Lilian membelalak menatap Jaden dengan penuh keterkejutan. "A ... apa?! Apa katamu? Kau cucu Edith? Benarkah?!" tanyanya tak percaya. Ia jelas terkejut dengan pernyataan Jaden padanya tadi. Dengan tenang Jaden mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan satu galeri penuh foto kebersamaannya dengan Edith
"Sudah kukatakan, aku ingin tidur bersamamu," jawab Jaden tegas. "Mengapa?" tanya Lilian. "Bisa dibilang karena aku bosan mungkin? Apapun alasannya itu tak penting buatmu bukan? Atau terserah apapun anggapanmu saja, lagipula aku juga tak berniat untuk melakukan seks denganmu seperti yang kau pikirkan. Ingat, aku tidak sembarangan memasukkan barang milikku," ucapnya lagi dengan angkuh. Lilian kali ini menatap Jaden dengan atensi yang lebih besar. Ia sedikit tertarik saat Jaden menyebutkan tak ada seks di dalam keinginannya itu. "Ho! ... kau mulai tertarik rupanya? Astaga! Jadi benar itu yang kau pikirkan? Apa kau kira aku akan memanfaatkanmu untuk kepuasanku?" Jaden mencemooh Lilian dan tersenyum kecil. Lilian mengerutkan bibirnya. Walau ia tahu setiap kata yang selalu keluar dari mulut Jaden untuknya hanyalah hinaan dan cibiran, tapi ia tetap merasa kesal. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Lilian. Ia sengaja mengabaikan hinaan Jaden dan tak ingin terpancing olehnya. "Kau hanya p
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u