"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya.
"Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth."
Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang.
"Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?"
"Seth ..."
Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian.
Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari.
"Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung.
"Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut mendampinginya."
Ya, mendampinginya agar ia tak menyebabkan masalah lagi! Batin Seth.
"Tak apa Tuan, Anda pasti juga memiliki kesibukan yang lain. Dan seperti yang telah Anda ketahui, Tuan Jaden telah berkomunikasi sebelumnya secara pribadi dengan Tuan Greg, jadi saya tidak sempat mempersiapkan berkas dari awal."
Seth tersenyum mendengar penjelasan Lilian. Ia merasa Lilian tak seaneh atau semenyeramkan itu seperti yang Jaden ucapkan kemarin.
Bahkan dari balik kacamata yang membingkai wajah mungilnya, Seth masih dapat mengamati bulu mata Lilian yang tebal dan lentik. Juga warna mata cokelat muda gadis itu tampak begitu menarik saat terpantul cahaya. Tampak seperti sedikit keemasan.
Seth sendiri heran dan semakin bertanya-tanya dalam hati, bagian mana dari Lilian yang tampak memuakkan seperti yang dikatakan Jaden? Karena sejujurnya ia tak dapat menemukan apa pun yang salah!
Ia hanya melihat wanita yang sedikit kaku karena sikap formalnya. Dan dari cara berpakaiannya juga tak ada yang salah. Lilian berpakaian selayaknya pekerja kantoran biasa. Memang tak ada rok ketat dan mini, juga kemeja yang terbuka yang sering Seth temui pada beberapa perusahaan yang memiliki asisten pribadi atau sekretaris wanita yang begitu menarik dan terkesan menggoda.
Lilian hanya tampak seperti wanita biasa, natural, dan datar. Yah, raut wajahnya memang selalu datar. Tapi diluar itu, Seth bahkan berpikir jika Lilian sebenarnya memiliki wajah yang cukup menarik dan proporsional.
Jika dibandingkan dengan sekretaris atau asisten pribadi yang sering Seth temui, Lilian memang sangatlah jauh dari gambaran wanita penggoda seperti itu. Apalagi dari gambaran tipe wanita-wanita Jaden.
Semua wanita yang pernah Jaden kencani terlalu berani dengan pakaian dan juga ucapan mereka. Justru itu yang membuat Seth muak, karena pada akhirnya mereka hanya akan menimbulkan masalah dan masalah saja.
Wanita yang mendekati Jaden, biasanya setelah melalui proses rayu-merayu, bisa dipastikan mereka akan dengan mudah terjatuh pada perangkap dan pesona Jaden. Setelah itu, tentu saja dengan mudah Jaden akan membawa mereka ke atas ranjangnya dengan sekali jentikan jari.
Setelah Seth teliti lagi, memang Lilian begitu jauh dari gambaran ideal tipe wanita yang Jaden biasa kencani. Lilian terlihat sangat berbeda ... dan tampak tak tersentuh.
Entah mengapa hari ini ia merasa begitu tertarik dengan Lilian. Karena dengan pengamatannya lagi, Seth dapat melihat kelembutan mata Lilian saat ia sedang berbicara. Walau tak banyak kontak mata yang ia berikan padanya, Seth sudah cukup yakin bahwa wanita yang ada di depannya itu cukup menarik dari sisi tertentu.
"Baik, jadi kapan kami dapat mulai masuk dan merenovasi lantai itu?"
"Ah, ya! Saya akan segera meminta bagian pengurus gedung untuk mempersiapkan semuanya dan memberikan kunci-kunci yang diperlukan. Silakan duduk, Tuan"
"Baiklah, tak usah tergesa."
Lilian menghubungi bagian pengurus gedung perusahaan untuk menyiapkan semua hal yang diperlukan penyewa lantai. Tak memakan waktu lama bagi mereka untuk sampai. Bagian pengurus gedung kemudian datang dan menyerahkan segala yang diperlukan.
"Jika ada sesuatu yang diperlukan, jangan ragu untuk menghubungi kami, Tuan." Lilian menyudahi pertemuan mereka dengan sopan dan formal.
"Terima kasih Lilian, ini kartu namaku." Seth memberikan kartu namanya untuk Lilian.
"Kau belum memanggilku dengan benar, cobalah sekali saja mengucapkan namaku." Kali ini Seth terang-terangan meminta Lilian lagi, dengan lembut dan sopan tentu saja.
Raut wajah Lilian tampak sedikit ragu. Sejenak ia hanya dapat menatap pria berambut pirang dan bermata biru cerah itu. Tapi pada akhirnya ia memberanikan diri untuk memenuhi permintaan Seth.
"Seth..." panggil Lilian kemudian, dengan canggung dan tetap formal.
Setidaknya ia berhasil memanggil Seth dengan namanya. Sedikit rona menghiasi wajahnya setelah itu, tapi ia lalu tetap masih menampakkan wajah seorang pekerja profesional pada akhirnya.
"Baiklah, itu cukup..." Seth tersenyum senang. Senyum manis berlesung pipit yang ia pamerkan cukup menunjukkan kepuasannya.
"Karena kita masih akan bekerjasama dalam jangka waktu yang bisa terbilang cukup lama, aku hanya ingin agar suasana kita berjalan lebih baik dan lebih nyaman."
"Lilian, kau tak perlu bersikap terlalu formal padaku. Bukan berarti aku tak menghargai profesionalisme kerjamu ya, hanya saja aku tak ingin kau terlalu tegang atau canggung jika kau bertemu denganku."
"Bahkan, jika suatu saat Jaden mungkin akan mempersulitmu, kau bebas untuk mengadukannya padaku," lanjutnya. Kali ini Seth tersenyum ramah dan tampak tulus.
Lilian sedikit tergerak dengan pernyataan Seth tadi. Jika dibandingkan dengan Jaden, Seth jauh, jauh lebih menyenangkan. Lebih ramah, apa adanya dan yang pasti ia membuat dirinya merasa nyaman. Tak ada tekanan apa pun.
Lilian berpikir mungkin sekarang saatnya ia dapat sedikit melonggarkan kekakuannya. Walau mungkin sulit, tapi ia setidaknya akan mencoba pada orang yang sudah tulus padanya. Setidaknya itu imbal balik yang bisa ia upayakan bukan?
"Silakan, ini nomorku. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan kau dapat menghubungiku, Seth ..." Lilian memberikan kartu namanya sebagai balasan ketulusan Seth.
"Terima kasih ..." senyum Seth mengembang karena Lilian sudah lebih rileks padanya dan berbicara lebih santai.
Bahkan, wanita itu juga sempat tersenyum sedikit dan menyebutkan namanya dengan santai! Walau samar, Seth masih dapat menangkap senyuman singkat Lilian.
******"Semua barang sudah kami tata dan masukkan Tuan, jika ada yang Anda perlukan lagi, kami siap membantu."Seorang pria pekerja jasa pemindahan barang keluar dari rumah yang sudah tertata rapi tersebut.
"Bagian tim kebersihan kami juga telah menyelesaikan pekerjaan mereka. Dan barang-barang yang berlabel khusus sesuai pesanan Anda, sudah kami masukkan ke dalam salah satu kamar."
"Baik. Terima kasih atas pekerjaan kalian." Jaden melepas kacamata hitamnya dan tersenyum puas.
Ia berkacak pinggang menatap halaman depan rumah milik Edith neneknya itu. Sebagai salah satu ahli waris neneknya, Jaden akhirnya memutuskan untuk pindah sementara ke kediaman neneknya itu yang seharusnya telah menjadi miliknya.
Yah, setidaknya ia akan mencoba menempatinya, karena seharusnya rumah ini adalah miliknya. Dan entah bagaimana caranya, tiba-tiba neneknya mewariskannya pada wanita itu begitu saja. Si wanita ular.
Ia bukannya tak memiliki alasan untuk melakukan itu. Pindah adalah solusi yang tepat yang bisa ia pikirkan saat ini. Setidaknya ini adalah langkah awalnya. Ia hanya ingin menyelidiki lebih jauh wanita ular yang telah berhasil memperdaya neneknya itu.
Jika dirinya menemukan keanehan atau sesuatu yang mencurigakan, sudah pasti ia tak akan tinggal diam. Bahkan, ia akan pastikan untuk memberikan wanita ular itu pelajaran.
Jaden menatap tajam taman mungil di sebelah pagar pembatas milik neneknya itu. Walau halaman mereka hanya dipisahkan oleh sebatas pagar kecil, bisa dipastikan dan sangat terlihat jelas bahwa taman kecil di samping rumahnya adalah satu kesatuan dari rumah lantai dua yang sudah menjadi miliknya itu.
Napas Jaden mulai memburu saat mengingat lagi siapa pemilik rumah mungil di sebelahnya itu.
Si wanita zombi ular berbisa. Lilian.
Lihat saja apa yang akan kulakukan padamu Lilian. Bersiaplah menangis dan mengangkat kakimu dari sini!
Jaden tersenyum sinis ketika benaknya mulai dipenuhi oleh rencana-rencana liciknya.
____****____Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
Lilian telah sampai ke kantor dengan tepat waktu. Walau ia tidak terlambat, tetapi dalam sejarahnya, belum pernah ia berangkat bekerja begitu siang sebelumnya. Ia sedikit menghembuskan napasnya dengan lega saat ia duduk di kursinya. Lilian yang tak ingin membuang waktu lagi segera memulai pekerjaannya hari ini. Walau kakinya yang terkilir masih sedikit berdenyut, ia tak mempermasalahkan hal itu. "Lilian, apa hari ini aku akan mendampingi Tuan Greg lagi?" Silvia yang sudah melihat kedatangan Lilian tadi serta merta menghambur ke dalam kantornya begitu saja. "Ya, Silvia. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau akan bertugas mendampingi Tuan Greg untuk beberapa waktu ini." "Tapi, Lilian ...." "Silvia ..." Potong Lilian lagi, "Kau tahu bahwa Tuan Greg akan segera mengurus proyek penting bukan? Jadi, aku harap kau dapat bekerja sama dengan baik." "Lilian, bisakah hari ini kau menggantikanku? Hari ini saja, please? Kau tahu
Lilian memijat keningnya dan perlahan mengatur napasnya lagi. Ia beberapa kali mengembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya sendiri. "Begini ... jika kau ingin mempermainkanku, aku rasa kau telah bercanda dengan orang yang salah." Ia menatap Jaden dengan raut serius. "Bisakah kau pergi saja dan jangan menggangguku? Aku bahkan tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu hingga kau memperlakukanku seperti ini," lanjutnya lagi. Ia merasa seolah lelah karena menghadapi pria di hadapannya itu. Lilian hendak bangkit saat Jaden menghentikan dengan kata-katanya kemudian, "Sertifikat rumah ini, tolong tunjukkan padaku. Sebagai cucu satu-satunya Edith aku berhak menanyakan itu bukan?" Lilian membelalak menatap Jaden dengan penuh keterkejutan. "A ... apa?! Apa katamu? Kau cucu Edith? Benarkah?!" tanyanya tak percaya. Ia jelas terkejut dengan pernyataan Jaden padanya tadi. Dengan tenang Jaden mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan satu galeri penuh foto kebersamaannya dengan Edith
"Sudah kukatakan, aku ingin tidur bersamamu," jawab Jaden tegas. "Mengapa?" tanya Lilian. "Bisa dibilang karena aku bosan mungkin? Apapun alasannya itu tak penting buatmu bukan? Atau terserah apapun anggapanmu saja, lagipula aku juga tak berniat untuk melakukan seks denganmu seperti yang kau pikirkan. Ingat, aku tidak sembarangan memasukkan barang milikku," ucapnya lagi dengan angkuh. Lilian kali ini menatap Jaden dengan atensi yang lebih besar. Ia sedikit tertarik saat Jaden menyebutkan tak ada seks di dalam keinginannya itu. "Ho! ... kau mulai tertarik rupanya? Astaga! Jadi benar itu yang kau pikirkan? Apa kau kira aku akan memanfaatkanmu untuk kepuasanku?" Jaden mencemooh Lilian dan tersenyum kecil. Lilian mengerutkan bibirnya. Walau ia tahu setiap kata yang selalu keluar dari mulut Jaden untuknya hanyalah hinaan dan cibiran, tapi ia tetap merasa kesal. "Apa yang harus kulakukan?" tanya Lilian. Ia sengaja mengabaikan hinaan Jaden dan tak ingin terpancing olehnya. "Kau hanya p
Lilian memakai gaun tidurnya yang nyaman setelah ia membersihkan diri. Mandi malam yang menyegarkan cukup membuat badannya terasa rileks. Ia sejenak ingin melupakan kejadian yang baru saja dialaminya tadi setelah dirinya pulang dari kantor. Lilian menuju dapurnya dan membuka lemari pendingin untuk meraih sebotol air mineral dingin dan meneguknya. "Hanya itu makan malammu?" Lilian dikejutkan oleh suara Jaden yang tiba-tiba muncul dan menyebabkannya tersedak hingga terbatuk-batuk. "Kau tak apa?" tanya Jaden kemudian. Jaden kembali muncul di ambang pintu kaca sebelah tamannya yang menghubungkan dengan dapurnya. Ia menyandarkan salah satu lengannya pada pinggiran pintu. Jaden tampak nyaman dengan kaus polos dan celana kain ringannya. "Apa lagi?" tanya Lilian kesal sembari mengusap sisa air di mulutnya. "Ikuti aku, aku membutuhkanmu," ucapnya santai. "Apa harus? Dan bisakah kau tak muncul di areaku semaumu sendiri?" protes Lilian. Ia mengembalikan lagi botol air mineralnya ke dalam
"Akh!" Lilian terpekik saat Jaden merebahkan dirinya ke atas sebuah ranjang besar yang pastinya adalah milik Jaden. "Jangan menyentuhku sembarangan!" Karena kesal, Lilian meraih sebuah bantal dan melemparnya ke arah Jaden. Yang tentu dapat Jaden tangkap dengan mudah. "Tak bisakah kau berlaku sedikit sopan padaku?" protes Lilian lagi. Seolah tak mempedulikan kekesalan Lilian, Jaden melenggang begitu saja dari hadapannya dan ia meraih sebuah kotak dari rak buku kecil yang ada di samping sebuah lemari pakaian. "Aku gatal ingin membuang benda konyol yang terpasang sembarangan begitu saja di kakimu itu begitu aku melihatnya!" Jaden merujuk bebat di kaki Lilian yang terluka. "Ada apa dengan ini?" tanya Lilian tak mengerti. "Siapa orang bodoh yang memasang ini di kakimu? Sekali lihat saja aku sudah tahu bahwa itu terlalu kencang dan hanya akan memperparah cideramu." Tanpa sungkan-sungkan Jaden duduk di hadapan Lilian di atas ranjangnya, kemudian meraih kaki Lilian dan melepaskan perlah
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u