"Jaden! Ya Tuhan, apa kau sudah tak waras? Entah mengapa kau mulai berlaku tak sopan padanya. Mengapa sepertinya kau hendak mencari gara-gara?!" Seth menyemburkan kegeramannya.
"Kita di sini untuk bekerjasama dengan perusahaan ini, jadi aku harap kau tak melakukan sesuatu yang aneh lagi, apa pun itu, oke?!" Seth berani berteriak pada Jaden setelah Lilian keluar dari ruangannya.
"Seth, taukah kau? Hanya ia wanita di sini yang tak menatapku sejak kedatanganku siang tadi. Bahkan saat pertama kali ia melihatku, wanita itu tampak begitu menghindariku. Aneh!" gumam Jaden sambil seolah sedang menerka-nerka jalan pikiran Lilian.
"Bukan wanita itu. Jangan menyebutnya begitu! Namanya Lilian," ralat Seth. "Dan baguslah jika ia tak mempedulikanmu, berarti ia memiliki selera yang tinggi."
Seth mengangkat kedua bahunya. "Dan, serius kawan, jangan mencari masalah, oke?"
Jaden menggeleng, "Tidak ... tidak. Coba kau pikir, apa kau sebelumnya pernah melihat ada seorang asisten atau sekretaris yang mendapatkan ruangan sebesar ini selain di sini? Tak ada bukan?"
Jaden mengatupkan kedua tangannya, seolah berpikir. "Ah! Aku tahu sekarang, aku rasa Lilian bukan hanya sekadar asisten Tuan Greg. Wanita itu pasti memiliki hubungan yang spesial dengannya," komentar Jaden penuh selidik.
"Oh My God! Jaden! Apa kau sekarang sedang bergosip?" Seth menatap sahabatnya itu dengan ngeri.
"Tidak! Coba kau perhatikan wanita itu. Ia begitu gelap dan tak bersahabat, bagaimana bisa ia menjadi asisten dan kepercayaan pemimpin di sini?!"
"Dia profesional Jaden, di mataku ia tampak seperti wanita giat penggila kerja. Aku yakin ia hanya mementingkan pekerjaan dan tak akan tergoda dengan tipe-tipe pria semacam dirimu." balas Seth bijak.
"Atau ... ia mungkin tidak begitu peduli padamu karena kau mungkin bukan tipenya, itu sebabnya ia tak terpengaruh padamu sedikit pun. Aku rasa karena kelebihannya itulah ia akhirnya bisa mendapatkan kepercayaan lebih dari Tuan Greg, tidak ada yang aneh menurutku."
Seth menepuk pundak Jaden dengan miris, "Oh, Man. Satu-satunya yang aneh di sini adalah kau! Apa kau tahu itu? Kau terlalu memandang tinggi dirimu. Kenapa? Apa egomu terluka saat akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang tak begitu tertarik untuk memperhatikanmu? Ck! Cepat tanda tanganilah kontrak itu"
Jaden bergidik lagi, ia menggeleng tak percaya. "Kau lihat perubahan sikapnya yang menakutkan tadi? Bagaimana pun aku memikirkannya, ia memang mengerikan!"
"Aku tak akan terpengaruh dengan wanita seperti itu. Bahkan jika hanya tinggal dirinya satu-satunya wanita yang ada di dunia ini, aku tak akan pernah mau dengannya. Aku tak akan pernah mengejar wanita seperti itu! Never!" Jaden berucap dengan yakin.
"Kau lihatlah dirinya! Ia kurus kering seperti mayat hidup, aku bahkan tak akan berpikir dua kali untuk sekadar membuang-buang waktuku dengannya!" lanjutnya dengan menggebu-gebu.
Seth menggeleng-geleng tak percaya menanggapi tingkah Jaden. Ia tak habis pikir apa yang sebenarnya sedang Jaden pikirkan tentang wanita itu.
Seth memijit keningnya dengan frustasi, "Oh, ya ampun. Sekarang kau bahkan mulai menilai penampilannya. Aku tak tahu apa yang merasukimu kawan, kau tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Dan serius, tak ada yang menanyakan pendapatmu tentang Lilian, jadi hentikan apa pun yang ada di dalam pikiranmu sekarang, oke?" gumamnya heran.
"Tidak sobat, dengarkan aku dulu! Wanita itu tidak ceria, ia tidak seksi, bahkan ia tidak tahu caranya untuk tersenyum. Jika aku jadi Tuan Greg, aku tak akan pernah mempekerjakan karyawan seperti dirinya!"
"Serius, Man, ia wanita yang tidak menarik. Sama sekali! Bahkan untuk menjadi kriteria wanita simpanan sekali pun, ia jauh dari kata menarik. NOL BESAR."
"Oh My God!! JADEN!!" Seth kembali berteriak dan melotot padanya.
"Kejam sekali kau! B ... bagaimana bisa kau berkomentar seperti itu pada orang yang tak kau kenal?!" Seth tampak begitu geram dengan Jaden. "Mulutmu itu ya, seharusnya aku jahit agar ..."
Suara pintu yang tiba-tiba terbuka menghentikan ucapan Seth seketika.
Lilian yang tampak dari ambang pintu kemudian masuk dengan tenang dan membawa nampan berisi dua cangkir teh. Ia meletakkan cangkir-cangkir tersebut di hadapan Seth dan Jaden.
Seth berdehem, entah mengapa ia merasa sangat canggung. Ia takut kalau-kalau Lilian mungkin sempat mendengar percakapan mereka tadi.
"Silakan Tuan-Tuan," dengan tenang Lilian mempersilakan para tamunya untuk menikmati minuman yang sudah ia sediakan.
"Baiklah, terima kasih. Cepat sekali kau membawa minuman untuk kami. Wow! Tampaknya teh ini begitu nikmat. Haha..!" Seth yang tak dapat lagi mengontrol kegugupannya, mulai meracau dengan kikuk.
"Kami memiliki mesin minuman khusus agar minuman hangat dan segar selalu tersedia, Tuan." Lilian menjelaskan dengan tenang.
"Apa Anda sudah menandatanganinya, Tuan?" tanyanya kemudian pada Jaden.
"Sudah, ambillah."
Jaden mengumpulkan semua berkas-berkas yang sudah ia tanda tangani dan memegangnya dalam satu tumpukan rapi.
Lilian sudah hendak meraih berkas-berkas dari tangan Jaden sesaat ketika jemarinya mulai menyentuh ujung berkas tersebut, tapi Jaden tiba-tiba melepaskan semua berkas-berkas yang semula dipegangnya hingga jatuh berserakan di atas lantai begitu saja! Lebih tepatnya ia sengaja melakukan itu.
"Upps! Maaf tanganku licin." Ucapnya dengan senyuman sinis dan terlihat tanpa penyesalan sedikit pun dari raut wajahnya.
Selanjutnya, Jaden menatap tajam pada Lilian. Tatapannya seolah menantangnya dan berkata, "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Seth membelalak! Mulutnya menganga begitu lebar menyaksikan kelakuan Jaden, atasan sekaligus sahabatnya itu. Ia tak menyangka Jaden akan melakukan hal sampai sejauh itu.
Lilian sejenak membeku di tempatnya, tetapi ia tak goyah. Ia hanya sedikit mengerutkan alisnya. Tak mempedulikan Seth maupun Jaden, tanpa pikir panjang ia kemudian mulai membungkuk untuk mengambil berkas-berkas yang berserakan itu.
Jaden menatap Lilian dengan tatapan yang sulit ditebak. Rahangnya ia katupkan dengan kencang. Ia mematung, hanya berdiam diri dan menyaksikan Lilian memunguti berkas-berkas yang berserakan di bawah kakinya.
Jaden memicingkan matanya sejenak saat melihat punggung wanita itu yang membungkuk di hadapannya tanpa sedikit pun terlihat lemah atau goyah.
Jelas sekarang ia sedang mempermalukannya, tetapi tampaknya wanita itu tak mudah terpengaruh dan terpancing emosinya.
Lilian dalam sekejap berhasil mengumpulkan semua berkas-berkas yang bercecer tadi menjadi satu tumpukan.
"Baiklah, sudah saya terima berkasnya. Terima kasih sekali lagi untuk Tuan-Tuan yang telah mempercayakan kerjasama dengan perusahaan kami." Lilian tersenyum simpul dan kembali ke mejanya sendiri untuk memasukkan berkas-berkas tersebut ke dalam sebuah map.
"Tuan-Tuan, silakan pergunakan waktu Anda selama yang kalian inginkan di sini. Tak perlu merasa sungkan atau terburu-buru. Jika tak ada lagi yang bisa saya bantu, saya undur diri dulu karena masih ada banyak pekerjaan yang menanti yang harus saya lakukan. Terima kasih." Lilian sedikit mengangguk sebelum akhirnya meninggalkan mereka berdua.
Seth yang masih membeku di tempatnya seperti tak sanggup berkata-kata lagi. Ia merasa seolah nyawanya telah menghilang! Ia bahkan sampai tak tahu apa yang harus dikatakan.
Perlakuan Jaden pada Lilian membuat dirinya sendiri begitu shock. Dan semua kejadian di depan matanya tadi seolah berlalu begitu cepat.
"Ja ... Jaden ..." ucap Seth tergagap.
Lilian memeluk map berisi berkas kontrak dengan mantap. Ia berjalan tegak menuju lorong kecil yang sangat terang dengan sorotan matahari yang menembus melalui jendela kaca besar itu dengan penuh percaya diri.
Ia yakin Jaden maupun Seth masih bisa melihatnya menelusuri jalan yang menghubungkannya dengan ruangan Greg itu dengan jelas.
Beruntung, hari ini Lilian mengenakan setelan baju kerja bercelana panjangnya, sehingga ia dapat melangkahkan kakinya lebar-lebar agar dapat segera pergi dari ruangannya sendiri.
Jika memungkinkan, Lilian sebenarnya merasa seolah ingin berlari cepat-cepat dan menghilang dari pandangan pria menyeramkan yang pasti sedang mengawasinya dari sana.
"Laki-laki berengsek!" umpat Lilian saat dirinya akhirnya berhasil masuk dan berada sendirian dalam ruangan Greg.
Hanya Lilian yang memiliki akses kunci untuk keluar masuk ke dalam ruangan Greg. Ia seketika memberosot di balik pintu, duduk dan menelungkupkan kedua lengannya di atas lututnya.
Air mata yang terasa hangat mulai turun membasahi pipinya. Lilian menangis tanpa bersuara. Ia mengingat lagi bagaimana cara Jaden menilai dan menyebut tentang dirinya tadi. Dan bagaimana ia dengan sengaja menjatuhkan semua berkas kontrak hingga berserakan untuk melihat reaksinya itu, sungguh membuatnya merasa begitu terhina dan malu.
Lilian merasa dirinya begitu menyedihkan. Entah mengapa ia yang biasanya tegar, kini merasa begitu lemah dan kecil hingga sampai meneteskan air mata hanya karena celotehan lelaki berengsek itu!
Andai bisa, ia rasanya ingin sekali menampar mulut lancang pria itu. Tetapi, keadaan jelas tak memungkinkannya untuk melakukan hal semacam itu.
"Oh! Ini sungguh menyebalkan!" rutuknya kesal.
Lilian seharusnya sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Bukan kali ini saja ia sering mendapati orang-orang yang menganggapnya lemah dan memandangnya dengan sebelah mata. Bahkan, tak segan untuk berlaku atau berkata kasar padanya.
Lilian sendiri mengakui, itu karena ia memiliki beberapa keterbatasan yang menyebabkannya tak dapat bertingkah seperti wanita normal lainnya.
Tapi, bukan berarti ia juga pantas untuk diperlakukan tak adil hanya karena itu. Andai mereka bisa memahami dan tahu isi hatinya itu.
Lilian sebenarnya sudah terlatih untuk menerima itu semua. Sudah sejak lama Lilian berlatih untuk menutup diri dan membentengi dirinya sendiri dari segala hal yang mungkin akan menyakitinya dengan mudah.
"Jaden, kau sungguh pria berengsek! Jika bukan karena pekerjaan, aku tak akan pernah mau berurusan denganmu." batinnya kesal.
Ia sebenarnya merasa lebih tenang jika orang lain hanya memandangnya dengan raut aneh lalu kemudian menghindarinya. Itu akan jauh lebih baik untuknya, daripada orang tersebut menghujaninya dengan kata-kata dan perbuatan kasar yang membuatnya tampak begitu menyedihkan.
Seperti sekarang ini, seperti yang Jaden lakukan padanya. Lilian merasa kecil dan mudah ditindas. Ia masih tak habis pikir mengapa pria itu melakukan hal itu padanya?
Lilian harus menelan harga dirinya saat ia memunguti semua berkas itu tadi. Sekali lagi ia tak dapat mengerti mengapa ia mendapat perlakuan tak menyenangkan dari orang asing? Bahkan ia harus mendengar semua hinaan dan penilaian yang begitu buruk tentangnya di belakangnya.
"Stop Lilian! Bangkit dan berdirilah, jangan terpuruk karena hal kecil seperti ini!" batinnya lagi-lagi menguatkan dirinya sendiri.
Lilian memejamkan matanya. Ia mengusap sisa air mata yang tumpah. Ia tak ingin terpuruk karena sedikit kejadian yang tak menyenangkan yang ia terima dari klien perusahaannya.
Ia kemudian dengan mantap meletakkan map terakhir yang perlu Greg periksa di atas mejanya. Lalu ia menata dan memastikan kembali ruangan Greg agar tetap rapi sebelum ia mengakhiri pekerjaannya hari ini.
*******
"Da***!!!! Man! Apa yang sebenarnya kau lakukan!?" Seth memukul kemudi mobilnya begitu ia dan Jaden masuk ke dalam mobil.
"Apa kau tak waras?! Sekarang kau menjadi seorang perundung? Kau sekarang selebriti Jaden. Apa pun tindakanmu akan selalu ada konsekuensinya!" Seth benar-benar kesal dengan sikap Jaden tadi.
"Kita baru saja tanda tangan kontrak dengan perusahaan tempatnya bekerja, tetapi kau malah memperlakukan Lilian dengan buruk! Sekarang jelaskan padaku, mengapa kau memperlakukan Lilian seperti itu? Apa hanya karena ia tak memperhatikanmu? Itu membuatmu kesal?!"
"Kau bahkan yang menunjuk perusahaan itu sendiri untuk bekerjasama! Ada apa, Man?!" Seth berteriak tak percaya.
"Sudah kubilang aku tak kesal hanya karena ia tak memperhatikanku! Aku hanya kesal melihat wajahnya saja!" balas Jaden tak kalah sengit.
"Apa?! Hah?! Oh, yang benar saja! Memang ada apa dengan wajahnya?!"
"Jika kau memang tak menyukai wanita seperti dia, lalu apa pantas kau memperlakukannya dan menghinanya dengan buruk seperti itu? Itu bukan perbuatan seorang pria sejati, Man!"
"Seth! Apa kau tak lihat?! Wanita itu begitu kaku. Matanya terkadang tampak seperti orang yang sekarat, tapi gerak-geriknya mengatakan seolah ia kuat, baik-baik saja dan dapat berdiri dengan tegar."
"Itu membuatku muak! Di balik itu, kau mungkin tak akan pernah tahu wanita seperti apa ia sebenarnya. Ia wanita yang pandai mengenakan topeng!" geram Jaden.
Jaden menatap tajam keluar jendela. Pandangannya mulai menerawang, dan ia mengatupkan rahangnya. Pikirannya mulai berkecamuk. Ia paling benci dengan wanita lemah tak berdaya tetapi berlagak tegar dan baik-baik saja. terlebih jika wanita itu licik seperti ular!
Saat menatap Lilian tadi entah mengapa ia sangat tergelitik. Ia tak suka dengan ekspresi yang Lilian pasang pada wajahnya. Pikiran gilanya tiba-tiba menyuruhnya untuk melakukan sesuatu agar dapat mengubah tatapan mata dan ekspresi wanita itu.
Ia ingin Lilian memohon, menangis, terluka atau entah apa pun itu! Ia ingin mata wanita itu setidaknya menunjukkan ekspresi itu.
"Oh! Aku sudah tak mengerti jalan pikiranmu lagi, Man." Seth menghembuskan napasnya pasrah.
Di dalam hatinya, Jaden sendiri masih yakin Lilian adalah wanita yang pandai mengenakan topeng. Terlebih lagi, ia semakin merasa kesal karena wanita itu tetap bersikap tegar dan tak tampak terluka sedikit pun walaupun tadi ia mengerjai dan membuatnya malu. Tatapan dan wajah datar wanita itulah yang sangat mengganggunya.
Ia sangat benci wanita seperti itu! Tatapan mata wanita itu sekilas mengingatkannya akan ibunya. Dan karena itu juga ia merasa sangat muak!
"Kita pulang sekarang!" Jaden menggeram menekan amarahnya.
____****____
Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya. Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian. Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya. Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal. Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari d
"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani." Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya. "Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap. "Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin. "Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?" "Tapi, Tuan ..." "Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat m
"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth." Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang. "Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?" "Seth ..." Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian. Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari. "Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung. "Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut me
Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
Lilian telah sampai ke kantor dengan tepat waktu. Walau ia tidak terlambat, tetapi dalam sejarahnya, belum pernah ia berangkat bekerja begitu siang sebelumnya. Ia sedikit menghembuskan napasnya dengan lega saat ia duduk di kursinya. Lilian yang tak ingin membuang waktu lagi segera memulai pekerjaannya hari ini. Walau kakinya yang terkilir masih sedikit berdenyut, ia tak mempermasalahkan hal itu. "Lilian, apa hari ini aku akan mendampingi Tuan Greg lagi?" Silvia yang sudah melihat kedatangan Lilian tadi serta merta menghambur ke dalam kantornya begitu saja. "Ya, Silvia. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau akan bertugas mendampingi Tuan Greg untuk beberapa waktu ini." "Tapi, Lilian ...." "Silvia ..." Potong Lilian lagi, "Kau tahu bahwa Tuan Greg akan segera mengurus proyek penting bukan? Jadi, aku harap kau dapat bekerja sama dengan baik." "Lilian, bisakah hari ini kau menggantikanku? Hari ini saja, please? Kau tahu
Lilian memijat keningnya dan perlahan mengatur napasnya lagi. Ia beberapa kali mengembuskan napasnya untuk menenangkan dirinya sendiri. "Begini ... jika kau ingin mempermainkanku, aku rasa kau telah bercanda dengan orang yang salah." Ia menatap Jaden dengan raut serius. "Bisakah kau pergi saja dan jangan menggangguku? Aku bahkan tak tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat padamu hingga kau memperlakukanku seperti ini," lanjutnya lagi. Ia merasa seolah lelah karena menghadapi pria di hadapannya itu. Lilian hendak bangkit saat Jaden menghentikan dengan kata-katanya kemudian, "Sertifikat rumah ini, tolong tunjukkan padaku. Sebagai cucu satu-satunya Edith aku berhak menanyakan itu bukan?" Lilian membelalak menatap Jaden dengan penuh keterkejutan. "A ... apa?! Apa katamu? Kau cucu Edith? Benarkah?!" tanyanya tak percaya. Ia jelas terkejut dengan pernyataan Jaden padanya tadi. Dengan tenang Jaden mengeluarkan ponselnya. Ia memperlihatkan satu galeri penuh foto kebersamaannya dengan Edith
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u