"Selamat siang, maaf saya sedikit terlambat."
Seth, sekretaris Jaden sendiri ikut bergabung beberapa menit sebelum meeting dimulai.
Para peserta meeting lainnya juga telah bersiap di tempatnya masing-masing untuk pertemuan kali ini. Selain dirinya, perwakilan dari divisi Media Planner, Creative Director, serta seorang Account Executive senior kepercayaan Greg juga turut serta di dalam meeting.
"Tak apa, silakan bergabung, Tuan." Greg tersenyum santai dan ramah.
Klien yang agensi dapatkan kali ini adalah seorang selebriti chef terkenal yang sedang naik daun. Greg tentu saja akan memberikan pelayanan maksimal untuk memenuhi kebutuhan klien penting tersebut.
Jaden yang memiliki begitu banyak penggemar sudah pasti akan menjadi magnet yang bagus untuk perusahaan agensi periklanan milik Greg. Ia pasti akan membawa keuntungan yang baik bagi perusahaannya.
"Baik, terima kasih untuk kepercayaan Anda pada agensi kami, Tuan Jaden. Akan kami pastikan, semua yang Anda inginkan akan kami sediakan dan siapkan semaksimal mungkin." Greg menutup meeting dengan wajah ceria.
Ia optimis dengan kepercayaan dan pilihan Jaden yang bekerjasama pada perusahaannya, nantinya akan menarik lebih banyak lagi selebriti lain untuk mengikuti jejaknya.
"Kami akan segera mulai bekerja secepat dan sebaik mungkin. Jika ada sesuatu yang mungkin Anda inginkan untuk proyek iklan komersial atau apa pun itu, Account Executive kami, William, akan dengan senang hati membantu Anda."
"Ia nanti akan menerusakan keinginan Anda pada perusahaan melalui Lilian. Dan Lilian yang kemudian akan mengurus segala kebutuhan dan semua permintaan Anda." Greg menjelaskan lebih lanjut.
"Terima kasih Tuan Greg. Aku tidak sabar ingin segera memulai proyek dengan kalian." Balas Jaden formal.
"Dengan kecakapan para karyawan Starry, aku rasa aku pasti puas dengan hasilnya nanti. Ditambah, Anda memiliki begitu banyak karyawan muda yang energik dan cantik-cantik." Jaden tersenyum lebar dan mengedipkan matanya dengan gaya kasual.
Greg tergelak menanggapi lelucon Jaden. "Benar! Bukan hanya kecantikan, tetapi juga kemampuan mereka semua layak untuk diperhitungkan. Aku dengar Anda begitu kewalahan menghadapi mereka?" Giliran Greg mengedipkan matanya untuk membalas lelucon Jaden.
"Woah! Anda benar, bukan hanya bahu, jari tangan, bahkan tubuhku tak sanggup untuk melayani mereka semua, Tuan!" Jaden memutar-mutar bahunya seolah ia telah melakukan pekerjaan yang berat.
"Haha! ... jangan biarkan orang lain salah paham dengan maksud Anda! Terima kasih sudah melayani karyawan kami yang merupakan penggemar Anda. Terima kasih juga untuk acara sesi foto dan tanda tangan yang tak terduga. Berkat Anda, karyawan kami kembali bersemangat. Haha! ..." Greg kembali tergelak.
"Anda salah satu klien kami yang berharga. Kami pastikan akan memuaskan keinginan Anda, Tuan." Greg menjabat tangan Jaden untuk menutup kesepakatan kerjasama mereka.
"Please, Jaden saja. Jangan terlalu formal padaku." Jaden menerima uluran tangan Greg dengan senyum lebar.
"Baiklah, kalau begitu, kau juga dapat melakukan hal yang sama padaku, Jaden."
"Tentu, Greg! Terima kasih."
Rombongan meeting mulai bergerak keluar untuk mengikuti Greg dari belakang. Jaden dan sekretarisnya Seth pun ikut keluar.
"Baiklah, kalian bisa mulai mengerjakan proyek untuk Tuan Jaden. Ingat untuk menyerahkan segala hasil pekerjaan kalian pada Lilian, agar ia dapat memeriksanya." Greg memerintahkan para karyawan dibidangnya untuk mulai bekerja. Setelah mengangguk, mereka undur diri untuk kembali ke tempatnya masing-masing.
"Baiklah Jaden, masih ada jadwal yang harus aku penuhi. Silakan kau bicarakan dan utarakan hal-hal yang mungkin belum tersampaikan pada meeting kita tadi pada Lilian." Greg merujuk pada Lilian yang kemudian mengangguk padanya.
"Tak masalah, terima kasih Greg," balas Jaden lagi.
Greg berbalik ke arah Lilian," Lilian, aku serahkan padamu." Greg menepuk ringan bahu Lilian, dan ia mengangguk tanda mengerti.
"Baik Tuan, Silvia yang selanjutnya akan menemani Anda. Semua jadwal Anda hari ini sudah saya sampaikan padanya."
Greg mengangguk dan kemudian berlalu meninggalkan Lilian dengan kedua pria itu.
"Tuan-Tuan mari silakan mengikuti saya. Saya akan menyiapkan kontrak dan menjelaskan isinya agar dapat segera Anda tanda tangani" Lilian memberi isyarat pada Seth dan Jaden agar segera mengikutinya.
"Baik Nona Lilian, terima kasih." Seth menjawab Lilian dengan formal. Lilian hanya mengangguk dan berjalan di depan untuk mengarahkan Jaden dan Seth.
Jaden mengamati Lilian dari belakang. Gadis yang berjalan di depannya itu tampak begitu ramping dan terlihat sangat profesional. Kekurangannya adalah tak ada sedikit pun senyum darinya. Semua gerak-gerik dan ekspresinya yang terlalu formal dan kaku itu tampak begitu mengganggunya.
Lilian membawa Jaden dan Seth ke dalam ruangannya. Sepanjang perjalanan mereka, banyak mata yang begitu berbinar dan terpesona oleh ketampanan Jaden saat ia melewati banyak meja kerja para karyawan perusahaan tersebut. Bahkan tak sedikit karyawan wanita yang refleks terpekik kecil dan berjingkrak penuh antusias saat idolanya melewati meja mereka.
"Oh My God! Lihatlah, itu Jaden! Aakh! ..."
Kikikan dan pekikan kecil yang tertahan terdengar samar-samar di sana-sini saat mereka menyusuri selasar yang penuh dengan meja para karyawan, terutama para pekerja wanita.
Jaden yang tersenyum dan melambai secara natural tampak begitu menikmati momen-momen itu. Ia telah terbiasa menerima tatapan kagum dan histeris dari para penggemar wanitanya.
Tatapan memuja dan penuh harap dari mereka membuat Jaden berbangga hati. Sudah jelas kemana pun ia pergi, para wanita pasti akan selalu mengerumuninya. Bahkan ia yakin seluruh wanita di kantor ini tak mungkin akan bisa menolak pesonanya.
Yah, kecuali mungkin hanya satu orang itu. Satu orang wanita yang tampak tak terpengaruh dengan kehadirannya sejak ia datang tadi. Wanita yang sedang berjalan di depannya itu membuatnya begitu penasaran.
"Apa ini kantor Tuan Greg?"
Seth membuka pembicaraan saat Lilian mempersilakan mereka masuk ke dalam ruangannya.
"Tidak, ini ruangan kerja saya. Saya akan mengantar kalian ke ruang tunggu jika kurang nyaman."
"Tidak, di sini saja. Aku rasa ruangan ini cukup nyaman." Jaden mulai berkeliling dan melihat-lihat isi ruangan Lilian.
"Baik, silakan duduk agar lebih nyaman Tuan-Tuan. Saya akan mempersiapkan kontrak kalian." Lilian mempersilakan para tamunya agar duduk di sofa nyaman untuk menunggunya.
Lilian bergerak menuju meja kerjanya dan bergegas memeriksa tumpukan berkas yang ada di atasnya.
"Ruanganmu sangat nyaman, Lilian." Jaden berkomentar santai.
Bukannya duduk, ia malah berjalan ringan sembari mendekati meja Lilian. Dengan natural ia mulai melihat-lihat apa saja yang menarik perhatiannya di sana.
Seth mulai menggigit bibir bawahnya. Ia hapal dengan sikap dan gerak-gerik Jaden. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan yang mungkin akan terjadi, Seth segera bangkit dari duduknya untuk mengikuti Jaden.
"Terima kasih, Tuan." Lilian menatap Jaden sejenak dan hanya menjawab dengan formal.
Ia sebenarnya sedikit canggung dengan situasinya saat ini. Lilian masih sibuk mencari berkas yang ia butuhkan saat Jaden akhirnya membuka suara lagi.
"Apa kau akan menikah dalam waktu dekat ini? Aku melihat ada buket pernikahan di sini. Aku penasaran seperti apa calonmu nanti." Jaden mulai usil dengan mengambil buket bunga milik Lilian yang tergeletak di sudut meja.
Lilian sejenak mengerjap. Ia merasa sedikit menyesal karena belum sempat membuang buket itu.
"Jaden, bagaimana jika kita duduk saja dan menunggu Nona Lilian untuk mempersiapkan kontrak kita?" Seth mulai waspada dan memberikan tatapan serius pada Jaden.
"Kenapa? Aku hanya mencoba bersikap ramah." Jaden tersenyum lebar sembari meletakkan buket milik Lilian ke tempat asalnya.
"Mari, silakan Tuan-Tuan." Lilian mengarahkan kembali Jaden dan Seth untuk duduk setelah ia mendapatkan berkas yang diperlukannya.
"Ini kontrak yang akan kalian tanda tangani, saya akan membacakan isinya untuk kalian." Lilian membuka berkas-berkas tersebut di atas meja agar dapat dibaca dengan mudah.
"Tidak perlu! Seth bisa memeriksa itu nanti," potong Jaden.
"Baiklah jika begitu. Silakan, Anda bisa menandatanganinya sekarang," Lilian menyodorkan berkas kontrak dan pena untuk Jaden tanda tangani.
"Bagaimana dengan kemejamu yang terciprat noda kopi tadi?" tanya Jaden tiba-tiba. Ia mengungkit lagi kejadian yang Lilian alami tadi.
"Aku lihat kau sudah mengganti kemejamu Lilian?" Jaden tersenyum sembari memperhatikan kemeja Lilian yang telah bersih.
Lilian sedikit terkejut dan sejenak mengalihkan tatapannya karena teringat kejadian yang kurang mengenakkan tadi. "Benar, saya telah menggantinya, Tuan."
Jaden menghembuskan napasnya sejenak, ia kemudian bersedekap. Melipat kedua tangannya di dadanya. "Lilian, bisakah kau tak terlalu formal dan kaku padaku? Kau lihat sendiri tadi, bahkan Greg pun dapat bersikap santai padaku."
"Jaden ..." Seth mulai memperingatkan. "Haha! Maaf, Nona, Jaden memang suka bercanda, mungkin maksudnya adalah ia tak terlalu suka dengan keadaan yang terlalu kaku dan formal, agar suasana lebih menyenangkan.""Seth, taukah kau? Ia bahkan tak pernah tersenyum atau menatapku semenjak aku datang ke kantor ini," keluh Jaden tiba-tiba. Seth yang terkejut dengan ucapan Jaden, mulai memperingati lagi dengan tatapan matanya.
Lilian bergeming, "Maaf, Tuan, saya hanya berusaha bersikap profesional," ia menjawab Jaden dengan tenang dan sesopan mungkin.
"Ck! Aku rasa hanya kau yang bersikap terlalu profesional di sini. Bukankah karyawan periklanan seharusnya tampak cerah, ceria dan menyenangkan?"
"Jaden!" Seth membelalak gemas dengan kelakuan Jaden.
"Aku akan menandatangani kontrak jika kau tak berbicara formal padaku." Jaden menatap Lilian seolah menantangnya.
Disampingnya, Seth sibuk memijit keningnya. Ia seperti pasrah dengan kelakuan Jaden yang tampak jelas sedang mencari gara-gara dengan Lilian. Ia tak tahu mengapa Jaden bersikap seperti itu.
Lilian sejenak menghembuskan napasnya perlahan sebelum berkata, "Baiklah Jaden, silakan menandatangani kontraknya, aku akan mempersiapkan minuman untuk kalian." Kali ini ia tersenyum simpul dan singkat, sebelum kemudian bangkit untuk keluar dari ruangannya.
Jaden dan Seth membeku di tempatnya. Entah mengapa senyum Lilian yang seharusnya tampak ramah tadi terkesan begitu menyeramkan di mata mereka. Mereka hanya menatap kepergian Lilian dengan tatapan seolah tak percaya. Mereka benar-benar tak menyangka dengan reaksi yang Lilian berikan.
"Waah! Ia wanita yang mengerikan!" Gumam Jaden sambil bergidik tak percaya.
____****____
"Jaden! Ya Tuhan, apa kau sudah tak waras? Entah mengapa kau mulai berlaku tak sopan padanya. Mengapa sepertinya kau hendak mencari gara-gara?!" Seth menyemburkan kegeramannya. "Kita di sini untuk bekerjasama dengan perusahaan ini, jadi aku harap kau tak melakukan sesuatu yang aneh lagi, apa pun itu, oke?!" Seth berani berteriak pada Jaden setelah Lilian keluar dari ruangannya. "Seth, taukah kau? Hanya ia wanita di sini yang tak menatapku sejak kedatanganku siang tadi. Bahkan saat pertama kali ia melihatku, wanita itu tampak begitu menghindariku. Aneh!" gumam Jaden sambil seolah sedang menerka-nerka jalan pikiran Lilian. "Bukan wanita itu. Jangan menyebutnya begitu! Namanya Lilian," ralat Seth. "Dan baguslah jika ia tak mempedulikanmu, berarti ia memiliki selera yang tinggi." Seth mengangkat kedua bahunya. "Dan, serius kawan, jangan mencari masalah, oke?" Jaden menggeleng, "Tidak ... tidak. Coba kau pikir, apa kau sebelumnya pernah melihat ada
Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya. Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian. Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya. Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal. Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari d
"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani." Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya. "Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap. "Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin. "Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?" "Tapi, Tuan ..." "Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat m
"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth." Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang. "Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?" "Seth ..." Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian. Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari. "Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung. "Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut me
Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
Lilian telah sampai ke kantor dengan tepat waktu. Walau ia tidak terlambat, tetapi dalam sejarahnya, belum pernah ia berangkat bekerja begitu siang sebelumnya. Ia sedikit menghembuskan napasnya dengan lega saat ia duduk di kursinya. Lilian yang tak ingin membuang waktu lagi segera memulai pekerjaannya hari ini. Walau kakinya yang terkilir masih sedikit berdenyut, ia tak mempermasalahkan hal itu. "Lilian, apa hari ini aku akan mendampingi Tuan Greg lagi?" Silvia yang sudah melihat kedatangan Lilian tadi serta merta menghambur ke dalam kantornya begitu saja. "Ya, Silvia. Bukankah sudah kukatakan bahwa kau akan bertugas mendampingi Tuan Greg untuk beberapa waktu ini." "Tapi, Lilian ...." "Silvia ..." Potong Lilian lagi, "Kau tahu bahwa Tuan Greg akan segera mengurus proyek penting bukan? Jadi, aku harap kau dapat bekerja sama dengan baik." "Lilian, bisakah hari ini kau menggantikanku? Hari ini saja, please? Kau tahu
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u