Lilian menghela napasnya dan kembali mendesah. Gadis berkacamata berambut hitam bergelombang itu tampak sangat gelisah di depan meja kerjanya.
Kemarin saat dirinya menghadiri pesta pernikahan Myan dan Devon yang merupakan putra dari bos tempatnya bekerja, Lilian sudah merasakan firasat yang begitu buruk.
"Ini untukmu, mungkin tidak seberapa, aku harap kau dapat menemukan kebahagiaanmu dan segera menyusulku Lilian."
Ucapan Myan kemarin masih terngiang-ngiang jelas di pikirannya. Lilian ingat ekspresi lembut dan tulus dari Myan saat ia berkata pada dirinya.
Setelahnya, ia merasa tidak tenang karena Myan, istri Devon memberikan sepasang gelang kulit berbandul kristal kepadanya tempo hari. Mengembalikan lebih tepatnya, karena memang gelang tersebut sebelumnya adalah miliknya.
"Kau wanita yang baik, berkat dirimu aku dapat bersatu dengan orang yang aku cintai. Aku berharap kau pun dapat mengalaminya Lilian." Myan tersenyum padanya.
"Ini juga, aku kembalikan. Kami sudah cukup mendapat kebahagiaan yang kami inginkan." Lalu Myan saat itu meletakkan begitu saja sepasang gelang kulit yang ia maksudkan sebelumnya.
Gelang kulit yang konon dapat menyatukan pasangan yang berjodoh itu akan bersinar apabila seseorang bertemu dengan pasangan sejatinya. Dan saat Myan meletakkan di atas telapak tangannya sendiri saat itu, Lilian bersumpah melihat gelang itu bersinar!
Lilian seketika shock dan begitu ketakutan saat dirinya dapat dengan jelas melihat seberkas sinar putih yang bercahaya dari bandul batu kristal tersebut.
Ia sangat ketakutan lalu refleks melempar begitu saja gelang pasangan yang membuatnya bergidik itu di tengah-tengah hamparan taman bunga tempat acara pesta berlangsung. Setelah itu Lilian melarikan diri secepatnya dan pergi begitu saja dari sana tanpa menoleh lagi sedetik pun.
Selama 30 tahun dalam hidupnya, baru kali ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa gelang tersebut benar-benar bersinar di hadapannya!
"Apa gelang itu benar-benar akan membuatku bersatu dengan pasangan jiwaku?" Lilian bertanya-tanya dalam hati.
Seperti yang telah gelang itu lakukan pada Myan dan Devon, gelang pasangan itu menyatukan mereka dengan cara yang unik dan misterius.
"Tidak, semua pasti hanya kebetulan. Tidak mungkin semudah itu aku akan bertemu dengan jodohku kan?" gumamnya lagi sambil menerawang.
Lilian kemudian memandang buket bunga yang masih tergeletak tepat di atas mejanya.
Kemarin tanpa sadar ia membawa buket tersebut ke dalam kantor saat dirinya melarikan diri dari tempat pesta. Lilian yang terburu-buru hanya sempat mengambil berkas penting miliknya, dan tak sengaja meninggalkan buket itu.
Lilian tersenyum sinis dan menggeleng. Dalam hatinya terasa pilu dan pedih saat seseorang memberinya sedikit kehangatan atau menunjukkan perhatian kepadanya.
Lilian tak ingin, Lilian merasa tidak pantas untuk mendapatkan kehangatan atau pun kasih sayang dari seseorang. Siapapun itu.
"Hh! Myan, kau tak tahu apa-apa tentang diriku. Aku bukanlah siapa-siapa." Lilian kembali mendesah dan menyandarkan dirinya pada kursi kerjanya.
Jika orang lain tahu siapa dirinya sebenarnya, ia ragu mereka akan tetap mau bertahan di sisinya tanpa syarat apa pun.
Sampai saat ini ia hanya membuka rahasia kelamnya pada satu orang. Orang itu adalah Tuan Greg. Bos pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Ayah Devon.
Lilian berhasil bekerja di perusahaannya karena ia pernah menyelamatkan Greg dari kematian. Jika bukan karena itu, ia sendiri ragu perusahaan lain akan menerimanya untuk bekerja. Dan hanya Greg yang membantunya bertahan sejak ia remaja hingga saat ini.
Ketukan halus pintu ruangan miliknya, seketika membuyarkannya dari lamunan.
Ya, Lilian memiliki ruangan sendiri dalam perusahaan. Karena kebaikan Greg dan rasa pengertian pria itu padanya, ia dapat leluasa bekerja tanpa perlu banyak berinteraksi dengan orang lain.
"Selamat pagi Lilian! Aku ingin kau memeriksa hasil kerjaku sebelum aku menyerahkannya pada Tuan Greg." Silvia gadis berambut pirang dan bermata biru itu tersenyum cerah padanya.
Silvia adalah sekretaris Tuan Greg. Jika ia ditempatkan di ruangan depan di mana semua orang dapat melihatnya, lain halnya dengan Lilian. Lilian menempati ruangan di belakang Silvia, tepat sebelum tikungan yang menghubungkannya ke lorong kecil dan mengarahkannya ke pintu masuk ruangan Greg.
"Baiklah, letakkan saja Silvia, aku akan memeriksanya untukmu."
"Oke." Seolah mengerti jika Lilian tak suka disentuh, Silvia meletakkan begitu saja tumpukan berkas-berkas di atas mejanya.
"Ah! Satu lagi, apa mungkin kau ingin bergabung dengan kami untuk makan siang nanti? Karena seperti rumor yang aku dengar, hari ini kita akan kedatangan klien penting yang sangat tampan yang akan bekerjasama dengan perusahaan periklanan kita. Apa kau tahu siapa orangnya Lilian?" Silvia tersenyum penuh semangat.
"Dia adalah Jaden! Oh My God! Kau tahu betapa tampan dan menariknya ia sebagai seorang selebriti chef terkenal yang banyak dikagumi oleh para penggemarnya?"
"Aww! Aku tak sabar ingin melihat wajah aslinya dari dekat!" Silvia bercerita dengan menggebu-gebu dan tanpa sadar pula sedikit berjingkrak karena terlalu bersemangat.
Lilian tak memberikan reaksi apa pun selain tatapan datar yang biasa ia berikan pada siapa pun.
"Aku akan memberikan laporanmu tepat saat makan siang. Itu akan ada di mejamu dengan hal-hal yang perlu kau perbaiki nantinya."
Hanya itu saja balasan yang Lilian berikan padanya. Jelas ia tak tertarik sedikit pun dengan cerita Silvia.
"Oke. Dan Lilian, bisakah kau sedikit lebih menyenangkan dan.... ah, sudahlah lupakan saja."
Silvia berhenti berbicara saat Lilian menatapnya dengan tatapan tajam. Ia berlalu dan keluar begitu saja dari ruangan Lilian tanpa menyelesaikan ucapannya.
Lilian menghembuskan napasnya. Sedikit lega karena ia telah terbebas dari celotehan Silvia pagi ini.
Tak berselang lama, telepon di atas mejanya berdering. Lilian segera menerima telepon tersebut karena menandakan sambungan penerimaan telepon dari meja Silvia sedang sibuk.
"Halo selamat pagi, Starry Advertising. Dengan Lilian, ada yang bisa saya bantu?"
"Selamat pagi. Aku Seth sekretaris Tuan Jaden, ingin mengkonfirmasi lagi jadwal pertemuannya dengan Tuan Greg."
"Baik silakan, saya akan mencatat pesan Anda".
"Tuan Jaden kemungkinan akan sedikit terlambat untuk jadwal pertemuan dengan Tuan Greg karena ia masih harus menyelesaikan pemotretan yang telah terjadwal. Bisakah Anda mengatur ulang kembali jadwal pertemuannya dengan Tuan Greg, Nona?"
"Boleh saya tahu, Tuan Jaden ingin menyesuaikan pertemuan pada jam berapa?"
"Sekitar jam dua setelah makan siang. Semoga jalanan tidak padat. Jika ada pemberitahuan perubahan lagi, aku akan mengkonfirmasi kembali."
"Baik Tuan Seth, sudah saya catat. Anda nanti dapat menemui Silvia, sekretaris Tuan Greg. Ia akan mengantarkan Anda dan Tuan Jaden ke tempat ruang pertemuan."
"Baik, terima kasih"
Setelah panggilan terputus, Lilian segera menghubungi Greg untuk memberitahu perubahan jadwalnya hari ini.
Beberapa bulan ini Greg sering memilih untuk bekerja dari rumah. Setelah putra satu-satunya Devon mengalami kecelakaan dan harus menjalani pemulihan, ia sementara waktu memilih untuk menemani putranya dan melakukan pekerjaan-pekerjaannya dari rumah saja.
Dan setelah putranya menikah kemarin, ada kemungkinan Greg akan mulai bekerja lagi di kantor. Terbukti, sudah beberapa hari ini ia memerintahkan Lilian untuk menetap di kantor tanpa perlu kembali lagi ke kediamannya.
Lilian bisa dibilang sekretaris merangkap asisten Greg yang cekatan. Ia tak akan menyia-nyiakan atau menghabiskan waktu kerjanya untuk hal yang menurutnya tak berguna. Selama ini, semua pekerjaan dan kepentingan Greg dapat Lilian atasi dengan cermat dan tepat waktu.
Lilian senang menghabiskan waktu kerjanya untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor yang memang menuntut tanggungjawab yang tinggi. Untuk itu, Greg selalu mempercayakan semua urusan kantor pada Lilian. Karena Greg sendiri telah mengakui kemampuan dan kecerdasan Lilian dalam menyelesaikan pekerjaannya.
****
Tak terasa waktu telah menunjukkan jam makan siang. Laporan milik Silvia yang ia koreksi dan janji ia berikan saat jam makan siang pun telah selesai Lilian periksa.
"Oke, berkas kontrak dan laporan sudah beres." gumamnya puas dengan hasil pekerjaannya sendiri.
Lilian bangkit dari kursinya. Menenteng berkas milik Silvia, dan di tangan yang lainnya ia menggenggam sebuah mug kopi miliknya untuk ia isi ulang lagi.
Pada saat jam makan siang kantor biasanya sepi. Dan ini kesempatan bagi Lilian untuk leluasa keluar masuk pantri kantor tanpa berpapasan dengan banyak orang.
Ia sudah biasa melewatkan jam makan siangnya sendirian. Ia terbiasa makan sedikit biskuit atau buah dan minum kopi atau jus sekadar untuk mengganjal perutnya.
Lilian menuju meja kerja Silvia setelah ia menutup pintu penyekat ruangannya sendiri. Saat ia hendak meletakkan berkas milik Silvia, seseorang tiba-tiba masuk dan menyapanya.
"Halo, selamat siang!"
Seorang pria berwajah menarik dan berbadan ideal dan lebih tinggi darinya melangkah masuk ke dalam ruangan para karyawan.
"Apa kau Silvia? Aku kemari untuk bertemu dengan Tuan Greg," wajah cerah pria itu tersenyum padanya.
Lilian yang terkejut dengan kehadiran pria tak dikenal itu sedikit bersikap waspada. "Maaf, apa Anda sudah membuat janji?" tanyanya kemudian.
"Ya, aku sudah membuat janji. Sebenarnya, aku mungkin datang terlalu cepat dari jadwal yang seharusnya sudah dijanjikan. Aku kemari untuk..."
Mungkin karena pembawaan sikapnya yang terlalu ramah, pria itu secara natural maju untuk lebih dekat dengan Lilian.
Tapi Lilian yang begitu panik karena kedekatan yang tiba-tiba, sontak mundur beberapa langkah untuk menghindari kedekatan pria itu, hingga tanpa sadar heelsnya membelit kabel yang menjulur di antara meja Silvia dan sukses membuatnya terhuyung.
Sialnya kejadian itu membuatnya menumpahkan sisa kopi pada bajunya sendiri!
Beruntung! Karena refleksnya, Lilian berhasil menopang tubuhnya dengan salah satu lengannya sehingga ia tidak sampai terjatuh yang mungkin dapat membuat situasinya lebih memalukan lagi baginya.
"Wow! Kau tak apa-apa? Biarkan aku membantumu untuk ..."
"Jangan!"
Lilian bangkit dari keterkejutannya sendiri saat pria itu semakin mendekat dan berusaha untuk membantunya. Pria itu sendiri tampak sedikit terkejut dengan sikap keras Lilian.
Lilian meraih beberapa helai tisu yang ada di atas salah satu meja rekannya yang lain.
"Maaf. Maksudku terima kasih, tapi saya bisa sendiri." Ia segera membersihkan noda kopi yang terpercik pada kemejanya.
Tak beberapa lama kemudian suara cekikik dan riuh terdengar dari arah pintu masuk.
"Tuan Jadennn?! Oh, ya Tuhan!"
Suara Silvia yang mendominasi, terdengar paling keras di antara karyawan lainnya yang bersamanya. Ia begitu terkejut sekaligus bersemangat mendapati sosok pria yang ada di dalam kantor mereka.
Ia dan dua orang rekan kerjanya yang lain segera berhambur mendekati pria itu dengan wajah berseri-seri.
"Apakah Anda sudah lama datang, Tuan Jaden?" Silvia bertanya dengan nada semanis mungkin.
"Tidak juga, aku datang terlalu awal dari jadwal yang telah dijanjikan."
"Oh benarkah? Perkenalkan, aku Silvia," Silvia mengulurkan tangannya di hadapan Jaden.
"Bagaimana jika kita menunggu di ruang tunggu sebelum kedatangan Tuan Greg? Oh, bagaimana dengan makan siang? Apakah Anda sudah makan siang? Mari bergabung dengan kami agar kami dapat berfoto dan meminta tandatangan Anda. Jika Anda berkenan tentunya, karena kami adalah penggemar Anda!"
Silvia dan dua rekannya yang lain kembali terkikik dan berbinar. Ia memberondong pria itu dengan banyak pertanyaan sembari mengelilinginya dengan genit.
"Tentu!" Jaden tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putih dan rapinya. Ia menerima uluran tangan Silvia.
"Lilian, masih ada waktu sebelum Tuan Greg kembali ke kantor bukan?" Tanya Silvia pada Lilian dengan tatapan penuh pengharapan.
"Satu jam lagi Tuan Greg akan ada di tempatnya." Lilian mengamati jam tangannya sebelum akhirnya menjawab dengan formal.
"Oke, baiklah! Kalau begitu aku akan mengantar Tuan Jaden ke ruang pertemuan sebelum Tuan Greg datang." Silvia mengedip pada Lilian memberinya isyarat ceria.
"Mari Tuan, kami akan tunjukkan ruangan untuk Anda. Bolehkah kami meminta foto dan tandatangan Anda Tuan Jaden?" lagi-lagi Silvia merajuk dengan manja.
"Dengan senang hati. Dan please, panggil Jaden saja nona-nona cantik."
Kali ini Jaden mengerling pada Silvia dan yang lainnya, hingga lagi-lagi mereka berjingkrak sambil menahan pekik histerisnya.
Lilian berjalan dengan tenang melewati mereka menuju pantri tanpa berkomentar apa pun lagi. Dari balik kaca pantri, sangat jelas terlihat Jaden yang begitu bersinar berjalan dengan bangga dibuntuti oleh beberapa karyawan wanita yang histeris melihatnya. Bahkan, beberapa karyawan wanita lainnya juga ikut bergabung ke dalam rombongan 'arak-arakan' Jaden ketika Silvia membawa Jaden keluar dari ruangan utama.
Para pekerja yang dominan wanita di lantai ini seolah begitu terlena dengan euforia kedatangan selebriti tampan ke kantor mereka. Dalam sekejap kantor terasa riuh, sebelum akhirnya hening kembali seiring dengan kepergian Jaden.
Lilian mengaduk kopinya dengan tenang. Ia merasa dapat bernapas lega. Tanpa ia sadari, sendok yang ia gunakan untuk mengaduk cairan pekat miliknya itu bergetar. Tidak! Bukan sendoknya, tapi tangannya lah yang gemetar!
"Hufht!" Lilian membuang napasnya dengan keras.
Lilian bersandar pada meja pantri, meremas kedua tangannya, berharap ia dapat meredakan getarannya. Ia kemudian kembali mengatur napasnya dan menghembuskannya lagi perlahan-lahan. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
Ya. Ia sedang takut. Sangat takut.
Ia memiliki sedikit ketakutan saat bertemu dengan orang asing yang mendekatinya, terutama pria. Dan Jaden tadi begitu mengejutkannya saat tiba-tiba ia mendekat padanya.
_____*****_____Lilian duduk di samping Greg selama meeting berlangsung. Setelah ia menyiapkan ruangan dan materi yang sekiranya sesuai dengan profil Jaden, ia berfokus pada laptopnya dan bersiap untuk mencatat poin-poin penting. "Selamat siang, maaf saya sedikit terlambat." Seth, sekretaris Jaden sendiri ikut bergabung beberapa menit sebelum meeting dimulai. Para peserta meeting lainnya juga telah bersiap di tempatnya masing-masing untuk pertemuan kali ini. Selain dirinya, perwakilan dari divisi Media Planner, Creative Director, serta seorang Account Executive senior kepercayaan Greg juga turut serta di dalam meeting. "Tak apa, silakan bergabung, Tuan." Greg tersenyum santai dan ramah. Klien yang agensi dapatkan kali ini adalah seorang selebriti chef terkenal yang sedang naik daun. Greg tentu saja akan memberikan pelayanan maksimal untuk memenuhi kebutuhan klien penting tersebut. Jaden yang memiliki begitu banyak penggemar sudah pasti akan menjadi magnet yang bagus untuk perusahaan agensi perik
"Jaden! Ya Tuhan, apa kau sudah tak waras? Entah mengapa kau mulai berlaku tak sopan padanya. Mengapa sepertinya kau hendak mencari gara-gara?!" Seth menyemburkan kegeramannya. "Kita di sini untuk bekerjasama dengan perusahaan ini, jadi aku harap kau tak melakukan sesuatu yang aneh lagi, apa pun itu, oke?!" Seth berani berteriak pada Jaden setelah Lilian keluar dari ruangannya. "Seth, taukah kau? Hanya ia wanita di sini yang tak menatapku sejak kedatanganku siang tadi. Bahkan saat pertama kali ia melihatku, wanita itu tampak begitu menghindariku. Aneh!" gumam Jaden sambil seolah sedang menerka-nerka jalan pikiran Lilian. "Bukan wanita itu. Jangan menyebutnya begitu! Namanya Lilian," ralat Seth. "Dan baguslah jika ia tak mempedulikanmu, berarti ia memiliki selera yang tinggi." Seth mengangkat kedua bahunya. "Dan, serius kawan, jangan mencari masalah, oke?" Jaden menggeleng, "Tidak ... tidak. Coba kau pikir, apa kau sebelumnya pernah melihat ada
Lilian meletakkan tas kerjanya begitu saja saat ia sampai ke kediamannya. Rumah mungil yang terlihat sangat nyaman itu ia beli sebulan yang lalu dengan harga yang terjangkau dari seorang wanita tua baik hati tetangga sebelahnya. Edith. Wanita tua yang memiliki rumah dua cluster tepat di sebelahnya itu memberikan setengah cluster miliknya untuk dijual dan ditempati oleh Lilian. Lilian yang awalnya ragu dan menolak untuk pindah bahkan tak pernah terpikirkan untuk membeli rumah sendiri itu, akhirnya menyerah karena bujukan Edith. Ia kemudian menyetujui untuk membeli sebagian rumah Edith itu dengan seluruh tabungannya. Sayang hanya berselang beberapa minggu setelah ia membeli rumah Edith, Edith jatuh sakit hingga akhirnya ia meninggal. Sudah seminggu semenjak kepergian Edith, Lilian masih merasa kesepian dan enggan pulang ke rumahnya sendiri. Ia merasa takut karena dirinya sadar ia sudah tak memiliki tetangga hangat yang menyenangkan lagi yang biasanya selalu menyambutnya setiap hari d
"Lilian, ajukan semua jadwalku hari ini dan tolong bawakan semua berkas yang harus aku tanda tangani." Pagi itu, Lilian mendapat perintah dari Greg saat ia masuk ke dalam ruangannya. "Aku akan mempersiapkan proyek terbaruku, mungkin tidak semua jadwal dapat aku tangani sendiri. Oleh karena itu, kau bisa membantuku dengan beberapa urusan kontrak dan jadwal meeting bukan?" Greg menutup laptopnya, memandang Lilian dengan tatapan penuh harap. "Maaf, Tuan. A ... apa? Maksud saya, saya sendiri tidak yakin apa dapat menyelesaikan beberapa pekerjaan Anda, Tuan. Bagaimana mungkin Anda menyerahkan begitu saja semuanya pada saya?" tanya Lilian tidak yakin. "Kau bisa Lilian. Kau sudah bekerja denganku bertahun-tahun, hanya kau yang mengerti sistem dan cara kerjaku. Jadi percaya dirilah, oke?" "Tapi, Tuan ..." "Tak ada alasan lagi. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Jika ada sesuatu yang tak bisa kau putuskan sendiri, kau tahu kau dapat m
"Terima kasih Tuan, seharusnya Anda menghubungi kami saja, agar Anda tidak perlu repot untuk mengantar berkas kontrak ini." Lilian sedikit kikuk saat Seth berkunjung ke kantornya tanpa pemberitahuan sebelumnya. "Tak apa-apa, tolong panggil saja Seth." Seth mengirimkan sendiri berkas kontrak sewa menyewa yang kemarin Lilian kirim ke email Jaden tepat pada saat jam makan siang. "Baik, apakah ada hal lain lagi yang mungkin masih kurang jelas dalam kontraknya, Tuan?" "Seth ..." Seth kembali mengingatkan dengan halus. Entah mengapa ia masih merasa begitu bersalah saat menatap wajah Lilian. Jelas-jelas Jaden lah yang berulah saat pertemuan terakhir mereka, tetapi Seth yang merasakan perasaan canggung pada Lilian. Pasalnya, ia juga belum sempat meminta maaf atas kelakuan Jaden tempo hari. "Ah, baiklah ..." jawab Lilian canggung. "Maaf, aku tidak tahu jika kemarin Jaden kemari. Jika saja aku mengetahuinya, maka aku akan ikut me
Lelah dengan pekerjaannya hari ini, Lilian memutuskan untuk berendam air hangat pada bathtub sederhananya sesampainya ia di rumah. Lilian selalu berendam air hangat saat dirinya mulai lelah dengan semua pekerjaan yang menumpuk. Dengan membenamkan dirinya dalam air hangat yang nyaman dan menyalakan lilin aromaterapi, ia berharap dapat sedikit membantunya untuk rileks. Karena beberapa hari semenjak dirinya bertemu dengan Jaden, ia merasakan tekanan luar biasa yang benar-benar membuatnya frustasi. Ia tak suka melihat pria itu berada di sekitarnya. Tatapannya yang berubah-ubah membuatnya bingung. Di lain waktu ia bisa tersenyum dengan ramah bak mentari pagi yang cerahnya sangat menyilaukan, tetapi lain lagi saat pria itu bersamanya. Baik ucapannya maupun tatapannya selalu dingin menusuk dan mengintimidasinya. Entah, itu hanya perasaannya saja atau memang Jaden tidak suka padanya. "Oh ... sungguh nyaman sekali," gumamnya dengan puas. Lilian memejamkan matanya untuk fokus merasakan air
Lilian masih membeku di tempatnya. Ia berusaha mencerna ucapan Jaden dengan kepanikan yang terus menyergapnya. Belum lagi kakinya yang berdenyut hebat memberikan sensasi nyeri yang teramat sangat hingga ke puncak kepalanya, membuat Lilian tak dapat berpikir jernih. "Ma ... maaf, apa kau bilang tadi? Rumah ini milikmu? Bagaimana bisa?! Maksudku, ini rumah Edith, dan setahuku ia tidak pernah berencana untuk menjual rumahnya sebelum ..." Lilian terhenti, tercekat. Ada rasa sedih yang menyelimutinya, sehingga ia tak mampu meneruskan ucapannya lagi. "Sebelum ia meninggal maksudmu?!" Jaden menatap tajam Lilian. Dan wanita itu hanya mengangguk pelan dengan sorot pilu yang terpampang nyata di wajahnya. Walau malam ini begitu gelap, dengan lampu temaram yang menyorot dari balkonnya, dan lampu terang benderang yang menyilaukan dari rumah wanita itu, cukup membuat Jaden untuk bisa melihat dengan jelas perubahan sekecil apa pun mimik wajah yang Lili
Dalam tidur lelapnya, dalam dunia mimpinya, Lilian tampak sedang berjalan bertelanjang kaki menyusuri sebuah lorong panjang yang gelap. Ia memusatkan tatapannya pada sebuah cahaya lampu kecil yang bersinar temaram pada tangga meliuk panjang yang menjulang di hadapannya. Perlahan tapi pasti, Lilian menapaki anak tangga satu demi satu yang ada di hadapannya itu. Setiap kali Lilian melangkah, setiap kali pula keadaan di sekitarnya menjadi gelap. Lilian mengerjap, mencoba untuk menggapai segala sesuatu yang dapat diraihnya. Namun semua kosong, gelap, dingin dan tampak tak berujung. Mimpi siapa ini? Begitu gelap, dingin, dan penuh dengan kesesakan. Ya, seperti yang sering terjadi, Lilian sekarang sedang bermimpi. Dan ia sadar. Saat ini dirinya pasti sedang terseret oleh mimpi seseorang. Ia selalu terseret ke dalam sebuah mimpi asing saat seseorang yang terhubung dengannya itu sudah terlelap dan memulai mimpinya. Benar. Lilian memili
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u