"Lilian, ayo kita pulang," ucap Jaden kemudian pada Lilian. Lilian yang masih bimbang meninggalkan Laura, tampak sedikit ragu dengan ajakan Jaden.
"Urusan kita di sini sudah selesai," tegasnya lagi karena melihat kebimbangan Lilian.
Laura menggigit bibirnya dan mulai meneteskan air matanya. Entah mengapa ia merasa sedih dan kecewa saat Jaden meminta Lilian untuk pergi bersamanya. Ia merasa bahwa tak ada seorang pun yang bahkan akan mendengar dan membelanya. Ya, kecuali Lilian. Maka tak heran jika ia merasa kehilangan dan tiba-tiba merasa begitu kesepian.
"Please ... Lilian," lirihnya sembari mencengkeram ujung kemeja Lilian seolah ingin menghentikan kepergiannya.
"Lilian?!" panggil Jaden lagi.
"Bisakah kau hentikan teriakanmu?" tegur Jarvis kemudian. Ia yang sedari tadi hanya mengamati mereka, kini mulai buka suara. Ia menatap Jaden dengan tatapan yang sulit dibaca.
"Benar, hentikanlah keributan kalian," seolah telah mendapat dukungan,
Lilian telah mengenakan gaun tidurnya dan menatap Jaden lagi dengan serius. Ia lalu menghembuskan napasnya dengan perlahan. Saat ini, posisi Lilian sedang duduk berdampingan dengan Jaden di atas ranjang. "Apa kau yakin?" tanya Jaden. Lilian mengangguk dengan tenang. "Jangan pernah menyentuhku apa pun yang terjadi padaku. Biarkan saja aku, sampai aku terbangun dari mimpiku sendiri," jelas Lilian. "Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu dan ...," "Tenanglah, Jaden. Setelah bertemu denganmu, hidupku tidak semenakutkan itu. Perlahan-lahan, aku bahkan mulai dapat menerima kemampuanku ini. Aku akan kembali baik-baik saja saat kau menyentuhku." Jaden mengangguk walau masih merasa enggan. Bukan seperti ini kegiatan akhir pekan yang ia rencanakan. Ia hanya ingin berduaan dan bermesraan dengan Lilian di waktu libur mereka. Tapi karena kedatangan Laura kemarin, semua rencananya menjadi kacau. Lilian yang tampaknya telah siap, mulai merebahkan diri
Saat Lilian keluar dari kamar mandi, ia mendapati Jaden sedang merapikan tempat tidurnya dengan seprai baru, serta lantai kamar yang telah bersih.Lilian mencengkeram jubah mandinya saat ia menatap punggung Jaden. "Ma ... maafkan aku, Jaden," lirihnya.Jaden seketika menoleh dan menghampiri kekasihnya itu. "Hei ... jangan memasang wajah yang seperti itu, Sayang," ucapnya sambil meraih dagu Lilian. "Kau seharusnya menungguku. Bagaimana keadaanmu?"Lilian tercekat dan matanya memanas. Ia mengamati lekat-lekat wajah Jaden. Saat ia teringat lagi wajah Jaden yang bersimbah darah ketika di dalam mimpi, saat itu juga ia tak kuasa menahan perasaannya. Ia kemudian memeluk Jaden dengan erat, membenamkan wajahnya di dadanya dan terisak tanpa suara.Jaden menyambut pelukan Lilian dengan tenang. Ia tahu Lilian sedang berusaha untuk mengatur emosinya. Ia diam dan hanya mendekap kekasihnya tanpa berkata-kata. Dari keadaan Lilian yang sangat kacau, Jaden sudah dapat mend
"Maaf, apa aku terlalu lama?" ucap Seth yang tiba-tiba muncul saat Casey masih duduk termenung di salah satu kursi untuk pelanggan. "Oh, kau sudah sampai? Tidak, tidak terlalu lama," ucapnya sedikit gugup. Sesungguhnya, Casey merasa menit-menit sebelum kedatangan Seth adalah menit terlama dalam hidupnya saat ini. Ia menunggu Seth yang hendak datang tadi dengan begitu gelisah sampai waktu terasa begitu lambat berjalan. "Selanjutnya, apa yang harus kau ambil?" tanya Seth. "Sebenarnya, aku baru mengambil perhiasan ini saja. Baju dan sepatu pesanan Jaden belum kuambil," ucap Casey. "Oke, ayo ikut aku," balas Seth. Ia kemudian berjalan keluar butik dengan diikuti Casey. "Terima kasih Tuan Seth, kami akan mengosongkan butik sebelumnya jika tahu Tuan Jaden akan kemari tadi," ucap seorang pria yang kemudian menghampiri mereka. "Terima kasih, Mark. Ya, tak apa. Pelayanan di butikmu selalu memuaskan," balas Seth. Setelahnya, mereka kelua
Lilian telah siap dengan gaun dan riasannya untuk makan malam di restoran Jaden malam ini. Ia telah berada di kantornya. Ya, di kantornya sendiri untuk menyerahkan beberapa berkas dan laporan penting yang diminta Kevin, tepat saat ia akan berangkat. "Sudah kuduga ini akan terjadi," gumamnya. "Kau tampak cantik, Lilian," ucap Kevin saat menilai penampilan Lilian yang bergaun merah tua di balik mantel hitamnya. Lilian tersenyum simpul. "Terima kasih, Kev. Aku merasa tidak seperti sedang akan berkencan untuk makan malam. Dan terima kasih untukmu, karena membuatku bekerja di malam aku seharusnya berkencan," goda Lilian. "Hei, aku tak tahu kau sedang merencanakan makan malam bersama pria itu. Lagipula Tuan Devon memintaku segera untuk menyerahkan laporan itu." "Tenang, Kev ... aku hanya menggodamu," ucap Lilian lagi sambil tertawa. "Benar, akhir-akhir ini kau jadi sering menggodaku. Seperti pria kekanakan itu," gumam Kevin. "Di mana dirinya
"CKIIIIIIIIT......!!!!!" Rem berdecit keras dari mobil yang Jaden kendarai. Mobil tersebut berhenti seketika di jalanan beraspal yang telah sepi itu. "Apa kau bilang Laura??!" teriaknya terkejut. Ia baru saja keluar dari kediaman pengacaranya, ketika mendapat telepon dari Laura tentang hal yang membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. "Aku tadi mendengar Mom menelepon seseorang ... dan ia mengatakan pada orang itu untuk menemui Lilian dan menyebutkan hal tentang menuntaskan keinginannya di masa lalu yang belum tersampaikan. Itu terdengar seperti hal buruk, dan aku mencemaskan Lilian, tapi aku tak dapat meneleponnya! Maka dari itu aku meneleponmu, Jaden!" ucapnya panik. Sebelumnya Laura sempat mengatakan bahwa Lilian mungkin sedang dalam masalah. Jaden segera menginjak gasnya dalam-dalam. Ia memutus sambungan telepon Laura dan segera menekan nomor lain. Beberapa kali nada dering terdengar sebelum akhirnya Kevin, orang yang dituju menjawab
"Plaakk!!!" Sebuah tamparan keras melayang di pipi Jaden dari seorang wanita mungil di hadapannya yang memburunya dengan tergesa saat ia melihatnya tadi. "Myan! Tenangkan dirimu, Sayang!" Seorang pria yang kemudian menahannya, menariknya ke dalam dekapannya. "Jika sampai terjadi sesuatu dengan Lilian! Maka kau yang harus bertanggung jawab!" ucapnya sambil terisak. "Tenangkan dirimu, Sayang. Kau sedang hamil muda, itu tak akan baik untuk bayi kita," ucapnya. "Kevin, bawa Myan ke tempat tenang, aku akan berbicara dengan Tuan Jaden," lanjutnya. "Baik, Tuan," Kevin kemudian membimbing Myan, wanita yang Jaden dengar namanya dari pembicaraan tadi, keluar dari kamar. Ya, mereka sedang berada di sebuah kamar di rumah sakit. Lilian yang sebelumnya tak sadarkan diri setelah dirinya dan Kevin menemukannya tadi, langsung membawanya ke rumah sakit. Lilian mengalami pendarahan yang cukup hebat karena luka di pahanya, dan dengan lebam d
Jaden terbangun dari tidurnya saat ia mendengar bunyi bergemericik dari arah kamar mandi. Ia yang tadinya tertidur di sisi ranjang Lilian ketika menjaganya, segera bergegas ke dalam kamar mandi karena Lilian sudah tak ada di atas tempat tidurnya lagi.Jaden begitu panik dan terkejut. Ia segera membuka pintu kamar mandi dan mendapati Lilian tengah berdiri di kucuran shower yang mengalir membasahi baju rumah sakit dan tubuhnya. Ia melihat Lilian sedang menunduk dan menangis terisak."Aaaaarrrgggh!!" Lilian berteriak pilu dan menangis sesenggukan. Ia terduduk di atas lantai kamar mandi. Tetesan-tetesan air masih terus membasahinya. Ia perlahan-lahan mencengkeram baju pasiennya dan menyingkapnya hingga memperlihatkan paha terbukanya.Ia menatap perban yang melilit luka barunya di sebelah goresan bekas luka lamanya."Aaarrrgh!! Ugh! Ugh!!!" Lilian menarik perban yang melingkari pahanya dan memukul-mukul pahanya sendiri hingga luka barunya kembali berdarah. Dar
Lilian bersandar di kepala ranjang di dalam kamar Jaden. Ia telah kembali dari rumah sakit atas permintaannya. Ia ingin berada di tempat yang dapat membuatnya lebih tenang. Selama di rumah sakit, Lilian selalu mengalami mimpi-mimpi buruk yang begitu menghantuinya. Ia bahkan masuk ke dalam mimpi buruk Kurt. Tubuhnya yang lemah bahkan tak sanggup menerima itu hingga fisiknya bereaksi menolak semuanya. "Makanlah sesuatu, Sayang," ucap Jaden. Ia begitu terpukul melihat keadaan Lilian. Lilian-nya yang sebelumnya telah ceria, kini terpuruk lagi. Lilian belum dapat melupakan bayang-bayang menyeramkan wajah Kurt yang selalu berkelebatan di benaknya. Ia selalu mengalami gangguan kecemasan saat itu terjadi. "Aku mohon ... jangan siksa dirimu karena monster itu. Maafkan aku karena telah meninggalkanmu," ucap Jaden sambil menggenggam kedua tangan Lilian. "Aku akan selalu di sampingmu untuk menghadapi semua yang kau rasakan. Tapi, aku mohon ... jangan siks