"Masuklah," ucap Jaden memberi perintah pada Laura.
Jaden, Laura dan Lilian sekarang sudah berdiri di halaman depan kediaman keluarga Jarvis, ayah Jaden. Penjaga gerbang langsung membuka pintu dan mempersilakan mobil Lilian masuk saat dilihatnya Jaden, sang tuan muda pemilik rumah turut bersamanya.
"Bisakah kalian mengantarku ke dalam?" tanya Laura seolah enggan. Ia memasang wajah memelas. Saat mereka turun dari dalam mobil setelah selesai memarkir mobil.
"Kau bukan anak kecil lagi, haruskah kami menggandeng kedua tanganmu juga dan menuntunmu masuk!?" balas Jaden.
"Laura? Kau kembali?" Sebuah suara menghentikan perdebatan mereka. Ethan, pria muda bersetelan rapi itu segera berlari menyongsong Laura.
"Ethan ...!" seperti hendak meminta pertolongan, Laura segera berhambur ke arah Ethan.
"Tuan dan Nyonya begitu cemas mencarimu. Apakah telah terjadi sesuatu?" tanyanya cemas. Ia kemudian refleks menatap Jaden yang berdiri dengan tegap di sa
"Lilian, ayo kita pulang," ucap Jaden kemudian pada Lilian. Lilian yang masih bimbang meninggalkan Laura, tampak sedikit ragu dengan ajakan Jaden. "Urusan kita di sini sudah selesai," tegasnya lagi karena melihat kebimbangan Lilian. Laura menggigit bibirnya dan mulai meneteskan air matanya. Entah mengapa ia merasa sedih dan kecewa saat Jaden meminta Lilian untuk pergi bersamanya. Ia merasa bahwa tak ada seorang pun yang bahkan akan mendengar dan membelanya. Ya, kecuali Lilian. Maka tak heran jika ia merasa kehilangan dan tiba-tiba merasa begitu kesepian. "Please ... Lilian," lirihnya sembari mencengkeram ujung kemeja Lilian seolah ingin menghentikan kepergiannya. "Lilian?!" panggil Jaden lagi. "Bisakah kau hentikan teriakanmu?" tegur Jarvis kemudian. Ia yang sedari tadi hanya mengamati mereka, kini mulai buka suara. Ia menatap Jaden dengan tatapan yang sulit dibaca. "Benar, hentikanlah keributan kalian," seolah telah mendapat dukungan,
Lilian telah mengenakan gaun tidurnya dan menatap Jaden lagi dengan serius. Ia lalu menghembuskan napasnya dengan perlahan. Saat ini, posisi Lilian sedang duduk berdampingan dengan Jaden di atas ranjang. "Apa kau yakin?" tanya Jaden. Lilian mengangguk dengan tenang. "Jangan pernah menyentuhku apa pun yang terjadi padaku. Biarkan saja aku, sampai aku terbangun dari mimpiku sendiri," jelas Lilian. "Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu dan ...," "Tenanglah, Jaden. Setelah bertemu denganmu, hidupku tidak semenakutkan itu. Perlahan-lahan, aku bahkan mulai dapat menerima kemampuanku ini. Aku akan kembali baik-baik saja saat kau menyentuhku." Jaden mengangguk walau masih merasa enggan. Bukan seperti ini kegiatan akhir pekan yang ia rencanakan. Ia hanya ingin berduaan dan bermesraan dengan Lilian di waktu libur mereka. Tapi karena kedatangan Laura kemarin, semua rencananya menjadi kacau. Lilian yang tampaknya telah siap, mulai merebahkan diri
Saat Lilian keluar dari kamar mandi, ia mendapati Jaden sedang merapikan tempat tidurnya dengan seprai baru, serta lantai kamar yang telah bersih.Lilian mencengkeram jubah mandinya saat ia menatap punggung Jaden. "Ma ... maafkan aku, Jaden," lirihnya.Jaden seketika menoleh dan menghampiri kekasihnya itu. "Hei ... jangan memasang wajah yang seperti itu, Sayang," ucapnya sambil meraih dagu Lilian. "Kau seharusnya menungguku. Bagaimana keadaanmu?"Lilian tercekat dan matanya memanas. Ia mengamati lekat-lekat wajah Jaden. Saat ia teringat lagi wajah Jaden yang bersimbah darah ketika di dalam mimpi, saat itu juga ia tak kuasa menahan perasaannya. Ia kemudian memeluk Jaden dengan erat, membenamkan wajahnya di dadanya dan terisak tanpa suara.Jaden menyambut pelukan Lilian dengan tenang. Ia tahu Lilian sedang berusaha untuk mengatur emosinya. Ia diam dan hanya mendekap kekasihnya tanpa berkata-kata. Dari keadaan Lilian yang sangat kacau, Jaden sudah dapat mend
"Maaf, apa aku terlalu lama?" ucap Seth yang tiba-tiba muncul saat Casey masih duduk termenung di salah satu kursi untuk pelanggan. "Oh, kau sudah sampai? Tidak, tidak terlalu lama," ucapnya sedikit gugup. Sesungguhnya, Casey merasa menit-menit sebelum kedatangan Seth adalah menit terlama dalam hidupnya saat ini. Ia menunggu Seth yang hendak datang tadi dengan begitu gelisah sampai waktu terasa begitu lambat berjalan. "Selanjutnya, apa yang harus kau ambil?" tanya Seth. "Sebenarnya, aku baru mengambil perhiasan ini saja. Baju dan sepatu pesanan Jaden belum kuambil," ucap Casey. "Oke, ayo ikut aku," balas Seth. Ia kemudian berjalan keluar butik dengan diikuti Casey. "Terima kasih Tuan Seth, kami akan mengosongkan butik sebelumnya jika tahu Tuan Jaden akan kemari tadi," ucap seorang pria yang kemudian menghampiri mereka. "Terima kasih, Mark. Ya, tak apa. Pelayanan di butikmu selalu memuaskan," balas Seth. Setelahnya, mereka kelua
Lilian telah siap dengan gaun dan riasannya untuk makan malam di restoran Jaden malam ini. Ia telah berada di kantornya. Ya, di kantornya sendiri untuk menyerahkan beberapa berkas dan laporan penting yang diminta Kevin, tepat saat ia akan berangkat. "Sudah kuduga ini akan terjadi," gumamnya. "Kau tampak cantik, Lilian," ucap Kevin saat menilai penampilan Lilian yang bergaun merah tua di balik mantel hitamnya. Lilian tersenyum simpul. "Terima kasih, Kev. Aku merasa tidak seperti sedang akan berkencan untuk makan malam. Dan terima kasih untukmu, karena membuatku bekerja di malam aku seharusnya berkencan," goda Lilian. "Hei, aku tak tahu kau sedang merencanakan makan malam bersama pria itu. Lagipula Tuan Devon memintaku segera untuk menyerahkan laporan itu." "Tenang, Kev ... aku hanya menggodamu," ucap Lilian lagi sambil tertawa. "Benar, akhir-akhir ini kau jadi sering menggodaku. Seperti pria kekanakan itu," gumam Kevin. "Di mana dirinya
"CKIIIIIIIIT......!!!!!" Rem berdecit keras dari mobil yang Jaden kendarai. Mobil tersebut berhenti seketika di jalanan beraspal yang telah sepi itu. "Apa kau bilang Laura??!" teriaknya terkejut. Ia baru saja keluar dari kediaman pengacaranya, ketika mendapat telepon dari Laura tentang hal yang membuat jantungnya seketika berhenti berdetak. "Aku tadi mendengar Mom menelepon seseorang ... dan ia mengatakan pada orang itu untuk menemui Lilian dan menyebutkan hal tentang menuntaskan keinginannya di masa lalu yang belum tersampaikan. Itu terdengar seperti hal buruk, dan aku mencemaskan Lilian, tapi aku tak dapat meneleponnya! Maka dari itu aku meneleponmu, Jaden!" ucapnya panik. Sebelumnya Laura sempat mengatakan bahwa Lilian mungkin sedang dalam masalah. Jaden segera menginjak gasnya dalam-dalam. Ia memutus sambungan telepon Laura dan segera menekan nomor lain. Beberapa kali nada dering terdengar sebelum akhirnya Kevin, orang yang dituju menjawab
"Plaakk!!!" Sebuah tamparan keras melayang di pipi Jaden dari seorang wanita mungil di hadapannya yang memburunya dengan tergesa saat ia melihatnya tadi. "Myan! Tenangkan dirimu, Sayang!" Seorang pria yang kemudian menahannya, menariknya ke dalam dekapannya. "Jika sampai terjadi sesuatu dengan Lilian! Maka kau yang harus bertanggung jawab!" ucapnya sambil terisak. "Tenangkan dirimu, Sayang. Kau sedang hamil muda, itu tak akan baik untuk bayi kita," ucapnya. "Kevin, bawa Myan ke tempat tenang, aku akan berbicara dengan Tuan Jaden," lanjutnya. "Baik, Tuan," Kevin kemudian membimbing Myan, wanita yang Jaden dengar namanya dari pembicaraan tadi, keluar dari kamar. Ya, mereka sedang berada di sebuah kamar di rumah sakit. Lilian yang sebelumnya tak sadarkan diri setelah dirinya dan Kevin menemukannya tadi, langsung membawanya ke rumah sakit. Lilian mengalami pendarahan yang cukup hebat karena luka di pahanya, dan dengan lebam d
Jaden terbangun dari tidurnya saat ia mendengar bunyi bergemericik dari arah kamar mandi. Ia yang tadinya tertidur di sisi ranjang Lilian ketika menjaganya, segera bergegas ke dalam kamar mandi karena Lilian sudah tak ada di atas tempat tidurnya lagi.Jaden begitu panik dan terkejut. Ia segera membuka pintu kamar mandi dan mendapati Lilian tengah berdiri di kucuran shower yang mengalir membasahi baju rumah sakit dan tubuhnya. Ia melihat Lilian sedang menunduk dan menangis terisak."Aaaaarrrgggh!!" Lilian berteriak pilu dan menangis sesenggukan. Ia terduduk di atas lantai kamar mandi. Tetesan-tetesan air masih terus membasahinya. Ia perlahan-lahan mencengkeram baju pasiennya dan menyingkapnya hingga memperlihatkan paha terbukanya.Ia menatap perban yang melilit luka barunya di sebelah goresan bekas luka lamanya."Aaarrrgh!! Ugh! Ugh!!!" Lilian menarik perban yang melingkari pahanya dan memukul-mukul pahanya sendiri hingga luka barunya kembali berdarah. Dar
"Dad ...!" panggil Lilian saat melihat Greg berdiri di depan gerbang makam sambil membawa sebuah buket bunga besar."Lilian? Jaden? Kalian kemari juga?" Greg sedikit terkejut mendapati LIlian dan Jaden yang baru saja turun dari mobil dan menghampirinya."Kau ingin menjenguk ibunya Devon, benar?" ucap Jaden."Benar, aku semalam memimpikan Ivone, istriku. Mimpi yang sangat indah dan menyentuh," ungkapnya.Lilian dan Jaden saling bertatapan. "Apa itu adalah mimpi tentang berpiknik di sebuah taman yang hangat dengan keluargamu?" tanya Jaden.Greg menatap heran pada Jaden. "Bagaimana kau ... tahu?" tanyanya takjub."Karena kami pun memimpikan hal yang sama, Dad. Untuk itu, aku akan menemui ibuku hari ini," balas Lilian."Benarkah? Kau rupanya sudah menghilangkan ketakutanmu, Lilian?" ucap Greg."Benar. Aku akhirnya berhasil mengatasinya. Dan saat ini, bukan hanya Dad dan aku yang akan mengunjungi istri dan seorang ibu, Jaden pun aka
"Syukurlah kau tak apa-apa, Sayang," ucap Jaden.Lilian dan Jaden baru saja menerima hasil pemeriksaan kondisi kehamilan Lilian. Dokter kandungan yang memeriksanya beberapa saat lalu, menyatakan kondisi Lilian baik-baik saja."Ya, junior kita pandai bertahan rupanya," ucapnya sambil tersenyum dan mengelus perutnya."Tentu saja. Ia seperti mamanya, yang turut menghajar orang-orang jahat yang berusaha mencelakai orangtuanya," balasnya."Benar," ucap Lilian sambil tersenyum geli.****Di malam hari yang tenang dan sunyi, Lilian yang terlelap dalam dekapan Jaden perlahan-lahan mulai memasuki mimpinya.Bukan mimpi buruk ataupun gelap. Melainkan mimpi yang bersinar dan hangat, sehangat mentari pagi yang menyinari sebuah taman berumput luas yang memiliki danau kecil beserta beberapa naungan pohon-pohon rindang di sekelilingnya."Hei, putri tidur ... apa kau tak ingin menikmati pemandangan hangat pagi ini?" suara lembut yan
Jaden telah bersiap dengan setelan formalnya dan sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Lilian yang muncul dari belakangnya, Segera memeluk Jaden dengan hati-hati."Apa kau gugup?" tanya Lilian."Sedikit, tapi aku tidak akan menunjukkannya. Aku tak ingin dianggap tidak mampu untuk memikul tanggung jawab ini."Lilian tersenyum dan melepaskan pelukannya. "Tak akan ada yang menganggapmu begitu. Kau adalah Jaden, putra keluarga Keegan satu-satunya. Kau bersinar dalam kehidupan selebritis dan juga bidang kuliner yang merupakan karier dan pencapaianmu saat ini. Kau sudah cukup membuktikan pada mereka bahwa kau adalah pria yang sangat kompeten.""Terima kasih, Sayang," Jaden mencium pipi Lilian dengan mesra. Ia cukup mengerti untuk tidak merusak riasan istrinya yang telah cantik itu."Baiklah, jika kau telah siap, mari kita berangkat," ucap Lilian. Jaden tersenyum dan mengangguk.Setelah itu, mereka kemudian bergegas untuk berangkat ke pe
"Kurt tewas. Ia ditemukan overdosis di dalam pondoknya dua hari lalu," ucap Kevin pada Jaden dan Lilian.Kevin kini sedang duduk di hadapan Lilian dan Jaden. Setelah ia mendapat berita tentang kematian Kurt, ia segera melesat untuk menemui Jaden dan Lilian untuk mengabarkan berita tersebut."Ia memakai obat-obatan terlarang yang melampaui batas. Ia tak ada sejarah sebagai seorang pemakai sebelumnya, tapi mungkin setelah hari 'itu' ia memutuskan hal lain," lanjut Kevin.Lilian dan Jaden saling pandang dengan tatapan penuh arti. Jaden meremas lembut jemari Lilian yang sedang menggenggamnya."Kau sudah terbebas darinya, Lilian," ucap Kevin lagi.Lilian memejamkan matanya sejenak dan menghembuskan napas dengan lega. "Aku tahu, Kev, terima kasih karena telah memberitahuku," balasnya."Tak akan ada mimpi buruk lagi bagimu, Sayang," ucap Jaden sambil memeluk Lilian kemudian. Lilian mengangguk penuh haru sekaligus waspada.Ia memang telah ter
Jarvis-lah orang pertama yang mengetahui kabar menggembirakan yang Jaden dan Lilian terima pagi ini. Sama seperti pasangan itu, Jarvis pun sangat gembira mengetahui bahwa ia akan menjadi seorang kakek. Jaden yang awalnya terkejut karena kedatangan Jarvis ke dalam kamar hotel mereka, akhirmya mengerti setelah Lilian menjelaskan kepadanya. Lilian-lah yang mengundang Jarvis ke kamar mereka, agar ia dapat berbicara berdua dengan Jaden. Jaden yang sedang dalam suasana hati bahagia, tentu saja tak dapat menolak permintaan istrinya itu. "Maaf jika aku tak sopan telah memintamu datang, Dad. Tapi aku rasa cuma ini jalan yang dapat aku pikirkan agar Jaden mau bertemu denganmu," ucap Lilian sambil mengantar masuk Jarvis ke dalam ruang tamu kamar tersebut. "Tak apa, aku mengerti. Selamat atas kabar kehamilanmu. Justru aku senang karena telah datang di waktu yang tepat," ucapnya. "Terima kasih. Kemungkinan sebentar lagi, Greg ayah angkatku akan datang juga
Sudah lima hari ini sejak pertarungannya dengan Kurt berakhir, Lilian baru dapat bangun dari ranjang. Ia yang kemudian ambruk karena kelelahan secara fisik dan mental selama beberapa hari itu, hanya dapat berbaring disertai demam tinggi akibat pertarungannya itu. Greg, Devon dan Myan bahkan terkejut melihat kondisi Lilian saat mereka menjenguknya. Tubuh Lilian yang penuh dengan luka lebam itu membuat mereka shock. Mereka yang awalnya tak mengerti, akhirnya paham setelah Jaden perlahan-lahan menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya. "Hai ... Sayang, kau sudah kuat bangun?" ucap Jaden yang terkejut saat melihat Lilian berjalan ke arah dapur. Ia meletakkan pekerjaannya dan berhambur ke arah Lilian. "Bagaimana perasaanmu?" tanyanya sambil membimbingnya. "Aku sudah tak apa-apa. Masih terasa lemah, tapi selebihnya aku baik-baik saja," balasnya. "Duduk saja di sofa agar lebih nyaman. Aku akan membawa sarapan kita ke sana." Jaden membopong Lilian
Lilian melangkah mantap dengan pakaian dan sepatu serba hitamnya. Ia memperhatikan raut wajah Kurt yang begitu terkejut saat ia masuk ke dalam gudang tadi. Raut terkejut Kurt berubah perlahan-lahan hingga akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Ia menatap Lilian dengan binar baru yang semakin bersemangat. "Kau ingin bermain denganku? Kau? Hahaha ...!!" Kurt tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya bergetar. "Kemarilah kelinci kecil ... aku akan mencabik-cabikmu agar kedua penontonmu itu dapat menyaksikanmu terkoyak-koyak dengan kedua tanganku." Kevin yang geram, hendak maju selangkah ketika kemudian Jaden menahannya dan mencengkeram lengannya. "Tenang, Kevin ... jangan biarkan provokasinya mempengaruhimu," cegah Jaden. Kevin hanya menggeram kesal. "Apa kau sekarang takut ... kelinci kecil ... hahaha!!" Kurt dengan nada mengejeknya kembali tergelak. Lilian yang tak terpengaruh sama sekali dengan ocehannya, masih men
"Apa kau yakin?" tanya Lilian pada Kevin yang sedang berdiri di hadapannya. Saat itu mereka sedang berada di lantai basement. Lilian yang baru saja keluar dari mobilnya, dihampiri oleh Kevin yang juga baru datang. Ia kemudian menyapa dan berbicara dengannya. "Ya, itu benar. Ia sedang melakukan sesi pemotretan untuk acara terbarunya, bukan?" "Ya, memang, dan itu berlokasi di sebuah gudang bekas penyimpanan anggur tua," jawab Lilian. "Serius, memangnya tak ada tempat lain yang bisa digunakan selain gudang seperti itu?" tanya Kevin. Lilian tersenyum. "Jaden menerima acara terbaru yang memiliki konsep yang cukup unik. Ia akan melakukan syuting di tempat-tempat terbengkalai seperti gudang-gudang tua penyimpan bahan makanan tertentu, lalu ia mengolah dan memasak di sana dengan bahan yang ada tersebut," jelas Lilian. "Hm ... semacam 'haunted food'?" tanya Kevin. Lilian tergelak mendengar istilah yang digunakan Kevin. "Makanan yang ber
"Kau sungguh hebat, Sayang," gumam Jaden saat mereka telah berbaring bersama di atas ranjang. Ia kembali mengingat lagi bagaimana ekspresi ayahnya saat Lilian dan dirinya berkunjung tadi."Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri dan ayahmu, aku rasa kau mungkin harus mulai membuka diri padanya," ucap Lilian. "Aku rasa, ia mungkin merasakan kesepian sama sepertimu."Jaden menghembuskan napasnya perlahan-lahan. "Apa aku terlalu keras padanya?" tanya Jaden. "Tapi aku tak mungkin memaafkannya begitu saja setelah apa yang ia perbuat pada kami." Ada sedikit perang batin dalam dirinya.Lilian meraih wajah Jaden dan meerengkuhnya dengan lembut. "Lakukan saja apa yang hatimu ingin lakukan, Sayang," balasnya. "Bebaskanlah dirimu, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri juga ayahmu. Aku yakin, perasaanmu akan sedikit menjadi lebih ringan jika melakukan itu,"Jaden mencium bibir Lilian dengan penuh perasaan. Ia sungguh ingin mendengarkan dan melakukan semua u