Justin kembali ke kamar pribadi miliknya. Ruang kamar president suite yang berada di lantai teratas dari gedung mewah sebuah hotel milik keluarganya. Di mana istrinya ada di sana sejak semalam. Ia ingin memastikan apakah Midea sudah bangun atau belum. Karena saat ia meninggalkan Midea, istrinya itu masih tidur dengan lelapnya. Namun Betapa terkejutnya Justin, saat ia mendapati kamarnya yang kosong tanpa ada istrinya di kamar ini. Ia melihat ke arah meja nakas di mana pakaian yang sengaja ia letakkan di sana kini sudah tak ada lagi. "Pasti dia kembali ke kamarnya," pikir Justin yang segera pergi dari sana menuju ke ruang suite family room. Sesampainya di sana, Justin berniat mengetuk pintu kamar di mana tante Alma dan Dean menginap. Mereka memang sudah berada di hotel ini sedari hari pertama saat temannya tante Alma mengikuti sebuah event fashion yang bertaraf internasional itu. Bahkan Midea yang menjadi salah satu modelnya pun turut berhasil mendapatkan gelar juara favorit pilih
Saat Jasmine yang secara spontan menghardik Justin. Seketika itu juga ia menyadari sesuatu yang berubah pada dirinya. Ia meraba lehernya sendiri yang baru saja seperti mengeluarkan suara, meskipun tak sempurna dengan suara yang pernah di milikinya dulu. Antara percaya dan tidak, bahwa suara yang muncul secara spontan yang ia tujukan untuk pria yang ada di hadapannya kini, adalah suara yang memang keluar dari tenggorokannya sendiri. "Suaraku," gumamnya tak percaya sembari terus meraba-raba lehernya. "Suaraku kembali," gumamnya lagi yang mulai diliputi rasa senang. Sementara Justin mulai merasa gelisah saat melihat perubahan sikapnya Midea yang seolah olah tak mengenali dirinya. "Tante, Retha, pak Satria, Suaraku kembali,". ucapnya senang seraya tersenyum lebar. "Aku bisa bicara lagi," ucap Jasmine girang. "Mama, Mama," ucapnya. "Aku harus kasih tau mama, sekarang juga. Mama pasti senang kalau anak gadisnya sudah bisa bicara lagi, tante," ujarnya seraya tersenyum lebar. " Tan
Justin berlari menghampiri tubuh istrinya yang tergeletak di pinggir jalan, yang tengah dikerumuni orang banyak tersebut. Sehingga membuat kemacetan di kawasan tersebut."Mideaaa," teriaknya dengan penuh kekhawatiran.Justin menerobos masuk ke sekerumunan orang-orang yang hanya menatap dengan segala seribu rasa pada istrinya. Entah itu rasa iba atau penasaran bagaimana kondisi dari korban yang terserempet mini bus tersebut.Tanpa menghiraukan segala macam komentar orang-orang tentang dirinya, Justin langsung mengangkat tubuh istrinya yang terdapat beberapa luka di bagian kaki dan tangannya itu, dan dengan segera melarikannya ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan taxi yang lewat."De," panggilnya lirih seraya menggenggam erat tangan wanita yang mulai terlihat pucat itu."Tolong di percepat, pak," pinta Justin pada supir taxi yang sesekali meliriknya melalui kaca spion.Supir taxi tersebut melakukan apa yang di pinta oleh penumpangnya itu. Setibanya di rumah sakit, Justin segera b
Justin tersentak dari lamunannya saat suara tuas pintu dibuka dari luar. Ia menoleh ke arah pintu di mana seorang dokter laki-laki dan dua orang perawat perempuan memasuki kamar ini. Ia pun melepas perlahan tangan sang istri dari genggamannya, karena dirinya tau jika saat ini adalah jadwal pemeriksaan rutin istrinya ini.Justin menunggu dengan sabar sambil memperhatikan dokter yang sedang melakukan tindakan medis pada wanita yang masih betah terbaring di sana."Gimana keadaannya, Dok?" tanya Justin setelah dokter tersebut selesai memeriksakan kondisi ibu kandung dari putranya itu.Dokter tersebut menghela nafasnya sejenak lalu tersenyum kepada Justin."Untuk saat ini mungkin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Segera setelah istri Anda sadar kita akan mengecek kesehatannya secara menyeluruh," cetus sang Dokter."Tapi sebaiknya Bapak silahkan ikut saya untuk menjelaskan hasil dari diagnosa CT scan barusan," lanjut sang Dokter."Baik, Dokter," sahutnya singkat tetapi di diliputi deng
Dalam keadaan tergesa-gesa, Retha dan Satria tiba di rumah sakit setelah mendapat kabar dari Justin tentang keadaan Jasmine. Pasangan suami istri itu segera menemui Justin yang tengah duduk menatap pintu kamar di mana istrinya di rawat saat ini."Bang Justin!" seru keduanya.Justin menoleh ke arah sumber suara dan melihat adik sepupunya beserta istrinya ada di sini. Justin tersenyum simpul dan menggerakkan empat jarinya kepada keduanya agar mendekat padanya. Satria pun menarik lengan istrinya agar mengikutinya."Bagaimana keadaannya Jasmine, bang?" tanya Satria khawatir.Justin menggeleng pelan seraya menghela nafasnya lalu menatap Satria dan Retha."kalian berdua masuklah," titahnya pada adik sepupunya itu."Baik bang, Makasih," ucap Retha seraya melangkah masuk ke kamarnya Jasmine.Sesampainya di dalam. Pasutri itu langsung di panggil oleh wanita yang masih terpasang selang infus di tangan kirinya saat ini."Retha, pak Satria!"."Jasmine," gumam Retha seraya mendekat ke arah branka
Di sebuah ruang praktek Dokter spesialis Bedah Syaraf dua orang pria yang berbeda generasi sedang beradu argument tentang kondisi kesehatannya Jasmine. Dua pria beda generasi yang tak mau mengalah karena masing-masing memiliki alasan untuk mempertahankan pendapatnya."Bagaimana bisa Dokter menyarankan terapi dan pengobatan seperti itu. Di mana-mana pasien tetap harus di bawa ke sebuah klinik untuk membantunya mengingat secara perlahan tentang kenangannya yang hilang. Lalu Ini harus mengikuti jalan pikirannya istri saya. Berarti semua harus mundur ke kehidupan di tujuh tahun yang lalu dong," omel Justin panjang lebar pada seorang Dokter yang telah memberikan saran yang tak masuk akal bagi nya."Yah, memang harus begitu. Boleh saja kita ikuti saran yang seperti anda katakan. Tapi ingat ya? tanggung sendiri resikonya, Karena begitu si pasien keluar dari rumah sakit ini tanpa mengikuti arahan yang saya berikan. Saya lepas tanggung jawab, Dan anda silahkan menandatangani surat pernyataan b
Retha membereskan barang-barangnya Jasmine yang berada di rumah sakit. Hari ini Jasmine di nyatakan sehat setelah menjalani pemeriksaan ulang, dan bisa di pulangkan ke Padang setelah sang Dokter mengeluarkan surat kepulangan Jasmine dari rumah sakit.Sementara Justin hanya bisa melihat dan memperhatikan istrinya itu dari kejauhan saat Retha menuntun Jasmine keluar dari kamar rawatnya. Ia melihat istrinya itu tersenyum meskipun wajah manisnya masihlah terlihat pucat.Satria dan Retha langsung membawa Jasmine ke Bandara saat ini juga di ikuti Justin yang berada di belakang mereka dengan jarak beberapa meter saja.Hal ini di lakukan Justin atas permintaan Satria yang sebaiknya Justin menjauh dulu dari Jasmine, Agar tidak terjadi kebingungan pada wanita itu meskipun sebelumnya Justin pernah di usir oleh Jasmine setelah wanita itu baru tersadar dari pingsannya lantaran di pikirnya Justin salah satu dari tenaga medis di karenakan kebetulan ia memakai kemeja serta celana putih pada saat itu
Mona mengamati kegiatan Justin pagi ini di kamarnya. Ia melihat begitu banyak baju yang di masukkan ke dalam koper miliknya."Mau kemana Justin? kok banyak banget sih barang bawaannya kamu? apa mau meeting ke luar negeri ya?"cecar Mona dengan banyak pertanyaan.Karena biasanya, jika ada yang menyangkut soal hati dan perasaan pada orang yang di sayang, putranya itu seharusnya masih di rundung kesedihan, akibat di tinggal pergi dan di lupakan oleh istrinya yang baru juga tiga hari di nikahi.Putranya itu pasti masih suka melamun dan sulit melakukan apa pun. Persis seperti anak gadis yang tengah patah hati atau istri yang di tinggal mati suami.Yah, seperti itulah Justin. Seorang pria yang terlihat keras dan dingin di luar apa lagi terhadap wanita. Tapi jika sekalinya jatuh cinta akan sulit bagi pria berperawakan indo-eropa itu untuk move on jika sedang patah hati.Namun sekarang ini sangat berbeda dari biasanya. Apa yang di lakukan Justin jauh dari seseorang yang sedang patah hati melai
Matahari menyeruak masuk melalui celah gorden jendela kamar hotel. Cahaya hangat itu menerpa wajah manis dari seorang wanita yang di panggil Jasmine. Pemilik netra hitam pekat itu membuka matanya secara perlahan demi mendapatkan rasa nyaman, saat cahaya itu langsung menerobos mengenai pupil netranya.Netranya menelisik ke segala ruangan, dan tersadar jika Justin telah membawanya ke sini. Apalagi sebuah tangan kekar melingkari perutnya. Ia menyadari jika Justin tengah memeluknya dari belakang. Ia membiarkan sejenak pelukan itu, sebelum rasa amarah membuatnya meradang kembali. Wanita itu memutuskan untuk meninggalkan Justin, lantaran rasa benci menyelimuti hatinya. Jasmine yang kini mengingat dirinya nya juga sebagai Midea. Ingatannya perlahan kembali. Ia mengingat semua hal yang berkaitan dengan Justin.Dadanya terasa sesak. Mengingat rasa sakit yang diberikan oleh suaminya itu. Jalan satu- satunya adalah pergi. Ia muak melihat wajah pria itu. Berbekal pakaian yang telah di siap kan
"Jasmine," pekiknya saat melihat kondisi istri nya yang begitu memprihatinkan. Betapa murkanya ia, saat melihat tubuh Jasmine hanya di tutupi oleh sehelai selimut saja. Ia menetap pria yang tak lain adalah koleganya sendiri."Mr, Aqio," desisnya geram. Ia mengepal tangannya dan mulai meninju wajah pria itu."Brengsek!" makinya."Kau, Sialan! Berani-beraninya kau merusak kesenanganku dan menyerangku!" hardik pria yang hampir seusia Jason.Keduanya saling beradu ketangkasan fisik. Baik Justin dan Mr. Aqio tak mau mengalah, dan merasa benar atas apa yang mereka lakukan. Mempertahankan yang menjadi miliknya.Justin yang masih memiliki stamina bagus berhasil mendorong dan mengunci pria itu di sudut dinding kamar."She is Mine! That is my wife! Kenapa kau menculiknya, Mister!"teriak Justin di depan wajah Aqio.Aqio tersenyum miring lalu tertawa remeh, dan berkata ketus," Dia milikku, jauh sebelum kamu, Justin!""Kau yang merenggutnya dariku, brengsek!" umpat Aqio, lalu dengan amarah yang me
Di keheningan malam, Justin terus melajukan mobilnya sembari menatap layar ponselnya, demi memperhatikan posisi mobil yang sedang dibawa Jasmine.Alisnya bertaut memperhatikan mobil yang dibawa Jasmine, tak bergerak sama sekali. Untungnya Jaraknya semakin dekat dengan dengannya. Justin menepikan mobilnya saat melihat Alan, sang asisten, yang tengah memeriksa kondisi mobil sang istri. Segera ia keluar untuk mencari tau mengenai apa yang terjadi."Alan, mana istri saya?"tanyanya saat tak melihat sosok istrinya."Sepertinya ibu di culik, pak," sahut Alan seraya menunjukkan hasil pencariannya melalui daschcam yang terdapat di mobilnya Jasmine.Seketika itu juga ia terhenyak kaget, dan berteriak panik, "Apa!"Tanpa menunggu, ia pun segera mengambil tindakan,"Kerahkan anak buah kamu, Alan!"."Baik, pak," sahut pria itu mantap.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi seraya memberitahukan pada Arfan tentang keadaan Jasmine yang sebenarnya."Bagaimana bisa, Justin?" tanya Arfan dari seber
Seminggu Sebelumnya...Seorang pria tengah memperhatikan wajah seseorang yang selama ini dicarinya. Ia tersenyum samar saat mengetahui jika wanita yang ia cari-cari selama ini ada di hadapannya."Mm, jadi kamu ada di sini sekarang," gumam pria itu seraya menatap ke arah wanita yang berada di koridor kantor salah satu koleganya."Dia sedang bermain peran wanita Sholehah ternyata. Baiklah, Sayang. Silahkan lanjutkan pekerjaanmu. Aku membiarkanmu. Silahkan nikmati kebebasanmu untuk sekarang, tapi setelah itu, ku pastikan kau kembali kepadaku untuk selamanya," ucap pria itu pelan. Lalu menyesap rokoknya kembali.Ia membiarkan wanitanya pergi. Namun ia tak lupa menyuruh orang-orangnya agar terus memperhatikan dan mengikuti kemana wanita itu pergi.Hingga akhirnya, Ia berhasil mengikuti kemana wanitanya melajukan mobilnya di kegelapan malam. Ia memang menunggu waktu yang tepat untuk mengambil miliknya yang kabur karena ulah agency yang di percayainya selama ini.Dengan cekatan anak buahnya
Sakit hati, itu yang dirasakan oleh wanita yang kini mulai mengingat dirinya sebagai Midea. Meskipun tak semua memorinya kembali. Namun serpihan memori akan kekerasan dan kekejaman dari seorang Justin mulai tampak jelas di benaknya.Ia memperhatikan kamar yang berantakan karena ulahnya, tapi ia tak perduli. Jika bisa ia hancurkan dengan menggunakan bom, pasti akan ia lakukan sekarang juga.Namun nyatanya, Ia hanya bisa duduk meringkuk di sudut ranjang. Memperhatikan kamar yang seperti habis perang. Memang pun ia sedang berperang. Perang perasaan. Perasaan yang tak mampu ia ungkapkan lewat kata. Ia hanya bisa melampiaskan dengan barang.Ia tertawa dalam kesedihan yang tak bisa ia ungkapkan. Lelah sudah pasti. Dadanya sakit. Nafasnya terasa Bahkan tangisnya tak lagi bersuara. Matanya terasa berat. Lalu tertidur dengan tubuh meringkuk di sudut ranjang."Apakah ia benar-benar tertidur?". Tentu saja tidak. Jasmine tak benar-benar terlelap dalam pejaman matanya. Pikirannya masih bermain den
"I-iya, Sebenarnya di malam itu Aku lah yang telah...," Justin tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Berat rasanya mengakui dosanya yang satu ini.Karena dirinya lah Jasmine, Midea menderita, tapi karena keegoisannya saat itu membuat ia tak merasa bahwa dirinyalah iblis yang sebenarnya.Ia menatap Jasmine yang berusaha tenang dan tegar, meskipun didalamnya hancur dan remuk. Ia kembali menundukkan pandangannya. Merasa malu dan bersalah pastinya."Iya, kamu pria itu?benar, kan?" tanya Jasmine memastikan.Justin mengangguk pelan. Tak mampu berucap. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata jujur. Keduanya saling diam. Jasmine menatap Justin dengan tatapan yang menahan amarah. Ia tak tau harus bagaimana meluapkannya."Aku minta maaf, Jasmine. Aku pernah cari kamu. Tapi ga pernah ketemu," ucap pria itu tiba-tiba."Aku menyesalinya. Setiap hari aku berdoa dan berusaha agar kita dipertemukan kembali," ungkap pria itu jujur.Sedangkan Jasmine terdiam menatap Justin dengan ujung matanya. Ia belum
Kepalanya kini begitu sesak di penuhi dengan segala pertanyaan yang berhubungan dengan malam itu. "Bagaimana bisa benda ini ada di sini? Bagaimana bisa? Apa kaitannya Justin dengan ini?".Dadanya bergemuruh saat pikirannya mulai berspekulasi pada apa yang di bayangkannya.Suara dengungan terdengar keras di telinga hingga memenuhi ruang kepalanya. Sakit. Itu yang dirasakannya sekarang. Dengungan itu melengking kuat di telinganya bersamaan petir dan guruh yang datang menyambar apa yang di suka.Kepalanya mulai berdenyut nyeri. Satu persatu memori yang tersembunyi muncul di permukaan secara acak. Berputar. Ia berteriak saat tak kuasa menahan hantaman hebat di otaknya. Namun sayangnya, teriakan itu tak cukup terdengar di telinga orang-orang yang berada di rumah itu.Hanya Jasmine seorang. Ia berusaha kuat menahan sakit di kepalanya dengan memeluk kepalanya sendiri."Aaaaaaaaakh,". Kali ini teriakannya lebih kuat melebihi dari yang sebelumnya. Sehingga cukup terdengar di telinga seseorang
Hujan semakin deras seiring petir yang akan menyambar apa saja yang lewat. Mungkin sebagian orang merasa panik dan takut pada cuaca yang tiba-tiba ekstrim tersebut.Namun tidak bagi wanita itu. yang berada di ruangan yang sebagian dindingnya di pasang kedap suara. Sesekali netranya mengarah ke jendela dan mengetahui jika hujan dan petir telah datang bersamaan. Akan tetapi, ia tak perduli. Pikirannya hanya berfokus pada tulisan tangannya Midea. Entah kenapa, Ia merasa seolah-olah dirinya lah yang menulis semua keluh kesah itu.Jasmine termangu pada kalimat terakhir.*Midea adalah sebuah nama yang entah milik siapa di sandangkan pada ku. Yang semenjak aku menyandangnya seluruh hidupku merasa hampa lalu menderita. Benarkah nama ku Midea?? Dan benarkah aku seorang Midea Hasxander?*."karena di saat aku merenung sendiri. Aku merasa aku bukan lah aku"Serr...darah Jasmine berdesir kuat, saat membaca kalimat akhir dari tulisan tangan seorang Midea Hasxander, mantan istrinya Justin."Aku mer
Pagi yang begitu melelahkan bagi seorang Jasmine. Tak ada kata lain selain gumaman malas mewakili perasaannya yang enggan bangun pagi.Justin, pria yang telah meremukkan tubuhnya, di bawah Kungkungan tubuh kekarnya. Membuat Jasmine minta ampun kali ini. Ia menyesali atas perbuatan nakalnya yang sengaja menggoda suaminya itu.Justin merapatkan tubuhnya ke sang istri sambil mencumbunya, berharap istrinya bangun. Namun gumaman malas kembali terdengar."Hmm, ga mau lagi ni?" bisik pria itu di telinga Jasmine."Hmm, enggak. Capek lah," rengek Jasmine dalam kantuknya.Pria itu terkekeh."Ya, udah. Kalau kamu ngantuk. Tidur aja lagi," ujar Justin.Lalu Ia beranjak dari ranjang ke kamar mandi. Kali ini ia membiarkan Jasmine tidur sepuasnya.Sebuah notifikasi muncul di ponselnya, yang mengharuskan pria itu berangkat pagi-pagi ke kantor cabang yang ada di Bandung. Padahal ia telah berjanji pada istrinya akan melakukan sebuah perjalanan honeymoon ke luar negeri pagi ini.Namun kembali ia harus m