Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.
Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.
“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.
“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.
Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.
“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka. Awas aja kalau kamu ngomong macam-macam,” ancam wanita yang merupakan tante dari gadis tersebut.
Usai mengatakan itu, dua orang yang tidak memiliki hati nurani tersebut melenggang santai keluar rumah bersama beberapa lelaki suruhannya. Tidak ada rasa iba ataupun sedih melihat kejadian di rumah ini.
Gadis tersebut pun bangkit dari duduknya dan segera menelpon seseorang. Ia tidak akan bisa sendirian menghadapi polisi yang akan banyak bertanya nantinya.
Meski dengan tangan gemetar, ia mencoba mencari nama seseorang dikontaknya. Seseorang yang telah lama menjadi sahabatnya. Ia harus mengabarkan kejadian yang baru saja ia alami dan meminta sahabatnya tersebut untuk menemaninya.
“H-halo, Nay …,” ucapnya gemetar saat panggilannya diangkat.
“Halo, De. Eh kenapa suara lo kayak gemetar gitu? Lo kenapa, Dean?” sahut Naya panik.
“Nay … g-gue butuh lo. B-bokap sama nyokap gue, Nay …” Ia tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Dadanya terlalu sesak untuk menjelaskan semua keadaan ini.
“De, lo tetap di sana. Gue ke rumah lo sekarang. Lo tenang, ya,” ucap Nayla.
Deandra Winata, gadis yang baru saja tertimpa kejadian yang begitu naas tersebut terduduk dibalik sofa seraya menggenggam ponselnya erat. Ia tidak sanggup lagi untuk menoleh ke arah mayat orang tuanya.
Tak lama kemudian, Nayla tiba di kediaman Deandra. Nayla yang baru saja masuk ke dalam rumah, terlihat begitu syok melihat lantai yang berceceran darah. Ditambah lagi dengan adanya dua sosok yang begitu sahabatnya cintai sudah terbaring tak bernyawa.
Nayla tersadar saat mendengar isakan dari balik sofa. Ia segera beranjak dan melihat sumber isakan tersebut.
“Dean?” pekik Nayla. Ia segera memeluk Deandra.
“Nayla, Mama sama Papa gue, Nay, m-mereka …” Tangisan Deandra pecah.
Nayla mengusap punggung sahabatnya tersebut.
“Lo tenang dulu, Dean. Udah ada gue di sini. Lo nggak perlu khawatir.”
Suara sirine ambulan dan mobil polisi terdengar bersahutan. Deandra melepas pelukannya dan segera keluar menemui polisi.
“Selamat siang. Apa Anda yang mengubungi kami tadi? Apa benar telah terjadi perampokan di rumah ini?” tanya salah satu polisi yang menghampiri Deandra.
“Ternyata ini yang mereka katakan,” batin Deandra.
“Betul, Pak. Saya yang menelpon tadi. Pak segera bawa orang tua saya, Pak. Mereka terluka,” ucap Deandra seraya menunjuk ke arah orang tuanya.
Polisi tersebut memanggil rekannya yang sedang memeriksa keadaan orang tua Deandra.
“Lapor, Pak. Bapak dan Ibu tersebut sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Kami akan meminta pihak rumah sakit untuk membawanya dan melakukan otopsi,” lapor polisi tersebut.
“Baik, lakukan dengan segera. Untuk yang lain segera cari barang bukti, kemungkinan para perampok itu meninggalkan jejak,” perintah polisi yang berbicara dengan Deandra tadi.
Deandra dan Nayla hanya berdiri diam melihat polisi yang sudah menyebar di rumah ini, juga melihat beberapa perawat membawa jasad kedua orang tua Deandra menuju ambulan.
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&