Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.
“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.
“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.
“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”
Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.
Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”
Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.
Jujur saja, Deandra sudah tidak terlalu memikirkan kepergian orang tuanya. Toh, itu semua udah kehendak Tuhan. Ia masih sedih, pasti, tapi bukan itu yang menjadi fokus pikirannya saat ini.
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang sedari tadi menatap ke arah mereka. Seulas senyum tersungging dari wajah tampannya.
Marvin. Lelaki yang sedari tadi memperhatikan Deandra dari kejauhan. Ia tak kuasa melihat kesedihan yang akhir-akhir ini selalu terpancar dari wajah perempuan yang ia sayangi. Meski di hadapan semua orang ia selalu menampilkan wajah datar, namun Marvin tau, itu hanya sebagai tameng untuk menutupi kesedihan yang ia rasakan.
Marvin berjalan menuju ke tempat Deandra dan Nayla berada. Ia ingin mengajak Deandra untuk ke lapangan, melihatnya bertanding.
“Mau apa, lo?” tanya Deandra dingin saat melihat Marvin berdiri di hadapannya.
“Ikut gue!” Tanpa basa-basi, Marvin menarik tangan Deandra untuk mengikutinya.
Nayla yang melihat kejadian ini hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tidak bisa menghentikan Marvin. Lagi pula, ia percaya pada Marvin. Marvin tidak akan berbuat macam-macam terhadap Deandra.
“Lepas. Lo apa-apaan, sih?” Deandra mencoba menarik tangannya yang dipegang oleh Marvin.
“Lo harus nonton gue tanding futsal. Gue mau lo jadi penyemangat gue.”
“Ogah. Gue nggak mau, ya. Lo jangan maksa gini, dong.” Deandra masih terus mencoba menarik tangannya yang masih digenggam erat oleh Marvin.
Marvin terus menarik Deandra hingga mereka tiba di lapangan. Marvin membawa Deandra menuju tribun penonton dan mendudukkan Deandra di sana.
“Lo tetap di sini sampai gue selesai. Jangan kemana-mana. Nih, gue nitip tas, biar lo nggak bisa pergi,” ucap Marvin. Ia menyerahkan tasnya kepada Deandra.
“Lo kira gue pembantu, lo? Nggak, gue nggak mau.” Deandra berniat berdiri dan pergi dari tribun.
“Nggak boleh. Lo tetap di sini.” Marvin menekan pelan pundak Deandra untuk duduk kembali.
“Sampai gue selesai, lo nggak boleh kemana-mana. Kalau lo pergi, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ancam Marvin.
“Lo ngancam gue? Cih, gue nggak peduli.” Deandra mencoba untuk berdiri kembali dari duduknya.
“Dean …” geram Marvin.
Melihat Marvin yang sedang menahan emosi, Deandra akhirnya mengalah. Ia menyadari dari tadi banyak pasang mata yang melihat mereka. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian.
“Oke, fine. Gue tetap di sini. Puas lo?”
Marvin menyungging senyum, “ good girl.”
Setelah itu, Marvin pergi bergabung dengan teman-temannya yang telah berkumpul. Sebentar lagi pertandingan akan di mulai.
Tidak berapa jauh dari tempat Deandra duduk, ada seorang remaja yang berbeda seragam dengan Deandra menatap mereka garang. Tangannya terkepal pertanda kebencian dan amarahnya sudah memuncak.
“Awas lo, Deandra. Gue nggak akan biarin kebahagian lo ini bertahan lama. Satu per satu gue akan rebut apa yang lo punya, termasuk Marvin,” ucapnya.
***
Pertandingan telah berakhir dengan tim Marvin yang menjadi pemenangnya. Itu berarti SMA Angkasa menjadi pemenang di pertandingan futsal kali ini.
Para siswa mulai berhamburan keluar gerbang karena tidak ada lagi pertandingan yang akan diadakan.
Marvin menghampiri Deandra yang masih setia duduk di bangku tribun. Ia tersenyum senang karena Deandra masih menunggunya dan mengikuti keinginannya.
Marvin mengambil botol minum Deandra yang tengah Deandra pegang. Ia minum begitu saja tanpa meminta persetujuan dari pemiliknya.
“Lo?” Deandra hanya bisa menahan kesal melihat kelakuan Marvin.
“Ah, segarnya. Thanks, ya” ucap Marvin seraya mengembalikan botol minum Deandra.
Deandra meraih botol itu secara paksa dan kemudian menyerahkan tas Marvin yang sedari tadi ia pegang.
“Nih. Lain kali lo cari pembantu, biar nggak nyusahin gue lagi,” ucap Deandra.
Marvin hanya mengedikan bahu lalu mengambil handuk kecil dari tasnya. Ia mengelap sisa-sisa keringat yang masih menempel di tubuhnya.
Melihat hal itu, membuat Deandra kesal dan hendak pergi dari sini. Lagi pula, ia sudah memenuhi keinginan Marvin untuk menjaga tasnya. Jadi, tugasnya sudah selesai.
“Eh eh, mau kemana, lo?” tanya Marvin.
“Bukan urusan lo.”
“Ck!” Marvin meraih tangan Deandra agar tidak pergi.
“Apalagi sih, Vin? Gue kan udah menuhi keinginan lo, jadi gue udah bisa pergi,” ucap Deandra kesal.
“Siapa yang suruh lo pergi?”
“Vin, please, gue capek. Gue mau pulang. Jadi lo lepasin gue sekarang,” pinta Deandra memelas.
“Gue antar lo pulang. Titik. Nggak ada penolakan.” Setelah itu, Marvin melangkah menuju ruang ganti. Mau tidak mau, Deandra harus menunggu Marvin sekali lagi.
Kini Deandra berada di mobil Marvin. Ia sekali lagi mengalah karena ia tidak mau berdebat lagi dengan Marvin.
Deandra menoleh ke kaca jendela. Ia memperhatikan kendaraan lain yang sedang berjalan sama seperti mobil yang sedang ia tumpangi saat ini.
Mobil Marvin berhenti karena lampu merah. Tanpa sengaja, mata Deandra mengarah ke warung tenda yang menjual pecal lele. Memorinya kembali mengingat saat-saat ia bersama orang tuanya menikmati kebersamaan kala itu di warung tenda ini.
Marvin mengikuti arah pandangan Deandra. Ia menyadari pasti ada kenangan yang tercipta di warung tenda tersebut.
“Lo mau makan dulu? Dari tadi mata lo nggak lepas dari warung tenda itu,” tanya Marvin memecah lamunan Deandra.
“Nggak. Langsung pulang aja,” sahut Deandra.
Setelahnya benar-benar tidak ada percakapan lagi. Mobil Marvin pun telah melaju membelah jalanan menuju rumah Deandra.
Kini mereka telah tiba di rumah Deandra. Marvin menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Deandra.
“Thanks, ya, Vin,” ucap Deandra. Setelah itu, ia membuka pintu mobil tersebut.
Marvin langsung menahan tangan Deandra dam segera mengunci kembali pintunya.
“Tunggu. Ada yang pengen gue omongin,” ucap Marvin.
“Apa?” tanya Deandra
“Nanti malam lo gue jemput. Kita makan malam di rumah gue.”
“Nggak usah, nggak perlu. Gue masih bisa makan di rumah,” ujar Deandra.
“Ini permintaan nyokap, lo nggak bisa nolak,” balas Marvin.
“Gue nggak mau, lo ngerti nggak sih?” tolak Deandra.
“Gue bakal tetap jemput lo.”
“Terserah.” Usai mengatakan itu, Deandra segera keluar dari mobil Marvin. Ia tidak suka dipaksa, apalagi oleh Marvin.
Marvin menatap kepergian Deandra. Ia mengulas senyum tulus saat melihat Deandra melangkah menjauhi mobilnya.
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d