Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.
“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.
“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.
Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”
“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.
“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.
“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”
“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.” Tante Sarah menggiring Deandra ke meja makan.
Deandra menatap takjub pada masakan yang tersaji yang dibuat oleh tante Sarah. Seperti yang dikatakan tante Sarah, masakan ini benar-benar istimewa. Itu karena masakan yang tersaji dihadapannya saat ini adalah masakan yang sangat ia rindukan. Sudah lama ia tidak makan masakan ini karena selama ini hanya mamanya yang bisa membuatnya.
“Sayang, gimana? Kamu suka?” tanya Tante Sarah.
Deandra menelan kunyahannya dan tersenyum menatap tante Sarah.
“Suka, Tante. Dean rindu sama masakan ini. Sejak Mama udah nggak ada, Dean nggak pernah makan ini lagi,” ucap Deandra dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Sarah menggenggam tangan kiri Deandra, “mungkin masakan ini rasanya sedikit berbeda dari buatan Mama kamu. Tapi, kalau kamu pengen makan ini lagi, kamu bilang ke Tante, ya. Tante bakal buatin untuk kamu.”
Deandre hanya mengangguk. Begitu terharu dengan sikap tante Sarah yang peduli dengannya.
Usai makan malam, Deandra bercengkrama dengan tante Sarah di ruang tengah. Deandra merasa ia seperti berbicara dengan mamanya. Sikap lembut dan perhatian tante Sarah benar-benar mirip seperti mamanya. Ah, ia sungguh merindukan mamanya sekarang.
“Sayang, kamu jangan sungkan, ya, main ke sini. Tante senang banget kalau ada kamu,” ucap Tante Sarah.
“Iya, Tante, nanti Dean main, deh, ke sini.”
“Oh iya, minggu depan kalian udah mulai ujian, kan? Gimana kalau kamu nginap di sini aja? Sekalian bisa belajar bareng Marvin.”
Deandra berpikir sejenak, kemudian menatap tulus tante Sarah.
“Nggak usah, Tante. Dean belajar di rumah aja. Lagian, Dean udah biasa belajar sendiri kalau mau ujian,” jawab Deandra.
“Hm ... yaudah, deh. Kalau ujian selesai, kamu main ke sini lagi, ya?”
Deandra mengangguk sebagai jawaban. Ia kemudian pamit untuk pulang karena hari juga sudah larut.
“Thanks, Vin, atas ajakan makan malamnya, ya walaupun dengan paksaan. Gue turun dulu.” Deandra hendak membuka pintu mobil namun ditahan oleh Marvin.
“Kenapa?” tanya Deandra seraya mencoba melepas tangannya yang dipegang Marvin.
Tanpa berbicara, Marvin menarik Deandra mendekat lalu mencium keningnya lembut. Hal ini sontak saja mengejutkan Deandra.
Marvin melepas kecupannya lalu menatap Deandra dalam.
“Nggak perlu bilang makasih. Lo bebas datang ke rumah gue kapanpun lo mau. Gue bakal senang banget apalagi nyokap.”
Deandra hanya mengangguk merespon ucapan Marvin. Jujur, ia begitu terkejut dengan perlakuan Marvin. Selama ini, Marvin tidak pernah melakukan hal ini kepadanya.
“Gue turun. Lo hati-hati.” Sesudahnya, Deandra benar-benar keluar dari mobil Marvin.
Ia melihat ke belakang kemudian melanjutkan langkahnya memasuki gerbang rumahnya.
Melihat Deandra telah masuk ke rumahnya, barulah Marvin menjalankan mobilnya untuk kembali pulang. Ia sudah tenang sekarang, Deandra telah selamat sampai rumah.
Begitu sampai di rumah, Deandra berjalan menuju dapur. Ia mengambil minum yang akan ia bawa ke kamarnya.
Saat hendak melewati meja makan, Deandra berhenti. Bayangan tentang keluarganya di meja makan dulu terlintas begitu saja. Dengan perlahan, ia berjalan menuju meja makan dan menyusuri kursi dimana orang tuanya duduk.
Menghela napas panjang, Deandra segera pergi meninggalkan meja makan menuju kamarnya. Ia masih tidak sanggup untuk mengingat kenangan-kenangannya dulu bersama orang tuanya.
Deandra telah mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Deandra termenung menatap langit-langit kamarnya yang ia hias dengan wallpaper awan.
“Ma, hari ini Dean makan masakan istimewa itu, tapi bukan dari Mama. Dean kangen, Ma. Mama baik-baik, ya, di sana sama Papa,” ujar Deandra. Air matanya menetes begitu saja tanpa bisa ia cegah.
Dulu, mama Deandra selalu membuat masakan itu untuk Deandra hingga masakan itu menjadi masakan favorit Deandra.
Tidak mau berlarut, Deandra menaikkan selimutnya dan menutupi sebagian tubuhnya. Ia harus segera tidur agar ia tidak terlambat ke sekolah.
“Gimana, Vin, Deandra sudah kamu antar sampai rumah?” tanya tante Sarah begitu Marvin masuk ke rumah.
“Udah, Mi, calon menantu Mami udah selamat sampai di rumahnya. Mami nggak perlu khawatir,” jawab Marvin. Ia duduk di sofa seberang Mamanya.
“Mami khawatir banget sama Deandra. Apalagi, dia sekarang tinggal sendiri. Terus juga Mami dengar, perusahaan Papanya udah dikelola sama Tantenya. Mami nggak tahu gimana nasib Deandra ke depannya,” ucap tante Sarah.
“Mami tahu dari siapa tentang perusahaan itu?” tanya Marvin.
“Kemarin waktu Mami ngehadiri rapat sama para petinggi perusahaan mitra, Mami lihat Sophie, adiknya Mama Deandra, yang hadir mewakili Winata Group. Dan, dia ngenalin diri sebagai direktur utama Winata Group. Petinggi-petinggi di sana juga bilang kalau perusahaan itu jatuh ke tangan Sophie, bukan pewaris dari Hermawan,” jelas tante Sarah.
“Mami yakin banget kalau semua itu atas ulah Sophie. Dia itu licik. Dia pasti ngehalalin segala cara untuk bisa menduduki posisi tertinggi di Winata Group.”
Marvin mendengarkan penjelasan Maminya dengan saksama.
“Sayang, Mami mau kamu terus jagain Dean, ya. Jangan sampai terjadi apa-apa sama dia,” pinta tante Sarah.
“Pasti, Mi, Marvin pasti bakal jagain Dean. Marvin sayang banget sama dia,” ujar Marvin.
Tante Sarah menatap Marvin sendu, “terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah mau menuruti permintaan Mami.”
Marvin beranjak dari tempat duduknya kemudian memeluk tante Sarah.
“Mi, Mami nggak perlu ngomong kayak gitu. Itu udah jadi tanggung jawab Marvin. Jadi sudah seharusnya Marvin melakukan ini semua.”
***
“Lo udah tahu kabar tentang dia?” tanya Marvin. Ia sekarang sedang menelpon seseorang.
“Udah. Gue udah denger semuanya dari Mami. Gue nggak bakal biarin semua itu terjadi. Dia nggak bakal bisa mengambil apa yang bukan hak nya,” balas seseorang dari seberang sana.
Marvin mengangguk paham, “jadi, apa rencana lo?”
“Lo tunggu aja. Yang penting sekarang, lo jagain dia dengan baik. Lo jagain dia buat gue. Gue titip dia sama lo.”
“Lo tenang aja. Lo serahin semuanya sama gue. Gue pastiin dia akan baik-baik aja.” Marvin mematikan panggilannya setelah selesai berbicara.
Ia memandangi hamparan danau yang tersaji di depannya. Sebuah tekad yang kuat sudah ia bentuk. Ia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan yang telah ia dapat kembali. Ia tidak boleh mengecewakan harapan dari orang yang ia sayang.
***
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.