Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.
Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.
Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.
Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.
“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.
Semenjak kejadian kemarin, Nayla selalu setia berada di samping Nayla. Ia tidak mau membiarkan sahabatnya menanggung duka ini sendirian.
Deandra tetap diam, tapi air mata terus mengalir. Pandangannya juga kosong.
“Papa mama gue, Nay, mereka nggak beneran pergi, kan?” ujar Deandra lirih.
Nayla tidak sanggup mendengarnya. Ia segera mendekap tubuh lemah Deandra dan memeluknya erat. Ia tidak mampu berkata-kata lagi. Hatinya terasa teriris melihat sahabat yang ia sayang benar-benar rapuh seperti ini.
“De, lo nggak boleh kayak gini. Orang tua lo bakal sedih di sana kalau ngeliat lo kayak gini. Lo harus kuat, Deandra. Ada gue di sini,” ucap Nayla. Nayla juga merasakan kesedihan yang sama seperti Deandra. Orang tua Deandra telah ia anggap seperti orang tuanya juga. Ia juga merasakan kehilangan yang mendalam.
“Lo harus yakin, orang tua lo udah bahagia di sana. Lo nggak boleh buat mereka sedih lagi.”
“T-tapi, kenapa mereka pergi secepat ini, Nay? Kenapa?” Isak tangis Deandra mulai terdengar. Apa yang ia tahan sedari tadi telah tumpah begitu saja.
Nayla terus memeluk erat Deandra.
“Ini semua udah kehendak Tuhan, Deandra. Lo harus bisa terima. Lo nggak boleh meratap seperti ini, lo harus bangkit.”
Deandra menarik diri dari pelukan Nayla lalu menatap Nayla.
“Gue harus bisa ngebalas semua perbuatan mereka sama orang tua gue. Gue nggak akan biarin mereka bisa hidup dengan tenang,” ucap Deandra.
Nayla mengangguk menyetujui, “ya, lo harus. Lo harus ngebalas semuanya, tapi dengan cara baik-baik.”
“Maksud lo? Nay, mereka udah ngebunuh orang tua gue. Gue nggak bisa baikin mereka yang udah buat keluarga gue terpisah gini,” ucap Deandra tegas.
“Gue tau. Tapi lo nggak boleh balas mereka dengan perbuatan yang sama kayak mereka. Itu sama aja lo kayak mereka.” Deandra diam. Ucapan Nayla ada benarnya.
Keduanya terdiam. Deandra yang masih sibuk dengan pikirannya, begitu juga dengan Nayla. Ia membiarkan Deandra memikirkan kembali ucapannya.
Saat mereka tengah saling diam, pintu terbuka dengan keras. Di sana terlihatlah wajah dua orang yang sangat tidak ingin Deandra lihat.
“Haduh-haduh, kasihan banget ponakan Tante sedih kayak gini. Maafin Tante, ya, nggak bisa nganter Papa-Mama kamu ke peristirahatan terakhir mereka. Tante sibuk banget tadi,” ucap Sophie – tante Deandra. Raut wajahnya tidak menunjukkan kesedihan sedikitpun.
“Iya, gue juga minta maaf ya, Deandra. Gue bantuin Mama buat ngurus surat pengalihan perusahaan. Jadinya nggak bisa datang ke pemakaman,” ucap Bella – sepupu Deandra.
“Pengalihan perusahaan? Secepat ini?” tanya Deandra dalam hati.
Deandra diam, menahan emosi untuk tidak meledak saat mendengar perkataan tante dan sepupunya tersebut.
“Nggak papa, Tante,” sahut Deandra singkat.
Sophie dan Bella saling memandang dan tersenyum licik. Mereka berdua berjalan mendekati Deandra yang duduk di sofa ruang keluarga.
“Sayang, Tante tau kamu masih dalam keadaan berduka, kita juga ngerasainnya. Tapi, Sayang, perusahaan Papa kamu lagi dalam keadaan maju-majunya, nggak mungkin kan kalau nggak ada yang ngendaliin.”
Sophie mengeluarkan sebuah kertas yang ia ambil dari map yang ia pegang.
“Kamu juga belum cukup umur untuk megang perusahaan. Jadi, Tante mutusin untuk bantu kamu, biar Tante yang ngendaliin perusahaan itu,” ucap Sophie seraya menyerahkan kertas yang sudah ia pegang.
“Kamu tanda-tangani, ya, supaya perusahaan Papa kamu tetap aman,” bujuk Sophie.
Nayla yang berada di samping Deandra menggeram kesal melihat perlakuan Tante Deandra.
“Tan, maaf, aku ikut campur. Tapi Deandra lagi dalam keadaan berduka. Tante harusnya nenangin Deandra, menghibur Deandra biar nggak sedih lagi, bukan ngebahas masalah perusahaan kayak gini,” ucap Nayla kesal.
“Saya tau. Tapi untuk masalah perusahaan ini nggak bisa ditunda. Terima kasih atas saran kamu. Saya juga nggak sekejam seperti yang kamu pikirkan,” ucap Sophie geram. Ia harus bisa menahan emosinya agar Deandra mau menandatangi surat penyerahan pemegang perusahaan.
“Tau nih. Lagian kita juga tau kali kalau Deandra dalam keadaan berduka. Tapi apa lo mau kalau perusahaan papanya Deandra yang lagi maju itu bangkrut karena nggak ada yang mimpin. Lo pikir, dong,” ucap Bella sinis.
Nayla menahan emosinya begitu mendengar jawaban dari ibu dan anak ini. Ia benar-benar tidak habis pikir bisa-bisanya mereka melakukan hal ini kepada Deandra.
Deandra yang sudah tidak tahan mendengar perdebatan antara Nayla dan Tantenya, juga kehadiran tante dan sepupunya ini segera mengambil surat yang diberikan Sophie. Ia kemudian membubuhkan tanda tangan di sana tanpa membaca sedikitpun, pertanda ia menyetujui apa saja isi surat tersebut.
“Dean?!!” Nayla terkejut melihat tindakan Deandra. Ia rasa Deandra terlalu gegabah.
Berbeda dengan Nayla, ibu dan anak yang ada di hadapannya terlihat begitu senang. Akhirnya apa yang mereka inginkan, mereka dapatkan juga.
“Terima kasih, Sayang. Tante akan berusaha untuk membuat perusahaan Papa kamu terus berjalan,” ucap Sophie menahan senyum.
Deandra hanya diam dan mengalihkan pandangannya.
Sophie melihat kembali surat yang sudah Deandra tanda tangani. Namun, seketika ia terlihat murung. Bella yang mengetahui maksud sang mama kemudian bertanya, “kenapa, Ma? Kenapa Mama murung kayak gitu?”
“Sayang, perusahaan om kamu mungkin bisa Mama kendalikan dan masih bisa berjalan, tapi beberapa properti yang om kamu miliki, Mama nggak tahu, Sayang. Entah siapa yang akan mengelolanya. Mama takut, properti-properti itu akan diambil oleh orang lain.”
“Mama nggak mau itu terjadi. Om kamu sudah berusaha keras untuk membangun ini semua, Mama nggak mau tante kamu marah sama Mama karena membiarkan usaha keras suaminya dibiarkan begitu saja,” ucap Sophie lirih.
“Terus gimana dong, Ma?” tanya Bella.
“Entahlah, Mama nggak tau. Tapi yang pasti, Mama akan terus berusaha untuk mencari surat-surat kepemilikan itu.”
Sophie kemudian menatap Deandra, “kamu tenang aja, Sayang, Tante akan bantu kamu untuk nerusin usaha yang udah Papa kamu dapatkan ini,” ucap Sophie pasti.
Sophie melihat Bella dan memberikan kode, pertanda usaha pertama mereka berhasil.
“Ya sudah, kalau begitu Tante pergi dulu, ya, Sayang. Nanti Tante balik lagi.” Sophie mencium puncak kepala Deandra.
“Gue juga balik, ya, Deandra,” ucap Bella seraya memegang pundak Deandra.
“Kamu jagain Deandra, ya. Tante titip Deandra sama kamu,” ucap Sophie kepada Nayla.
Setelah kepergian ibu dan anak tersebut, Nayla mengeluarkan semua uneg-uneg yang ditahannya sedari tadi.
“Iss … kesal banget gue liat tu orang berdua, nggak tau keadaan banget, sih.”
“De, lo kenapa diam aja? Mereka itu udah ngambil alih perusahaan bokap lo. Kenapa lo kasih gitu aja ke mereka?” tanya Nayla.
“Biarin aja. Biar mereka senang. Tapi, lo yang bilang gue harus balas mereka dengan cara yang baik-baik,” jawab Deandra.
Nayla tertegun mendengar jawaban Deandra.
“Dean, lo yang sabar ya. Gue akan selalu ada di samping lo.” Nayla memeluk kembali Deandra.
Diam-diam, Deandra bertekad dalam hatinya, ia akan membalas semua perbuatan tante dan sepupunya tersebut. Ia juga akan mengambil kembali perusahaan yang telah diambil tantenya. Bagaimana pun juga, ia tidak rela menyerahkannya begitu saja. Lihat saja, semua itu akan kembali kepadanya karena dialah yang berhak untuk semua itu.
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.