Share

TINDAKAN GEGABAH

“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.

“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”

Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.

“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.

“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.

“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.

***

Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.

Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendirian apalagi dalam keadaan seperti ini. Namun, Deandra tetaplah Deandra. Ia akan tetap dalam pendiriannya meski Nayla memaksa untuk tinggal dengan berbagai alasan.

Tampilan bingkai foto yang menggantung di dinding kamarnya menjadi fokusnya saat ini. Kembali, bulir-bulir air mata turun tanpa ia minta. Kenangan yang tercipta dalam foto tersebut tergambar dalam benaknya.

“Pa … Ma … kenapa kalian cepat banget perginya? Kenapa kalian nggak bawa Dean juga? Dean kesepian, Pa, Ma. Dean kangen …” rintih Deandra. Ia memeluk erat guling yang saat ini berada di sampingnya.

“Dean harus apa tanpa kalian? Dean nggak tau, Dean bisa hidup atau enggak tanpa kalian.”

Di tengah tangisannya yang memecah, sepintas pemikiran membuat Deandra menghentikan tangisannya.

“Gue nggak bisa kayak gini. Gue nggak bisa hidup tanpa Papa Mama,” lirih Deandra.

Ia pun bangkit dari tempat tidurnya kemudian mencari sesuatu yang pernah ia simpan di dalam laci meja.

Sebuah pisau.

“Dean bakal nyusul Papa sama Mama. Tunggu Dean di sana, ya, Pa, Ma,” ucap Deandra.

Ia kemudian mengarahkan pisau tersebut tepat di pergelangan tangannya. Dengan tekad yang sudah bulat, Deandra menggerakkan pisau tersebut.

Perlahan, setetes darah mulai keluar dari pergelangan tangannya. Ia merasakan perih yang teramat pada pergelangan tangannya tersebut.

Pandangannya sudah mengabur. Ia yakin, sebentar lagi ia akan bertemu dengan orang tuanya. Namun, sekilas Deandra melihat seorang lelaki menarik tangannya yang memegang pisau kemudian membuang benda tersebut. Samar-samar, ia mendengar orang tersebut meneriakkan namanya.

Setelah itu, gelap. Deandra tidak bisa melihat apapun karena ia sudah tidak sadarkan diri.

Suara monitor terdengar nyaring di telinganya. Aroma yang menyengat tercium di hidungnya. Perlahan, matanya terbuka.

“Deandra, kamu sudah sadar?” ucap seseorang.

Setelah menyesuaikan cahaya pada penglihatannya, Deandra menoleh ke asal suara yang berbicara kepadanya.

“S-saya … dimana?” tanya Deandra lemah.

“Kamu ada di rumah sakit. Kamu jangan banyak bergerak dulu, sebentar, saya panggilkan dokter.” Lelaki tersebut keluar untuk memanggil dokter.

“G-gue nggak jadi mati? Gue masih selamat?” tanya Deandra lirih. Ada sebuah kekecewaan yang Deandra rasakan.

Tak lama kemudian, seorang dokter masuk dan memeriksa keadaan Deandra.

“Kondisi Nona Deandra sudah cukup baik. Hanya saja, Nona jangan terlalu banyak bergerak apalagi di bagian pergelangan tangannya. Dia harus banyak istirahat,” ucap dokter tersebut.

“Baik, terima kasih, Dok. Saya akan memastikan Deandra baik-baik saja.”

Dokter pun mengangguk kemudian keluar dari ruangan.

“Bapak?” Deandra menatap lelaki tersebut bingung.

“Kamu jangan banyak berpikir dulu, Deandra. Setelah keadaan kamu membaik, saya akan jelaskan segalanya kepada kamu. Satu hal yang saya harapkan, kamu segera pulih dan tidak mengulangi perbuatan bodoh seperti tadi.”

“Saya pergi dulu. Siang nanti saya akan kembali lagi ke sini.”

Deandra hanya diam mendengarkan. Ia juga masih belum mampu untuk memahami semua ini.

Lelaki tersebut keluar dari ruangan Deandra setelah memastikan keadaan Deandra. Kini, tinggallah Deandra seorang diri.

Dirinya masih tidak menyangka bahwa ia masih hidup. Padahal, ia sudah sangat yakin bahwa perbuatannya beberapa jam yang lalu akan mengantarkannya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya.

Deandra menoleh ke arah jendela yang tidak jauh di sampingnya. Sepertinya sudah pagi. Secercah cahaya matahari menerobos masuk dari balik gorden tersebut.

“Selamat pagi, Ibu Deandra. Bagaimana keadaannya, sudah membaik?” seorang suster masuk untuk memeriksa keadaan Deandra.

Deandra hanya mengangguk.

“Saya sudah periksa dan semuanya normal. Ibu hanya butuh istirahat untuk pemulihan dan diperbolehkan pulang besok.”

“Terima kasih, Suster,” ucap Deandra.

Setelah kepergian suster dari ruangannya, pintu tersebut kembali terbuka. Di sana terlihat sosok Nayla dengan raut wajah cemas.

“Deandra, lo kenapa bisa kayak gini? Lo kenapa nekat banget sih?” ujar Nayla cemas.

“Gue nggak papa, kok,” balas Deandra.

“Nggak papa gimana? Lo itu hampir mati, Dean. Lagian lo kenapa ngelakuin itu, sih?”

“Gue pengen ketemu sama orang tua gue, Nay. Gue nggak mau hidup sendirian.”

“Terus dengan lo ngelakuin itu, lo yakin bisa langsung ketemu orang tua lo? Lo yakin mereka bakal senang sama perbuatan lo itu? Lo mikir nggak, sih?” ucap Nayla marah.

Nayla sudah terlanjur kesal dengan tindakan yang Deandra lakukan. Ia sama sekali tidak menyangka Deandra berpikiran untuk mengakhiri hidupnya seperti itu.

Deandra terdiam mendengar ucapan Nayla.

Nayla kemudian memeluk Deandra. Ia merasakan bagaimana perasaan Deandra saat ini. Sahabatnya ini benar-benar dalam keadaan terpuruk.

“Lo nggak boleh ngelakuin hal gegabah kayak gitu lagi. Lo nggak sendirian, Dean, ada gue. Gue bakal nemenin lo. Gue nggak mau kehilangan sahabat yang gue sayang,” ucap Nayla terisak.

Perlahan Deandra membalas pelukan Nayla, “maaf, maafin gue. Gue janji nggak bakalan lakuin hal itu lagi.”

“Harus. Lo harus janji dan nepatin janji lo.” Deandra mengangguk.

“Terima kasih, terima kasih udah jadi sahabat terbaik buat gue.”

“Ngomong-ngomong, lo kok bisa tau gue ada di rumah sakit?” tanya Deandra.

“Subuh tadi ada yang nelfon gue. Dia bilang kalau lo ada di rumah sakit karena percobaan bunuh diri. Jadi, gue langsung mutusin buat nyusul lo ke sini.”

“Tapi, nyokap gue ngelarang karena nggak ada yang nganterin gue. Nyokap juga ngelarang gue kalau bawa mobil sendiri pagi-pagi buta gitu. Makanya gue bisanya datang sekarang,” jelas Nayla.

It’s oke, lo datang aja gue udah senang banget.”

Nayla menatap sendu Deandra.

“Dean, lo harus kuat, ya. Demi orang tua lo.”

Kabar Deandra yang tengah dirawat di rumah sakit terdengar oleh Sophie dan Bella. Ibu dan anak ini semakin gembira karena dirawatnya Deandra akibat percobaan bunuh diri yang ia lakukan.

“Kenapa nggak mati aja, sih, sekalian. Kan kita nggak perlu repot-repot nyingkirin tuh anak,” ucap Bella.

“Biarin aja. Mau dia mati atau enggak, yang penting perusahaan ini udah ditangan kita. Dia nggak bakal bisa ngerebut kembali,” sahut Sophie.

“Iya, sih, tapi kalau dia mati kan lebih seru, Ma.”

“Udah, nggak usah dipikirin. Buang-buang energi. Lebih baik kita belanja, Mama udah lama nggak beli tas, nih. Tas Mama udah ketinggalan jaman.”

“Ayo deh, aku juga pengen belanja. Percuma, dong, udah kaya tapi nggak bisa senang-senang,” sahut Bella.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status