Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.
Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.
“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.
“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”
“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”
Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.
“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.
Deandra tersenyum remeh.
“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak ada hubungannya sama dia,” balas Deandra.
“Kita liat aja. Yang jelas gue udah peringatin lo. Kalau lo macam-macam, awas lo,” ancam Bella.
“Udah? Sekarang lo bisa pergi,” usir Deandra.
Bella tidak terima dengan perlakuan Deandra yang mengusirnya. Ia menghentakkan kakinya kemudian pergi meninggalkan rumah Deandra.
Deandra menatap kepergian Bella. Ia benar-benar tidak habis pikir, bisa-bisanya Bella mengancam Deandra karena hal yang sepele. Lagi pula, sejak kapan dirinya dan Marvin dekat. Entah dari sisi mana, yang jelas, Bella terlihat cemburu dengan Marvin yang mendekati Deandra.
Malam pun tiba. Deandra terbangun dari tidurnya sedari pulang sekolah tadi. Ia melihat jam dinding kemudian keluar dari kamarnya dan turun ke bawah. Ia menuju dapur untuk minum karena tenggorokannya terasa kering setelah bangun tidur.
Setelah menghabiskan minumnya, Deandra mendengar bel rumahnya berbunyi. Ia mengernyit bingung, seingatnya ia tidak memiliki janji dengan orang lain. Juga, siapa juga yang datang malam-malam begini. Tidak mungkin para pekerja ayahnya kan?
Dikarenakan pembantu di rumahnya sudah pulang, Deandra beranjak dari dapur menuju ruang depan untuk membuka pintu. Ia mengintip dari jendela untuk mengetahui siapa yang berkunjung saat ini.
Begitu mengetahuinya, Deandra membuka pintunya.
“Ngapain lo malam-malam ke sini?” tanya Deandra.
Marvin membalikkan tubuhnya dan melihat tampilan Deandra. Deandra tampak manis walau hanya dengan pakaian tidurnya.
“Seperti yang gue bilang tadi siang, gue mau jemput lo,” jawab Marvin.
Deandra merasa yakin bahwa ia tidak menerima ajakan Marvin tadi siang. Lalu untuk apa lelaki ini ke sini?
“Jemput? Kayaknya gue udah bilang kalau gue nggak mau. Gue yakin lo nggak budek,” ucap Deandra mencoba mengingatkan Marvin.
“Gue juga udah bilang gue bakal tetap jemput lo. Gue yakin lo nggak budek,” sahut Marvin membalas perkataan Deandra.
Deandra merenggut sebal. Ia benar-benar kesal dengan Marvin. Marvin sangat pemaksa. Ia mencoba menutup pintu rumahnya, namun ditahan oleh Marvin.
Marvin menahan lalu membuka paksa pintu rumah itu dan masuk ke dalam. Ia mengabaikan raut wajah kesal Deandra.
“Gue tunggu 10 menit atau gue bakal nginap di sini.” Marvin mendudukkan tubuhnya di sofa dengan angkuhnya. Ia tersenyum kecil melihat raut kesal Deandra karena ancamannya.
Deandra sangat kesal dengan sifat pemaksa Marvin ini. Mau tidak mau, ia terpaksa pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian dan ikut bersama Marvin. Ia tidak mau berakhir dengan Marvin yang menginap di rumahnya.
Hal yang seperti ini yang membuat Deandra berpikir dua kali untuk merespon Marvin yang Nayla katakan bahwa Marvin menyukainya. Ia tidak suka dipaksa.
Ditambah permasalahan keluarga yang membuatnya pusing. Ia tidak mau menambah beban hati dan pikiran dengan merespon setiap kebaikan atau perlakuan Marvin.
Permasalahan yang Deandra hadapi begitu sulit. Ia harus bisa mempertahankan apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia tidak mau apa yang diinginkan tante serta sepupunya itu terwujud. Ya, dua orang jahat itu menginginkan harta kedua orang tuanya. Karena keinginan yang telah berubah menjadi obsesi, mereka nekat melakukan berbagai cara, termasuk melenyapkan nyawa. Deandra akan membalasnya suatu saat nanti.
***
Deandra telah siap dengan dress selutut warna peachnya. Ia terlihat begitu cantik dan manis secara bersamaan dengan make up natural yang menempel diwajahnya. Meski karena paksaan Marvin, Deandra tetap berhias agar tidak mengecewakan tante Sarah, ibunya Marvin, yang mengundangnya.
Tante Sarah telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ya, Deandra telah mengenal tante Sarah sejak ia diperkenalkan oleh Marvin sewaktu awal masuk SMA dulu. Tante Sarah sangat baik padanya, sangat bertolak belakang dengan Marvin yang sangat ia tidak sukai.
Deandra keluar dari kamarnya kemudian turun ke bawah menemui Marvin yang telah menunggunya. Dari tempatnya berdiri, Marvin yang tengah duduk sembari memainkan ponselnya terlihat begitu menawan di mata Deandra. Jika bukan karena perilaku Marvin yang sangat Deandra tidak sukai, Deandra pasti telah menerima Marvin sebagai kekasihnya.
Menyadari ada seseorang yang berjalan mendekatinya, Marvin melepaskan pandangannya dari ponsel yang ia genggam. Ia melihat ke arah tangga, Deandra telah siap dengan riasan yang tidak pernah membuat Marvin merasa bosan. Lagi dan lagi, rasa sayang Marvin bertambah untuk Deandra.
Mata Marvin tidak lepas dari Deandra hingga sesuatu menghantam kepalanya.
“Aww ... sakit. Lo kok gitu, sih?” ucap Marvin seraya mengusap kepalanya yang dipukul oleh Deandra dengan tasnya.
“Punya mata tuh dijaga. Ngapain lo liatin gue kayak gitu, hah?”
“Ya karena gue punya mata, lah. Lagian ada bidadari di depan gue, nggak mungkin gue sia-siain, kan?”
“Is ... bodo ah. Gue nggak jadi pergi.” Deandra hendak kembali ke kamarnya.
“Eh ... eh ... jangan dong. Lo nggak kasian sama nyokap gue yang udah nunggu di rumah?” Marvin menahan tangan Deandra.
Deandra dibuat kesal oleh Marvin. Ia kemudian berjalan meninggalkan Marvin menuju teras rumah, tempat mobil Marvin terparkir.
“Jangan bengong gitu, dong. Senyum dikit, kek, elah,” ujar Marvin. Mereka telah berada di mobil menuju rumah Marvin.
Deandra hanya diam saja. Ia tidak akan menanggapi apapun bentuk celotehan Marvin. Ingat, dia berada di mobil ini karena paksaan dan karena mempertimbangkan perasaan tante Sarah.
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri
Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.SMA Swasta Angkasa, namanya.Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.“Deandra?” panggil seseorang tersebut..Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya d
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean