Satu bulan telah berlalu setelah kejadian yang menimpa keluarga Deandra. Kini, Deandra memulai kehidupannya yang baru tanpa kehadiran kedua orang tua yang selalu berada di sisinya. Ia harus bisa menerima kenyataan ini dan bertahan hidup, demi impiannya dan juga impian kedua orang tuanya.
Ia juga telah kembali sekolah setelah dirawat pasca tindakan gegabah yang ia lakukan pada saat itu. Semua berlalu begitu cepat. Terkadang, Deandra masih tidak menyangka ia bisa melewati hari-hari tersulitnya.
Kini, Deandra sedang berada di sekolah. Sekolah swasta ternama yang banyak diminati ini telah menjadi tempat dimana ia menimba ilmu selama 3 tahun ini. Ya, ini adalah tahun terakhirnya di sekolah ini.
SMA Swasta Angkasa, namanya.
Deandra berjalan melewati taman sekolah untuk menuju ke kelasnya saat seseorang memanggilnya dari arah belakang.
“Deandra?” panggil seseorang tersebut..
Mendengar namanya dipanggil, Deandra menghentikan langkahnya dan berbalik melihat siapa yang memanggilnya.
“Elo? Kenapa?” sahut Deandra ketus.
“Dih santai, dong, ketus amat,” ucap seseorang tersebut.
Deandra memalingkan wajahnya, enggan melihat lelaki dihadapannya ini.
“Gue turut berduka cita, ya, atas kepergian orang tua lo. Sorry gue telat karena gue baru balik pertukaran pelajar kemarin,” ucap lelaki tersebut dengan tulus.
Deandra menoleh kembali ke arah lelaki tersebut. Ia melihat ketulusan dari mata lelaki di hadapannya ini.
“Iya, nggak papa. Thanks, ya, Vin.”
Setelah mengatakan itu, Deandra melenggang pergi. Marvin, lelaki yang berbicara dengan Deandra, hanya mengulas senyum. Ia sudah terbiasa dengan sifat Deandra yang seperti ini.
Deandra Winata, anak tunggal dari pasangan Hermawan Winata dan Melinda Soraya, merupakan gadis yang cuek terhadap lingkungannya. Ia bersikap hangat dan ramah hanya kepada orang tua dan teman dekatnya. Ia merasa tidak perlu bersikap berlebihan kepada orang lain karena ia tidak tahu apa maksud dari kebaikan orang tersebut kepadanya.
Seperti yang ia alami saat ini. Ia memiliki tante dan sepupu yang hanya baik jika ada maunya. Ia diperlakukan dengan sebaik mungkin sampai apapun keinginan yang mereka inginkan, mereka dapatkan.
“Dean, tadi Marvin nanyain lo ke gue. Lo udah ketemu sama dia?” tanya Nayla. Mereka sedang berada di kelas.
Deandra hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia sedang fokus terhadap soal yang diberikan oleh guru matematikanya saat ini.
“Kalau gue pikir-pikir, Marvin kayaknya beneran suka sama lo, deh. Buktinya dia nggak nyerah dekatin lo dari awal kita masuk SMA,” ucap Nayla seraya menulis dibukunya.
Deandra memutar matanya malas, “udah deh, lo nggak usah bahas dia. Kerjain tuh soalnya.”
***
Sepulang sekolah, Deandra memiliki janji untuk menemui seseorang. Ia segera bergegas pulang dan melajukan mobilnya menuju tempat yang dijanjikan.
“Selamat siang, Pak. Maaf saya datang sedikit terlambat,” sapa Deandra begitu tiba di sebuah kafe.
“Siang, Deandra. Tidak masalah, saya juga baru tiba. Ayo, silakan duduk.”
“Gimana sekolah kamu, lancar?” tanyanya.
Deandra mengangguk, “ya begitulah, Pak. Lagi pula saya baru sekolah beberapa minggu ini.”
Lelaki yang disapa ‘Pak’ oleh Deandra itu menatap Deandra lekat. Ia merasa iba dengan takdir yang sedang ditanggung gadis berusia 17 tahun ini.
“Saya tau kamu masih dalam keadaan berduka. Tapi, kamu harus mengenyampingkan hal tersebut. Kamu harus fokus untuk masa depan kamu, Deandra. Sekarang, tanggung jawab Papa kamu berpindah ke tangan kamu. Kamu satu-satunya harapan beliau.”
“Seperti yang saya katakan pada kamu saat itu, apapun yang kamu butuhkan, kamu katakan kepada saya. Saya akan membantu kamu.”
Deandra memilin rok sekolahnya saat mendengar ucapan lelaki di hadapannya saat ini. Lelaki yang menyelamatkan hidup Deandra saat ia mencoba mengakhiri hidupnya saat itu, ternyata beliau adalah tangan kanan papanya. Lelaki yang ia panggil Pak Setya tersebut berhasil menyelamatkan serta menyadarkan Deandra akan hal bodoh yang pernah ia lakukan.
“Pelan-pelan, Deandra. saya yakin kamu bisa memahami semua ini dengan perlahan. Untuk saat ini, yang harus kamu lakukan adalah menyelesaikan sekolah kamu dengan baik dan melanjutkannya ke jenjang perguruan tinggi. Dengan begitu, kamu akan bisa memahami apa yang kamu lakukan untuk mempertahankan hak kamu yang mereka ambil,” ucap Pak Setya.
“Saya akan melakukan semua saran Bapak. Saya juga nggak mau usaha Papa dan Mama diambil begitu saja oleh mereka.”
Pak Setya mengangguk setuju. Ini yang ia inginkan dari seorang Deandra.
“Saya akan membantu kamu semaksimal mungkin. Papa kamu telah berbuat banyak untuk hidup saya selama ini. Ini saatnya saya untuk membalas perbuatan baik beliau meski saya rasa itu tidak akan cukup.”
“Apapun yang kamu inginkan, Deandra, saya siap membantu kamu,” ucap Pak Setya.
“Terima kasih, Pak. Tanpa Bapak saya juga nggak mungkin bisa berada di sini.”
Sejenak Deandra terdiam. Ia memikirkan sesuatu yang telah lama bersarang dibenaknya.
“Pak, ada satu hal yang ingin saya katakan. Sebenarnya, hal ini sudah saya pikirkan sejak Bapak menjelaskan segalanya kepada saya saat itu di rumah sakit,” ucap Deandra.
“Apa itu? Kamu bisa katakan.”
Deandra berdehem, “begini, Pak, sebentar lagi saya akan lulus SMA. Saya berpikiran untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Apa Bapak bisa bantu untuk mengurus semuanya?”
Pak Setya diam sesaat mendengar permintaan Deandra.
“Tapi, kenapa di luar negeri? Apa kamu sanggup meninggalkan rumah yang penuh dengan kenangan itu?” tanya Pak Setya.
Deandra menghela napas pelan. Ia juga masih bingung.
“Kamu pikirkan lagi keputusan kamu ini. Jangan bertindak gegabah. Saat ini, tindak dan gerak kamu sedang dipantau oleh tante dan sepupu kamu. Jangan sampai mereka melakukan sesuatu yang akan merugikan dan menghambat kamu nantinya,” jelas Pak Setya.
“Baik, Pak, saya akan pikirkan lagi ucapan Bapak,” ucap Deandra mengangguk paham.
Usai bertemu dengan Pak Setya, Deandra memutuskan untuk pulang. Ia merasa tubuhnya begitu lelah meski ia tidak melakukan banyak kegiatan. Jelas saja, lelah yang ia rasakan bukan hanya dari tubuhnya, tapi hati dan pikirannya.
Deandra telah tiba di rumah. Rumah yang merupakan salah satu peninggalan orang tuanya. Beruntungnya, tante Sophie tidak berniat untuk mengambil rumah ini juga. Kalau itu terjadi, Deandra tidak tau harus bagaimana.
“Ma, Pa, sekarang rumah benar-benar sepi. Dean kesepian, Ma, Pa,” monolog Deandra.
Ia terduduk di sofa ruang keluarga dan mengamati seluruh isi rumahnya. Dulu, rumah ini selalu berisi canda tawa ia dan orang tuanya.
Karena kelelahan, Deandra tertidur di sofa. Ia meringkuk memeluk tubuhnya sendiri, seolah-olah merasakan pelukan kedua orang tuanya.
Sekolah hari ini terlihat ramai. Bukan hanya dari siswanya tapi juga berasal dari siswa sekolah lain. Mereka berbondong-bondong mendatangi SMA Angkasa untuk menonton pertandingan futsal. Ya, sebelum melaksanakan ujian nasional, sekolah selalu menyelenggarakan pertandingan antar sekolah untuk membuat siswanya fresh sebelum ujian.“Oi, bengong ae, lo. Nggak ke lapangan?” Nayla memergoki Deandra yang termenung di taman sekolah.“Enggak. Males,” sahut Deandra datar.“Buset. Lo kenapa, sih? Jangan murung terus, lah, bentar lagi kita mau ujian terus lulus, happy dong.”Deandra hanya diam sembari menatap area kolam kecil di taman ini.Nayla menyentuh pundak Deandra, “Dean, gue tau lo masih sedih. Tapi apa lo mau kayak gini terus? Lo nggak kasihan sama orang tua lo, ngeliat lo kayak gini?”Deandra masih tidak menyahut. Pikirannya saat ini tidak bersama raganya.Jujur saja, Dean
Baru saja Deandra menutup pintu rumahnya, pintu tersebut kembali di ketuk. Entah siapa yang datang membuat Deandra kembali membuka pintu tersebut.Deandra terdiam menatap seseorang yang mendatangi rumahnya saat ini. meski sedikit terkejut, Deandra mencoba untuk menutupinya.“Mau apa lo ke sini?” tanya Deandra to the point.“Chill, Sis. Suruh masuk dulu, kek. Masak lo biarin tamu berdiri di depan pintu.”“Nggak usah basa-basi, Bel, lo ke sini pasti ada maksud kan?”Bella tersenyum sinis mendengar ucapan Deandra.“Iya. Gue ke sini mau peringatin lo. Lo jangan coba-coba dekatin Marvin. Dia itu gebetan gue. Kalau sampai gue liat lo jalan sama dia, lo liat aja apa yang bakal gue lakuin,” ucap Bella tegas.Deandra tersenyum remeh.“Lo pikir gue yang ngedekatin Marvin? Lo salah besar. Terserah mau dia itu gebetan lo kek, pacar lo kek, gue nggak peduli. Gue nggak a
Setibanya mereka di rumah Marvin, Marvin keluar dari mobilnya kemudian sedikit berlari menuju pintu samping, membuka pintu Deandra. Setelahnya, mereka berjalan beriringan masuk ke rumah.“Wah tamu Tante udah datang, ayo, sini, Sayang,” ucap Tante Sarah saat melihat Marvin datang bersama Deandra, lalu mengajaknya masuk ke dalam.“Selamat malam, Tante. Maaf, Dean datangnya terlambat,” ujar Deandra.Tante Sarah tertawa ringan, “nggak apa-apa, Sayang, yang penting kamu udah ada di sini.”“Biasa, Mi. Perlu dipaksa dulu anaknya,” sambung Marvin yang dibalas delikan tajam Deandra.“Jadi kamu paksa, Vin? Kan Mami udah bilang kalau Deandra nggak mau jangan dipaksa,” ucap tante Sarah seraya memukul pelan bahu Marvin.“Aduh, Mi, kalau nggak gitu nggak bakal mau anaknya.”“Yaudah terserah kamu, Vin. Ayo, kita ke meja makan, Tante udah siapin masakan istimewa buat kamu.&
Jeritan tangis menggema di seluruh ruangan tanpa ada yang mencoba mendekat. Suasana pilu itu hanya ia hadapi sendiri. Dua orang yang begitu ia sayangi kini telah tergeletak bersimbah darah di depannya.Tidak ada seorang pun di ruangan ini yang mengiba kepada seorang gadis berusia 17 tahun itu. Semuanya hanya diam menatap tangisan pilu yang terdengar. Benar-benar diam, seolah hati mereka mati untuk menolong sesama.“Sudahlah, mau kamu tangisi sampai kapanpun orang tua kamu nggak bakalan bisa hidup lagi,” ucap seorang wanita dengan pandangan remeh.“Tau tuh. Lagian bagus dong, kamu bisa hidup bebaskan?” sahut seorang remaja di samping wanita tersebut.Ditengah tangisannya, diam-diam gadis tersebut mengepalkan tangannya. Ia tidak terima dengan perkataan tante dan sepupunya tersebut.“Kalau kamu masih mau di sini, ya sudah, terserah kamu. Sebentar lagi polisi akan datang untuk mengusut ini semua. Kamu harus hadapi mereka.
Orang tua Deandra telah selesai dimakamkan. Biasanya, keluarga adalah orang paling terakhir yang ada di pemakaman, tapi kali ini berbeda. Deandra lebih memilih pulang lebih dulu dari pada para pengantar. Alasannya satu, ia tidak ingin berlama-lama di sana dan berlarut dalam kesedihan yang mendalam.Hanya ia sebagai keluarga yang hadir pada pemakaman itu. Tante dan sepupu yang notabennya adalah saudara kandung dari mamanya tidak terlihat di sana. Deandra jelas tau alasannya. Ia juga tidak menginginkan kehadiran dua orang itu di tempat peristirahatan terakhir orang tuanya.Kini, Deandra terduduk menatap seluruh ruangan rumah yang kosong. Hanya dirinya yang tersisa.Buliran air mata terus saja mengalir. Tanpa suara.“De, udah dong. Lo jangan kayak gini. Lo boleh kok nangis meraung sekarang, nih, pundak gue siap basah karena tangisan lo. Tapi lo jangan diam kayak gini. Gue bingung harus ngapain,” ucap Nayla membujuk Deandra.Semenjak kejadi
“Hahh … akhirnya, Ma, kita dapetin juga perusahaan Om Hermawan. Duhh aku senang banget,” ucap Bella girang.“Mama juga, Sayang. Apa yang kita impikan dari dulu akhirnya tercapai. Mama nggak sabar dapetin harta om kamu yang lain.”Bella dan Sophie kini tengah merayakan keberhasilan mereka di sebuah kafe.“Ma, kita harus dapetin surat-surat kepemilikan properti itu sebelum Deandra. Kita harus cari tau dimana om Hermawan menyimpannya,” usul Bella.“Kamu benar. Sebelum Deandra yang dapetin, kita harus lebih dulu. Mama nggak mau dia hidup enak karena harta orang tuanya,” ucap Sophie.“Iya, aku juga nggak mau. Udah cukup dia hidup enak selama ini. Sekarang giliran aku,” sahut Bella.***Malam telah tiba. Deandra kini tengah berada di kamarnya. Hanya sendiri sebab Nayla diminta Deandra untuk pulang.Nayla awalnya menolak karena ia tidak mau meninggalkan Deandra sendiri