Seperti hari-hari sebelumnya, Dewa tak pernah menghiraukan ucapan Rengganis. Dewa melangkah semakin menjauh, meninggalkan Rengganis di dalam kamar yang mewah namun kamar itu seperti tak bernyawa. Sesaat setelah pintu ditutup dengan kencang, disitulah tangis Rengganis luruh. Wanita cantik yang tak pernah melepaskan hijabnya selain kepada mahramnya itu tak kuasa membendung butiran air mata yang menerobos keluar.
Rengganis memejamkan matanya sekuat mungkin, berharap air matanya dapat berhenti. Namun, justru air matanya meluncur dengan deras. Sungguh, ia tak ingin lagi meratapi apa yang terjadi dalam pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya. Hal menyakitkan seperti ini sudah sering terjadi sejak awal pernikahan mereka. Namun, rasa pedih kali ini benar-benar membuat hatinya porak poranda. Meskipun ia tahu, cepat atau lambat, perceraian pasti akan terjadi. Tapi sungguh, ia tak menginginkan perceraian. "Aaarrgh ..." sementara Dewa merutuki dirinya sendiri di dalam kamarnya yang berada tepat dibawah kamar Rengganis. Ia masih tak habis pikir, untuk apa Rengganis mer0 k0k, karena sepengetahuannya Rengganis tak pernah mer0 k0k. "Bagaimana mungkin, wanita berhijab dan lugu sepertinya menjadi per0 k0k? Apakah Rengganis begitu terpukul atas apa yang aku lakukan padanya? Tapi kenapa baru kali ini dia merasa terpukul? Atau sebenarnya dia merasa terpukul sedari dulu, hanya saja aku yang tak pernah tahu?" segudang pertanyaan menghinggapi pikiran dan juga hati Dewa, membuat kepalanya terasa pening dan berputar, hingga ia mengacak rambutnya dengan kasar. Kenapa saat surat sidang perceraian itu datang, pria bertubuh tinggi besar dan berkulit putih asal Bandung itu kini merasa memiliki sedikit kepekaan terhadap wanita yang terpaksa ia nikahi dua tahun lalu karena desakan dari kakeknya. Kepalan tangan Dewa menghantam dinding kamarnya. Dihatinya terasa seperti ada yang menyayat, saat tadi ia melihat wajah wanita cantik berdarah Jawa itu sedang melukai dirinya dengan sebat ang r0 k0k. "Dari raut wajahnya, kenapa Rengganis begitu sangat tegar, kenapa begitu sangat kuat? Apa karena memang dia tidak menyukaiku? Tapi kenapa dia mau dinikahkan denganku, pria yang juga sudah memiliki pilihan hati? B0 d0H!" Dewa duduk ditepi tempat tidurnya, melihat punggung tangannya yang tergores karena menghantam dinding, sementara telapak tangannya melepuh akibat merebut paksa r0 k0k yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah Rengganis. Seolah ia tak sudi jika r0 k0k merusak kesehatan wanita yang kini masih sah menjadi istrinya. Sementara diatas kamar Dewa, tepat kamar Rengganis dimana ia pun sedang duduk ditepi tempat tidurnya. Meratapi nasibnya yang ternyata tak mudah untuk menjadi seorang istri dari Dewa Anggoro. "Rengganis, untuk apa kamu menangisi ini semua? Bukankah kamu tau segala resikonya? Menikah dengan perjodohan itu sangat tidak mudah, terlebih Dewa sudah memiliki kekasih hati yang sudah lama ia cintai." hatinya bercerita tentang apa yang sudah terjadi, menenangkan dirinya sendiri agar tak lagi rapuh, "yang penting, kamu sudah melakukan yang terbaik sebagai seorang istri." Jemarinya yang halus mengusap lembut air mata yang sedari tadi tak henti mengalir deras membasahi pipinya. Menghela napas panjang dan berharap mendapat ketenangan. Disaat ia sedang menata hati untuk tetap merasa kuat, tiba-tiba benda pipih miliknya berdenting. "Heh, p3 Lak 0r! Sudah terima surat sidang perceraian perdana kamu, ya?!" benda pipih disamping Rengganis bergetar, terdapat pesan di dalam aplikasi berwarna hijau dengan nomor tanpa nama, "kapan lu mau pergi dari rumah CALON SUAMI GUE?" "Ya Tuhan, aku sudah menerima surat sidang perdana saja wanita itu tau. Sebegitu berharganya Friska dimata Mas Dewa. Hingga ia tau sedetail ini tentang rumah tanggaku. Astaghfirullahaladzim." matanya terpejam, hatinya semakin pilu membaca pesan dari wanita lain yang lebih dicintai oleh suaminya. Namun, Rengganis tak berniat sedikitpun untuk meladeni pesan yang jelas dikirimkan oleh Friska, wanita yang selama ini merajai hati suaminya. Hal itu membuat Friska semakin naik pitam, dan memberondong Rengganis dengan pesan-pesan beranda mel3c3hkan dan ancaman. "Cepat angkat kaki dari rumah itu, Dasar JANDA PEOT! PEREMPUAN GAB UG! M4N DUL!" dikirim pula foto seorang pria yang berte LAN j4ng d4d4, sedang meme luk m3sr4 tub uh seorang perempuan diatas kas ur, terlihat mereka hanya berbalut selimut. Walaupun hanya bagian lengannya saja yang terlihat tapi, Rengganis hafal betul tangan siapa yang ada di dalam foto itu. Ia menenggelamkan wajahnya diatas bantal, membarkan sakit yang merajai hatinya luruh bersama isak dan derai air matanya. Sudah tak dapat lagi ia tahan sesak di dasar dada. Ia biarkan semuanya menerobos keluar, berharap setelahnya akan jauh lebih baik.Sejenak melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang sejatinya tak akan pernah bisa hilang dari ingatan wanita berbulu mata lentik itu. Seperti pagi hari biasanya, Rengganis sudah sibuk berada di dapur. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk Dewa, pria yang mengikrarnya tanpa cinta dua tahun yang lalu. Meskipun Dewa tak pernah sedikitpun menyentuh masakan buatannya, ia tetap membuatkan berbagai menu masakan dengan harapan suatu saat nanti Dewa akan menyukai masakannya.Diatas meja makan, sudah terhidang nasi goreng ayam suwir dengan telur ceplok, dan juga segelas susu dan secangkir teh manis hangat untuk sarapan Dewa, di tas bekalnya sudah tersedia nasi dan capcay sebagai lauknya, ayam suwir cabai hijau dan jeruk juga ada didalamnya.Seperti biasa, Dewa selalu menolak jika Rengganis membawakan bekal untuknya. Jadi dengan tergesa, Rengganis menaruh bekal di dalam mobil Dewa, agar suaminya itu mau membawa bekal untuk makan siangnya di kantor, walaupun terpaksa. Rengganis be
"Braaakkk ..." Motor scooter matic pink yang Rengganis kendarai seketika oleng, menabrak pengendara motor didepannya dan membuat pengendara motor didepannya itu tehimpit antara motornya dengan motor milik Rengganis.Rengganis meringis, merasakan kakinya yang terasa terkilir. Sehingga untuk bangkit mengangkat motornya saja ia tidak mampu, dan membuat pengendara motor yang ia tabrak semakin terhimpit."Aaarrgh ... " lelaki yang tertabrak dan terhimpit motor Rengganis mengerang sambil memegang pangkal kakinya, "Teh, bangun atuh, sakit ini, aaarrgh.""Maaf, Mas, bukan aku ngga mau bangun, tapi a-aku juga ngga bisa bangun. Aaaw ... kakiku yang ini sepertinya terkilir," Rengganis mengungkapkan keadaannya, sambil menunjuk kaki kirinya yang juga sama-sama terhimpit motor."Astaghfirullah ... aaarrgh, coba teteh geser pelan-pelan menjauh dari motor, nanti saya coba sendiri untuk mengangkat motornya Teteh," lelaki berpakaian casual itu mencoba mencari jalan
"Dewaaa ... aaah, pelan-pelan dong sayang," bukan suara Dewa yang terdengar, melainkan suara manja perempuan yang tak asing ditelinga Rengganis.Air mata Rengganis luruh, menandakan bertapa ia merasakan sesak yang teramat dalam. Memang bukan kali pertama Rengganis mendengar suara-suara meresahkan dari Dewa dan Friska, tapi mendengarnya lagi dan lagi, akan tetap menorehkan luka yang sama secara berulang.Apalagi dalam situasi seperti ini, yang seharusnya ia mendapatkan perhatian dan perlindungan, justru yang ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Ia sudah muak dengan semua yang mereka lakukan, bahkan dihadapan Rengganis sekalipun mereka sudah tak canggung lagi berbuat mesra."Astaghfirullahaladzim ..." lirih suara yang terucap dari bibir mungil berwarna merah muda milik Rengganis. Diputuskannya panggilan yang sedari tadi ia nantikan. Gegas ia menghapus kristal bening yang luruh membasahi kedua pipinya.Lelaki berpakaian casual yang ditabrak
"Hei, mau kemana?" tanya lelaki bertubuh atletis itu pada Rengganis, "kamu mencari siapa?" "Pak Darma, aku mencari Pak Darma." Jawab Rengganis. "Oh, Pak Darma. Pak Darma sudah kembali ke sekolah, tadi saya yang memintanya untuk kembali ke sekolah tanpa harus menunggu kamu," sergah lelaki yang kini kaki kanannya sudah dibalut perban. "Lho, kok, disuruh kembali kesekolah?" tanya Rengganis tak mengerti dengan apa yang diperintahkan lelaki itu kepada driver bus sekolah dimana ia mengajar, "lha, nanti kita gimana? Masa iya mau naik ambulance?""Memang kenapa kalau naik ambulance?" tanya lelaki bertubuh atletis dan berpakaian casual itu."Ya, kan, kita ngga sakit, masa naik ambulance," kata Rengganis, polos, "maksud aku tadi tuh, Pak Darma nanti kan bisa mengantarkan Mas-nya untuk ketempat tujuan, dan aku juga akan kembali ke sekolah."Lelaki yang saat ini duduk dihadapan Rengganis han
Harish membantu Rengganis untuk berjalan dengan memapahnya hingga keluar ruangan IGD. Langkahnya pelan, mengimbangi kaki Rengganis yang masih terasa nyeri akibat kecelakaan itu. Di depan lobby rumah sakit, Pajero Sport putih milik Harish sudah terparkir rapi. Dengan sigap, Harish membuka pintu mobil untuk Rengganis, kemudian membantu memapahnya kembali. Saat itu ingin rasanya menolak, tapi Rengganis tak kuasa, karena memang saat itu ia membutuhkan bantuan untuk berjalan. "Ini kamu sendiri yang akan nyetir, Mas?" tanya Rengganis. "Iya atuh saya kan supir, ya nyupir sendirilah, masa kamu yang nyetir," jawab Harish dengan nada bergurau. "Maksudnya kan kamu habis kecelakaan, itu juga tadi kata dokter kakinya dapat tujuh jahitan," "Kecelakaan?" sambil mengemudikan mobilnya melaju ke luar area rumah sakit, Harish menggoda Rengganis, "aku ngga kecelakaan, tapi lebih tepatnya ditabrak?"
"Maaf ibu guru, saya minta alamatnya untuk memastikan tujuan kita tidak salah," gurauan Harish membuyarkan lamunan Rengganis. "Aku turun disini saja, Mas." jawab Rengganis, sambil jemarinya bermain diatas layar datar untuk memesan taksi online, "nanti aku naik taksi online saja. Mas Harish bisa melanjutkan kegiatan hari ini. Sekali lagi, maaf atas kejadian tadi." "Serius? Hey, aku beneran mau antar kamu, kok," Harish memastikan, "aku ngga mau kamu nanti kenapa-kenapa." "Aku ngga apa-apa," Rengganis tersenyum, sambil menunjuk mobil yang berhenti tepat didepan mobil Pajero Sport yang milik Harish, "taksi aku sudah sampai, Mas. Terima kasih, maaf sudah merepotkan." Harish hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Sebenarnya tak sampai hati melihat wanita cantik yang menabraknya tadi berjalan perlahan dan tertatih-tatih menuju taksi online didepannya. Namun, akan percuma saja jika ia terus memaksa, karena menurut Harish, seperti
Wangi parfum yang menguar dari seseorang yang menopang tubuh Rengganis saat ia hampir terjatuh karena didorong oleh wanita yang merajai hati suaminya. Wangi parfum itu menerobos hingga ke memorinya. Ia ingat betul siapa pemilik wangi itu dan tangan atletis yang menopangnya, karena baru saja ia bertemu dengan pemiliknya, Harish. "Kamu ... Kok bisa?" ucapnya terputus, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ternyata tanpa sepengetahuan Rengganis, Harish membuntutinya hingga ke rumah, dan melihat semua yang telah terjadi pada Rengganis. Untungnya dengan sigap Harish menopangnya, terlambat sedikit saja, Rengganis akan jatuh ke lantai yang keras karena hilang keseimbangan. "Rengganis! Sini kamu, perempuan macam apa kamu ada didekapan lelaki yang tak kamu kenal. Hah!" Dewa menarik tangan wanita yang berstatus sebagai istri sahnya, dan seketika Rengganis tersadar bahwa ia masih berada di dekapan Harish. Namun dengan sigap Ha
"Kenapa kamu tak pernah menangis atas luka yang aku torehkan?" tanya Dewa kepada Rengganis, saat ia merangsek masuk kedalam kamar wanita yang dua tahun lalu ia nikahi. setelah tau petugas dari pengadilan agama datang membawa surat sidang perceraian yang diajukan olehnya.Rengganis tersenyum kecut, sambil menggenggam surat sidang perceraian, ia memindahkan pandangnya kesudut jendela kamar dilantai dua yang ia tempati sendirian selama dua tahun menjadi istri dari Dewa, seorang pengusaha muda yang bergerak di bidang mebel yang sukses, "aku sudah tak pernah menangis sejak enam bulan setelah kamu mengijab atas diriku didepan kedua orang tuaku dan juga keluarga besarku.""Kenapa?""Kenapa?" Rengganis menirukan perkataan Dewa sambil tersenyum kecut menatap mata Dewa, "karena sudah tak ada lagi yang perlu aku tangisi, bukan?"Dewa memandang heran atas kelakuan wanita cantik beriris coklat itu. Tak ada raut kesedihan yang terlihat diwajah Rengganis atas ap
Wangi parfum yang menguar dari seseorang yang menopang tubuh Rengganis saat ia hampir terjatuh karena didorong oleh wanita yang merajai hati suaminya. Wangi parfum itu menerobos hingga ke memorinya. Ia ingat betul siapa pemilik wangi itu dan tangan atletis yang menopangnya, karena baru saja ia bertemu dengan pemiliknya, Harish. "Kamu ... Kok bisa?" ucapnya terputus, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ternyata tanpa sepengetahuan Rengganis, Harish membuntutinya hingga ke rumah, dan melihat semua yang telah terjadi pada Rengganis. Untungnya dengan sigap Harish menopangnya, terlambat sedikit saja, Rengganis akan jatuh ke lantai yang keras karena hilang keseimbangan. "Rengganis! Sini kamu, perempuan macam apa kamu ada didekapan lelaki yang tak kamu kenal. Hah!" Dewa menarik tangan wanita yang berstatus sebagai istri sahnya, dan seketika Rengganis tersadar bahwa ia masih berada di dekapan Harish. Namun dengan sigap Ha
"Maaf ibu guru, saya minta alamatnya untuk memastikan tujuan kita tidak salah," gurauan Harish membuyarkan lamunan Rengganis. "Aku turun disini saja, Mas." jawab Rengganis, sambil jemarinya bermain diatas layar datar untuk memesan taksi online, "nanti aku naik taksi online saja. Mas Harish bisa melanjutkan kegiatan hari ini. Sekali lagi, maaf atas kejadian tadi." "Serius? Hey, aku beneran mau antar kamu, kok," Harish memastikan, "aku ngga mau kamu nanti kenapa-kenapa." "Aku ngga apa-apa," Rengganis tersenyum, sambil menunjuk mobil yang berhenti tepat didepan mobil Pajero Sport yang milik Harish, "taksi aku sudah sampai, Mas. Terima kasih, maaf sudah merepotkan." Harish hanya menganggukkan kepalanya perlahan. Sebenarnya tak sampai hati melihat wanita cantik yang menabraknya tadi berjalan perlahan dan tertatih-tatih menuju taksi online didepannya. Namun, akan percuma saja jika ia terus memaksa, karena menurut Harish, seperti
Harish membantu Rengganis untuk berjalan dengan memapahnya hingga keluar ruangan IGD. Langkahnya pelan, mengimbangi kaki Rengganis yang masih terasa nyeri akibat kecelakaan itu. Di depan lobby rumah sakit, Pajero Sport putih milik Harish sudah terparkir rapi. Dengan sigap, Harish membuka pintu mobil untuk Rengganis, kemudian membantu memapahnya kembali. Saat itu ingin rasanya menolak, tapi Rengganis tak kuasa, karena memang saat itu ia membutuhkan bantuan untuk berjalan. "Ini kamu sendiri yang akan nyetir, Mas?" tanya Rengganis. "Iya atuh saya kan supir, ya nyupir sendirilah, masa kamu yang nyetir," jawab Harish dengan nada bergurau. "Maksudnya kan kamu habis kecelakaan, itu juga tadi kata dokter kakinya dapat tujuh jahitan," "Kecelakaan?" sambil mengemudikan mobilnya melaju ke luar area rumah sakit, Harish menggoda Rengganis, "aku ngga kecelakaan, tapi lebih tepatnya ditabrak?"
"Hei, mau kemana?" tanya lelaki bertubuh atletis itu pada Rengganis, "kamu mencari siapa?" "Pak Darma, aku mencari Pak Darma." Jawab Rengganis. "Oh, Pak Darma. Pak Darma sudah kembali ke sekolah, tadi saya yang memintanya untuk kembali ke sekolah tanpa harus menunggu kamu," sergah lelaki yang kini kaki kanannya sudah dibalut perban. "Lho, kok, disuruh kembali kesekolah?" tanya Rengganis tak mengerti dengan apa yang diperintahkan lelaki itu kepada driver bus sekolah dimana ia mengajar, "lha, nanti kita gimana? Masa iya mau naik ambulance?""Memang kenapa kalau naik ambulance?" tanya lelaki bertubuh atletis dan berpakaian casual itu."Ya, kan, kita ngga sakit, masa naik ambulance," kata Rengganis, polos, "maksud aku tadi tuh, Pak Darma nanti kan bisa mengantarkan Mas-nya untuk ketempat tujuan, dan aku juga akan kembali ke sekolah."Lelaki yang saat ini duduk dihadapan Rengganis han
"Dewaaa ... aaah, pelan-pelan dong sayang," bukan suara Dewa yang terdengar, melainkan suara manja perempuan yang tak asing ditelinga Rengganis.Air mata Rengganis luruh, menandakan bertapa ia merasakan sesak yang teramat dalam. Memang bukan kali pertama Rengganis mendengar suara-suara meresahkan dari Dewa dan Friska, tapi mendengarnya lagi dan lagi, akan tetap menorehkan luka yang sama secara berulang.Apalagi dalam situasi seperti ini, yang seharusnya ia mendapatkan perhatian dan perlindungan, justru yang ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Ia sudah muak dengan semua yang mereka lakukan, bahkan dihadapan Rengganis sekalipun mereka sudah tak canggung lagi berbuat mesra."Astaghfirullahaladzim ..." lirih suara yang terucap dari bibir mungil berwarna merah muda milik Rengganis. Diputuskannya panggilan yang sedari tadi ia nantikan. Gegas ia menghapus kristal bening yang luruh membasahi kedua pipinya.Lelaki berpakaian casual yang ditabrak
"Braaakkk ..." Motor scooter matic pink yang Rengganis kendarai seketika oleng, menabrak pengendara motor didepannya dan membuat pengendara motor didepannya itu tehimpit antara motornya dengan motor milik Rengganis.Rengganis meringis, merasakan kakinya yang terasa terkilir. Sehingga untuk bangkit mengangkat motornya saja ia tidak mampu, dan membuat pengendara motor yang ia tabrak semakin terhimpit."Aaarrgh ... " lelaki yang tertabrak dan terhimpit motor Rengganis mengerang sambil memegang pangkal kakinya, "Teh, bangun atuh, sakit ini, aaarrgh.""Maaf, Mas, bukan aku ngga mau bangun, tapi a-aku juga ngga bisa bangun. Aaaw ... kakiku yang ini sepertinya terkilir," Rengganis mengungkapkan keadaannya, sambil menunjuk kaki kirinya yang juga sama-sama terhimpit motor."Astaghfirullah ... aaarrgh, coba teteh geser pelan-pelan menjauh dari motor, nanti saya coba sendiri untuk mengangkat motornya Teteh," lelaki berpakaian casual itu mencoba mencari jalan
Sejenak melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang sejatinya tak akan pernah bisa hilang dari ingatan wanita berbulu mata lentik itu. Seperti pagi hari biasanya, Rengganis sudah sibuk berada di dapur. Menyiapkan sarapan dan bekal untuk Dewa, pria yang mengikrarnya tanpa cinta dua tahun yang lalu. Meskipun Dewa tak pernah sedikitpun menyentuh masakan buatannya, ia tetap membuatkan berbagai menu masakan dengan harapan suatu saat nanti Dewa akan menyukai masakannya.Diatas meja makan, sudah terhidang nasi goreng ayam suwir dengan telur ceplok, dan juga segelas susu dan secangkir teh manis hangat untuk sarapan Dewa, di tas bekalnya sudah tersedia nasi dan capcay sebagai lauknya, ayam suwir cabai hijau dan jeruk juga ada didalamnya.Seperti biasa, Dewa selalu menolak jika Rengganis membawakan bekal untuknya. Jadi dengan tergesa, Rengganis menaruh bekal di dalam mobil Dewa, agar suaminya itu mau membawa bekal untuk makan siangnya di kantor, walaupun terpaksa. Rengganis be
Seperti hari-hari sebelumnya, Dewa tak pernah menghiraukan ucapan Rengganis. Dewa melangkah semakin menjauh, meninggalkan Rengganis di dalam kamar yang mewah namun kamar itu seperti tak bernyawa. Sesaat setelah pintu ditutup dengan kencang, disitulah tangis Rengganis luruh. Wanita cantik yang tak pernah melepaskan hijabnya selain kepada mahramnya itu tak kuasa membendung butiran air mata yang menerobos keluar.Rengganis memejamkan matanya sekuat mungkin, berharap air matanya dapat berhenti. Namun, justru air matanya meluncur dengan deras. Sungguh, ia tak ingin lagi meratapi apa yang terjadi dalam pernikahannya dengan pria pilihan orang tuanya. Hal menyakitkan seperti ini sudah sering terjadi sejak awal pernikahan mereka. Namun, rasa pedih kali ini benar-benar membuat hatinya porak poranda. Meskipun ia tahu, cepat atau lambat, perceraian pasti akan terjadi. Tapi sungguh, ia tak menginginkan perceraian."Aaarrgh ..." sementara Dewa merutuki dirinya sendiri di dalam k
"Kenapa kamu tak pernah menangis atas luka yang aku torehkan?" tanya Dewa kepada Rengganis, saat ia merangsek masuk kedalam kamar wanita yang dua tahun lalu ia nikahi. setelah tau petugas dari pengadilan agama datang membawa surat sidang perceraian yang diajukan olehnya.Rengganis tersenyum kecut, sambil menggenggam surat sidang perceraian, ia memindahkan pandangnya kesudut jendela kamar dilantai dua yang ia tempati sendirian selama dua tahun menjadi istri dari Dewa, seorang pengusaha muda yang bergerak di bidang mebel yang sukses, "aku sudah tak pernah menangis sejak enam bulan setelah kamu mengijab atas diriku didepan kedua orang tuaku dan juga keluarga besarku.""Kenapa?""Kenapa?" Rengganis menirukan perkataan Dewa sambil tersenyum kecut menatap mata Dewa, "karena sudah tak ada lagi yang perlu aku tangisi, bukan?"Dewa memandang heran atas kelakuan wanita cantik beriris coklat itu. Tak ada raut kesedihan yang terlihat diwajah Rengganis atas ap