Indy membuka matanya perlahan, menyambut pagi yang tenang di kamar hotel di lantai dua puluh ini. Tirai yang setengah terbuka di jendela, membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Di sampingnya, Arjuna masih terlelap. Wajahnya tampak damai, memberikan ketenangan tersendiri di hati Indy. Indy tersenyum kecil, menikmati momen ini, saat dunia hanya milik mereka berdua.
Indy beranjak perlahan dari tempat tidur, mengambil pakaian dalamnya yang berceceran di lantai, dan memakainya kembali. Kemudian ia mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur dekat Arjuna. Ia menatap lekat pria yang dicintainya sepenuh hati itu dengan perasaan yang campur aduk. Indy menyibak rambutnya yang sedikit berantakan. Ia beranjak kembali, berdiri di depan jendela besar, membuka gordennya dan memandangi langit cerah di luar. Ada perasaan hangat di dadanya, perasaan yang membuat Indy seolah memiliki dunia sempurna di dalam kamar enam kali delapan meter ini.
Tidak lama kemudian, Arjuna terbangun dan menyapanya dengan suara deep lembutnya yang serak.
“Hai, Honey, sudah pagi ternyata.”
Indy berbalik dan tersenyum. “Pagi, Hon,” sapanya lembut, sebelum kembali ke tempat tidur dan duduk di samping Arjuna, mengusap lembut pipinya.
“Sudah siap sarapan?” Arjuna bertanya sambil menggenggam tangan Indy.
Indy mengangguk. Mereka segera bersiap-siap, saling membantu dengan cara yang sederhana namun penuh kasih dan keintiman. Setelah rapi dan siap, mereka pun beranjak menuju restoran hotel.
Di restoran hotel ini mereka memilih tempat duduk yang agak jauh dari keramaian, yaitu di luar ruangan dekat kolam renang.
Mereka duduk dan bercakap-cakap dengan santai, membahas berbagai hal mulai dari pekerjaan hingga cerita kecil tentang Agni, putri Indy yang sedang aktif-aktifnya. Kata Agni, ia mau masuk sekolah di sekolah dasar internasional dan mengambil ekstrakurikuler karate. Arjuna mendengarkan setiap kata di cerita Indy dengan penuh perhatian, seolah mengingat setiap detailnya dengan saksama.
Setelah itu Indy beranjak untuk mengambil sarapan prasmanan di dalam. Ia mengambil pasta dan grilled chicken kesukaannya, tidak lupa sepiring omelet yang creamy dan memanjakan lidah. Setelah ia kembali ke tempat duduknya, giliran Arjuna yang mengambil sarapannya. Ia mengambil menu yang sama dengan Indy. Ia sangat tahu wanita kesayangannya itu suka dengan hidangan pasta, sehingga ia akan selalu memesan, dan makan menu yang sama dengan Indy. Setelahnya, mereka berdua duduk berhadapan dan saling menggenggam tangan, layaknya dua insan yang tak ingin terpisah.
Seorang pelayan datang untuk menawarkan kopi dan teh.
“Selamat menikmati santap sarapan pagi ini, Pak, Bu,” kata pelayan itu sambil meletakkan dua cangkir teh sesuai rekues Indy dan Arjuna.
Sarapan bersama kali ini membuat suasana menjadi lebih akrab dan memberikan kesan bahwa mereka adalah pasangan yang telah lama bersama. Obrolan ringan, tawa, keintiman dan tatapan penuh makna membuat meja mereka terasa begitu hangat. Tak ada yang akan menyangka bahwa di balik keakraban ini, hubungan mereka sebenarnya lebih rumit dari yang terlihat.
“Aku selalu merasa lebih tenang dan bahagia saat bersamamu, Arjuna Wiwaha Prasetyo,” kata Indy sambil mengaduk tehnya. Ia menatap Arjuna dengan tatapan yang penuh cinta.
“Aku pun begitu, Indira Vega Wiguna.” Arjuna tersenyum sambil mempererat genggaman tangannya pada tangan Indy.
Mereka menghabiskan sarapan dengan perlahan, menikmati setiap momen tanpa terburu-buru. Ketika matahari dirasa kian meninggi, Arjuna melihat jam tangannya dan berkata dengan nada lembut namun serius.
“Sepertinya kita harus segera ke site. Takutnya karyawan lain sudah menunggu.”
Indy mengangguk pelan dan tersenyum tipis. Mereka berdua tahu bahwa saat-saat seperti ini tidak akan bisa bertahan lama. Ada dunia lain di luar hotel ini, yaitu dunia yang menunggu dan mengikat mereka pada kenyataan hidup.
Setelah selesai, mereka kembali ke kamar untuk mengambil barang bawaan. Mereka sempat beradu kasih selama sepuluh menit untuk melepaskan hasrat masing-masing sebelum berpisah. Setelah itu mereka keluar dari kamar dan berjalan bersama menuju lobi. Indy menuju meja resepsionis untuk melakukan check out. Arjuna berpamitan lebih dulu karena ada pekerjaan yang harus ia handle sesegera mungkin. Namun baru tiga meter melangkah, Arjuna berhenti sejenak. Arjuna menatap Indy dengan sorot mata yang lembut, seolah ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar kata perpisahan.
“Hati-hati nyetirnya, Honey,” katanya akhirnya.
“Kamu juga hati-hati di jalan, nanti kita ketemu di site, ya!” balas Indy sambil tersenyum tulus.
Jam menunjukkan pukul Sembilan. Arjuna tiba di lokasi proyek tepat waktu. Matahari belum terlalu tinggi, angin pagi masih terasa dingin, dan suara mesin serta hiruk-pikuk pekerja konstruksi sudah memenuhi area pembangunan. Tidak lama kemudian Indy yang kelihatannya baru saja tiba langsung menghampiri Arjuna. Arjuna menyapa Indy dengan senyum manisnya.
“Pagi, Bu Indy, baru datang? Kebetulan saya baru akan berkeliling. Mari, Bu, kita berkeliling bersama.”
Indy membalas sapaan Arjuna dengan senyum yang tak kalah manis.
“Pagi, Pak Arjuna. Baik, mari, Pak. Bagian mana dulu yang harus kita pantau perkembangannya?” tanya Indy.
“Mungkin kita bisa mulai dari bagian lobby dahulu kemudian bagian lainnya, Bu, mari ikut saya, jangan lupa pakai helm untuk safety, ya, Bu,” jawab Arjuna sambil mengambilkan helm proyek dan memasangkannya di kepala Indy.
Keduanya berjalan berdampingan, melangkah menuju titik-titik yang perlu mereka pantau di proyek tersebut. Dari luar, mereka terlihat seperti dua rekan kerja biasa, menjaga jarak seperlunya.
Arjuna, dengan setelan kemeja yang rapi dan helm proyek, terlihat tenang sambil meninjau blueprint bangunan yang dipegangnya. Indy sesekali berdiri di sampingnya, mendengarkan dengan saksama penjelasan yang ia berikan mengenai tahapan konstruksi. Ketika tidak ada orang yang terlalu memperhatikan, ada saat-saat kecil di mana pandangan mereka bertemu dan senyum tersirat menghiasi wajah masing-masing.
Di sela-sela kesibukan, Arjuna memperhatikan bagaimana Indy terlihat sangat serius dan berdedikasi. Ia kagum melihat Indy yang mampu menyerap informasi teknis dan beradaptasi dengan lingkungan proyek yang didominasi oleh laki-laki. Setiap kali Indy bertanya atau memberikan pandangannya, Arjuna mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah kehadirannya di tempat itu menjadi alasan bagi Arjuna untuk menunjukkan performa terbaiknya.
“Pak Arjuna,” panggil Indy, membuyarkan lamunan singkatnya.
“Kalau area ini sudah rampung, apakah kita bisa langsung lanjut ke tahap finishing minggu depan?”
Arjuna mengangguk sambil tersenyum. “Bisa saja, Bu Indy. Asalkan semua berjalan lancar, tidak akan ada kendala untuk tahap berikutnya.”
Di tengah percakapan mereka, beberapa karyawan dan pekerja konstruksi yang lewat menyapa. “Selamat pagi, Pak Arjuna, Bu Indy!” sapaan itu disambut dengan anggukan ramah dari keduanya. Dalam pandangan para pekerja di lokasi, Indy dan Arjuna tampak seperti pasangan rekan kerja yang solid dan profesional.
Tak ada satu pun orang yang mencurigai bahwa di balik tatapan mata mereka yang sesekali bertemu, ada perasaan yang lebih dari sekadar profesionalisme. Bahkan dalam kesunyian di antara mereka, ada kelekatan yang tidak kentara namun cukup mereka berdua saja yang memahaminya.
Pukul dua belas siang, ketika waktu istirahat tiba, Indy mengajak Arjuna duduk di salah satu bangku yang menghadap langsung ke area proyek, di tempat yang sedikit jauh dari pandangan karyawan lain. Sambil menyeruput Ice Americano kesukaannya, Indy berbicara tentang ide-ide baru yang ingin ia terapkan dalam desain interior setelah proyek selesai.
“Pak Arjuna, kira-kira kalau area lobby diberi tambahan taman kecil dengan air mancur dan kolam koi, apakah memungkinkan? Biar kesannya lebih segar dan tidak kaku,” tanyanya, sembari menatap Arjuna dengan antusias.
Arjuna menatap Indy dengan senyum yang hangat, merasa senang dengan gagasan tersebut.
“Ide yang bagus, Bu Indy. Mungkin dengan beberapa penyesuaian, kita bisa wujudkan itu.”
Mereka tertawa ringan, menikmati momen singkat di sela-sela pekerjaan. Di hadapan mereka, hamparan bangunan mulai terbentuk, layaknya simbol dari sesuatu yang sedang mereka bangun bersama, meskipun dalam konteks yang lain. Kebersamaan mereka di lokasi proyek semakin memperdalam kelekatan yang sudah ada, walaupun mereka tahu ada batas-batas yang harus tetap dijaga agar tidak menimbulkan tanya dan rasa curiga terutama dari karyawan lain di site proyek ini.
Mereka menjalani sisa hari itu dengan tetap berfokus pada proyek dan tugas masing-masing. Karyawan lain, pekerja proyek, hingga para teknisi di lokasi proyek ini hanya melihat mereka berdua sebagai tim yang kompak, yaitu seorang General Manager dan Site Manager yang sama-sama kompeten. Tetapi baik Arjuna maupun Indy sangat paham bahwa ada perasaan lebih yang semakin menguat di antara mereka. Perasaan itu, terasa seperti rahasia kecil yang hanya mereka berdua yang mengetahuinya.
Di tengah bunyi mesin-mesin konstruksi yang menderu dan suara instruksi yang saling bersahutan, ada ikatan komitmen yang terjalin secara diam-diam di antara mereka yang−semoga saja−tak terbaca. Pada akhirnya, meski harus tetap berpura-pura di depan banyak orang, Arjuna dan Indy menyadari bahwa perasaan ini adalah sesuatu yang mungkin tak sanggup lagi mereka sembunyikan sepenuhnya suatu hari nanti.
Matahari sudah tampak lebih condong ke arah barat. Langit yang tadinya cerah keabu-abuan karena efek debu dan polusi perlahan tampak berpendar warna jingga. Arjuna dan Indy pun berpisah, kembali ke kehidupan mereka masing-masing, membawa kenangan akan momen indah semalam hingga sore hari ini.
Saat Indy kembali ke mobilnya, perasaan campur aduk menggerogoti hatinya. Pertemuan dengan Arjuna selalu meninggalkan memori indah tak terlupakan. Namun ia tidak bisa melupakan satu hal, bahwa ada kehidupan lain yang menunggunya di rumah. Agni, putrinya yang ceria, cerdas, dan penuh rasa ingin tahu, dan Anggara, suaminya yang akhir-akhir ini sering terasa seperti orang asing, meskipun mereka tidur di ranjang yang sama. Anggara juga tidak pernah bertanya kemana dirinya pergi jika tidak pulang semalaman. Mungkin karena Anggara juga jarang pulang sehingga presensi Indy dari hidupnya tidak sepenting itu.
Sepanjang perjalanan pulang, Indy tenggelam dalam pikirannya, mengingat semua detil pertemuannya dengan Arjuna. Senyum hangatnya, nyaman dekapannya, wangi tubuhnya, caranya menyentuh Indy dengan lembut dan gentle, bagaimana ia memperhatikan setiap detil cerita, dan keteduhan yang selalu diberikan ketika mereka bersama. Hal tersebut membuat Indy merasa menemukan sesuatu yang ia dambakan. Ia merasa diterima apa adanya, oleh pujaan hatinya.
Setibanya di rumah, Indy melihat Agni bermain di taman kecil di dalam rumahnya bersama Mbak Wini, pengasuhnya. Gadis kecil itu langung menyambutnya dengan lompatan dan pelukan penuh cinta. Indy tersenyum, berjongkok agar sejajar dengan putrinya, mengelus rambut pendeknya dengan lembut, dan mengecup pipinya. Sejenak ia tersadar kembali akan tanggung jawabnya, peran utamanya sebagai ibu dan istri yang seharusnya setia pada keluarga.
Malam itu, saat makan malam bersama Anggara dan Agni, Indy mencoba menjalin kebersamaan keluarganya. Seperti biasa, Anggara yang tetap sibuk dengan ponselnya, tampak berjarak meski mereka duduk bersebelahan. Perasaan kesepian itu hadir lagi, menyeruak di antara tawa lucu Agni yang mencoba melontarkan candaan untuk mencairkan suasana. Indy mencoba tertawa oleh candaan Agni meskipun bibirnya agak berat untuk sedikit bergerak merekahkan senyuman.
Usai makan malam, Indy duduk di ruang keluarga, menatap layar ponselnya yang masih menampilkan nama Arjuna di kolom pesan w******p terakhir. Ia merenung, teringat akan kebahagiaan yang selalu ia rasakan saat mereka bersama. Hati egoisnya seperti menuntut bahwa Arjunalah yang seharusnya menggantikan posisi Anggara.
Hingga larut malam, pikiran itu tak kunjung pergi membuat Indy sulit memejamkan matanya. ketika rumah sudah tenang dan semua tertidur, Indy mengirimkan pesan singkat kepada Arjuna.
[Honey, see you tomorrow. I miss you.]
Arjuna memasuki rumahnya dengan langkah berat. Ia membuka dan menutup pintu rumahnya dengan perlahan, walaupun sejujurnya ia ingin buru-buru masuk dan membuang segala beban melelahkan yang ia pikul sepanjang hari. Rumah dalam keadaan sunyi, mungkin Aksara sudah terlelap. Tetapi keheningan itu tidak membuatnya tenang. Malam ini, Nisrina tak langsung muncul dari kamar atau ruang tengah seperti biasa untuk menyambutnya atau sekadar menanyakan kabarnya. Di satu sisi, hal itu membuatnya lega, tapi di sisi lain, ia merasa semakin terasing di rumahnya sendiri.Saat ia melangkah ke ruang tengah, suara ponselnya berdering lembut dan bergetar pelan, menandakan ada pesan masuk. Arjuna merogoh saku dan melihat layar yang memunculkan nama yang belakangan selalu ia rindukan; Indy.[Honey, see you tomorrow. I miss you.]Pesan singkat itu menghantarkan senyum kecil di wajah Arjuna. Di tengah-tengah rutinitas yang berat dan hubungan rumah tangga yang semakin penuh tekanan, pesan dari Indy seperti oase
Pagi itu, Arjuna dan Indy sama-sama tiba di lokasi proyek lebih awal dari biasanya. Proyek pembangunan kantor cabang baru ini mulai menunjukkan progres yang cukup signifikan, dan pagi itu mereka harus mengawasi pemasangan struktur besi di beberapa titik. Namun, baik Arjuna maupun Indy, keduanya datang dengan pikiran yang sama-sama kusut dari rumah.Arjuna berdiri sambil mengamati pekerja yang sibuk menata besi-besi panjang dengan tatapan yang kosong. Sepanjang perjalanan menuju proyek tadi, pikirannya masih dibayangi oleh kata-kata Nisrina semalam. Ucapan yang sangat kasar dan menyakitkan tentang gajinya, tentang bagaimana ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, seolah-olah perjuangannya selama ini tak ada artinya. Semenjak hamil anak kedua mereka, Nisrina semakin sering mengeluh, merendahkan, dan membuatnya merasa tak berharga. Tadinya ia berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh hormon kehamilan, namun ternyata perilaku Nisrina semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.“Pak Ar
Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi,
Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Ang
“Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp
Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y
Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk
Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma
Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal
Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan
Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju
Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali
Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob
Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai
Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca
Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri
Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal