Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.
Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.
Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Anggara berubah menjadi sebuah pertempuran, seolah mereka tak lagi berbicara dalam bahasa dan frekuensi yang sama. Harapan dan kasih sayang yang dulu menyatukan mereka kini tertutup oleh dinginnya sikap dan jarak yang tak terjembatani.
Di tengah kegundahannya, ponselnya bergetar di dalam saku celana tidurnya. Satu pesan masuk, dan di layar tertulis nama yang sudah begitu akrab: Arjuna.
[Honey, I hope you’re doing okay. If you need someone to talk to, I’m here.]
Indy menatap pesan itu beberapa saat lalu menggigit bibirnya sambil merasakan gejolak yang bercampur antara rasa bersalah dan keinginan untuk menemukan kedamaian.
Dengan ragu, ia mengetik balasan, mengetuk layar perlahan seakan sedang mengukur setiap kata yang akan dikirim.
[Thank you, Honey. I’m really struggling right now. Can we meet right now?]
Pesan terkirim. Sejenak ia menahan napas, merasa dirinya terbagi di antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada pernikahannya yang semakin hampa, dan di sisi lain, ada kehangatan yang ia rasakan saat bersama Arjuna.
Indy menutup matanya, merasakan bahwa keputusan yang ia buat malam itu bersama Arjuna mungkin akan mengubah segalanya, tak hanya bagi dirinya, tapi bagi setiap orang yang ia cintai. Tapi di hatinya yang hampa, ada kebutuhan yang tak tertahankan untuk merasa dipahami dan diinginkan kembali.
Indy memarkir mobilnya di depan hotel yang tersembunyi, tempat di mana ia dan Arjuna selalu bertemu dan menghabiskan malam bersama. Bangunan itu tak terlalu mencolok, namun cukup tenang dan sepi, cukup sesuai untuk pertemuan yang ia tahu tak seharusnya terjadi. Jantungnya berdebar saat ia memasuki lobi, matanya mencari-cari sosok Arjuna di antara pengunjung yang jarang. Ia tahu, pertemuan ini adalah sebuah pelarian, tapi hatinya menginginkan kedekatan yang begitu ia rindukan.
Tak lama, Arjuna muncul dari arah lain, berpenampilan kasual, mengenakan kaus hitam bergambar Kamen Rider dan celana jeans. Raut wajahnya penuh kehangatan yang langsung menyelimuti Indy dalam rasa aman dan gembira. Mereka berdua saling tersenyum, tanpa kata-kata. Di antara mereka terjalin rasa yang tak perlu dijelaskan, sebuah pemahaman yang tumbuh dari kesamaan nasib dan kebahagiaan yang tak bisa mereka temukan di rumah masing-masing.
Setelah melapor di resepsionis, mereka berdua naik ke−kali ini−lantai sebelas dan memasuki kamar yang sudah akrab bagi mereka. Ruangan tipe suite berukuran delapan kali enam dengan lampu temaram, menciptakan suasana hangat yang membuat hati mereka terasa nyaman. Ketika pintu tertutup dan dikunci, keduanya berdiri berhadapan tanpa sepatah kata, hanya suara napas dan deru angin dari AC yang terdengar di antara ketenangan malam.
Arjuna mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Indy, menatapnya dengan pandangan penuh pengertian yang selama ini sulit ia temukan dari orang lain-terutama suaminya sendiri. Indy membalas tatapan itu, merasakan campuran antara ketenangan dan kegelisahan. Di satu sisi, ada rasa nyaman dan penuh kasih yang membuatnya ingin terus berada di sana, namun di sisi lain, ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti isi pikirannya.
Namun, seiring waktu yang berlalu, rasa bersalah itu semakin kabur, tenggelam dalam pelukan hangat Arjuna yang seolah menyembuhkan luka-luka di hati mereka berdua. Dalam pelukan itu, Indy merasakan keintiman yang selama ini ia rindukan, sebuah keintiman yang tak lagi ia rasakan di dari suaminya sendiri.
Malam itu, mereka berbincang panjang, membiarkan semua cerita dan perasaan yang selama ini terpendam meluap tanpa batasan. Arjuna menceritakan tentang Nisrina, tentang tuntutan dan tekanan yang ia alami. Sementara itu, Indy berbagi tentang Anggara, tentang rasa terasing dan kesedihan yang semakin lama semakin dalam. Mereka saling berbagi cerita, berbagi luka, hingga akhirnya jatuh dalam keheningan, merasakan kenyamanan yang jarang mereka temukan dalam kehidupan masing-masing.
Di antara kehangatan malam yang sunyi itu, mereka menyerahkan diri pada perasaan yang telah lama terpendam. Namun di balik semua kebahagiaan yang mereka rasakan, di hati kecil masing-masing, terselip ketakutan akan konsekuensi yang mungkin menanti mereka di kemudian hari, apalagi jika ada yang mengetahui hubungan terlarang ini.
Setelah perbincangan panjang dalam katarsis, sepanjang malam mereka saling beradu tatap, saling menggenggam, saling berpagutan, dan melepaskan hasrat di diri masing-masing sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Indy duduk di tepi ranjang, menatap Arjuna dengan pandangan yang penuh penyesalan dan keraguan.
“Apa yang sedang kita lakukan, Juna?” tanyanya dengan suara pelan.
Arjuna yang berbaring di sampingnya, menarik napas dalam-dalam.
“Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Tapi yang aku tahu, aku merasa sangat bahagia dan bermakna jika berada di sampingmu, Indy.”
Indy menggigit bibir bawahnya, merasa terbebani.
“Tapi kita sama-sama tahu, kan, kita berdua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku punya Anggara, dan kamu punya Nisrina. Apa yang akan kita lakukan jika ini semua terbongkar?”
“Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menerima kenyataan bahwa kita telah memilih jalan ini. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, dan kita sudah sejauh ini. Aku pun tidak mau melepaskannya, Indy,” jawab Arjuna, suaranya tegas meskipun hati kecilnya ragu. Terdengar seperti suara bisikan ego yang berkumandang.
Indy merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Semua alasan untuk berhenti kini seolah menghilang, digantikan oleh dorongan batin yang kuat untuk melanjutkan apa yang sudah mereka mulai walaupun bagian dari dirinya yang masih memiliki kesadaran akan keluarga dan tanggung jawab terus berontak dan mengatakan untuk menyudahi semua ini.
Arjuna juga tidak bisa mengelak dari perasaan yang tumbuh begitu cepat. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sentuhan fisik di antara mereka. Ada kedekatan emosional yang sudah terbentuk, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan terlarang. Ia selalu merasa seolah Indy adalah bagian dari hidupnya yang hilang, dan hubungan mereka, meskipun salah, terasa seperti jawaban atas kekosongan yang juga ia rasakan. Jujur saja, rasa itu sudah muncul saat menatap wanita itu, di pertemuan pertama. Ia tidak menyangka mimpinya untuk menggapai cinta pertamanya itu bukan hal yang mustahil untuk diraih.
Setelah pertemuan malam itu di hotel, baik Indy maupun Arjuna kembali ke kehidupan masing-masing seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda dalam hidup mereka berdua. Indy merasa perasaan yang ia miliki terhadap Arjuna mulai mempengaruhi kesehariannya, bahkan saat ia bersama Anggara atau Agni. Pikirannya sering kali melayang pada momen-momen hangat yang ia alami bersama Arjuna, seolah-olah memberi ilusi bahwa kehidupan mereka jauh dari tekanan dan kekacauan.
Namun kenyataan tetap menghantui Indy. Suatu hari, Anggara pulang lebih sore dari biasanya dengan ekspresi murung dan lelah seperti hari-hari sebelumnya. Ia nyaris tidak bicara apa pun kepada Indy, hanya berlalu begitu saja, duduk di ruang keluarga sambil membuka laptop, berkutat dengan pekerjaan dan laporan yang tampak tak ada habisnya. Indy mencoba menawarkan secangkir kopi dan camilan, namun Anggara menolak dengan nada datar, membuat Indy merasa semakin jauh dan tidak diinginkan.
Indy mengirim pesan pada Arjuna untuk sekadar berbagi perasaan. Arjuna merespons dengan hangat, berusaha menenangkan Indy, padahal ia pun sedang berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Di rumah, Nisrina terus menuntut lebih darinya, mempertanyakan pekerjaan dan penghasilannya, bahkan meremehkan usaha Arjuna yang seharusnya dihargai. Malah kali ini Nisrina menuntut ingin membuat acara gender reveal besar-besaran di hotel berbintang dengan mengundang keluarga besar dan teman-temannya. Arjuna yang semula hanya menganggapi dengan sabar, kini mulai lelah dan terkadang memilih menghindar. Ada saat-saat di mana ia tak ingin pulang lebih awal, berusaha mencari alasan untuk berada di luar rumah. Pikirannya semakin penuh dengan bayangan Indy, wanita yang mampu memberinya kedamaian yang tak bisa ia temukan bersama Nisrina.
Seiring dengan semakin dalamnya keterikatan mereka, kecemasan pun mulai melanda. Setiap kali pesan dari Arjuna masuk ke ponselnya, Indy merasa khawatir jika ada yang melihat, terutama jika Agni atau Anggara memperhatikan gerak-geriknya. Demikian pula Arjuna yang mulai merasa risih dengan sorot curiga dari Nisrina setiap kali ia menerima pesan atau tiba-tiba terlihat senang setelah bertukar pesan di w******p dengan Indy.
Di tengah kebahagiaan sesaat yang mereka rasakan, Indy dan Arjuna sadar bahwa hubungan ini semakin sulit untuk dijaga. Terkadang, mereka saling meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan mereka pantas merasa bahagia. Namun di sisi lain, mereka tahu bahwa hidup ini tak semudah itu. Dunia kecil yang mereka ciptakan untuk pelarian sementara, suatu saat nanti pasti akan runtuh dihujam oleh kenyataan. Meski begitu, keinginan untuk bertemu lagi tak pernah padam.
Ketika malam tiba, Indy berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah menemukan seseorang yang memahami dirinya, namun di sisi lain, rasa bersalah semakin menghantui. Begitu juga dengan Arjuna, yang setiap kali melihat Nisrina dan Aksara, putranya, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia wujudkan sebagai suami dan ayah yang sempurna.
Batin mereka dipenuhi dilema, sadar bahwa suatu hari nanti, mungkin mereka harus membuat keputusan yang sulit. Indy dan Arjuna berada di persimpangan yang tak pasti, di mana setiap langkah ke depan terasa semakin rumit, membayangi kebahagiaan singkat yang mereka miliki.
Indy menatap pesan-pesan mesra yang dikirimkan Arjuna untuknya. Pesan-pesan yang menguatkan hatinya, yang menenangkan jiwanya, yang saat ini selalu ia tunggu setiap detiknya. Ternyata sudah sejauh ini mereka melangkah. Indy menggigit bibirnya sambil sejenak mengingat pertemuan pertamanya dengan Arjuna yang tidak mungkin ia lupakan sepanjang hidupnya.
“Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp
Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y
Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk
Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma
Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan
Kelahirannya adalah hal yang paling ditunggu oleh pasangan baru Indy-Anggara. Setahun setelah pernikahan mereka, akhirnya pasangan yang merajut kasih sejak mereka masih menyandang status mahasiswa ini dikaruniai seorang putri cantik, yang lahir pada pagi hari, saat matahari baru saja menampakkan esksistensinya di ufuk timur. Putri mereka sangat cantik, bercahaya, dan tentunya sangat berharga untuk pasangan penuh kasih ini.“Namanya Agni, artinya Api. Aku harap ia selalu menerangi jalan semua orang dengan cahayanya. Ia yang selalu memiliki semangat untuk berjuang, punya cita-cita tinggi, berani, dan apa adanya. Tidak perlu menunjukkan ke dunia jika ia cemerlang dan bersinar. Gimana, bagus, namanya, Sayang?” tanya Anggara kepada Indy yang sedang menggendong buah hati mereka. Ia tampak antusias saat memberi nama putri mereka yang baru lahir tersebut.“Namanya bagus, Mas. Aku suka, filosofine apik. Tak tambahi Larasati, ya. Agni Larasati Aditya. Api yang membawa harmoni dan kebijaksanaan.
Satu minggu hampir berlalu. Setiap hari, Agni semakin mengisolasi dirinya. Ia menolak makan, pergi ke sekolah, tak mau bertemu siapapun, bahkan beberapa temannya yang menjenguknya ke rumah akhirnya harus pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu dengan yang ingin dijenguk. Les piano yang selalu ia sukai pun kini menjadi beban. Ia tak lagi suka mendengar dentingan suara piano. Miss Donna selaku gurunya yang dipanggil kerumah pun gagal membujuk Agni untuk sekedar berbagi perasaan atau cerita. Agni menutup dirinya rapat-rapat untuk semua orang, termasuk Indy yang mulai merasa sangat khawatir dengan keadaan Agni yang berubah drastis. Indy mencoba menghubungi Anggara lagi, berharap suaminya bisa pulang lebih cepat. Pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, membuat Indy merasa semakin tertekan. Di tengah pekerjaannya yang menumpuk, pikirannya terus melayang pada Agni. Ia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Indy mencari-cari salah satu nama sahabatnya di ko
Anggara pulang ke rumah menjelang pukul Sembilan malam. Wajahnya tampak lelah setelah hampir sepuluh hari menjalani perjalanan dinas. Kemejanya tampak kusut dan langkahnya sedikit berat. Ia membuka pintu rumah dengan harapan mendapati suasana hangat menyambutnya, setidaknya sebuah pelukan kecil dari Agni putrinya, atau sapa hangat Indy, seperti biasa. Tapi yang ia temui hanyalah keheningan. Hari ini rumah terasa sunyi, dingin, dan sepi.“Indy? Sayang?” panggilnya, sambil menaruh koper dan tas laptopnya di sofa dekat pintu masuk. Tidak ada jawaban.Ia melangkah menuju kamar Agni, mengetuk pintu pelan sebelum membukanya sedikit. Ia melihat putrinya duduk membelakangi pintu, menatap keluar jendela. Anggara tersenyum kecil, mencoba memecah kebekuan. “Assalamu’alaikum, Agni. Ayah pulang, nih.”Namun, Agni tidak menoleh. Bahkan, tubuhnya tidak bergerak sedikit pun, seolah tidak peduli.“Agni?” Anggara melangkah mendekat, suaranya lebih lembut.“Sayangku, kamu nggak kangen sama Ayah? Ayah ba
Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal
Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan
Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju
Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali
Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob
Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai
Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca
Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri
Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal