Home / Rumah Tangga / Menyulam Asa di Dua Hati / Bab 5 - Di Persimpangan yang Tak Pasti

Share

Bab 5 - Di Persimpangan yang Tak Pasti

Author: Verona
last update Last Updated: 2024-11-20 12:41:35

Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.

Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.

Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Anggara berubah menjadi sebuah pertempuran, seolah mereka tak lagi berbicara dalam bahasa dan frekuensi yang sama. Harapan dan kasih sayang yang dulu menyatukan mereka kini tertutup oleh dinginnya sikap dan jarak yang tak terjembatani.

Di tengah kegundahannya, ponselnya bergetar di dalam saku celana tidurnya. Satu pesan masuk, dan di layar tertulis nama yang sudah begitu akrab: Arjuna.

[Honey, I hope you’re doing okay. If you need someone to talk to, I’m here.]

Indy menatap pesan itu beberapa saat lalu menggigit bibirnya sambil merasakan gejolak yang bercampur antara rasa bersalah dan keinginan untuk menemukan kedamaian. 

Dengan ragu, ia mengetik balasan, mengetuk layar perlahan seakan sedang mengukur setiap kata yang akan dikirim.

[Thank you, Honey. I’m really struggling right now. Can we meet right now?]

Pesan terkirim. Sejenak ia menahan napas, merasa dirinya terbagi di antara dua dunia yang bertolak belakang. Di satu sisi, ada pernikahannya yang semakin hampa, dan di sisi lain, ada kehangatan yang ia rasakan saat bersama Arjuna.

Indy menutup matanya, merasakan bahwa keputusan yang ia buat malam itu bersama Arjuna mungkin akan mengubah segalanya, tak hanya bagi dirinya, tapi bagi setiap orang yang ia cintai. Tapi di hatinya yang hampa, ada kebutuhan yang tak tertahankan untuk merasa dipahami dan diinginkan kembali.

Indy memarkir mobilnya di depan hotel yang tersembunyi, tempat di mana ia dan Arjuna selalu bertemu dan menghabiskan malam bersama. Bangunan itu tak terlalu mencolok, namun cukup tenang dan sepi, cukup sesuai untuk pertemuan yang ia tahu tak seharusnya terjadi. Jantungnya berdebar saat ia memasuki lobi, matanya mencari-cari sosok Arjuna di antara pengunjung yang jarang. Ia tahu, pertemuan ini adalah sebuah pelarian, tapi hatinya menginginkan kedekatan yang begitu ia rindukan.

Tak lama, Arjuna muncul dari arah lain, berpenampilan kasual, mengenakan kaus hitam bergambar Kamen Rider dan celana jeans. Raut wajahnya penuh kehangatan yang langsung menyelimuti Indy dalam rasa aman dan gembira. Mereka berdua saling tersenyum, tanpa kata-kata. Di antara mereka terjalin rasa yang tak perlu dijelaskan, sebuah pemahaman yang tumbuh dari kesamaan nasib dan kebahagiaan yang tak bisa mereka temukan di rumah masing-masing.

Setelah melapor di resepsionis, mereka berdua naik ke−kali ini−lantai sebelas dan memasuki kamar yang sudah akrab bagi mereka. Ruangan tipe suite berukuran delapan kali enam dengan lampu temaram, menciptakan suasana hangat yang membuat hati mereka terasa nyaman. Ketika pintu tertutup dan dikunci, keduanya berdiri berhadapan tanpa sepatah kata, hanya suara napas dan deru angin dari AC yang terdengar di antara ketenangan malam.

Arjuna mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Indy, menatapnya dengan pandangan penuh pengertian yang selama ini sulit ia temukan dari orang lain-terutama suaminya sendiri. Indy membalas tatapan itu, merasakan campuran antara ketenangan dan kegelisahan. Di satu sisi, ada rasa nyaman dan penuh kasih yang membuatnya ingin terus berada di sana, namun di sisi lain, ada rasa bersalah yang perlahan menggerogoti isi pikirannya.

Namun, seiring waktu yang berlalu, rasa bersalah itu semakin kabur, tenggelam dalam pelukan hangat Arjuna yang seolah menyembuhkan luka-luka di hati mereka berdua. Dalam pelukan itu, Indy merasakan keintiman yang selama ini ia rindukan, sebuah keintiman yang tak lagi ia rasakan di dari suaminya sendiri.

Malam itu, mereka berbincang panjang, membiarkan semua cerita dan perasaan yang selama ini terpendam meluap tanpa batasan. Arjuna menceritakan tentang Nisrina, tentang tuntutan dan tekanan yang ia alami. Sementara itu, Indy berbagi tentang Anggara, tentang rasa terasing dan kesedihan yang semakin lama semakin dalam. Mereka saling berbagi cerita, berbagi luka, hingga akhirnya jatuh dalam keheningan, merasakan kenyamanan yang jarang mereka temukan dalam kehidupan masing-masing.

Di antara kehangatan malam yang sunyi itu, mereka menyerahkan diri pada perasaan yang telah lama terpendam. Namun di balik semua kebahagiaan yang mereka rasakan, di hati kecil masing-masing, terselip ketakutan akan konsekuensi yang mungkin menanti mereka di kemudian hari, apalagi jika ada yang mengetahui hubungan terlarang ini.

Setelah perbincangan panjang dalam katarsis, sepanjang malam mereka saling beradu tatap, saling menggenggam, saling berpagutan, dan melepaskan hasrat di diri masing-masing sama seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya.

Indy duduk di tepi ranjang, menatap Arjuna dengan pandangan yang penuh penyesalan dan keraguan.

“Apa yang sedang kita lakukan, Juna?” tanyanya dengan suara pelan.

Arjuna yang berbaring di sampingnya, menarik napas dalam-dalam.

“Aku juga mempertanyakan hal yang sama. Tapi yang aku tahu, aku merasa sangat bahagia dan bermakna jika berada di sampingmu, Indy.”

Indy menggigit bibir bawahnya, merasa terbebani.

“Tapi kita sama-sama tahu, kan, kita berdua sudah memiliki kehidupan masing-masing. Aku punya Anggara, dan kamu punya Nisrina. Apa yang akan kita lakukan jika ini semua terbongkar?”

“Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menerima kenyataan bahwa kita telah memilih jalan ini. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu, dan kita sudah sejauh ini. Aku pun tidak mau melepaskannya, Indy,” jawab Arjuna, suaranya tegas meskipun hati kecilnya ragu. Terdengar seperti suara bisikan ego yang berkumandang.

Indy merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Semua alasan untuk berhenti kini seolah menghilang, digantikan oleh dorongan batin yang kuat untuk melanjutkan apa yang sudah mereka mulai walaupun bagian dari dirinya yang masih memiliki kesadaran akan keluarga dan tanggung jawab terus berontak dan mengatakan untuk menyudahi semua ini.

Arjuna juga tidak bisa mengelak dari perasaan yang tumbuh begitu cepat. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sentuhan fisik di antara mereka. Ada kedekatan emosional yang sudah terbentuk, sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan terlarang. Ia selalu merasa seolah Indy adalah bagian dari hidupnya yang hilang, dan hubungan mereka, meskipun salah, terasa seperti jawaban atas kekosongan yang juga ia rasakan. Jujur saja, rasa itu sudah muncul saat menatap wanita itu, di pertemuan pertama. Ia tidak menyangka mimpinya untuk menggapai cinta pertamanya itu bukan hal yang mustahil untuk diraih.

Setelah pertemuan malam itu di hotel, baik Indy maupun Arjuna kembali ke kehidupan masing-masing seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda dalam hidup mereka berdua. Indy merasa perasaan yang ia miliki terhadap Arjuna mulai mempengaruhi kesehariannya, bahkan saat ia bersama Anggara atau Agni. Pikirannya sering kali melayang pada momen-momen hangat yang ia alami bersama Arjuna, seolah-olah memberi ilusi bahwa kehidupan mereka jauh dari tekanan dan kekacauan.

Namun kenyataan tetap menghantui Indy. Suatu hari, Anggara pulang lebih sore dari biasanya dengan ekspresi murung dan lelah seperti hari-hari sebelumnya. Ia nyaris tidak bicara apa pun kepada Indy, hanya berlalu begitu saja, duduk di ruang keluarga sambil membuka laptop, berkutat dengan pekerjaan dan laporan yang tampak tak ada habisnya. Indy mencoba menawarkan secangkir kopi dan camilan, namun Anggara menolak dengan nada datar, membuat Indy merasa semakin jauh dan tidak diinginkan.

Indy mengirim pesan pada Arjuna untuk sekadar berbagi perasaan. Arjuna merespons dengan hangat, berusaha menenangkan Indy, padahal ia pun sedang berada dalam kondisi yang tak jauh berbeda. Di rumah, Nisrina terus menuntut lebih darinya, mempertanyakan pekerjaan dan penghasilannya, bahkan meremehkan usaha Arjuna yang seharusnya dihargai. Malah kali ini Nisrina menuntut ingin membuat acara gender reveal besar-besaran di hotel berbintang dengan mengundang keluarga besar dan teman-temannya. Arjuna yang semula hanya menganggapi dengan sabar, kini mulai lelah dan terkadang memilih menghindar. Ada saat-saat di mana ia tak ingin pulang lebih awal, berusaha mencari alasan untuk berada di luar rumah. Pikirannya semakin penuh dengan bayangan Indy, wanita yang mampu memberinya kedamaian yang tak bisa ia temukan bersama Nisrina.

Seiring dengan semakin dalamnya keterikatan mereka, kecemasan pun mulai melanda. Setiap kali pesan dari Arjuna masuk ke ponselnya, Indy merasa khawatir jika ada yang melihat, terutama jika Agni atau Anggara memperhatikan gerak-geriknya. Demikian pula Arjuna yang mulai merasa risih dengan sorot curiga dari Nisrina setiap kali ia menerima pesan atau tiba-tiba terlihat senang setelah bertukar pesan di w******p dengan Indy.

Di tengah kebahagiaan sesaat yang mereka rasakan, Indy dan Arjuna sadar bahwa hubungan ini semakin sulit untuk dijaga. Terkadang, mereka saling meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja dan mereka pantas merasa bahagia. Namun di sisi lain, mereka tahu bahwa hidup ini tak semudah itu. Dunia kecil yang mereka ciptakan untuk pelarian sementara, suatu saat nanti pasti akan runtuh dihujam oleh kenyataan. Meski begitu, keinginan untuk bertemu lagi tak pernah padam.

Ketika malam tiba, Indy berbaring di tempat tidurnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa lega telah menemukan seseorang yang memahami dirinya, namun di sisi lain, rasa bersalah semakin menghantui. Begitu juga dengan Arjuna, yang setiap kali melihat Nisrina dan Aksara, putranya, ia merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia wujudkan sebagai suami dan ayah yang sempurna.

Batin mereka dipenuhi dilema, sadar bahwa suatu hari nanti, mungkin mereka harus membuat keputusan yang sulit. Indy dan Arjuna berada di persimpangan yang tak pasti, di mana setiap langkah ke depan terasa semakin rumit, membayangi kebahagiaan singkat yang mereka miliki.

Indy menatap pesan-pesan mesra yang dikirimkan Arjuna untuknya. Pesan-pesan yang menguatkan hatinya, yang menenangkan jiwanya, yang saat ini selalu ia tunggu setiap detiknya. Ternyata sudah sejauh ini mereka melangkah. Indy menggigit bibirnya sambil sejenak mengingat pertemuan pertamanya dengan Arjuna yang tidak mungkin ia lupakan sepanjang hidupnya.

Related chapters

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 6 - Pandangan Pertama

    “Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 7 - Sang Arjuna

    Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 8 - Awal yang Indah

    Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk

    Last Updated : 2024-11-23
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 9 - Titik Nol

    Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma

    Last Updated : 2024-11-25
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 10 - Hati Pertama yang Kami Lubangi

    Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan

    Last Updated : 2024-11-26
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 11 - Api yang Nyaris Padam

    Kelahirannya adalah hal yang paling ditunggu oleh pasangan baru Indy-Anggara. Setahun setelah pernikahan mereka, akhirnya pasangan yang merajut kasih sejak mereka masih menyandang status mahasiswa ini dikaruniai seorang putri cantik, yang lahir pada pagi hari, saat matahari baru saja menampakkan esksistensinya di ufuk timur. Putri mereka sangat cantik, bercahaya, dan tentunya sangat berharga untuk pasangan penuh kasih ini.“Namanya Agni, artinya Api. Aku harap ia selalu menerangi jalan semua orang dengan cahayanya. Ia yang selalu memiliki semangat untuk berjuang, punya cita-cita tinggi, berani, dan apa adanya. Tidak perlu menunjukkan ke dunia jika ia cemerlang dan bersinar. Gimana, bagus, namanya, Sayang?” tanya Anggara kepada Indy yang sedang menggendong buah hati mereka. Ia tampak antusias saat memberi nama putri mereka yang baru lahir tersebut.“Namanya bagus, Mas. Aku suka, filosofine apik. Tak tambahi Larasati, ya. Agni Larasati Aditya. Api yang membawa harmoni dan kebijaksanaan.

    Last Updated : 2024-11-27
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 12 - Angin yang Memadamkan Api

    Satu minggu hampir berlalu. Setiap hari, Agni semakin mengisolasi dirinya. Ia menolak makan, pergi ke sekolah, tak mau bertemu siapapun, bahkan beberapa temannya yang menjenguknya ke rumah akhirnya harus pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu dengan yang ingin dijenguk. Les piano yang selalu ia sukai pun kini menjadi beban. Ia tak lagi suka mendengar dentingan suara piano. Miss Donna selaku gurunya yang dipanggil kerumah pun gagal membujuk Agni untuk sekedar berbagi perasaan atau cerita. Agni menutup dirinya rapat-rapat untuk semua orang, termasuk Indy yang mulai merasa sangat khawatir dengan keadaan Agni yang berubah drastis. Indy mencoba menghubungi Anggara lagi, berharap suaminya bisa pulang lebih cepat. Pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, membuat Indy merasa semakin tertekan. Di tengah pekerjaannya yang menumpuk, pikirannya terus melayang pada Agni. Ia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Indy mencari-cari salah satu nama sahabatnya di ko

    Last Updated : 2024-11-28
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 13 - Rumah Ini Panggung Sandiwara

    Anggara pulang ke rumah menjelang pukul Sembilan malam. Wajahnya tampak lelah setelah hampir sepuluh hari menjalani perjalanan dinas. Kemejanya tampak kusut dan langkahnya sedikit berat. Ia membuka pintu rumah dengan harapan mendapati suasana hangat menyambutnya, setidaknya sebuah pelukan kecil dari Agni putrinya, atau sapa hangat Indy, seperti biasa. Tapi yang ia temui hanyalah keheningan. Hari ini rumah terasa sunyi, dingin, dan sepi.“Indy? Sayang?” panggilnya, sambil menaruh koper dan tas laptopnya di sofa dekat pintu masuk. Tidak ada jawaban.Ia melangkah menuju kamar Agni, mengetuk pintu pelan sebelum membukanya sedikit. Ia melihat putrinya duduk membelakangi pintu, menatap keluar jendela. Anggara tersenyum kecil, mencoba memecah kebekuan. “Assalamu’alaikum, Agni. Ayah pulang, nih.”Namun, Agni tidak menoleh. Bahkan, tubuhnya tidak bergerak sedikit pun, seolah tidak peduli.“Agni?” Anggara melangkah mendekat, suaranya lebih lembut.“Sayangku, kamu nggak kangen sama Ayah? Ayah ba

    Last Updated : 2024-12-02

Latest chapter

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 31 - Sisi Lain

    Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 30 - Berpisah Denganmu

    Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 29 - Pewaris Bukan Perintis

    Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 28 - Gemuruh

    Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 27 - Kehilangan

    Satu minggu setelah huru-hara Nisrina yang melabrak Indy di lokasi proyek, kehidupan Indy dan Arjuna dipenuhi ketegangan dan kehampaan. Indy merasa seperti hidup dalam bayangan gosip dan tatapan sinis rekan-rekannya di lokasi proyek, yang tanpa kata-kata menghakimi dirinya sebagai perusak rumah tangga orang. Sementara itu, Arjuna tenggelam dalam rasa bersalah dan kebingungan. Ia menjaga jarak dari Indy, meyakinkan dirinya bahwa fokusnya harus kembali pada keluarganya yang sedang hancur. Namun, di sela-sela waktu, pikirannya terus-menerus melayang kepada Indy, penuh dengan penyesalan atas apa yang telah mereka lalui bersama.Pada suatu hari, Nisrina tampak lebih lelah dari biasanya. Kehamilannya yang telah memasuki akhir bulan ketujuh membuat tubuhnya kerap terasa berat. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjalani rutinitasnya dengan senyuman yang dipaksakan. Sore itu, Arjuna yang baru saja pulang dari lokasi proyek, menyadari ada sesuatu yang berbedadari Nisrina.“Rin, kamu nggak apa

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 26 - Bittersweet Disposition (2)

    Imogiri, sebuah kecamatan kecil di Bantul, Yogyakarta, dikenal dengan suasana pedesaan yang tenang dan keindahan alamnya yang memukau. Sawah hijau terhampar luas, berpadu dengan pepohonan rindang yang berbaris di sepanjang jalan desa. Suasana ini menjadi tempat yang menenangkan bagi Nisrina, mahasiswi semester enam jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau PGSD, Universitas Negeri Yogyakarta, yang menjalani Kuliah Kerja Nyata atau KKN di tempat ini.Hari kedua Nisrina di sini membawa pertemuan yang tidak terduga. Saat sedang membantu warga membersihkan balai desa, matanya tertuju pada seorang pria muda yang sedang menyemai padi. Dengan tubuh tinggi, tegap, kulit kecokelatan karena terbakar matahari, dan gerakan yang cekatan, pria itu tampak begitu menyatu dengan alam sekitarnya. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum dan berbicara dengan ayahnya yang memikat hati Nisrina.“Rin, nyapo bengong?” tanya Fira, salah satu teman sekelompoknya, sambil menyikut pelan.“Enggak, cuma... siapa ya d

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 25 - Bittersweet Disposition

    Surabaya, tahun 2012. Sebuah kota penuh kenangan akan kehidupan mahasiswa, menjadi saksi pertemuan yang tak terlupakan antara Indira dan Anggara. Hari itu, cuaca cerah, dan suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ramai seperti biasa. Di tengah keramaian, Anggara, seorang mahasiswa hukum semester lima, sedang mencari tempat duduk ketika matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru yang sedang makan bersama teman-temannya.Indy duduk bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri sambil tertawa ringan. Dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda sederhana dan sorot mata lembut khas wanita Jawa, ia memancarkan aura yang membuat Anggara tak bisa mengalihkan pandangan. Indy, meskipun berasal dari Jakarta, membawa kesan yang berbeda: tutur katanya halus, gesturnya sopan, dan caranya berbicara membuatnya tampak jauh lebih dewasa dibandingkan perempuan seusianya.Anggara terpesona seketika. “Siapa dia? Cantik sekali,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.“Aku tahu dia,”

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 24 - Haruskah Yang Ini Menyerah Juga?

    Malam itu, Indy duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel menempel di telinganya. Lampu gantung yang redup menciptakan suasana hangat, tetapi hatinya dingin, penuh dengan kebimbangan dan kecemasan. Ia menggenggam erat ponselnya, mendengar suara Arjuna di ujung sana.“Indy, aku mohon... jangan menjauh seperti ini,” suara Arjuna terdengar putus asa, penuh tekanan.Indy memejamkan mata. Ia menelan ludahnya yang terasa kering. “Jun, kita nggak bisa terus seperti ini. Aku sudah cukup merusak banyak hal. Kita harus mengakhiri semuanya sebelum semua menjadi lebih buruk. Kita sudah ketahuan.”“Indy, aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa kehilangan kamu,” balas Arjuna, suaranya bergetar.Indy menggigit bibir, menahan emosinya agar air matanya tidak tumpah. “Jun, pikirkan Nisrina. Pikirkan Aksara. Aku juga punya Anggara, punya Agni. Kita nggak punya hak untuk menghancurkan hidup mereka.”“Indy...” Arjuna hampir tidak bisa berbicara. Ada kehen

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 23 - Haruskah Menyerah?

    Malam sudah larut ketika Arjuna memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Lampu teras masih menyala, namun suasana rumah terasa dingin dan sunyi. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Perasaan lelah dan frustasi menyelimutinya, seperti kabut tebal yang sulit diusir dan akhirnya membutakan matanya.Langkahnya berat saat mendekati pintu rumah. Ia tahu apa yang menunggunya di balik pintu ini: pertengkaran, tuduhan, dan ultimatum. Satu lagi momen di mana hidupnya akan terasa semakin menjauh dari kendalinya.Begitu pintu terbuka, Arjuna disambut dengan tatapan tajam Nisrina. Wanita itu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya merah, entah karena menangis atau karena amarah yang membara.“Kamu akhirnya pulang juga, Kak Arjuna,” ujar Nisrina, suaranya penuh sinisme yang pedas.“Berapa jam lagi yang akan kamu habiskan bersama selingkuhanmu sebelum benar-benar memutuskan untuk tinggal di sini?”Arjuna menutup pintu dengan hati-h

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status