Satu minggu hampir berlalu. Setiap hari, Agni semakin mengisolasi dirinya. Ia menolak makan, pergi ke sekolah, tak mau bertemu siapapun, bahkan beberapa temannya yang menjenguknya ke rumah akhirnya harus pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu dengan yang ingin dijenguk. Les piano yang selalu ia sukai pun kini menjadi beban. Ia tak lagi suka mendengar dentingan suara piano. Miss Donna selaku gurunya yang dipanggil kerumah pun gagal membujuk Agni untuk sekedar berbagi perasaan atau cerita. Agni menutup dirinya rapat-rapat untuk semua orang, termasuk Indy yang mulai merasa sangat khawatir dengan keadaan Agni yang berubah drastis. Indy mencoba menghubungi Anggara lagi, berharap suaminya bisa pulang lebih cepat. Pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, membuat Indy merasa semakin tertekan. Di tengah pekerjaannya yang menumpuk, pikirannya terus melayang pada Agni. Ia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Indy mencari-cari salah satu nama sahabatnya di ko
Anggara pulang ke rumah menjelang pukul Sembilan malam. Wajahnya tampak lelah setelah hampir sepuluh hari menjalani perjalanan dinas. Kemejanya tampak kusut dan langkahnya sedikit berat. Ia membuka pintu rumah dengan harapan mendapati suasana hangat menyambutnya, setidaknya sebuah pelukan kecil dari Agni putrinya, atau sapa hangat Indy, seperti biasa. Tapi yang ia temui hanyalah keheningan. Hari ini rumah terasa sunyi, dingin, dan sepi.“Indy? Sayang?” panggilnya, sambil menaruh koper dan tas laptopnya di sofa dekat pintu masuk. Tidak ada jawaban.Ia melangkah menuju kamar Agni, mengetuk pintu pelan sebelum membukanya sedikit. Ia melihat putrinya duduk membelakangi pintu, menatap keluar jendela. Anggara tersenyum kecil, mencoba memecah kebekuan. “Assalamu’alaikum, Agni. Ayah pulang, nih.”Namun, Agni tidak menoleh. Bahkan, tubuhnya tidak bergerak sedikit pun, seolah tidak peduli.“Agni?” Anggara melangkah mendekat, suaranya lebih lembut.“Sayangku, kamu nggak kangen sama Ayah? Ayah ba
Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal
Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri
Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca
Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai
Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob
Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali
Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola
Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak
Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan
Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be
Satu minggu setelah huru-hara Nisrina yang melabrak Indy di lokasi proyek, kehidupan Indy dan Arjuna dipenuhi ketegangan dan kehampaan. Indy merasa seperti hidup dalam bayangan gosip dan tatapan sinis rekan-rekannya di lokasi proyek, yang tanpa kata-kata menghakimi dirinya sebagai perusak rumah tangga orang. Sementara itu, Arjuna tenggelam dalam rasa bersalah dan kebingungan. Ia menjaga jarak dari Indy, meyakinkan dirinya bahwa fokusnya harus kembali pada keluarganya yang sedang hancur. Namun, di sela-sela waktu, pikirannya terus-menerus melayang kepada Indy, penuh dengan penyesalan atas apa yang telah mereka lalui bersama.Pada suatu hari, Nisrina tampak lebih lelah dari biasanya. Kehamilannya yang telah memasuki akhir bulan ketujuh membuat tubuhnya kerap terasa berat. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjalani rutinitasnya dengan senyuman yang dipaksakan. Sore itu, Arjuna yang baru saja pulang dari lokasi proyek, menyadari ada sesuatu yang berbedadari Nisrina.“Rin, kamu nggak apa
Imogiri, sebuah kecamatan kecil di Bantul, Yogyakarta, dikenal dengan suasana pedesaan yang tenang dan keindahan alamnya yang memukau. Sawah hijau terhampar luas, berpadu dengan pepohonan rindang yang berbaris di sepanjang jalan desa. Suasana ini menjadi tempat yang menenangkan bagi Nisrina, mahasiswi semester enam jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau PGSD, Universitas Negeri Yogyakarta, yang menjalani Kuliah Kerja Nyata atau KKN di tempat ini.Hari kedua Nisrina di sini membawa pertemuan yang tidak terduga. Saat sedang membantu warga membersihkan balai desa, matanya tertuju pada seorang pria muda yang sedang menyemai padi. Dengan tubuh tinggi, tegap, kulit kecokelatan karena terbakar matahari, dan gerakan yang cekatan, pria itu tampak begitu menyatu dengan alam sekitarnya. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum dan berbicara dengan ayahnya yang memikat hati Nisrina.“Rin, nyapo bengong?” tanya Fira, salah satu teman sekelompoknya, sambil menyikut pelan.“Enggak, cuma... siapa ya d
Surabaya, tahun 2012. Sebuah kota penuh kenangan akan kehidupan mahasiswa, menjadi saksi pertemuan yang tak terlupakan antara Indira dan Anggara. Hari itu, cuaca cerah, dan suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ramai seperti biasa. Di tengah keramaian, Anggara, seorang mahasiswa hukum semester lima, sedang mencari tempat duduk ketika matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru yang sedang makan bersama teman-temannya.Indy duduk bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri sambil tertawa ringan. Dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda sederhana dan sorot mata lembut khas wanita Jawa, ia memancarkan aura yang membuat Anggara tak bisa mengalihkan pandangan. Indy, meskipun berasal dari Jakarta, membawa kesan yang berbeda: tutur katanya halus, gesturnya sopan, dan caranya berbicara membuatnya tampak jauh lebih dewasa dibandingkan perempuan seusianya.Anggara terpesona seketika. “Siapa dia? Cantik sekali,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.“Aku tahu dia,”
Malam itu, Indy duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel menempel di telinganya. Lampu gantung yang redup menciptakan suasana hangat, tetapi hatinya dingin, penuh dengan kebimbangan dan kecemasan. Ia menggenggam erat ponselnya, mendengar suara Arjuna di ujung sana.“Indy, aku mohon... jangan menjauh seperti ini,” suara Arjuna terdengar putus asa, penuh tekanan.Indy memejamkan mata. Ia menelan ludahnya yang terasa kering. “Jun, kita nggak bisa terus seperti ini. Aku sudah cukup merusak banyak hal. Kita harus mengakhiri semuanya sebelum semua menjadi lebih buruk. Kita sudah ketahuan.”“Indy, aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa kehilangan kamu,” balas Arjuna, suaranya bergetar.Indy menggigit bibir, menahan emosinya agar air matanya tidak tumpah. “Jun, pikirkan Nisrina. Pikirkan Aksara. Aku juga punya Anggara, punya Agni. Kita nggak punya hak untuk menghancurkan hidup mereka.”“Indy...” Arjuna hampir tidak bisa berbicara. Ada kehen
Malam sudah larut ketika Arjuna memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Lampu teras masih menyala, namun suasana rumah terasa dingin dan sunyi. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Perasaan lelah dan frustasi menyelimutinya, seperti kabut tebal yang sulit diusir dan akhirnya membutakan matanya.Langkahnya berat saat mendekati pintu rumah. Ia tahu apa yang menunggunya di balik pintu ini: pertengkaran, tuduhan, dan ultimatum. Satu lagi momen di mana hidupnya akan terasa semakin menjauh dari kendalinya.Begitu pintu terbuka, Arjuna disambut dengan tatapan tajam Nisrina. Wanita itu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya merah, entah karena menangis atau karena amarah yang membara.“Kamu akhirnya pulang juga, Kak Arjuna,” ujar Nisrina, suaranya penuh sinisme yang pedas.“Berapa jam lagi yang akan kamu habiskan bersama selingkuhanmu sebelum benar-benar memutuskan untuk tinggal di sini?”Arjuna menutup pintu dengan hati-h