Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali
Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju
Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan
Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal
Indy membuka matanya perlahan, menyambut pagi yang tenang di kamar hotel di lantai dua puluh ini. Tirai yang setengah terbuka di jendela, membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Di sampingnya, Arjuna masih terlelap. Wajahnya tampak damai, memberikan ketenangan tersendiri di hati Indy. Indy tersenyum kecil, menikmati momen ini, saat dunia hanya milik mereka berdua.Indy beranjak perlahan dari tempat tidur, mengambil pakaian dalamnya yang berceceran di lantai, dan memakainya kembali. Kemudian ia mendekat dan duduk di pinggiran tempat tidur dekat Arjuna. Ia menatap lekat pria yang dicintainya sepenuh hati itu dengan perasaan yang campur aduk. Indy menyibak rambutnya yang sedikit berantakan. Ia beranjak kembali, berdiri di depan jendela besar, membuka gordennya dan memandangi langit cerah di luar. Ada perasaan hangat di dadanya, perasaan yang membuat Indy seolah memiliki dunia sempurna di dalam kamar enam kali delapan meter ini.Tidak lama kemudian, Arjuna terbangun dan menyapanya
Arjuna memasuki rumahnya dengan langkah berat. Ia membuka dan menutup pintu rumahnya dengan perlahan, walaupun sejujurnya ia ingin buru-buru masuk dan membuang segala beban melelahkan yang ia pikul sepanjang hari. Rumah dalam keadaan sunyi, mungkin Aksara sudah terlelap. Tetapi keheningan itu tidak membuatnya tenang. Malam ini, Nisrina tak langsung muncul dari kamar atau ruang tengah seperti biasa untuk menyambutnya atau sekadar menanyakan kabarnya. Di satu sisi, hal itu membuatnya lega, tapi di sisi lain, ia merasa semakin terasing di rumahnya sendiri.Saat ia melangkah ke ruang tengah, suara ponselnya berdering lembut dan bergetar pelan, menandakan ada pesan masuk. Arjuna merogoh saku dan melihat layar yang memunculkan nama yang belakangan selalu ia rindukan; Indy.[Honey, see you tomorrow. I miss you.]Pesan singkat itu menghantarkan senyum kecil di wajah Arjuna. Di tengah-tengah rutinitas yang berat dan hubungan rumah tangga yang semakin penuh tekanan, pesan dari Indy seperti oase
Pagi itu, Arjuna dan Indy sama-sama tiba di lokasi proyek lebih awal dari biasanya. Proyek pembangunan kantor cabang baru ini mulai menunjukkan progres yang cukup signifikan, dan pagi itu mereka harus mengawasi pemasangan struktur besi di beberapa titik. Namun, baik Arjuna maupun Indy, keduanya datang dengan pikiran yang sama-sama kusut dari rumah.Arjuna berdiri sambil mengamati pekerja yang sibuk menata besi-besi panjang dengan tatapan yang kosong. Sepanjang perjalanan menuju proyek tadi, pikirannya masih dibayangi oleh kata-kata Nisrina semalam. Ucapan yang sangat kasar dan menyakitkan tentang gajinya, tentang bagaimana ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, seolah-olah perjuangannya selama ini tak ada artinya. Semenjak hamil anak kedua mereka, Nisrina semakin sering mengeluh, merendahkan, dan membuatnya merasa tak berharga. Tadinya ia berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh hormon kehamilan, namun ternyata perilaku Nisrina semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.“Pak Ar
Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi,
Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal
Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan
Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju
Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali
Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob
Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai
Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca
Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri
Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal