Share

Bab 4 - Kosong

Author: Verona
last update Last Updated: 2024-11-20 12:40:24

Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.

Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi, entah mengapa, semakin hari, dirinya semakin sulit untuk bertemu dengan Anggara.

Beberapa menit kemudian, suara pintu depan terbuka. Langkah kaki yang berat terdengar dari kejauhan, dan tak lama kemudian, Anggara muncul di ruang tamu. Wajahnya tampak lelah dan lesu, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Ia tidak lagi menyapa Indy seperti dulu. Hanya sebuah senyum tipis singkat yang diberikan, sebelum ia melangkah ke ruang kerja pribadinya, tempat ia biasa menyelesaikan pekerjaan penting atau melepas penatnya.

Indy merasa seolah ada tembok tak terlihat antara mereka. Seperti dua orang yang dulu saling berhubungan, namun kini tak lagi bisa menemukan jalannya untuk berkomunikasi. Tentu saja, Indy tahu bahwa perubahan besar dalam hidup Anggara, terutama setelah ia ditunjuk menjadi Jaksa Senior Penugasan Khusus yang mengharuskan dirinya untuk lebih banyak berkomitmen dengan pekerjaan. Ketegangan itu mulai terasa setiap kali mereka berada dalam satu ruangan yang sama.

Setelah beberapa saat, Anggara keluar dari ruang kerjanya, tampak lebih tegang dari sebelumnya. Mungkin karena beban pekerjaan yang ia tanggung atau karena sudah terlalu lelah, namun yang jelas, sikapnya mulai berubah.

“Indy!” Anggara memanggil Indy. Suaranya agak keras, membuat Indy tersentak.

“Agni sudah makan, belum? Ini ada health report bulanannya Agni di ruang kerja aku. Kenapa hasilnya jelek? Kamu harusnya lebih perhatian, dong, dengan anak kita!”

Indy merasa darahnya naik ke wajah. Tidak hanya kata-kata Anggara yang terasa tajam, tetapi cara suaminya berbicara, yang biasanya lembut, kini terdengar begitu dingin dan kasar. Ia menahan diri, berusaha untuk tetap tenang.

“Mas, aku sudah menyiapkan makan malam, Agni tadi sudah makan, tinggal kamu aja yang belum,” jawab Indy pelan, mencoba meredam ketegangan.

Namun sepertinya Anggara sedang dinaungi rasa kesal.

“Kamu memang punya penghasilan sendiri. Kamu juga punya posisi yang bagus di perusahaan keluarga kamu itu, tapi jangan lupakan tugas dan tanggung jawab kamu sebagai ibunya Agni, dong! Masa berat badannya stuck segini-gini aja di usianya yang hampir tujuh tahun? Jangan-jangan dia jarang makan, tapi kamu nggak tahu!” Suara Anggara semakin meninggi, dan tubuhnya tampak gemetar, mungkin karena faktor stres atau kelelahan. Ia melemparkan buku health report yang bertuliskan “Agni Larasati Aditya” itu ke wajah Indy.

Indy merasa perasaannya hancur seketika. Tidak pernah ia tidak mendengar kata-kata seperti itu. Perasaan frustrasi yang sudah ia coba sembunyikan selama ini kini meledak begitu saja. Ia berusaha mengendalikan diri, namun air matanya mulai mengalir di pipinya.

“Mas, apa kamu sadar dengan apa yang barusan kamu katakan dan lakukan?” tanya Indy dengan suara bergetar.

Anggara hanya diam, seolah tidak mendengar. Dia hanya berdiri di sana, menatap Indy dengan wajah kosong. Tidak ada penyesalan atau empati di matanya, yang ada hanya kelelahan yang mendalam. Kemudian ia berbalik dan pergi menuju kamar tidur mereka.

Indy terdiam, kemudian beranjak ke ruang makan. Ia duduk di kursi makan sambil menatap beberapa porsi lauk pauk yang beberapa terlihat masih utuh. Ia merasakan hatinya terhimpit oleh kesepian dan rasa sakit yang tak terungkapkan. Tidak ada lagi perhatian, tidak ada lagi sentuhan lembut yang dulu ia rasakan. Semua yang ia dapatkan kini adalah amarah dan kekosongan.

Setelah beberapa lama, Agni keluar dari kamarnya dengan wajah bingung.

“Ibu, kenapa Ayah marah-marah?” tanyanya, suara kecilnya menggema di ruangan yang sunyi.

Indy menatap putrinya, mencoba untuk tetap tegar.

“Tidak apa-apa, sayang. Ayah hanya capek,” jawabnya, meskipun hatinya sendiri sudah penuh dengan pertanyaan. Apa yang terjadi dengan suaminya? Mengapa semuanya berubah begitu cepat?

Indy kembali ke kamar tidur mereka yang terasa asing. Anggara sudah tidur lebih dulu, dengan tubuhnya yang terkulai di tempat tidur, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Indy merasakan kesendirian yang semakin mendalam. Ada perasaan terabaikan yang terus menggerogoti hatinya. Ia merindukan perhatian yang dulu ia dapatkan dari Anggara, namun sepertinya itu sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Indy menatap ponselnya sejenak, membuka aplikasi w******p dan membuka pesan dari Arjuna. Pesan singkat dari Arjuna yang menjadi bagian hidupnya, kini terasa seperti satu-satunya tempat untuk mencurahkan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan pada Anggara.

Ia meletakkan ponselnya di samping bantal, menarik selimut ke tubuhnya, mencoba untuk tidur meskipun pikiran dan perasaannya begitu kacau. Seperti dua dunia yang saling berseberangan, rumah ini tak lagi terasa nyaman bagi Indy. Ia merindukan kebahagiaan yang dulu ia miliki, namun sepertinya semakin jauh untuk digapai.

Dan di balik kegelapan malam itu, suara hati Indy mulai bergumam, bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan hidupnya, dengan keluarga kecil yang dahulu penuh kasih ini?

Indy menatap punggung Anggara yang kini tertidur dengan posisi membelakanginya. Suara detak jam dinding yang monoton terasa mengiringi kegelisahan yang merayapi pikirannya.

Dengan perlahan, ia mendekatkan dirinya ke samping Anggara, mencoba untuk tidak membangunkannya, namun hatinya terasa begitu berat. Ia merasa putus asa, tapi mungkin saja masih ada harapan, yang membuatnya ingin mencoba lagi. Ia pernah merasakan kasih sayang walaupun telah lama hilang. Berharap sekejap saja bisa merasakan kedekatan itu kembali.

“Mas... Aku merindukanmu.” bisik Indy perlahan, mencoba meraih pundak Anggara dengan tangannya.

Namun, saat jarak mereka semakin dekat dan tangannya hendak merengkuh tubuh Anggara, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Seolah mendengar bisikan Indy, Anggara terbangun. Dengan gerakan yang cepat dan tanpa peringatan, ia menepis tangan Indy menjauh darinya. Indy terperanjat, tidak menyangka respon suaminya akan sekasar itu. Anggara bangkit dengan wajah yang tampak lebih marah dan kecewa, napasnya terengah-engah.

“Jangan sentuh aku!” teriak Anggara, suaranya serak penuh amarah.

“Kamu selalu begini! Mengapa kamu selalu mengganggu aku dengan hal-hal bodoh seperti ini? Aku capek, Indy! Aku butuh istirahat! Kamu paham tidak?”

Indy terdiam, terperangah. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hanya untuk memeluk suaminya saja, ia akan mendapat perlakuan seperti ini. Wajah Anggara tampak dipenuhi kemarahan yang seolah tidak bisa ia tahan lagi. Ketegangan dan kelelahan yang sudah lama terkumpul sepertinya pecah begitu saja.

Indy menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namun ia menahan air matanya. Semua yang ia rasakan sekarang hanya rasa sakit dan kekosongan. Apa yang terjadi dengan Anggara?

“Mas, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” suara Indy bergetar, mencoba mencari jawaban di balik sikap suaminya yang begitu keras, ketus, dingin, dan mulai kasar.

“Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu… seperti saat awal kita menikah.”

Anggara menatapnya dengan tatapan kosong, hanya ada tatapan dingin dan tidak peduli di sana. Ia menghela napas panjang, seolah lelah berbicara.

“Kamu tidak mengerti, Indy. Kamu tidak mengerti betapa berat semuanya. Semua yang aku lakukan ini untuk kita. Tapi, kamu hanya menginginkan perhatianku, seolah semua ini hanya tentang kamu. Semua orang butuh perhatian, bukan cuma kamu!”

Indy merasa dadanya sesak. Kata-kata Anggara itu menghujam dadanya dengan begitu tajam. Setiap kata terasa seperti sebuah penghinaan, membuatnya merasa tak dihargai. Ia hanya bisa menatap suaminya dengan perasaan bingung dan terluka. Sungguh, ia tidak mengerti lagi siapa suaminya yang sekarang.

“Mas, aku hanya ingin kita baik-baik saja, aku ingin kita bahagia lagi. Apakah itu tidak layak untuk diminta?” Indy berusaha berbicara dengan lembut, namun suaranya yang gemetar mencerminkan betapa rapuhnya hatinya saat ini.

Anggara hanya terdiam, tampak menunduk, namun wajahnya kembali terbingkai kelelahan.

“Aku capek, Indy,” jawabnya pelan, tapi dingin.

“Aku capek harus selalu berusaha. Berusaha menjadi suami dan ayah yang sempurna, yang memenuhi harapanmu, harapan Agni, harapan keluargaku, harapan keluargamu. Aku lelah menjadi apa yang kalian semua inginkan. Aku sudah memenuhi semua persyaratan dari Ayah kamu. Sekarang kamu mau menuntut apa lagi?”

Indy tidak bisa menahan diri lagi. Ia merasa hatinya hancur, seakan tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Suaminya bukan lagi pria yang dulu ia kenal. Keinginan untuk memperbaiki hubungan itu seolah hanyalah impian kosong. Ia merasakan betapa besar jurang di antara mereka, sebuah jurang yang semakin lebar setiap harinya.

“Mas, aku harus gimana?” tanya Indy sambil terisak.

“Aku merasa kita semakin jauh, semakin asing. Kamu sudah bukan seperti Mas Anggara Aditya yang aku kenal.”

Anggara menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dari dari tatapan Indy. “Aku juga nggak tahu, Indy, mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Sekarang biarkan aku beristirahat!”

Indy hanya bisa diam mematung, merasakan dingin yang mencekam menyelimuti hatinya. Ia ingin memeluk Anggara, namun di balik jarak yang semakin jauh, ia merasa tak mampu lagi menjangkaunya.

Seketika, kesunyian melanda ruangan itu. Keinginan Indy untuk memperbaiki semuanya bertemu dengan kenyataan pahit bahwa situasi ini lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Akhirnya, Anggara berbalik dan kembali tidur membelakangi Indy. Ia menarik selimut, menutupi tubuhnya. Tanpa ada kata-kata lagi. Tanpa ada penjelasan. Ia menutup mata, seolah ingin melupakan apa yang baru saja terjadi. Indy hanya bisa duduk di samping Anggara, menatapnya dengan hati yang remuk redam.

Air mata yang sempat ditahan akhirnya jatuh, perlahan. Ia tahu, semuanya sudah berbeda. Nyaris tak ada lagi ruang untuk mereka kembali seperti dulu.

Related chapters

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 5 - Di Persimpangan yang Tak Pasti

    Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Ang

    Last Updated : 2024-11-20
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 6 - Pandangan Pertama

    “Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 7 - Sang Arjuna

    Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 8 - Awal yang Indah

    Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk

    Last Updated : 2024-11-23
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 9 - Titik Nol

    Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma

    Last Updated : 2024-11-25
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 10 - Hati Pertama yang Kami Lubangi

    Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan

    Last Updated : 2024-11-26
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 11 - Api yang Nyaris Padam

    Kelahirannya adalah hal yang paling ditunggu oleh pasangan baru Indy-Anggara. Setahun setelah pernikahan mereka, akhirnya pasangan yang merajut kasih sejak mereka masih menyandang status mahasiswa ini dikaruniai seorang putri cantik, yang lahir pada pagi hari, saat matahari baru saja menampakkan esksistensinya di ufuk timur. Putri mereka sangat cantik, bercahaya, dan tentunya sangat berharga untuk pasangan penuh kasih ini.“Namanya Agni, artinya Api. Aku harap ia selalu menerangi jalan semua orang dengan cahayanya. Ia yang selalu memiliki semangat untuk berjuang, punya cita-cita tinggi, berani, dan apa adanya. Tidak perlu menunjukkan ke dunia jika ia cemerlang dan bersinar. Gimana, bagus, namanya, Sayang?” tanya Anggara kepada Indy yang sedang menggendong buah hati mereka. Ia tampak antusias saat memberi nama putri mereka yang baru lahir tersebut.“Namanya bagus, Mas. Aku suka, filosofine apik. Tak tambahi Larasati, ya. Agni Larasati Aditya. Api yang membawa harmoni dan kebijaksanaan.

    Last Updated : 2024-11-27
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 12 - Angin yang Memadamkan Api

    Satu minggu hampir berlalu. Setiap hari, Agni semakin mengisolasi dirinya. Ia menolak makan, pergi ke sekolah, tak mau bertemu siapapun, bahkan beberapa temannya yang menjenguknya ke rumah akhirnya harus pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu dengan yang ingin dijenguk. Les piano yang selalu ia sukai pun kini menjadi beban. Ia tak lagi suka mendengar dentingan suara piano. Miss Donna selaku gurunya yang dipanggil kerumah pun gagal membujuk Agni untuk sekedar berbagi perasaan atau cerita. Agni menutup dirinya rapat-rapat untuk semua orang, termasuk Indy yang mulai merasa sangat khawatir dengan keadaan Agni yang berubah drastis. Indy mencoba menghubungi Anggara lagi, berharap suaminya bisa pulang lebih cepat. Pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, membuat Indy merasa semakin tertekan. Di tengah pekerjaannya yang menumpuk, pikirannya terus melayang pada Agni. Ia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Indy mencari-cari salah satu nama sahabatnya di ko

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 22 - Dia Perebut Suamiku!

    Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 21 - Memberi Ruang Tanpa Perlu Melepaskan

    Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 20 - Hanya Alasan Semata

    Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 19 - Antara Luka dan Dosa

    Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 18 - Firasat

    Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 17 - Saksi

    Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 16 - Game of Love

    Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 15 - Kivandra

    Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 14 - Temaram

    Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal

DMCA.com Protection Status