Share

Bab 4 - Kosong

Author: Verona
last update Last Updated: 2024-11-20 12:40:24

Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.

Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi, entah mengapa, semakin hari, dirinya semakin sulit untuk bertemu dengan Anggara.

Beberapa menit kemudian, suara pintu depan terbuka. Langkah kaki yang berat terdengar dari kejauhan, dan tak lama kemudian, Anggara muncul di ruang tamu. Wajahnya tampak lelah dan lesu, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Ia tidak lagi menyapa Indy seperti dulu. Hanya sebuah senyum tipis singkat yang diberikan, sebelum ia melangkah ke ruang kerja pribadinya, tempat ia biasa menyelesaikan pekerjaan penting atau melepas penatnya.

Indy merasa seolah ada tembok tak terlihat antara mereka. Seperti dua orang yang dulu saling berhubungan, namun kini tak lagi bisa menemukan jalannya untuk berkomunikasi. Tentu saja, Indy tahu bahwa perubahan besar dalam hidup Anggara, terutama setelah ia ditunjuk menjadi Jaksa Senior Penugasan Khusus yang mengharuskan dirinya untuk lebih banyak berkomitmen dengan pekerjaan. Ketegangan itu mulai terasa setiap kali mereka berada dalam satu ruangan yang sama.

Setelah beberapa saat, Anggara keluar dari ruang kerjanya, tampak lebih tegang dari sebelumnya. Mungkin karena beban pekerjaan yang ia tanggung atau karena sudah terlalu lelah, namun yang jelas, sikapnya mulai berubah.

“Indy!” Anggara memanggil Indy. Suaranya agak keras, membuat Indy tersentak.

“Agni sudah makan, belum? Ini ada health report bulanannya Agni di ruang kerja aku. Kenapa hasilnya jelek? Kamu harusnya lebih perhatian, dong, dengan anak kita!”

Indy merasa darahnya naik ke wajah. Tidak hanya kata-kata Anggara yang terasa tajam, tetapi cara suaminya berbicara, yang biasanya lembut, kini terdengar begitu dingin dan kasar. Ia menahan diri, berusaha untuk tetap tenang.

“Mas, aku sudah menyiapkan makan malam, Agni tadi sudah makan, tinggal kamu aja yang belum,” jawab Indy pelan, mencoba meredam ketegangan.

Namun sepertinya Anggara sedang dinaungi rasa kesal.

“Kamu memang punya penghasilan sendiri. Kamu juga punya posisi yang bagus di perusahaan keluarga kamu itu, tapi jangan lupakan tugas dan tanggung jawab kamu sebagai ibunya Agni, dong! Masa berat badannya stuck segini-gini aja di usianya yang hampir tujuh tahun? Jangan-jangan dia jarang makan, tapi kamu nggak tahu!” Suara Anggara semakin meninggi, dan tubuhnya tampak gemetar, mungkin karena faktor stres atau kelelahan. Ia melemparkan buku health report yang bertuliskan “Agni Larasati Aditya” itu ke wajah Indy.

Indy merasa perasaannya hancur seketika. Tidak pernah ia tidak mendengar kata-kata seperti itu. Perasaan frustrasi yang sudah ia coba sembunyikan selama ini kini meledak begitu saja. Ia berusaha mengendalikan diri, namun air matanya mulai mengalir di pipinya.

“Mas, apa kamu sadar dengan apa yang barusan kamu katakan dan lakukan?” tanya Indy dengan suara bergetar.

Anggara hanya diam, seolah tidak mendengar. Dia hanya berdiri di sana, menatap Indy dengan wajah kosong. Tidak ada penyesalan atau empati di matanya, yang ada hanya kelelahan yang mendalam. Kemudian ia berbalik dan pergi menuju kamar tidur mereka.

Indy terdiam, kemudian beranjak ke ruang makan. Ia duduk di kursi makan sambil menatap beberapa porsi lauk pauk yang beberapa terlihat masih utuh. Ia merasakan hatinya terhimpit oleh kesepian dan rasa sakit yang tak terungkapkan. Tidak ada lagi perhatian, tidak ada lagi sentuhan lembut yang dulu ia rasakan. Semua yang ia dapatkan kini adalah amarah dan kekosongan.

Setelah beberapa lama, Agni keluar dari kamarnya dengan wajah bingung.

“Ibu, kenapa Ayah marah-marah?” tanyanya, suara kecilnya menggema di ruangan yang sunyi.

Indy menatap putrinya, mencoba untuk tetap tegar.

“Tidak apa-apa, sayang. Ayah hanya capek,” jawabnya, meskipun hatinya sendiri sudah penuh dengan pertanyaan. Apa yang terjadi dengan suaminya? Mengapa semuanya berubah begitu cepat?

Indy kembali ke kamar tidur mereka yang terasa asing. Anggara sudah tidur lebih dulu, dengan tubuhnya yang terkulai di tempat tidur, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Indy merasakan kesendirian yang semakin mendalam. Ada perasaan terabaikan yang terus menggerogoti hatinya. Ia merindukan perhatian yang dulu ia dapatkan dari Anggara, namun sepertinya itu sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Indy menatap ponselnya sejenak, membuka aplikasi w******p dan membuka pesan dari Arjuna. Pesan singkat dari Arjuna yang menjadi bagian hidupnya, kini terasa seperti satu-satunya tempat untuk mencurahkan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan pada Anggara.

Ia meletakkan ponselnya di samping bantal, menarik selimut ke tubuhnya, mencoba untuk tidur meskipun pikiran dan perasaannya begitu kacau. Seperti dua dunia yang saling berseberangan, rumah ini tak lagi terasa nyaman bagi Indy. Ia merindukan kebahagiaan yang dulu ia miliki, namun sepertinya semakin jauh untuk digapai.

Dan di balik kegelapan malam itu, suara hati Indy mulai bergumam, bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan hidupnya, dengan keluarga kecil yang dahulu penuh kasih ini?

Indy menatap punggung Anggara yang kini tertidur dengan posisi membelakanginya. Suara detak jam dinding yang monoton terasa mengiringi kegelisahan yang merayapi pikirannya.

Dengan perlahan, ia mendekatkan dirinya ke samping Anggara, mencoba untuk tidak membangunkannya, namun hatinya terasa begitu berat. Ia merasa putus asa, tapi mungkin saja masih ada harapan, yang membuatnya ingin mencoba lagi. Ia pernah merasakan kasih sayang walaupun telah lama hilang. Berharap sekejap saja bisa merasakan kedekatan itu kembali.

“Mas... Aku merindukanmu.” bisik Indy perlahan, mencoba meraih pundak Anggara dengan tangannya.

Namun, saat jarak mereka semakin dekat dan tangannya hendak merengkuh tubuh Anggara, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Seolah mendengar bisikan Indy, Anggara terbangun. Dengan gerakan yang cepat dan tanpa peringatan, ia menepis tangan Indy menjauh darinya. Indy terperanjat, tidak menyangka respon suaminya akan sekasar itu. Anggara bangkit dengan wajah yang tampak lebih marah dan kecewa, napasnya terengah-engah.

“Jangan sentuh aku!” teriak Anggara, suaranya serak penuh amarah.

“Kamu selalu begini! Mengapa kamu selalu mengganggu aku dengan hal-hal bodoh seperti ini? Aku capek, Indy! Aku butuh istirahat! Kamu paham tidak?”

Indy terdiam, terperangah. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hanya untuk memeluk suaminya saja, ia akan mendapat perlakuan seperti ini. Wajah Anggara tampak dipenuhi kemarahan yang seolah tidak bisa ia tahan lagi. Ketegangan dan kelelahan yang sudah lama terkumpul sepertinya pecah begitu saja.

Indy menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namun ia menahan air matanya. Semua yang ia rasakan sekarang hanya rasa sakit dan kekosongan. Apa yang terjadi dengan Anggara?

“Mas, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” suara Indy bergetar, mencoba mencari jawaban di balik sikap suaminya yang begitu keras, ketus, dingin, dan mulai kasar.

“Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu… seperti saat awal kita menikah.”

Anggara menatapnya dengan tatapan kosong, hanya ada tatapan dingin dan tidak peduli di sana. Ia menghela napas panjang, seolah lelah berbicara.

“Kamu tidak mengerti, Indy. Kamu tidak mengerti betapa berat semuanya. Semua yang aku lakukan ini untuk kita. Tapi, kamu hanya menginginkan perhatianku, seolah semua ini hanya tentang kamu. Semua orang butuh perhatian, bukan cuma kamu!”

Indy merasa dadanya sesak. Kata-kata Anggara itu menghujam dadanya dengan begitu tajam. Setiap kata terasa seperti sebuah penghinaan, membuatnya merasa tak dihargai. Ia hanya bisa menatap suaminya dengan perasaan bingung dan terluka. Sungguh, ia tidak mengerti lagi siapa suaminya yang sekarang.

“Mas, aku hanya ingin kita baik-baik saja, aku ingin kita bahagia lagi. Apakah itu tidak layak untuk diminta?” Indy berusaha berbicara dengan lembut, namun suaranya yang gemetar mencerminkan betapa rapuhnya hatinya saat ini.

Anggara hanya terdiam, tampak menunduk, namun wajahnya kembali terbingkai kelelahan.

“Aku capek, Indy,” jawabnya pelan, tapi dingin.

“Aku capek harus selalu berusaha. Berusaha menjadi suami dan ayah yang sempurna, yang memenuhi harapanmu, harapan Agni, harapan keluargaku, harapan keluargamu. Aku lelah menjadi apa yang kalian semua inginkan. Aku sudah memenuhi semua persyaratan dari Ayah kamu. Sekarang kamu mau menuntut apa lagi?”

Indy tidak bisa menahan diri lagi. Ia merasa hatinya hancur, seakan tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Suaminya bukan lagi pria yang dulu ia kenal. Keinginan untuk memperbaiki hubungan itu seolah hanyalah impian kosong. Ia merasakan betapa besar jurang di antara mereka, sebuah jurang yang semakin lebar setiap harinya.

“Mas, aku harus gimana?” tanya Indy sambil terisak.

“Aku merasa kita semakin jauh, semakin asing. Kamu sudah bukan seperti Mas Anggara Aditya yang aku kenal.”

Anggara menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dari dari tatapan Indy. “Aku juga nggak tahu, Indy, mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Sekarang biarkan aku beristirahat!”

Indy hanya bisa diam mematung, merasakan dingin yang mencekam menyelimuti hatinya. Ia ingin memeluk Anggara, namun di balik jarak yang semakin jauh, ia merasa tak mampu lagi menjangkaunya.

Seketika, kesunyian melanda ruangan itu. Keinginan Indy untuk memperbaiki semuanya bertemu dengan kenyataan pahit bahwa situasi ini lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Akhirnya, Anggara berbalik dan kembali tidur membelakangi Indy. Ia menarik selimut, menutupi tubuhnya. Tanpa ada kata-kata lagi. Tanpa ada penjelasan. Ia menutup mata, seolah ingin melupakan apa yang baru saja terjadi. Indy hanya bisa duduk di samping Anggara, menatapnya dengan hati yang remuk redam.

Air mata yang sempat ditahan akhirnya jatuh, perlahan. Ia tahu, semuanya sudah berbeda. Nyaris tak ada lagi ruang untuk mereka kembali seperti dulu.

Related chapters

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 5 - Di Persimpangan yang Tak Pasti

    Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Ang

    Last Updated : 2024-11-20
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 6 - Pandangan Pertama

    “Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 7 - Sang Arjuna

    Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y

    Last Updated : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 8 - Awal yang Indah

    Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk

    Last Updated : 2024-11-23
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 9 - Titik Nol

    Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma

    Last Updated : 2024-11-25
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 10 - Hati Pertama yang Kami Lubangi

    Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan

    Last Updated : 2024-11-26
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 11 - Api yang Nyaris Padam

    Kelahirannya adalah hal yang paling ditunggu oleh pasangan baru Indy-Anggara. Setahun setelah pernikahan mereka, akhirnya pasangan yang merajut kasih sejak mereka masih menyandang status mahasiswa ini dikaruniai seorang putri cantik, yang lahir pada pagi hari, saat matahari baru saja menampakkan esksistensinya di ufuk timur. Putri mereka sangat cantik, bercahaya, dan tentunya sangat berharga untuk pasangan penuh kasih ini.“Namanya Agni, artinya Api. Aku harap ia selalu menerangi jalan semua orang dengan cahayanya. Ia yang selalu memiliki semangat untuk berjuang, punya cita-cita tinggi, berani, dan apa adanya. Tidak perlu menunjukkan ke dunia jika ia cemerlang dan bersinar. Gimana, bagus, namanya, Sayang?” tanya Anggara kepada Indy yang sedang menggendong buah hati mereka. Ia tampak antusias saat memberi nama putri mereka yang baru lahir tersebut.“Namanya bagus, Mas. Aku suka, filosofine apik. Tak tambahi Larasati, ya. Agni Larasati Aditya. Api yang membawa harmoni dan kebijaksanaan.

    Last Updated : 2024-11-27
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 12 - Angin yang Memadamkan Api

    Satu minggu hampir berlalu. Setiap hari, Agni semakin mengisolasi dirinya. Ia menolak makan, pergi ke sekolah, tak mau bertemu siapapun, bahkan beberapa temannya yang menjenguknya ke rumah akhirnya harus pulang dengan tangan hampa, tanpa bertemu dengan yang ingin dijenguk. Les piano yang selalu ia sukai pun kini menjadi beban. Ia tak lagi suka mendengar dentingan suara piano. Miss Donna selaku gurunya yang dipanggil kerumah pun gagal membujuk Agni untuk sekedar berbagi perasaan atau cerita. Agni menutup dirinya rapat-rapat untuk semua orang, termasuk Indy yang mulai merasa sangat khawatir dengan keadaan Agni yang berubah drastis. Indy mencoba menghubungi Anggara lagi, berharap suaminya bisa pulang lebih cepat. Pesan yang ia kirim tak kunjung dibalas, membuat Indy merasa semakin tertekan. Di tengah pekerjaannya yang menumpuk, pikirannya terus melayang pada Agni. Ia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu harus mulai dari mana.Indy mencari-cari salah satu nama sahabatnya di ko

    Last Updated : 2024-11-28

Latest chapter

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 31 - Sisi Lain

    Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 30 - Berpisah Denganmu

    Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 29 - Pewaris Bukan Perintis

    Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 28 - Gemuruh

    Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 27 - Kehilangan

    Satu minggu setelah huru-hara Nisrina yang melabrak Indy di lokasi proyek, kehidupan Indy dan Arjuna dipenuhi ketegangan dan kehampaan. Indy merasa seperti hidup dalam bayangan gosip dan tatapan sinis rekan-rekannya di lokasi proyek, yang tanpa kata-kata menghakimi dirinya sebagai perusak rumah tangga orang. Sementara itu, Arjuna tenggelam dalam rasa bersalah dan kebingungan. Ia menjaga jarak dari Indy, meyakinkan dirinya bahwa fokusnya harus kembali pada keluarganya yang sedang hancur. Namun, di sela-sela waktu, pikirannya terus-menerus melayang kepada Indy, penuh dengan penyesalan atas apa yang telah mereka lalui bersama.Pada suatu hari, Nisrina tampak lebih lelah dari biasanya. Kehamilannya yang telah memasuki akhir bulan ketujuh membuat tubuhnya kerap terasa berat. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjalani rutinitasnya dengan senyuman yang dipaksakan. Sore itu, Arjuna yang baru saja pulang dari lokasi proyek, menyadari ada sesuatu yang berbedadari Nisrina.“Rin, kamu nggak apa

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 26 - Bittersweet Disposition (2)

    Imogiri, sebuah kecamatan kecil di Bantul, Yogyakarta, dikenal dengan suasana pedesaan yang tenang dan keindahan alamnya yang memukau. Sawah hijau terhampar luas, berpadu dengan pepohonan rindang yang berbaris di sepanjang jalan desa. Suasana ini menjadi tempat yang menenangkan bagi Nisrina, mahasiswi semester enam jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau PGSD, Universitas Negeri Yogyakarta, yang menjalani Kuliah Kerja Nyata atau KKN di tempat ini.Hari kedua Nisrina di sini membawa pertemuan yang tidak terduga. Saat sedang membantu warga membersihkan balai desa, matanya tertuju pada seorang pria muda yang sedang menyemai padi. Dengan tubuh tinggi, tegap, kulit kecokelatan karena terbakar matahari, dan gerakan yang cekatan, pria itu tampak begitu menyatu dengan alam sekitarnya. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum dan berbicara dengan ayahnya yang memikat hati Nisrina.“Rin, nyapo bengong?” tanya Fira, salah satu teman sekelompoknya, sambil menyikut pelan.“Enggak, cuma... siapa ya d

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 25 - Bittersweet Disposition

    Surabaya, tahun 2012. Sebuah kota penuh kenangan akan kehidupan mahasiswa, menjadi saksi pertemuan yang tak terlupakan antara Indira dan Anggara. Hari itu, cuaca cerah, dan suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ramai seperti biasa. Di tengah keramaian, Anggara, seorang mahasiswa hukum semester lima, sedang mencari tempat duduk ketika matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru yang sedang makan bersama teman-temannya.Indy duduk bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri sambil tertawa ringan. Dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda sederhana dan sorot mata lembut khas wanita Jawa, ia memancarkan aura yang membuat Anggara tak bisa mengalihkan pandangan. Indy, meskipun berasal dari Jakarta, membawa kesan yang berbeda: tutur katanya halus, gesturnya sopan, dan caranya berbicara membuatnya tampak jauh lebih dewasa dibandingkan perempuan seusianya.Anggara terpesona seketika. “Siapa dia? Cantik sekali,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.“Aku tahu dia,”

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 24 - Haruskah Yang Ini Menyerah Juga?

    Malam itu, Indy duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel menempel di telinganya. Lampu gantung yang redup menciptakan suasana hangat, tetapi hatinya dingin, penuh dengan kebimbangan dan kecemasan. Ia menggenggam erat ponselnya, mendengar suara Arjuna di ujung sana.“Indy, aku mohon... jangan menjauh seperti ini,” suara Arjuna terdengar putus asa, penuh tekanan.Indy memejamkan mata. Ia menelan ludahnya yang terasa kering. “Jun, kita nggak bisa terus seperti ini. Aku sudah cukup merusak banyak hal. Kita harus mengakhiri semuanya sebelum semua menjadi lebih buruk. Kita sudah ketahuan.”“Indy, aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa kehilangan kamu,” balas Arjuna, suaranya bergetar.Indy menggigit bibir, menahan emosinya agar air matanya tidak tumpah. “Jun, pikirkan Nisrina. Pikirkan Aksara. Aku juga punya Anggara, punya Agni. Kita nggak punya hak untuk menghancurkan hidup mereka.”“Indy...” Arjuna hampir tidak bisa berbicara. Ada kehen

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 23 - Haruskah Menyerah?

    Malam sudah larut ketika Arjuna memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Lampu teras masih menyala, namun suasana rumah terasa dingin dan sunyi. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Perasaan lelah dan frustasi menyelimutinya, seperti kabut tebal yang sulit diusir dan akhirnya membutakan matanya.Langkahnya berat saat mendekati pintu rumah. Ia tahu apa yang menunggunya di balik pintu ini: pertengkaran, tuduhan, dan ultimatum. Satu lagi momen di mana hidupnya akan terasa semakin menjauh dari kendalinya.Begitu pintu terbuka, Arjuna disambut dengan tatapan tajam Nisrina. Wanita itu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya merah, entah karena menangis atau karena amarah yang membara.“Kamu akhirnya pulang juga, Kak Arjuna,” ujar Nisrina, suaranya penuh sinisme yang pedas.“Berapa jam lagi yang akan kamu habiskan bersama selingkuhanmu sebelum benar-benar memutuskan untuk tinggal di sini?”Arjuna menutup pintu dengan hati-h

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status