Pagi itu, Arjuna dan Indy sama-sama tiba di lokasi proyek lebih awal dari biasanya. Proyek pembangunan kantor cabang baru ini mulai menunjukkan progres yang cukup signifikan, dan pagi itu mereka harus mengawasi pemasangan struktur besi di beberapa titik. Namun, baik Arjuna maupun Indy, keduanya datang dengan pikiran yang sama-sama kusut dari rumah.
Arjuna berdiri sambil mengamati pekerja yang sibuk menata besi-besi panjang dengan tatapan yang kosong. Sepanjang perjalanan menuju proyek tadi, pikirannya masih dibayangi oleh kata-kata Nisrina semalam. Ucapan yang sangat kasar dan menyakitkan tentang gajinya, tentang bagaimana ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, seolah-olah perjuangannya selama ini tak ada artinya. Semenjak hamil anak kedua mereka, Nisrina semakin sering mengeluh, merendahkan, dan membuatnya merasa tak berharga. Tadinya ia berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh hormon kehamilan, namun ternyata perilaku Nisrina semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.
“Pak Arjuna, semua sudah siap di bagian gedung A. Silakan di cek kembali, Pak.” Seorang pekerja konstruksi melaporkan.
Arjuna tersentak dan mengangguk pelan. Ia mencoba tersenyum, tetapi kelelahan tampak jelas di wajahnya. Tatapannya kembali kosong saat pekerja itu pergi, seolah pikirannya masih terperangkap dalam cengkeraman masalah rumah tangga yang semakin berat.
Di sisi lain lapangan proyek, Indy berdiri sambil mengamati area lain. Namun, pandangannya sering kali jatuh pada layar ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Anggara, suaminya. Semenjak suaminya itu diangkat menjadi Jaksa Senior Penugasan Khusus, ia tak pernah lagi mengabari atau sekedar mengirimi pesan yang manis untuk Indy. Indy merasa terabaikan, seolah-olah tak dianggap penting di mata suaminya sendiri.
Ia tahu pekerjaan Anggara memang sangat padat sehingga membuatnya sibuk, tapi rasanya sakit ketika menyadari bahwa tak pernah ada ruang bagi dirinya dalam rutinitas suaminya. Semua percakapan di antara mereka pun sudah seperti basa-basi belaka. Indy menatap ponselnya sekali lagi, lalu menghela napas panjang sebelum memasukkannya ke dalam tas.
Melihat Arjuna berdiri di kejauhan, Indy merasa ada yang aneh. Arjuna yang biasanya sigap dan tegas terlihat kehilangan semangat. Tampak lelah dan lesu.
Indy mendekat dan memanggilnya. “Pak Arjuna, apa kabar? Anda kelihatan lelah. Sedang sakit, kah?” tanyanya lembut, menahan rasa khawatir yang mulai menyergapnya.
Arjuna tersentak, menoleh dan berusaha tersenyum.
“Ah, Bu Indy. Maaf, mungkin saya kurang tidur saja,” jawabnya mencoba mengalihkan.
Indy mengamati Arjuna lebih dekat, merasakan ada yang tidak beres.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Pak? Kalau ada masalah di lapangan, jangan sungkan beri tahu saya,” tuturnya lembut.
Arjuna tersenyum kecil.
“Tidak, Bu Indy. Semuanya baik-baik saja. Hanya saja... terkadang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana,ya, Bu,” katanya dengan nada samar, namun dalam tatapan mata Arjuna yang letih, Indy bisa merasakan kepedihan yang tersirat di sana.
Perasaan empati muncul di hati Indy. Ia merasa bahwa ada sedikit kemiripan dalam situasi mereka. Ia sendiri menyimpan luka yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Merasa terabaikan, kecewa, dan kesepian dalam pernikahannya. Seolah hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, apalagi sebagai calon pewaris perusahaan, ia dituntut harus selalu sempurna.
Di sela-sela keheningan mereka, pandangan mereka bertemu. Tanpa ada kata-kata, masing-masing menyadari adanya resonansi yang kuat. Sebuah pengertian dalam diam, yang menyiratkan bahwa mereka berdua sama-sama menyimpan kesedihan yang tak sepenuhnya dipahami oleh orang lain. Mereka tersenyum kecil, namun senyum itu penuh dengan rasa yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
“Bu Indy,” Arjuna berkata, suaranya sedikit lirih.
“Saya tahu mungkin sikap ini tidak profesional, tapi… terima kasih sudah bertanya.”
Indy mengangguk, merasa tersentuh.
“Sama-sama, Pak. Terkadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Jadi jika ada yang ingin dibicarakan, saya selalu siap mendengarkan.”
Keduanya berdiri di sana, di tengah hiruk-pikuk suara proyek yang menggema. Dalam kebersamaan singkat itu, mereka merasakan ketenangan yang langka, seolah menemukan pelipur hati masing-masing di tengah hari yang panjang.
Pekerjaan di lokasi proyek terus berjalan, namun suasana hati Arjuna dan Indy tetap terbalut kegelisahan yang samar. Mereka kembali terpisah, sibuk dengan tugas masing-masing, namun sesekali pandangan mereka saling bertemu, berbicara dalam diam. Keduanya merasa ada kenyamanan yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Masing-masing membawa beban emosional yang sulit untuk diceritakan, tapi keduanya tahu, meski sekadar dalam diam, mereka saling memahami lewat bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Saat waktu makan siang tiba, Arjuna merasa kakinya terasa sangat berat. Ia memutuskan untuk pergi ke warung kecil yang ada di luar proyek untuk membeli kopi dan gorengan, berharap bisa sedikit menjernihkan pikirannya. Namun, ketika ia melihat Indy sedang duduk sendiri di meja pojok dengan sepotong roti dan Ice Americano kesukaannya, keinginan untuk berbicara dengan Indy muncul kembali.
Indy menatap ponselnya tanpa rasa, dan tidak memedulikan lingkungan sekitar. Ia mencoba menghubungi Anggara sekali lagi, berharap kali ini ada tanggapan. Namun hanya pesan singkat yang datang, mengatakan bahwa Anggara sedang sibuk dan akan mengusahakan pulang malam nanti. Pesan yang sama berulang kali ia terima, dan semakin lama, semakin membuat hatinya terasa hampa. Ada perasaan sepi yang mulai menggerogoti dirinya; perasaan yang selalu ia coba tepis dengan aktivitas harian, namun tetap saja datang dengan cara yang tak terduga.
Arjuna berjalan mendekat, duduk di hadapan Indy tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik. Indy menatapnya, lalu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekosongan yang ada di dalam dirinya.
“Lagi sibuk?” tanya Arjuna akhirnya. Suara lembutnya memecah keheningan.
Indy mengangguk pelan.
“Tidak juga, sih. Sudah lumayan selo.” Ia menarik napas dalam-dalam, menahan rasa kecewa yang bergolak di hatinya.
“Aku merasa terabaikan belakangan ini. Anggara semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku sudah mencoba membuka komunikasi, tapi sepertinya aku hanyalah bentuk fana di matanya.”
Arjuna menatap Indy dengan penuh kasih. Rasa simpati muncul dari sorot matanya.
“Aku paham, Indy. Terkadang kita memang merasa kesepian meski berada di dekat orang yang kita cintai. Pekerjaan, tuntutan hidup, bisa membuat kita merasa terisolasi.”
Indy menatapnya, merasa ada kebermaknaan dari setiap kata yang keluar dari mulut Arjuna. Ia jarang mendapatkan perhatian yang seperti itu, bahkan dari suaminya sendiri.
“Bagaimana dengan kamu, Arjuna? Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Indy, mencoba menggali lebih dalam.
Arjuna terdiam sejenak. Ia meremas tangannya, merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
“Ini soal Nisrina… Aku semakin sulit memahaminya. Dia selalu merasa kurang, selalu menginginkan lebih, dan merasa seakan-akan aku tidak bisa memenuhi ekspektasinya. Aku merasa seperti tidak pernah cukup baginya.”
Indy mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa ada kesamaan dalam perasaan mereka. Meski dalam situasi yang berbeda, keduanya sama-sama merasa tidak dihargai oleh pasangan masing-masing.
“Aku rasa kita sama, Arjuna,” kata Indy, suaranya hampir tak terdengar.
“Aku merasa begitu diabaikan, dihargai hanya ketika aku berhasil memenuhi harapan orang lain. Tidak ada ruang untuk menjadi diri sendiri.”
Arjuna menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh kasih. Mungkin jika saat ini mereka sedang tidak di lokasi kerja dan dalam posisi hanya berdua saja, ia akan langsung memeluk wanita kesayangannya itu, memberinya dukungan moral dan emosional dengan sentuhan. Saling menguatkan.
“Kita sering kali kehilangan diri kita sendiri dalam upaya memenuhi harapan orang lain, Indy. Terkadang kita lupa bahwa kita juga butuh perhatian, cinta, dan dimengerti, dipahami.”
Indy menunduk, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba bergolak di pelupuk matanya. Ada rasa haru yang menggelitik hatinya.
“Aku hanya ingin merasa dihargai, Juna. Aku ingin ada yang peduli padaku.”
Arjuna meraih tangan Indy dan menggenggamnya dengan lembut.
“Jangan lupakan aku. Aku peduli, Indy. Aku selalu peduli dengan kamu.”
Kata-kata itu membuat jantung Indy berdebar lebih cepat. Tangan Arjuna yang menggenggam tangannya, membuat dirinya merasa hangat. Perasaan yang belum ia dapatkan lagi dari Anggara dalam waktu yang lama. Meski tahu bahwa perasaan ini salah, dan keduanya terperangkap dalam hubungan yang penuh dosa, Indy tak bisa mengingkari kenyataan bahwa perasaan yang ia rasakan saat ini begitu nyata.
Mereka berdua saling memandang, dalam diam yang penuh arti. Meskipun tahu bahwa mereka harus melanjutkan hidup masing-masing, mereka juga menyadari bahwa kehadiran satu sama lain memberi sedikit kelegaan dari segala tekanan yang selama ini mereka rasakan.
“Terima kasih, Juna,” kata Indy dengan suara lembut sambil melepaskan genggaman tangan Arjuna karena ia melihat ada beberapa pekerja yang akan lewat di dekat mereka.
Arjuna tersenyum, meski ada beban di hatinya.
“Sama-sama, Indy. Kita semua butuh dihargai. Jangan pernah lupa bahwa kamu berharga, setidaknya bagiku.”
Keduanya duduk diam, menikmati keheningan yang penuh makna. Masing-masing tahu bahwa jalan mereka berdua tidak mudah, namun saat itu, mereka menemukan kenyamanan dalam pertemuan yang tak direncanakan. Sebuah kenyamanan yang meskipun singkat, mungkin bisa memberi mereka kekuatan untuk bertahan menghadapi hari-hari yang akan datang.
Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi,
Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Ang
“Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp
Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y
Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk
Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma
Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan
Kelahirannya adalah hal yang paling ditunggu oleh pasangan baru Indy-Anggara. Setahun setelah pernikahan mereka, akhirnya pasangan yang merajut kasih sejak mereka masih menyandang status mahasiswa ini dikaruniai seorang putri cantik, yang lahir pada pagi hari, saat matahari baru saja menampakkan esksistensinya di ufuk timur. Putri mereka sangat cantik, bercahaya, dan tentunya sangat berharga untuk pasangan penuh kasih ini.“Namanya Agni, artinya Api. Aku harap ia selalu menerangi jalan semua orang dengan cahayanya. Ia yang selalu memiliki semangat untuk berjuang, punya cita-cita tinggi, berani, dan apa adanya. Tidak perlu menunjukkan ke dunia jika ia cemerlang dan bersinar. Gimana, bagus, namanya, Sayang?” tanya Anggara kepada Indy yang sedang menggendong buah hati mereka. Ia tampak antusias saat memberi nama putri mereka yang baru lahir tersebut.“Namanya bagus, Mas. Aku suka, filosofine apik. Tak tambahi Larasati, ya. Agni Larasati Aditya. Api yang membawa harmoni dan kebijaksanaan.
Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola
Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak
Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan
Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be
Satu minggu setelah huru-hara Nisrina yang melabrak Indy di lokasi proyek, kehidupan Indy dan Arjuna dipenuhi ketegangan dan kehampaan. Indy merasa seperti hidup dalam bayangan gosip dan tatapan sinis rekan-rekannya di lokasi proyek, yang tanpa kata-kata menghakimi dirinya sebagai perusak rumah tangga orang. Sementara itu, Arjuna tenggelam dalam rasa bersalah dan kebingungan. Ia menjaga jarak dari Indy, meyakinkan dirinya bahwa fokusnya harus kembali pada keluarganya yang sedang hancur. Namun, di sela-sela waktu, pikirannya terus-menerus melayang kepada Indy, penuh dengan penyesalan atas apa yang telah mereka lalui bersama.Pada suatu hari, Nisrina tampak lebih lelah dari biasanya. Kehamilannya yang telah memasuki akhir bulan ketujuh membuat tubuhnya kerap terasa berat. Meskipun begitu, ia tetap berusaha menjalani rutinitasnya dengan senyuman yang dipaksakan. Sore itu, Arjuna yang baru saja pulang dari lokasi proyek, menyadari ada sesuatu yang berbedadari Nisrina.“Rin, kamu nggak apa
Imogiri, sebuah kecamatan kecil di Bantul, Yogyakarta, dikenal dengan suasana pedesaan yang tenang dan keindahan alamnya yang memukau. Sawah hijau terhampar luas, berpadu dengan pepohonan rindang yang berbaris di sepanjang jalan desa. Suasana ini menjadi tempat yang menenangkan bagi Nisrina, mahasiswi semester enam jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar atau PGSD, Universitas Negeri Yogyakarta, yang menjalani Kuliah Kerja Nyata atau KKN di tempat ini.Hari kedua Nisrina di sini membawa pertemuan yang tidak terduga. Saat sedang membantu warga membersihkan balai desa, matanya tertuju pada seorang pria muda yang sedang menyemai padi. Dengan tubuh tinggi, tegap, kulit kecokelatan karena terbakar matahari, dan gerakan yang cekatan, pria itu tampak begitu menyatu dengan alam sekitarnya. Ada sesuatu dalam caranya tersenyum dan berbicara dengan ayahnya yang memikat hati Nisrina.“Rin, nyapo bengong?” tanya Fira, salah satu teman sekelompoknya, sambil menyikut pelan.“Enggak, cuma... siapa ya d
Surabaya, tahun 2012. Sebuah kota penuh kenangan akan kehidupan mahasiswa, menjadi saksi pertemuan yang tak terlupakan antara Indira dan Anggara. Hari itu, cuaca cerah, dan suasana kantin Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ramai seperti biasa. Di tengah keramaian, Anggara, seorang mahasiswa hukum semester lima, sedang mencari tempat duduk ketika matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru yang sedang makan bersama teman-temannya.Indy duduk bersama teman-temannya, wajahnya berseri-seri sambil tertawa ringan. Dengan rambut hitam panjang yang dikuncir kuda sederhana dan sorot mata lembut khas wanita Jawa, ia memancarkan aura yang membuat Anggara tak bisa mengalihkan pandangan. Indy, meskipun berasal dari Jakarta, membawa kesan yang berbeda: tutur katanya halus, gesturnya sopan, dan caranya berbicara membuatnya tampak jauh lebih dewasa dibandingkan perempuan seusianya.Anggara terpesona seketika. “Siapa dia? Cantik sekali,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.“Aku tahu dia,”
Malam itu, Indy duduk di sofa ruang keluarga dengan ponsel menempel di telinganya. Lampu gantung yang redup menciptakan suasana hangat, tetapi hatinya dingin, penuh dengan kebimbangan dan kecemasan. Ia menggenggam erat ponselnya, mendengar suara Arjuna di ujung sana.“Indy, aku mohon... jangan menjauh seperti ini,” suara Arjuna terdengar putus asa, penuh tekanan.Indy memejamkan mata. Ia menelan ludahnya yang terasa kering. “Jun, kita nggak bisa terus seperti ini. Aku sudah cukup merusak banyak hal. Kita harus mengakhiri semuanya sebelum semua menjadi lebih buruk. Kita sudah ketahuan.”“Indy, aku tahu ini salah, tapi aku nggak bisa pura-pura semuanya baik-baik saja. Aku nggak bisa kehilangan kamu,” balas Arjuna, suaranya bergetar.Indy menggigit bibir, menahan emosinya agar air matanya tidak tumpah. “Jun, pikirkan Nisrina. Pikirkan Aksara. Aku juga punya Anggara, punya Agni. Kita nggak punya hak untuk menghancurkan hidup mereka.”“Indy...” Arjuna hampir tidak bisa berbicara. Ada kehen
Malam sudah larut ketika Arjuna memarkir mobilnya di garasi rumahnya. Lampu teras masih menyala, namun suasana rumah terasa dingin dan sunyi. Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Perasaan lelah dan frustasi menyelimutinya, seperti kabut tebal yang sulit diusir dan akhirnya membutakan matanya.Langkahnya berat saat mendekati pintu rumah. Ia tahu apa yang menunggunya di balik pintu ini: pertengkaran, tuduhan, dan ultimatum. Satu lagi momen di mana hidupnya akan terasa semakin menjauh dari kendalinya.Begitu pintu terbuka, Arjuna disambut dengan tatapan tajam Nisrina. Wanita itu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan bersedekap. Matanya merah, entah karena menangis atau karena amarah yang membara.“Kamu akhirnya pulang juga, Kak Arjuna,” ujar Nisrina, suaranya penuh sinisme yang pedas.“Berapa jam lagi yang akan kamu habiskan bersama selingkuhanmu sebelum benar-benar memutuskan untuk tinggal di sini?”Arjuna menutup pintu dengan hati-h