Beranda / Pernikahan / Menyulam Asa di Dua Hati / Bab 2 - Di Balik Senyum Sang Arjuna

Share

Bab 2 - Di Balik Senyum Sang Arjuna

Penulis: Verona
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-20 12:38:29

Arjuna memasuki rumahnya dengan langkah berat. Ia membuka dan menutup pintu rumahnya dengan perlahan, walaupun sejujurnya ia ingin buru-buru masuk dan membuang segala beban melelahkan yang ia pikul sepanjang hari. Rumah dalam keadaan sunyi, mungkin Aksara sudah terlelap. Tetapi keheningan itu tidak membuatnya tenang. Malam ini, Nisrina tak langsung muncul dari kamar atau ruang tengah seperti biasa untuk menyambutnya atau sekadar menanyakan kabarnya. Di satu sisi, hal itu membuatnya lega, tapi di sisi lain, ia merasa semakin terasing di rumahnya sendiri.

Saat ia melangkah ke ruang tengah, suara ponselnya berdering lembut dan bergetar pelan, menandakan ada pesan masuk. Arjuna merogoh saku dan melihat layar yang memunculkan nama yang belakangan selalu ia rindukan; Indy.

[Honey, see you tomorrow. I miss you.]

Pesan singkat itu menghantarkan senyum kecil di wajah Arjuna. Di tengah-tengah rutinitas yang berat dan hubungan rumah tangga yang semakin penuh tekanan, pesan dari Indy seperti oase yang menenangkan, menyejukkan. Seperti rintik hujan yang menyegarkan ditengah rasa penat. Ada kehangatan dalam kata-kata itu, sesuatu yang membuatnya merasa dihargai dan diingat.

Tanpa menunggu lama, Arjuna membalas pesan dari Indy.

[I miss you too, Honey. Can't wait to see you tomorrow.]

Ia tak memedulikan perasaan bersalah yang mungkin seharusnya ia rasakan saat mengetik pesan itu. Baginya, Indy adalah pelipur dalam hidupnya yang semakin penuh beban.

Sebelum bergati pakaian dan masuk ke dalam kamar, Arjuna duduk di sofa. Pikirannya melayang pada pertemuannya dan Indy esok hari. Ia membayangkan perbincangan mereka yang selalu terasa ringan, tanpa tuntutan atau perdebatan. Bersama Indy, ia selalu merasa dihargai sebagai dirinya sendiri, tanpa perlu membuktikan apa pun atau memenuhi standar yang sulit dicapai.

Rasa rindu yang semakin kuat membuatnya teringat pada saat-saat bersama Indy, di mana mereka bisa berbagi tawa, bicara dari hati ke hati, dan menikmati indahnya kebersamaan. Dalam kesederhanaan pertemuan mereka, ia menemukan ketenangan yang tak bisa ia dapatkan di rumah. Indy seolah mengerti segala tekanan yang ia hadapi. Tanpa banyak bertanya dan menuntut balasan, Indy mampu memberikan dukungan yang ia butuhkan.

Tak lama setelahnya, suara pintu kamar terbuka dan Nisrina keluar, sekilas memandangnya tanpa senyum atau sapaan. Arjuna membalas dengan senyum tipis, namun Nisrina berlalu begitu saja ke dapur tanpa berkata apa-apa.

Dalam diam, Arjuna menggenggam ponselnya lebih erat, seolah pesan dari Indy adalah satu-satunya hal yang mampu memberinya kekuatan malam ini. Perasaan rindu yang awalnya samar kini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar. Esok hari, ia akan kembali bertemu Indy, wanita yang menjadi cahaya di tengah segala kehampaan dan kegelapan yang sedang ia hadapi di rumah.

Dari dapur tiba-tiba Nisrina menghampiri Arjuna sambil membawa sebuah katalog rumah sakit yang−katanya−tadi siang dikirim oleh temannya. Wajah Nisrina terlihat cerah, matanya berbinar, dan ia memutar-mutar katalog itu, membolak-balik halaman dengan penuh antusias.

“Aku mau lahiran di sini, Yah,” ucap Nisrina sambil menunjuk halaman yang menampilkan fasilitas kamar VIP di rumah sakit swasta terkenal di kota ini.

“Kata Mbak Mitha, kamar di sana sangat nyaman, kayak di hotel bintang lima. Enak kalau lahiran nanti stay di sana.”

Arjuna tersenyum kecil, mencoba memahami keinginan istrinya. Namun, jujur di dalam hatinya ia khawatir tentang biayanya. Biaya kamar perawatan VIP di rumah sakit itu jauh di luar jangkauan anggaran mereka. Apalagi bukan hanya semalam perawatannya. Penghasilannya sebagai pegawai yang sudah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konstruksi, meskipun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, belum bisa mengakomodasi gaya hidup yang diinginkan Nisrina.

“Rin, apa harus lahiran di sana? Bukannya rumah sakit yang dekat sini juga cukup bagus? Asuransi dari perusahaan aku juga nanggung biaya lahiran kalau di rumah sakit yang dekat sini,” tanya Arjuna dan mencoba memberi masukan.

Nisrina mendengus, tampak kesal dengan jawaban Arjuna. “Kamu ini gimana sih, Yah! Masa istrimu bakal melahirkan di kamar yang biasa, lagi? Aku kan butuh perawatan terbaik. Lagipula, anak kita juga pantas kok lahir di tempat yang layak dan enak, enggak cuma di kamar yang sekadarnya. Masa waktu lahiran Aksara dulu ruangannya nggak enak, buat lahiran Dedek kali ini juga nggak nyaman?”

Arjuna menghela napas dalam-dalam, mencoba sabar. Ini bukan pertama kalinya Nisrina mengungkapkan tuntutan-tuntutan seperti ini. Hampir setiap hari, ada saja permintaan baru yang Nisrina ajukan, mulai dari minta dibelikan tas branded yang harganya puluhan juta, hingga makan di restoran mahal yang nama menu makanannya sulit untuk diucapkan lidah lokal, apalagi lidah desa seperti Arjuna. Sesuatu yang jauh dari kehidupan sederhana yang dulu ia bayangkan.

“Rin, aku tahu kamu ingin yang terbaik, tapi untuk sekarang mungkin kita bisa cari alternatif yang lebih terjangkau. Kebutuhan Dedek dan Aksara di masa depan juga perlu kita pikirkan,” kata Arjuna hati-hati.

“Kamu juga tahu kan, dari kantor, aku dapat kelas satu untuk rawat inap. Itu juga sudah cukup bagus dan nyaman, kok. Dulu waktu Aksara lahir, kan masih kelas dua, sekarang sudah naik kelas perawatannya. Jadi pasti lebih bagus dari yang sebelumnya.”

Nisrina memutar bola matanya dan berdecak kesal.

“Ah, aku tahu kamu memang cuma anak seorang petani miskin dari desa, dan aku nggak pernah protes soal itu, kan? Tapi setidaknya buktikan kalau kamu bisa membahagiakan aku sedikit saja. Masa begitu aja nggak bisa dan perhitungan? Kenapa aku dulu mau menikah sama kamu, ya? Padahal aku punya pilihan yang lebih…,” kalimatnya menggantung, tetapi jelas terasa menyakitkan bagi Arjuna.

Arjuna terdiam, merasakan perih yang menyelinap di balik kata-kata istrinya barusan. Nisrina selalu bisa merendahkannya dengan cara yang keras dan menusuk, seolah-olah setiap kalimatnya adalah pengingat akan kekurangannya. Ia teringat masa-masa awal pernikahan mereka, saat Nisrina selalu tersenyum cerah dan menyambutnya dengan pelukan hangat sepulang kerja. Namun sekarang, sikap hangat itu telah berubah menjadi tuntutan tanpa henti.

Nisrina tampak tak peduli dengan keheningan di antara mereka. Ia tetap memandang katalog itu dan bergumam sendiri tentang betapa mahalnya biaya persalinan di rumah sakit yang ia pilih, dan betapa nyamannya jika ia bisa menikmati momen lahiran dengan fasilitas yang mewah. Tanpa sadar, Arjuna mengepalkan tangan kanannya dengan erat, berusaha menahan emosi yang membuncah di dadanya.

Di satu sisi, ia memahami bahwa Nisrina memang terbiasa dengan hidup serba berkecukupan di keluarganya dulu. Keluarga Nisrina memiliki usaha rumah makan yang cukup besar dan terkenal di Kota Solo. Sejak kecil, Nisrina tidak pernah tahu sulitnya berjuang dari bawah. Sedangkan Arjuna adalah anak petani biasa yang berasal dari sebuah desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, di mana sulit dan pahitnya hidup sudah ia rasakan sejak dalam kandungan ibunya. Bahkan untuk kuliah saja Arjuna harus terus bergantung pada beasiswa bidik misi. Namun bukan berarti Nisrina berhak untuk merendahkan dirinya, pikir Arjuna.

“Rin, aku akan usahakan yang terbaik untuk kamu, untuk Dedek juga, tapi tolong, aku juga butuh dukunganmu,” kata Arjuna dengan suara rendah namun penuh harap.

Nisrina hanya mendengus dan bangkit dari kursinya, meninggalkan Arjuna yang masih termenung. Tanpa sepatah kata lagi, ia berjalan ke kamar dan menutup pintu dengan keras.

Arjuna terdiam, menatap pintu kamar yang tertutup rapat di depannya. Di dalam hatinya, ia merasa semakin jauh dari sosok Nisrina yang dulu dicintainya. Wanita yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya, kini malah sering membuatnya merasa tak berharga. Di sela keheningan itu, tak terasa air mata mulai meleleh di pipi Arjuna.

Suara langkah kaki Nisrina terdengar mendekat. Arjuna buru-buru menyeka air matanya, disusul Nisrina yang masuk ke dalam kamar sambil membuka dan menutup pintunya dengan kasar.

“Yah, sampai kapan kamu mau begini terus?” ucapnya ketus.

“Aku nggak mau terus hidup dalam kekurangan. Kamu harus mulai mencari pekerjaan yang lebih baik atau setidaknya bekerja lebih keras. Apa perlu kita pindah ke luar negeri supaya penghasilan kamu lebih banyak?”

Arjuna menghela napas panjang, berusaha mengontrol emosinya. Sudah sering ia mendengar ucapan seperti ini, namun malam itu terasa ribuan kali lebih menyakitkan. Setelah hari panjang yang melelahkan, ia mendambakan rumah sebagai tempat beristirahat, namun justru mendapatkan kritikan yang mengoyak perasaannya hanya karena kamar VIP di rumah sakit yang bagus untuk melahirkan.

“Aku sudah berusaha keras, Rin. Sekarang tidak mudah juga kalau mau mencari pekerjaan baru. Belum tentu aku mendapatkan gaji yang seperti sekarang ini,” jawabnya lirih, mencoba bertahan untuk tidak meledak.

“Dan kita bukannya hidup dalam kekurangan. Setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Gajiku juga sudah aku serahkan ke kamu semuanya.”

“Ya, itu kan cukup menurut kamu,” sahut Nisrina dengan nada meremehkan.

“Menurutku, itu jauh dari cukup. Dulu Papi ngasih aku uang jajan dua kali lipat dari gaji kamu. Betul, sih, kalau gajimu diberikan ke aku semua. Kan bukan hanya untuk belanja dan jajanku saja, tapi juga untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga! Dan ingat, Yah, aku juga bekerja untuk tambah-tambah uang jajan. Kamu tahu kan, gaji guru juga nggak seberapa?”

Arjuna terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir istrinya dengan rasa sakit yang makin dalam. Ia memikirkan pengorbanan yang sudah ia lakukan, waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk memastikan Nisrina dan anak-anak mereka kelak bisa hidup dengan nyaman. Tapi semua itu terasa belum cukup di mata istrinya itu.

Melihat suaminya terdiam, Nisrina melanjutkan, “Kamu tahu kan, aku tidak terbiasa hidup sederhana seperti ini. Papiku dulu memenuhi semua kebutuhanku tanpa bertanya dua kali. Dan kamu? Bahkan buat menyenangkan aku saat aku hamil saja masih mikir dua kali.”

Arjuna menelan ludah, merasakan perih di hatinya. Ia mencoba bertahan dengan alasan bahwa mungkin ini hanya fase yang akan berlalu seiring waktu. Tapi malam itu, perasaan luka di hatinya seperti sudah meringsek di ujung batas kesabarannya.

Saat itu juga, Arjuna merasakan suatu pemahaman yang pahit. Rumah tangga penuh cinta yang dulu ia bangun bersama Nisrina seakan semakin terkikis, seiring dengan tuntutan yang terus coba ia penuhi tanpa pernah mendapat penghargaan.

Bab terkait

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 3 - Dua Hati yang Rapuh

    Pagi itu, Arjuna dan Indy sama-sama tiba di lokasi proyek lebih awal dari biasanya. Proyek pembangunan kantor cabang baru ini mulai menunjukkan progres yang cukup signifikan, dan pagi itu mereka harus mengawasi pemasangan struktur besi di beberapa titik. Namun, baik Arjuna maupun Indy, keduanya datang dengan pikiran yang sama-sama kusut dari rumah.Arjuna berdiri sambil mengamati pekerja yang sibuk menata besi-besi panjang dengan tatapan yang kosong. Sepanjang perjalanan menuju proyek tadi, pikirannya masih dibayangi oleh kata-kata Nisrina semalam. Ucapan yang sangat kasar dan menyakitkan tentang gajinya, tentang bagaimana ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, seolah-olah perjuangannya selama ini tak ada artinya. Semenjak hamil anak kedua mereka, Nisrina semakin sering mengeluh, merendahkan, dan membuatnya merasa tak berharga. Tadinya ia berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh hormon kehamilan, namun ternyata perilaku Nisrina semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.“Pak Ar

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 4 - Kosong

    Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi,

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 5 - Di Persimpangan yang Tak Pasti

    Indy merebahkan tubuhnya yang sama rapuhnya dengan hatinya itu. Ia berusaha memejamkan matanya, namun rasanya tak sanggup. Hatinya dipenuhi oleh kehampaan dan kelelahan secara emosional yang semakin berat dari hari ke hari. Dalam keheningan yang mencekam, ia memandang Anggara yang sedari tadi membelakanginya, tidur dengan punggung yang kini tak lebih dari tembok penghalang nan tinggi di antara mereka. Ia tidak mengerti bagaimana semuanya bisa berubah sedemikian rupa.Indy beranjak dan mendatangi kamar Agni yang terletak di samping kamar tidurnya dan Anggara. Putri kecilnya itu sedang tertidur pulas. Wajah mungilnya tampak tenang dalam tidurnya. Indy mengelus kepala Agni perlahan, menghapus air matanya sebelum ia terisak. Putri kecil inilah satu-satunya yang membuatnya merasa utuh dan bertahan di rumah ini.Tapi di dalam hatinya, Indy tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam keterasingan di rumah yang seharusnya menjadi tempat ia merasa aman dan dicintai. Setiap percakapan dengan Ang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 6 - Pandangan Pertama

    “Siapa dia? Mengapa aku tidak pernah melihat dia sebelumnya? Apakah dia karyawan perusahaan ini? Kalau iya, dari divisi mana?” Indy menggumam dalam hati sambil memandangi pria yang baru saja dilihatnya di tengah area proyek. Setiap kali matanya bertemu sosok pria itu, debaran yang tak dikenal muncul di dadanya, perasaan yang cukup asing, tak pernah dirasakannya saat bekerja.Lamunan Indy mendadak buyar ketika sebuah suara pria agak melengking, mendayu-dayu nan namun lembut menegurnya pelan.“Bu Indy, bagaimana dengan laporan saya? Apakah sudah bisa di-ACC supaya bagian keuangan bisa segera bergerak?” Pak Rasyid, sekretaris ayahnya, bertanya sambil menepuk pelan pundak Indy. Ia menatap map kuning yang ternyata sudah sedari tadi ia pegang“Oh, iya, Pak Rasyid. Maaf, saya malah melamun,” jawab Indy, tersipu, lalu menyerahkan map laporan itu kepada Pak Rasyid. Namun pandangannya justru tertuju kembali pada pria berwajah karismatik yang tengah memegang blueprint di seberang sana.Indy memp

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 7 - Sang Arjuna

    Pria di hadapannya berdiri tenang dengan aura wibawa yang terpancar begitu alami dan menyilaukan. Sambil mengulurkan tangan, beliau memperkenalkan diri.“Saya Arjuna, Bu, Site Manager di proyek ini. Kalau ibu siapa, ya? Maaf, saya belum pernah bertemu sebelumnya.” Senyum ramah dengan dua lesung pipi tersungging di wajahnya, semakin menambah daya tarik yang membuat Indy terpesona.“Saya Indira, Pak. Panggil saja Indy. Saya biasanya di kantor, jarang turun langsung ke proyek,” balas Indy sambil menyambut uluran tangan Arjuna.Detik itu, Indy merasakan tangan Arjuna yang hangat dan terasa nyaman digenggamannya, membuatnya enggan untuk segera melepas dan malah semakin memperkuat genggamannya. Arjuna terlihat mulai tidak nyaman karena tangannya digenggam erat oleh Indy yang benar-benar sepertinya enggan melepaskan jabatan tangannya. Indy secara tidak sadar mulai tersenyum sambil menatap wajah Pak Arjuna. Sejujurnya adegan ini cukup mengerikan, persis seperti adegan ketika seorang pemburu y

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 8 - Awal yang Indah

    Indy menerawang lebih jauh lagi. Mengingat setiap detil rangkaian peristiwa yang membawanya ke situasi dan kondisi seperti sekarang ini. Ia berhasil memanggil kembali memori sekitar enam bulan yang lalu, saat ia mulai dekat dengan Arjuna dengan jalan yang tidak pernah ia pikirkan dan bayangkan sebelumnya. Peristiwa yang menjadikan Sang Arjuna seorang pahlawan yang menyelamatkan dirinya dan putrinya Agni, saat suaminya−lagi-lagi−absen saat sedang dibutuhkan kehadirannya.Ia teringat saat Agni tiba-tiba demam di malam hari. Kondisi Agni yang memiliki riwayat kejang demam tentu saja membuat Indy khawatir. Di sela kekhawatirannya, Anggara malah tidak bisa dihubungi. Kemudian…Setelah rasanya hampir putus asa, akhirnya ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya; Arjuna.Entah bisikan dari mana, ia malah berpikiran untuk menghubungi Arjuna untuk meminta tolong mengantarkannya dan Agni ke rumah sakit. Padahal ia bisa saja menghubungi Pak Rasyid atau Pak Ansor, sopir pribadi keluarganya untuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 9 - Titik Nol

    Pada suatu pagi, ketika Indy sedang mempersiapkan bekal sekolah Agni, ia menerima telepon dari ayahnya, Pak Irawan, yang meminta waktu bertemu pagi itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan beliau sudah pulih sepenuhnya dari keseleo pinggang dan mulai kembali memantau proyek bersama Indy.Setelah mengantar Agni ke sekolah TKnya, Indy buru-buru melajukan mobilnya ke kantor. Entah hal penting apa yang akan dibahas ayahnya nanti. Ia harus bersiap-siap, karena suara ayahnya tadi terdengar serius. Sesampainya di kantor, benar saja, Pak Irawan, ayahnya sudah duduk di kursi kerja Indy sambil menikmati secangkir kopi panas dan singkong rebus di depannya.“Halo, Anandaku, ada hal penting yang harus kita bahas,” suara Pak Irawan terdengar serius walaupun sambil mengunyah singkong.“Apa, Yah? Coba kalau mau ngobrol serius itu sambil ajak aku makan, kek!” Indy cemberut karena pagi-pagi ayahnya itu mengajaknya berdiskusi serius tapi beliau sendiri tampak seperti bercanda.“Lah, kamu mau ma

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 10 - Hati Pertama yang Kami Lubangi

    Entah sudah memasuki bulan ke berapa, hubungan diam-diam antara Indy dengan Arjuna terjalin. Dua sejoli ini tampak semakin mesra dari hari ke hari, meskipun saat jam kerja mereka masih menjaga profesionalitas dengan menjaga jarak dan mengobrol seperlunya dengan topik seputar pekerjaan. Namun di luar jam kerja, mereka akan kembali menjadi pasangan yang tak terpisahkan; saling mendukung satu sama lain, saling berbagi dalam hal apapun, saling memberikan rasa nyaman, rasa aman, dan kenikmatan lewat sentuhan fisik.Jam sudah menunjukkan pukul empat sore, namun Indy masih berkeliling untuk memantau proyek pembangunan kantor cabang yang sudah berjalan delapan puluh persen. Sisa sedikit lagi, maka ia sudah bisa dikatakan berhasil memenuhi misi dari ayahya untuk mengawasi proyek ini. Sedari tadi ia tak menyadari jika ponselnya bergetar, tanda ada panggilan masuk, karena terlalu fokus berkeliling dan memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Arjuna yang baru saja selesai mengadakan pertemuan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 22 - Dia Perebut Suamiku!

    Siang itu matahari bersinar terik di atas lokasi proyek. Suara mesin berat berpadu dengan langkah kaki para pekerja yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Debu beterbangan di udara, membentuk selimut tipis yang membuat pandangan menjadi sedikit buram. Indy yang sudah kembali bekerja, berdiri di dekat pondasi bangunan yang tengah dikerjakan, memeriksa struktur dengan seksama. Fokusnya terarah pada gambar di tangannya, berusaha memastikan tidak ada kesalahan yang akan merugikan proyek ini.“Bu Indy, untuk bagian pondasi yang ini, sudah sesuai dengan gambar?” tanya seorang mandor dengan suara yang cukup keras untuk mengalahkan kebisingan sekitar.Indy mengangguk. “Iya, pastikan beton yang digunakan kualitasnya sesuai, ya.”Namun, sebelum pembicaraan itu selesai, suara langkah cepat dan berdebar terdengar mendekat. Langkah yang penuh kemarahan dan intimidasi. Indy tidak sempat berpaling ketika suara tajam memanggil namanya.“Indira!”Jantung Indy berdegup kencang. Ia tidak mengenal

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 21 - Memberi Ruang Tanpa Perlu Melepaskan

    Ponsel Arjuna kembali bergetar di atas meja. Nama “Indy” berkedip-kedip di layar, bukan sebagai panggilan masuk, melainkan sebagai kontak yang sudah ia coba hubungi berkali-kali. Sudah tiga hari sejak pesan terakhirnya dibalas dengan singkat dan dingin. Jawaban-jawaban itu masih terpatri jelas di pikirannya.[Baik, terima kasih.][Ya, aku sudah tahu.][Aku sedang sibuk, nanti saja, ya.]Setiap kata yang dikirim oleh Indy seperti paku yang menancap dalam-dalam di hatinya. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel, kecemasan menjadi semakin besar. Menekan tombol panggil lagi hanya akan menambah masalah di antara mereka. Tapi ia juga tak bisa diam saja. Rasa rindu terus menggerogoti hatinya, seperti racun yang lambat laun mematikan harapan.Sambil menghela napas, ia menulis pesan singkat lagi.[Indy, tolong beri aku kesempatan bicara. Tolong jangan menghindar. Aku rindu.]Dikirim.Arjuna menatap layar, berharap akan ada respon kali ini. Namun, seperti dugaannya, ponsel itu hanya menunjukkan tan

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 20 - Hanya Alasan Semata

    Nisrina memandang jam dinding di ruang tamu dengan tatapan kosong. Jarum pendek hampir mendekati angka dua belas. Sudah lebih dari empat jam lewat dari waktu yang seharusnya Arjuna pulang. Dinginnya udara malam merasuk ke kulit, namun pikirannya jauh lebih dingin dari itu. Entah sudah berapa kali perasaan ini menggerogotinya dalam beberapa bulan terakhir. Sebuah firasat buruk yang tak bisa ia enyahkan meskipun ia mati-matian mencoba berpikir positif.Suara pintu depan yang berderit membuyarkan lamunannya. Arjuna masuk dengan langkah tergesa. Wajahnya tampak lelah, tapi masih menyisakan senyum samar. Senyum yang dulu selalu membuat Nisrina merasa aman, kini justru membuat hatinya berdebar tak nyaman.“Maaf ya, Rin. Aku pulang telat lagi. Tadi ada lembur mendadak di kantor,” ujar Arjuna sambil melepas sepatu dan merenggangkan bahunya.Nisrina mengangguk, tapi tak bisa menahan nada sinis dalam suaranya. “Selalu lembur, ya. Hampir setiap hari. Kamu benar-benar sibuk sekali, ya, Yah?”Arju

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 19 - Antara Luka dan Dosa

    Satu minggu yang laluSuasana kantor cabang PT. Adidaya Wiguna terasa hening siang itu. Udara dingin dari pendingin ruangan terpusat berbaur dengan ketegangan yang sulit dijelaskan. Indy duduk di belakang meja kerjanya, menatap kosong ke layar komputer yang sejak tadi tidak memberikan solusi apa pun. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa irama, menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan.Sudah beberapa hari ini, pikirannya berkecamuk. Ada banyak beban yang seakan menindih pundaknya. Tanggung jawab terhadap perusahaan, perasaan bersalah pada keluarganya, dan yang paling berat; perasaan rumitnya terhadap Arjuna yang kian lama semakin sulit ia pendam. Semua terasa seperti pusaran yang menariknya semakin dalam.Dengan napas panjang, Indy meraih ponsel di meja. Jemarinya bergerak membuka kontak dan memilih nama yang baginya sudah seperti malaikat: Ayahku.Ia menekan tombol panggil, lalu menunggu dengan jantung berdegup lebih cepat. Terdengar nada sambung beberapa kali

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 18 - Firasat

    Hari ini adalah hari pertama Ivan menggantikan Indy untuk mengawasi proyek pembangunan kantor cabang baru PT. Adidaya Wiguna. Pagi ini cukup cerah namun Ivan merasa tertantang. Tugas dari ayahnya ini bukan tugas main-main. Ia sudah bersiap sejak subuh, memastikan semua dokumen proyek tertata rapi di tas kerjanya. Ini bukan kali pertama Ivan berada di lapangan, tetapi situasi kali ini berbeda. Sebagai pengganti langsung Indy, ia harus membuktikan bahwa ia mampu menjaga ritme kerja di lokasi proyek yang penyelesaiannya sudah mencapai sembilan puluh lima persen itu. “Bismillahirrahmanirrahiim. Semoga hari ini lancar. Gaskan aja, lah,” gumam Ivan sembari memutar kunci mobilnya.Ia tiba di lokasi proyek dengan penuh semangat. Para pekerja sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Suara alat berat yang menderu, suara palu yang bertalu, dan debu yang beterbangan mengingatkan Ivan pada masa lalunya, saat ayahnya mengajaknya ke lokasi kerja waktu ia masih remaja dahulu. Ivan turun dari mob

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 17 - Saksi

    Hari-hari terasa seperti pusaran masalah tak berujung bagi Indy. Pikirannya terus bercabang, membuatnya sulit berkonsentrasi, bahkan membuatnya kehilangan nafsu makan. Agni yang membutuhkan perhatian ekstra selama menjalani konseling dan pemulihan psikologis, Anggara yang semakin dingin dan sibuk dengan pekerjaannya, laporan Louisa tentang Anggara dan wanita lain di Semarang, proyek kantor cabang yang akan segera diresmikan, dan... Arjuna, yang semakin gila mengejar dirinya. Semua itu berputar-putar di pikirannya, tak memberi ruang untuk sekadar bernapas dan berpikir jernih.Melihat beban berat yang semakin terlihat dari raut wajah putrinya, Pak Irawan mengambil langkah yang jarang ia lakukan, yaitu memberikan cuti panjang untuk Indy.“Kamu istirahat dulu, Nduk. Urusan kerjaan biar Ayah yang atur,” katanya saat melihat Indy mulai tidak fokus ketika diajak berbicara.Pekerjaan fungsional Indy untuk sementara diserahkan kepada Pak Rasyid, sementara Ivan, yang baru saja pulang dari Kutai

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 16 - Game of Love

    Entah siapa yang salah, entah siapa yang memulai. Lika-liku rumah tangga Indy dan Anggara tampaknya memasuki babak baru. Kerumitan demi kerumitan mulai bermunculan satu persatu. Anggara yang semakin sibuk, Indy yang menjalin kasih di belakang Anggara, hingga Agni yang tiba-tiba berubah.Di suatu siang yang datar, saat Indy sedang sibuk merapikan file-file di laptopnya yang mulai berantakan dan mengunggahnya ke penyimpanan data online, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia mengernyitkan dahinya. Di layar ponselnya, tertera nama Louisa, salah satu sahabatnya sejak SMA yang saat ini bekerja di KPK.“Lui? Ada apa siang begini calling? Tumben sekali,” tanyanya sambil bersandar di kursinya.Dari seberang telepon, suara Louisa terdengar sedikit tergesa-gesa.“Indy, gue nggak tahu harus bilang ini ke lu atau nggak, tapi gue ngerasa lu harus tahu soal ini. Jujurly, gue nggak kuat menyimpan ini sendirian.”Indy merasa ada sesuatu yang tidak beres. Nada suara Louisa terlalu serius untuk ukuran perca

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 15 - Kivandra

    Kereta terakhir dari Bandara Soekarno-Hatta akhirnya tiba di Stasiun Sudirman, membawa Kivandra kembali ke Jakarta setelah bertahun-tahun. Kali ini ia bukan lagi seorang pemuda yang meragu akan jalan hidupnya. Wajahnya menyiratkan rasa lelah, tapi di balik itu, ada kepuasan mendalam yang ia rasakan. Perjalanan panjangnya di pelosok Indonesia telah memberinya suatu kebahagiaan yang tak tergantikan.Jakarta menyambutnya dengan hiruk-pikuk yang tak asing. Setelah dua tahun lamanya ia tinggal di sebuah desa kecil di pedalaman Kutai Barat untuk mengajar, akhirnya ia kembali menghirup riuhnya aroma kota besar. Di sana, hidup berjalan lambat. Suara burung rangkong yang memanggil di pagi hari menggantikan klakson kendaraan yang kini memenuhi gendang telinganya. Ia menghela napas panjang, memanggul tas yang tampak berat di bahu, lalu memesan taksi online menuju rumah keluarga Wiguna di kawasan Menteng.Jika dahulu orang mengenal Oemar Bakrie sebagai guru jujur berbakti yang menciptakan menteri

  • Menyulam Asa di Dua Hati   Bab 14 - Temaram

    Pagi itu Indy sengaja meminta izin untuk tidak hadir bekerja. Kali ini alasannya jelas, ia harus tetap berada di samping Agni yang kondisinya memerlukan perhatian lebih. Ia menghubungi Lola, sekretarisnya untuk menghandle pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya administratif dan menunda semua rapat yang mengharuskannya hadir. Semalam Indy sudah menghubungi Pascal dan pagi ini ia akan datang untuk menemui Indy dan Agni.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika deru mesin mobil yang familiar terdengar di depan rumah Indy. Ia bergegas keluar menyambut kedatangan Pascal. Ia terlihat mengenakan kemeja kasual berwarna navy, membawa tas kerja kulit hitam khas seorang profesional.“Hei, Indy, Gimana?” sapa Pascal dengan senyum hangat. “Agni di mana sekarang?”“Di kamarnya. Aku tadi coba bujuk dia keluar, tapi dia nggak mau,” jawab Indy dengan suara pelan, ekspresi wajahnya mencerminkan rasa khawatir yang tidak berlebihan.“Baik, kita mulai dari ngobrol sedikit dulu ya, sama elu, Say,” kata Pascal

DMCA.com Protection Status