Bopo Rayi, Raden Candra meninggal dunia saat usianya menginjak remaja. Sejak saat itu ia seperti kehilangan arah. Tak ada lagi keceriaan dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Anjani sangat khawatir dengan keadaan itu. Ia takut Rayi depresi.
Atas saran keluarga besarnya, putra semata wayang itu pun dimasukkan ke pesantren. Ada banyak pertimbangan yang membuat Anjani rela melepas sang putra. Ia berharap hal itu akan memberikan manfaat untuk masa depan Rayi. Selain itu, di sana banyak teman sebaya dengannya sehingga perlahan ia dapat melupakan kesedihannya.
Tepukan lembut Rayi menyadarkan Anjani dari lamunan. Ia tersenyum tipis, lalu mengusap kepala sang putra. Sepuluh tahun sudah Rayi menimba ilmu dan kini ia kembali. Tak ada yang berubah, putranya masih seperti dulu. Sedikit manja dan usil.
"Le, mulai besok kamu yang ke pabrik, ya. Bu e capek, mau istirahat aja di rumah." Ndoro Anjani membuka pembicaraan. Ia berpikir sudah waktunya Rayi meneruskan kerajaan bisnis peninggalan kakek buyutnya.
Keluarga Rayi memiliki perkebunan tebu dan teh yang sangat luas. Usaha itu dari generasi ke generasi selalu berkembang hingga mencapai puluhan hektar. Ratusan pekerja berdatangan setiap hari memetik dan mengangkut hasilnya kemudian dikirim ke kota untuk diolah. Namun, hal itu tak dapat dilakukan di saat musim hujan. Untuk menyiasatinya tercetuslah ide kakek Rayi membangun pabrik pengolahan tebu dan teh sendiri.
"Bu e, Rayi belum siap. Selain itu masih ada urusan. Ijazah dan sertifikat pesantren juga belum keluar. Masih harus bolak-balik ke pondok." Rayi menatap lekat dan menggenggam erat tangan ibunya.
"Hhhhmmmm ... gitu terus, ya sudahlah. Le, tapi kamu harus janji kalau udah rampung, cepet bantu Bu e." Anjani menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban putra tercinta.
Wanita itu ingin sekali Rayi segera mengikuti jejaknya mewarisi yang sudah digariskan. Ia pun membalas genggaman tangan Rayi. Perlahan kepala mereka saling bertaut. Dari tempatnya, Raya dan Mabok Yati tersenyum puas melihat keakraban mereka berdua.
"Kalau makannya sudah, kamu cepat ke kamar, istirahat. Biar Raya yang bawain tasnya!" Anjani menepuk bahu Rayi dan beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan tuan muda yang masih makan.
Raya hendak mengambil tas Rayi, tetapi ditahan. Tuan muda itu ingin Raya menunggu sampai menyelesaikan makannya. Gadis itu tak banyak bicara, ia mengangguk pelan menyetujui permintaan sang majikan. Selesai makan, Raya segera mengemasi meja dan merapikan seperti semula. Kemudian ia mengikuti langkah kaki Rayi menuju kamar pribadinya.
"Ya udah, sampai sini aja. Maturnuwun." Rayi berhenti di depan kamar. Lagi-lagi Raya hanya mengangguk. Wajahnya kusut, tak nampak keceriaan di sana. Melihat itu, Rayi jadi penasaran dan memintanya untuk berbagi.
"Kenapa? Dari tadi diem aja." tiba-tiba Rayi menarik tangan Raya. Gadis itu limbung dan hampir saja menimpa tuannya yang sudah duluan duduk di lantai.
Beruntung Rayi sigap, tangannya mencengkram kuat tubuh Raya. Gadis itu segera berdiri dan mengatur jaraknya. Ia merasa baru saja terkena aliran listrik bertegangan tinggi.
"Maaf, Den. Saya tidak sengaja. Tolong jangan duduk di sini. Nanti ndoro putri murka." Raya tertunduk wajahnya kembali merona. Antara malu dan takut berdekatan dengan tuan muda. Raya merasakan hal aneh yang ia sendiri tak mengetahui.
"Gak apa-apa. Bu e, 'kan gak tahu." jawab Rayi santai.
Raya pun memberanikan diri duduk di samping tuan muda. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan di tenggorokan. Rayi semakin penasaran, ia pun menghadap ke arah Raya dan merapatkan duduknya.
"Itu, Den. Anu ... Saya mau ngelanjutin sekolah, tapi simbok gak sanggup biayanya. Saya mau sekolah di tempat Den Rayi yang ada sekolah dan ada ngajinya. Pokok e mau jadi kayak Den Rayi."
Berbagi dengan Rayi, sifat asli Raya kembali muncul. Cerewet dan gemesin. Rayi sedikit menggeser duduknya tatkala melihat Raya beberapa kali membasahi bibirnya yang merah. Ada degup yang tak biasa yang baru pertama kali ia rasakan.
"Ya udah, sana daftar. Nanti keburu tutup." Jawab Rayi. Matanya lekat menatap Raya. Gadis itu terdiam. Merasa Rayi tidak memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi.
"Simbok itu nggak punya uang, Den. Mahal! Ngerti ora son!"
Raya tampak lucu, saat bibir tipisnya mecucu. Dia juga tampak sangat kesal tuan muda masih tak memahami. Sontak Rayi jadi tertawa geli melihat Raya melotot padanya.
"Kata siapa mahal? Aku disitu nggak pernah bayar. Malah sering dapat duit, diajak jalan-jalan." Rayi menjelaskan sambil menahan tawa. Tak mau Raya tiba-tiba kabur saat diajak bicara. Seperti yang biasa ia lakukan.
Untuk kalangan bawah, sekolah Rayi memang terbilang mahal. Hanya keluarga berkecukupan yang mampu masuk dan bersekolah di sana. Rayi pemuda pintar dan berbakat. Selain akhlaknya yang sopan, dia juga ramah dan periang. Barbagai kejuaraan sering kali ia ikuti untuk mewakili pesantrennya.
"Beneran nggak bayar, Den? Kalau gitu, anterin Raya daftar, ya. Aku pasti akan belajar sungguh-sungguh supaya ndoro dan Den Rayi tidak kecewa." Raya memelas. Ditakupkan kedua tangan di depan dada. Memohon supaya Rayi bersedia mengantarkan mendaftar di pesantren tempatnya.
"Iya, aku coba hubungi bagian pendaftaran dulu masih buka apa nggak?" Rayi mengambil ponsel dari saku tasnya. Nampak ia memindai satu per satu nama-nama di kontak miliknya.
"Makasih banyak, Den. Aku mau kasih tahu simbok dulu." Tanpa sadar Raya merangkul tangan Rayi erat. Gadis itu sangat senang, harapannya melanjutkan sekolah bisa segera terwujud.
Rayi tak berani bergerak. Ada desir halus perlahan memenuhi relung hati. Dadanya bergemuruh, degup jantungnya pun berdetak terasa lebih cepat. Meski tertutup kerudung aroma wangi rambut Raya mengusik pikirannya. Jarak mereka sangat dekat, tuan muda itu menarik nafas dalam-dalam berusaha menguasai gejolak dalam diri.
"Ehem. Raya, tolong lepasin. Aku takut ada yang ..." Rayi tak melanjutkan ucapannya. Bibirnya mendadak terasa kelu.
Raya terperanjat. Segera ia melepaskan rangkulannya. Ia sangat menyesal karena terlalu senang hingga tanpa sadar melakukan hal itu. Tak mau terjadi kesalahan yang sama, ia pun meminta izin untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
Akhirnya Rayi bisa bernapas lega, biang kerusuhan di hati perlahan pergi menjauh. Ia terus memandangi punggung Raya sampai gadis itu benar-banar tak tetangkap netra elangnya.
Di dalam kamar, Rayi senyum-senyum sendiri. Segala yang terjadi di depan kamarnya terekam jelas dalam ingatan. Mata, hidung, bibir gadis kecil itu tampak sangat sempurna. Berulang kali ia memegangi dadanya merasakan debaran yang kian bertalu.
Raya, gadis itu perlahan telah mencuri hati Rayi. Dalam hitungan detik, ia mampu meluluh lantakkan pertahanan putra tunggal Anjani. Don Juan yang selalu jadi idaman para gadis keluarga terpandang. Segera ia mengusap wajahnya dan mengucap istighfar. Semuanya yang terjadi di luar jangkauannya.
đșđșđșđș
Azan Magrib berkumandang. Segera Rayi menggelar sajadah hendak salat berjemaah di musalla keluarga. Tempat yang luas berada di samping rumah. Lepas jemaah; Rayi, Anjani, Mbok Yati dan Raya melaksanakan kegiatan rutinan yang biasa dilakukan saat tuan muda di rumah. Mereka membaca Al-Qur'an secara bergantian. Tak jarang Rayi selingi dengan membaca dziba' (ad-dziba i), manaqib, atau juga rotibul haddad.
Semua kegiatan Rayi yang mengatur. Para wanita hanya menurut apapun yang ia kehendaki. Mereka baru akan kembali ke kamar masing-masing setelah jemaah Isyaâ. Setelahnya sudah menjadi tugas Rayi saat para wanita masuk ke kamar, ia akan melipat karpet dan membersihkan mushalla.
"Raya, udah matur simbok belum kalau mau daftar sekolah?" tanya Rayi saat Raya menyiapkan makan malam. Gadis itu terdiam. Wajahnya murung membuat Rayi tak nyaman. Ia suka Raya yang cerewet dan manja.
"Belum, Den. Tapi Raya gak berani. Takut, nanti simbok jadi kepikiran." jawab Raya lemah sembari menyusun piring di meja. Entah mengapa Rayi merasa semua yang dilakukan gadis kecil itu menarik perhatiannya.
"Piye toh, katanya mau sekolah. Ijin saja nggak berani. Nanti kehidupan di pondok itu keras, Raya. Kamu sekolah, ya ngaji, bangun malam, belum yang lain-lain." Rayi berucap dengan nada menggurui. Raya dalam diam mendengarkan ucapan tuannya. Dia pun mendapat ide supaya pria tampan itu membujuk Anjani memintakan izin untuknya.
"Bantu ya, Den?â Raya mengerlingkan matanya, menggoda tuan muda. Rayi tak berkutik, ia salah tingkah di hadapan Raya. Selama ini belum pernah sekalipun ada yang berani menggodanya.
"Asem." Rayi bergumam.
Lain Raya, ia terkekeh tuan muda jengkel padanya. Tampak Rayi menarik napas dalam-dalam sebelum mengiakan permintaan gadis bau kencur itu. Ia sungguh tak kuasa menolak. Niat Raya mulia. Hal yang jarang dilakukan para gadis di desanya. Sedikit sekali orang tua yang memikirkan pendidikan putrinya.
"Em ... ya sudah, nanti aku bantu matur Bu e. Tapi bener ya, di sana kamu harus belajar sungguh-sungguh. Buat kami bangga." Rayi pun setuju.
Seketika senyum merekah indah di bibir tipis Raya. Tuan muda segera menghindar, saat tangan Raya refleks hendak merangkulnya.
"Maaf, Den. Saya terlalu gembira.â Raya tertunduk. Ia pun segera berlalu menjauh. Rayi bingung hanya bisa menepuk jidatnya. Ia merasa sudah sangat berlebihan pada Raya. Bukankah selama ini gadis itu sudah menganggap seperti kakaknya sendiri.
"Bu e ⊠Raya suruh makan sini aja bareng kita. Ini masih cukup kok, nasi sama lawuhnya." pinta Rayi sambil menunjuk aneka hidangan di depannya. Anjani keberatan. Ia menolak dengan sangat halus. Selama ini belum pernah ada cerita majikan makan bersama dengan pelayan.
"Raya nanti, makannya sama Mbok Yati. Kasihan, 'kan, kalau mbok Yati makan sendirian." ucap Anjani memberi alasan. Ia pun segera mengalihkan topik pembicaraan. Berharap supaya putranya tidak terus meminta mengajak Raya makan bersama.
"Kamu kapan balik ke pondok? Cepet diurus ijazahnya." Ndoro bercakap di sela-sela makan. Rayi langsung menaruh telunjuknya di mulut. Ndoro Anjani terdiam. Ada rasa bangga dan malu dalam diri. Rayi terlihat sangat menikmati hidangan lezat olahan Raya dan ibunya.
Penghuni rumah itu bersiap menyambut Ramadan. Rayi dan Raya bertugas membersihkan sekeliling area rumah. Mereka bahu membahu menjangkau tiap sudut. Mbok Yati bertugas di dapur membersihkan seluruh perabot dan menyusun kembali ke tempatnya. Begitu juga dengan Anjani, ia memilih pakaian yang masih layak untuk dibagikan. Semua tampak antusias.
Hari-hari dilalui dengan bahagia. Berbuka dan sahur bersama. Rayi tak segan turun tangan membatu menyiapkan hidangan. Dirinya pun semakin dekat dengan Raya. Perlahan menyelami hati gadis itu walau tak berbalas. Ia menggap perhatian yang diberikan Rayi sekadar hubungan biasa antara kakak dan adik.
Ramadan karim berlalu sangat cepat. Menyisakan kenangan manis di hati Rayi. Tuan muda itu merasa Rayalah sosok gadis impian yang selama ini ia cari. Pintar, sedikit cerewet, periang, dan juga ayu rupawan. Tentu tidak mudah bagi mereka karena banyak perbedaan.
Tuan muda lebih dewasa dan juga keturunan dari keluarga berada. Ia harus lebih bersabar menunggu sampai gadis kecil itu meyelesaikan sekolah. Saat ini ia hanya menikmati semua proses, sampai pada waktunya berharap Raya akan tahu tentang perasaannya.
"Bu e, kalau besok aku ke pondok gimana? Sekalian mau anterin Raya. Dia itu mau lanjutin sekolah MA di sana," bisik Rayi.
Anjani terbelalak mendengar ucapan putranya. Dia berpikir Rayi hanya bercanda.
âLe, kamu itu sadar apa nggak barusan ngomong apa? Di pondokmu itu mahal!â papar Anjani. Ia tak habis pikir yang telah dilakukan putranya.
Seketika Rayi meletekkan jari telunjuk di ujung bibir. Memohon Anjani memelankan suaranya. Anjani pun tampak semakin bingung dengan sikap putranya.
"Bu e ... Raya ikut kita sudah sangat lama. Kita wajib memperhatikan pendidikannya. Tolong izinin dia sekolah. Selain itu, anaknya juga pinter, kok. Kalau nanti berprestasi, Bu e juga, kan yang bangga. Dijamin temen-temen arisan Bu e pasti tambah kagum dan hormat." Rayi mencoba meyakinkan Ibunda tercinta. Anjani bergeming, ia kekeh dengan pendiriannya.
Anjani hanya ingin Raya bersekolah di tempat yang tak jauh dari kediamannya. Setelah pulang gadis itu bisa segera membantu ibunya. Rayi tak mau kalah, ia memberi banyak contoh tentang hal-hal baik yang didapat Raya kalau bersekolah di pondoknya. Anjani serius berpikir. Akhirnya ibu Rayi itu mengiakan.
"Alhamdulillah, matursuwun, Bu e." Rayi bangkit dan merangkul erat ibunya. Hatinya berbunga-bunga. Ia sangat bersyukur Raya dapat melanjutkan mimpinya. Bisa memberikan kebahagiaan pada orang tersayang rasanya sungguh luar biasa. Baru kali ini Rayi merasakannya.
Restu ibunya sudah didapat, kini tidak ada lagi alasan Mbok Yati melarang Raya melanjutkan sekolah.
#Part_03 Raya sungguh berbahagia. Cita-citanya melanjutkan pendidikan di tempat impian akan segera tercapai. Rayi dan ndoro putri Anjani telah berhasil meyakinkan ibunya. "Nduk, nanti di sana jangan nakal ya. Bawa diri baik-baik. Belajar yang rajin. Jangan bikin malu Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati berlinang air mata menasehati putri bungsunya. Diusap lembut kepala Raya dengan penuh kasih sayang. "Iya, Mbok. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh." Raya memeluk erat simboknya. Mereka seakan tak ingin berpisah. Mbok Yati memiliki tiga buah hati. Dua laki-laki dan satu perempuan. Ayah Raya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Kehadiran Raya merupakan rizki terindah yang tak ternilai. Ia menjadi pelipur lara dalam kesedihan. Sejak saat itu semua kebutuhan mbok Yati dan ketiga anaknya menjadi tanggung ja
#Part_04 Alhamdulillah, ya, Allah!" rasa syukur terucap dari bibir Raya. Ia bersorak gembira, mendengar namanya disebutkan. Kini Ia akan belajar di pesantren Rayi bersama teman-teman yang berjumlah ratusan santri. Mereka pun bergegas menghambur ke luar menemui keluarganya. "Den, saya diterima! Saya diterima!" sorak Raya bersemangat. Raya segera berlari memeluk erat Rayi. Kemudian menyandarkan kepala di dada tuan muda. Tetes bulir bening mewarnai kelopak mata ungkapan rasa suka cita. Sungguh ia tak sadar apa yang telah dilakukannya. Gadis itu tenggelam dalam euphoria kebahagiaan. Entah apa yang dipikirkan Rayi, ia membalas pelukan Raya. Tangan kekarnya melingkar erat. Membenamkan semakin dalam dan mencium lembut kepala gadis kecil itu yang telah memberinya kebahagiaan. "Iya. Kamu memang pantas mend
#Part_05Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik S
#Part_06Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya."Le ... Alhamdulillah. Us
#Part_07Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih.Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stab
#Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur
Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?
Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di
#Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang
#Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m
#PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah
#Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S
#Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s
#Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap
Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di
Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?
#Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur