Beranda / Romansa / Menunggu Bulan / Merasa Kehilangan

Share

Merasa Kehilangan

Penulis: Parwati Rudra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

#Part_03

 

 

Raya sungguh berbahagia. Cita-citanya melanjutkan pendidikan di tempat impian akan segera tercapai. Rayi dan ndoro putri Anjani telah berhasil meyakinkan ibunya.

 

"Nduk, nanti di sana jangan nakal ya. Bawa diri baik-baik. Belajar yang rajin. Jangan bikin malu Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati berlinang air mata menasehati putri bungsunya. Diusap lembut kepala Raya dengan penuh kasih sayang.

 

"Iya, Mbok. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh." Raya memeluk erat simboknya. Mereka seakan tak ingin berpisah.

 

Mbok Yati memiliki tiga buah hati. Dua laki-laki dan satu perempuan. Ayah Raya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Kehadiran Raya merupakan rizki terindah yang tak ternilai. Ia menjadi pelipur lara dalam kesedihan. Sejak saat itu semua kebutuhan mbok Yati dan ketiga anaknya menjadi tanggung jawab keluarga Rayi.

 

Rayi dan Raya berpamitan. Mereka diantar pak Kusno ke terminal. Sepanjang perjalanan Raya hanya bisa menangis hingga tertidur di bahu kekar tuan muda. Untuk kesekian kali dada Rayi berdebar. Kian lama semakin kencang membuatnya tampak salah tingkah. 

 

Nafas Rayi mulai sesak mendengar lenguhan Raya. Gadis kecil yang dulu--teman bermain bersama--kini sudah beranjak remaja. Berparas cantik dengan bibir tipis merah merona. Tak bosan-bosan tuan muda itu memandanginya. 

 

Setelah hampir satu jam menyusuri jalanan beraspal, Pak Kusno--sopir pribadi keluarga Rayi akhirnya menepi. Ia segera turun dan mengambil barang-barang tuannya. Ia sangat terkejut melihat Raya tertidur di bahu tuan muda. Segera ia menjulurkan tangan mencoba membangunkan Raya.

 

"Raya, bangun. Kita sudah sampai." Pak Kusno masih terus menggoncang tubuh Raya. Ia takut Rayi murka.

 

"Jangan, Pak. Gak apa-apa." Rayi tersenyum. Ia pun menyandarkan punggungnya.

 

Pak Kusno mematung mendengar jawaban tuan muda. Sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam-garam, dia merasa ada sesuatu yang tak biasa dengan putra Anjani. Tetiba lelaki tua itu tersenyum geli, mengingat masa mudanya.

 

Semilir angin membuai Raya, hawa sejuk yang tercipta membuat gadis itu semakin merapatkan tubuh. Tanpa sadar ia mengendus-endus dan mengeratkan pelukan di lengan tuan muda. Ia sangat menikmati wangi Citrus dari parfum yang dipakai Rayi. Gadis cantik itu menggosok-gosokkan wajah hingga hidung bangirnya memerah dan sesekali terlihat tersenyum.

 

Rayi semakin tak karuan. Entah apa yang ada dipikirannya. Mata, hidung, bibir dan wajah nan ayu Raya telah memabukkan dirinya. Jarak mereka sangat dekat hingga membuat pria dewasa itu sangat sesak.

 

Merasa mobil sudah tidak bergerak, Raya mengerjap. Perlahan ia bangun dan memindai sekitar. Ia terkejut tangannya memeluk erat lengan Rayi, seketika ia menggeser duduknya. Ia tertunduk malu tak berani menunjukkan wajah.

 

"Maaf, Den, saya tidak sengaja. Saya ketiduran. Maaf, maaf." Raya menakup kedua tangan di depan dada. Ia terlihat sangat menyesal.

 

"Udah, nggak apa-apa." Jawab Rayi datar, menutupi kegugupannya. Sesaat bersama membuat pria itu sangat bahagia.

 

Di belakang Raya, Rayi berpesan pada pak Kusno untuk tidak memberitahu kejadian itu pada siapapun. Termasuk juga pada Mbok Yati, ibu Raya. Pelayan setianya itu mengangguk, mematuhi perintah majikannya.

 

Raya terus menunduk, mengikuti langkah Rayi. Ada rasa sesal dan takut. Mengetahui hal itu tuan muda tersenyum geli. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke pesantren dengan menaiki angkutan umum.

 

Azan Zuhur berkumandang ketika mereka tiba di pelataran pesantren. Teman-teman Rayi segera menghampiri saat melihat kedatanganya. Ia begitu dihormati. Dari tempatnya berdiri, Raya diam-diam memperhatikan. Terlihat salah satu dari mereka membawakan barang-barang bawaan Rayi dan meletakkan di atas meja penitipan.

 

Raya masih berdiri terpaku, dipandangi lingkungan masjid dan sekitar. Begitu luas, rapi, asri, dan juga sangat bersih. Banyak santri yang berlalu lalang ke masjid membuatnya tak sabar menjadi santriwati dan diakui sebagai keluarga besar.

 

Rayi segera menghampiri Raya. Ia menunjukkan tempat khusus jemaah wanita. Setelah berjemaah, Rayi menunggu di meja penitipan. Rambut yang basah membuatnya semakin tampan paripurna. Mata elangnya tak berkedip melihat Raya menuruni anak tangga. Dengan sedikit sapuan bedak dan pelembap bibir, Raya terlihat begitu memesona. "Duh, Gusti." Ucap Rayi lirih.

 

"Den, jangan lihat saya seperti itu." pinta Raya menyadari putra Anjani menatap lekat. Rayi pun tampak salah tingkah.

 

"Udah siap? Ayo sekarang ke bagian pendaftaran." Rayi mengalihkan pembicaraan.

 

Tempat pendaftaran santri putra dan putri berbeda. Mereka harus berjalan kurang lebih lima ratus meter untuk mencapainya. Raya tertatih-tertatih mengikuti langkah tuan muda yang berjalan sangat cepat. Berulangkali ia meminta berhenti untuk beristirahat sejenak.

 

"Aden sebaiknya jalan duluan sajalah. Tunggu saya di sana." Raya memberanikan diri menyampaikan isi hatinya.

 

"Gitu aja udah capek. Di sini harus serba cepat Raya. Makan, mandi, jalan juga harus cepat. Kalau perlu lari." Rayi menggurui gadis kecil di belakangnya.

 

"Terserah, Aden aja." Raya masih dengan nafas terengah.

 

"Asem tenan bocah iki, " gumam Rayi.

 

"Aden, ngomong apa?" tanya Raya. Dia merasa Rayi mengatakan sesuatu tentangnya.

 

"Gak, ada." Rayi mengelak.

 

Mereka pun berdebat. Rayi mengaku kalah dan bersedia mengikuti jejak kaki kecil Raya. 

 

"Untung aja kamu cantik." ledek Rayi.

 

"Apa, Den? Memang aku cantik." Raya menjulurkan ujung lidahnya, membalas ledekan Rayi.

 

"Gusti ... Gusti ... Gusti. Kuatkan iman."' ucap Rayi lirih. Ia terpaku. Raya tampak semakin menggemaskan dengan tingkahnya. Tanpa sadar gadis kecil itu telah berlalu mendahuluinya.

 

"Raya, tunggu!" Rayi bergegas mengejar.

 

Mereka saling berkejaran. Bukan hal baru karena sejak dulu mereka memang tidak pernah akur. Entah dirinya atau Raya yang memulai selalu saja ada keributan di rumah.

 

"Dasar gemblung." Rayi memukul pelan kepala Raya. Ia menggerutu karena gadis itu telah mengerjainya.

 

"Salah sendiri kenapa berhenti." Raya membeli diri. "O ya, Den, kalau nanti saya diterima, Aden jagain simbokku, ya. Pasti simbok kesepian gak ada yang gangguin."

 

"Iya. Dasar aneh." jawab Rayi sambil mempercepat langkah.

 

Waktu penerimaan santri dan santriwati baru selesai. Selama dua Minggu ke depan, Raya dan teman-temannya akan melaksanakan tes penyaringan. Ia sangat beruntung didampingi Rayi, banyak teman-teman alumni yang menawarinya bantuan.

 

Rayi mengajak Raya ke salah satu kediaman temannya yang menjadi pengasuh pondok putri. Selama masa test, Rayi sangat telaten mendampingi gadis cantik itu belajar. Semua hal yang ia ketahui, diajarkan padanya.

 

Dari menit ke menit, Rayi merasa ada sesuatu yang berbeda sangat kuat saat berdekatan dengan Raya. Dia merasa bahagia dan sangat berbunga. Wajah polos nan ayu, tingkah dan polah yang lucu serta menggemaskan membuat Rayi gelisah dan terjaga setiap malam. Ada getaran-getaran halus saat mereka tidak sengaja bersentuhan.

 

Setiap hari Rayi menunggu Raya di depan gerbang. Melihat Raya keluar dengan senyuman, Rayi semakin mabuk kepayang. Ia telah jatuh cinta dengan Raya putri pembantunya yang setia. Usia mereka terpaut jauh. Namun, Rayi tak memedulikannya.

 

Hari pengumuman telah tiba. Seluruh calon santri baik putra maupun putri menunggu di aula terbuka. Mereka semua berharap cemas, tak terkecuali Raya.

 

Dag Dig dug jantung gadis itu. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia sangat takut mengecewakan Rayi dan keluarga. Ia hanya bisa berdoa berharap semua sesuai dengan hasil kerja kerasnya.

Bab terkait

  • Menunggu Bulan   Gelora Cinta

    #Part_04 Alhamdulillah, ya, Allah!" rasa syukur terucap dari bibir Raya. Ia bersorak gembira, mendengar namanya disebutkan. Kini Ia akan belajar di pesantren Rayi bersama teman-teman yang berjumlah ratusan santri. Mereka pun bergegas menghambur ke luar menemui keluarganya. "Den, saya diterima! Saya diterima!" sorak Raya bersemangat. Raya segera berlari memeluk erat Rayi. Kemudian menyandarkan kepala di dada tuan muda. Tetes bulir bening mewarnai kelopak mata ungkapan rasa suka cita. Sungguh ia tak sadar apa yang telah dilakukannya. Gadis itu tenggelam dalam euphoria kebahagiaan. Entah apa yang dipikirkan Rayi, ia membalas pelukan Raya. Tangan kekarnya melingkar erat. Membenamkan semakin dalam dan mencium lembut kepala gadis kecil itu yang telah memberinya kebahagiaan. "Iya. Kamu memang pantas mend

  • Menunggu Bulan   Masa Penantian

    #Part_05Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik S

  • Menunggu Bulan   Penyesalan Rayi

    #Part_06Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya."Le ... Alhamdulillah. Us

  • Menunggu Bulan   Senyum Anjani

    #Part_07Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih.Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stab

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

Bab terbaru

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

DMCA.com Protection Status