#Part_05
Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.
Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.
Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."
Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik Soleh itu berusaha tenang. Ia semakin penasaran hal apa yang membuat tuan muda begitu menyukainya.
Aisyah sangat mengenal Rayi. Selain sahabat kental sang kakak, tuan muda itu santri yang aktif, pintar, berbakat, dan juga rendah hati. Tak ada santri yang tak mengenalnya. Karena kedisiplinan dan tanggung jawab yang dimiliki, ia dipercaya sebagai ketua pondok selama dua periode. Kini, karena Rayi pula ia mendapat tugas dari sang kakak untuk mengawasi gadis cantik itu.
"Aku kira cukup perkenalan kita. Hal ini jangan sampai diketahui temanmu yang lain. Apalagi kamu santri baru." Aisyah mengulurkan tangan. Raya seketika menyambut dan bergegas meninggalkan ruangan itu dengan penuh tanda tanya dalam benaknya.
đșđșđșđș
Di tempat lain, Rayi baru saja selesai membersihkan diri dan hendak merebahkan tubuhnya yang atletis. Perjalanan panjang membuatnya merasa sangat lelah. Namun, berapa saat berlalu ia masih saja gelisah, serba salah tidak tahu harus berbuat apa. Baginya, rumah besar itu kini terasa sangat sempit tanpa kehadiran sang pujaan.
Ranjang dan bantal empuk menjadi saksi betapa ia tak mampu menghilangkan bayangan gadis itu. Mata yang tajam, nanar, memandang langit-langit kamar. Raya selalu hadir membuatnya sulit terpejam. Hingga menjelang pagi pun Rayi hanya bisa berguling ke sisi kanan dan kiri. Ia kemudian memutuskan menuju kamar mandi hendak menghambakan diri. Berharap beban kerinduannya berkurang setelah mengadukan pada zat Maha Pengasih.
Rayi larut dalam sujudnya. Segala doa dan harapan dipanjatkan untuk orang-orang yang ia sayangi dan kasihi. Tanpa terasa air matanya berlinang, saat menyebutkan nama Raya. Bayangan jurang terjal nan dalam di antara mereka membuat tuan muda itu tergugu. Ia seketika memohon, dalam hidup ia hanya ingin Raya yang menjadi jodohnya. Setelah serangkaian ibadah dilakukan, Rayi kelelahan dan akhirnya tertidur pulas.
Tak terasa sang fajar menjelang. Kicauan burung samar-samar terdengar, kian lama semakin riuh bersahutan. Cahaya terang perlahan menyinari seluruh alam membawa sejuta harapan. Di rumah besar tampak Mbok Yati sibuk membuat sarapan. Aroma wangi menguar, menggugah selera, memenuhi seluruh ruangan.
Rayi mengerjap. Tubuhnya masih terasa sangat lelah. Namun, ia harus segera bangkit dan melaksanakan salat. Air yang dingin perlahan membasahi kulit tuan muda. Begitu segar terasa menenangkan. Rayi sangat menikmati setiap tetes yang tertumpah.
Setelah beribadah tuan muda segera menemui Anjani. Sejak pulang dari pesantren ia belum melihat sang ibu. Rayi pun telah berganti pakaian, mengenakan kaos perpaduan hitam dan hijau tua lengan panjang dan training berwarna senada membuatnya tampak lebih segar.
Putra Anjani itu mengurungkan niatnya saat melihat kelibat Mbok Yati. Ia tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira bahwa putrinya tercinta diterima. Menyadari keberadaan tuan muda, Mbok Yati segera menghampiri. Sama halnya Rayi, ia pun ingin segera mengetahui kabar tentang Raya.
"Den Rayi sampai jam berapa? Simbok nggak tahu." Mbok Yati menyeduh segelas teh hangat untuk tuan muda. "Raya gimana, Den? Apa dia ngerepotin?"
Rayi menyesap teh aroma melati buatan Mbok Yati. Untuk sejenak tuan muda terdiam, mengingat kembali semua kenangan indah bersama Raya. "Nggak, Mbok. Raya mandiri, nggak ngerepoti siapa-siapa. Hari ini juga dia udah mulai sekolah."
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Den. Simbok nggak tahu lagi bagaimana balas kebaikan Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati seketika menitikkan air mata. Ia menangis bahagia.
"Kami nggak berbuat apa-apa, Mbok. Semua berkat kerja keras Raya sendiri." Rayi menggemgam erat tangan wanita yang telah mengasuhnya. "Nah, tugas simbok sekarang mendoakan supaya Raya betah dan bisa mengikuti pelajaran di sana."
Mbok Yati mengangguk. Ia merasa beruntung mendapat majikan yang sangat baik. Tidak hanya memperhatikan kebutuhannya saja, tetapi juga masa depan buah hatinya. Ucapan terima kasih pun berulang kali ia lontarkan. Segelas teh telah tandas, Rayi pun beranjak hendak menemui Anjani. "Mbok, saya ke kamar Bu e dulu, ya. Dari semalam belum ketemu."
Di dalam kamar, Anjani duduk santai di ranjang. Sesekali tampak tersenyum membuka lembar demi lembar album foto masa kecil Rayi. Tak banyak perubahan yang terjadi pada sang putra. Hanya postur tubuh dan kumis tipis yang membuatnya terlihat lebih gagah.
"Hayo, Bu e lagi ngapain?" tanya Rayi mengejutkan Anjani. "Asyik banget kayaknya."
Kemudian ia duduk mensejajarkan tubuh. Rayi semringah melihat memori masa kecil dulu. Ia begitu polos dan juga lucu. Anjani menceritakan setiap kisah di balik pengambilan foto itu. Dari sekian banyak hanya satu gambar yang menarik perhatiannya. Tampak sosok ayah tercinta, ibu, Rayi, dan juga Mbok Yati yang menggendong Raya.
"Bu e, foto keluarga cuma ini aja?" tanya Rayi basa-basi. Putra Anjani itu benar-benar mabuk asmara. Sedikitpun tak bisa lepas dari bayangan Raya. Dengan memandangi foto sang pujaan ia berharap rasa rindunya sedikit terobati.
"Dulu sih, banyak. Bu e lupa naronya di mana? Paling yang di pabrik." jawab Anjani datar. Ia tak memperhatikan perubahan sikap Rayi setelah mendengar penjelasan darinya. "Jadi kapan, Le, kamu ke pabrik?"
Dengan berbisik Rayi menjawab pertanyaan Anjani, "Besok."
Sesuai janji pagi-pagi sekali Rayi bersiap. Setelah sarapan, ia bergegas menemui ibunya hendak berpamitan. Hari pertama berkerja ia ingin mendapat restu dan doa. Tak lupa ia juga menyalami takzim Mbok Yati pelayannya yang setia.
Dengan mengendarai sedan putih, Rayi meluncur menuju tempat kerja. Di sebuah pabrik tua yang menangani beberapa bidang usaha. Jalanan tampak masih lengang saat dirinya tiba di pelataran gedung. Ia pun bergegas turun untuk melihat-lihat area sekitar pabrik.
"Assalamualaikum, Den," sapa salah seorang pekerja. Suaranya lirih tak berani menatap Rayi. "Apa betul Raden ini putra Ndoro Anjani?"
Rayi tersenyum manis, wajahnya yang bersih terlihat semakin berkarisma. Ia lalu meminta pekerja itu bersikap biasa padanya.
"Iya. Saya Rayi, Pak. Putra Bu e Anjani." Rayi memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangan menghormati pria paruh baya di depannya.
"Saya Alim, Den. Mandor di sini." Pria itu pun mengenalkan diri.
Untuk sesaat mereka terlibat perbincangan hangat sembari berkeliling melihat-lihat isi dan suasana pabrik. Beriringan menyusuri lorong gelap sisi lain gedung tua. Tampak berjajar mesin-mesin produksi yang tak terawat. Sesekali pegawai itu menjelaskan cara kerjanya. Rayi mendengarkan dengan seksama, ia tak segan bertanya hal yang belum diketahuinya.
Rayi melanjutkan penelusuran menaiki tangga menuju lantai dua. Semua tampak biasa tidak ada yang menarik perhatian. Ia pun masuk ke ruang utama, kantor di mana biasa Anjani menghabiskan waktu dan pemikirannya. Lumayan luas dan bersih tertata. Rayi melihat setiap sudut ruangan, tergantung berberapa foto lama. Foto para pendahulunya. Kakek buyut, buyut, kakek dan ibunya.
Dahi Rayi berkerut saat melihat foto keluarga. Ia ingat betul foto itu diambil sebelum kepergian ayahanda tercinta. Walau hitam-putih, wajah orang yang berfoto terlihat jelas berdiri di sana. Ada yang menarik perhatiannya, seorang gadis kecil duduk di kursi persis di sampingnya. Ia terlihat lucu dengan rambut dikuncir dua.
Rayi tersenyum mengingat memori lama. Mengajak Raya berfoto susahnya luar biasa. Ada saja kenakalan gadis itu. Ia dan keluarga harus mengulang beberapa kali karena dirinya. Raya sengaja menutup kamera dengan tangan kecilnya, atau tiba-tiba berlari saat melihat kilauan kamera.
Rayi mengelus wajah Raya dengan jari telunjuk. Ada rasa ngilu di dalam dada, mengingat perpisahan beberapa waktu lalu. Gadis itu pergi setelah mencuri hatinya. Kini, ia harus bersabar menantinya kembali pulang. Lamunan Rayi buyar, saat mandor pabrik datang.
Di sofa kulit berwarna hitam, Rayi menjatuhkan tubuhnya. Ia meminta mandor mengumpulkan para pekerja. Ada beberapa hal penting yang ingin disampaikan. Segera mandor itu keluar ruangan. Dia dan teman-temannya bersiap menunggu Rayi di pelataran luas beratap pohon rindang.
Dalam sekejap Rayi sudah berkumpul dengan para pekerja. Ia menaiki podium dan menyapa semua. Senyum selalu tersungging di sudut bibirnya. Dengan kemeja biru muda dan celana panjang hitam, ia terlihat sangat berwibawa. Para pekerja terpukau dengan sambutan pertama tuan muda. Mereka saling berbisik, tampak beberapa dari mereka manggut-manggut mencerna ucapannya.
"Bapak-bapak sudah paham, ya? Besok datang seperti biasa, kita akan bersih-bersih pabrik. Semua siap?!" tanya Rayi mengulang ucapannya.
"Siap!" teriak para pekerja serempak.
"Alhamdulillah, kalau sudah mengerti. Sekarang kita tutup pertemuan ini, silakan kembali ke tempat kerjanya masing-masing." Rayi turun dari podium dan menyalami seluruh pekerja.
Untuk mewujudkan rencana kerjanya itu, Rayi meminta para mandor dari beberapa divisi untuk masuk ke ruang rapat. Mereka berjumlah lima orang dengan tugas yang berbeda. Ia sangat bersyukur, mereka dengan senang hati menuntunnya. Cita-cita Rayi sangat mulia, ia akan ada mengadakan perubahan besar demi kemajuan bisnis keluarganya.
Bersambung ...
#Part_06Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya."Le ... Alhamdulillah. Us
#Part_07Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih.Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stab
#Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur
Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?
Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di
#Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap
#Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s
#Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S
#Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang
#Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m
#PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah
#Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S
#Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s
#Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap
Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di
Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?
#Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur