Home / Romansa / Menunggu Bulan / Senyum Anjani

Share

Senyum Anjani

Author: Parwati Rudra
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

#Part_07

 

 

Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.

 

Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih. 

 

Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stabil. Mereka akhirnya dapat tersenyum lega, ibu Rayi telah melewati masa kritis. Perlahan jari lentiknya bergerak-gerak dan menyebut nama putra tercinta. "Rayi ... Rayi."

 

Mendengar ucapan Anjani, dokter dan perawat berucap syukur. Mereka sangat bahagia kerja kerasnya membuahkan hasil. Seketika dokter itu meminta salah seorang perawat menghubungi keluarga pasien. "Sus, panggil keluarganya segera. Mereka pasti sangat bahagia mengetahui hal ini."

 

"Baik, Dok." segera perawat itu keluar ruangan dan memanggil keluarga pasien. "Keluarga ibu Anjani ... keluarga ibu Anjani!"

 

 

Suara perawat menggema di depan pintu. Ia memindai sekitar mencari-cari keberadaan tuan muda.

 

"Iya, saya. Saya putranya, Sus." Rayi berjalan cepat mendekati perawat. Antara perasaan senang dan sedih bercampur mendengar penuturan perawat itu. Rayi sudah tak sabar ingin menemui Anjani yang baru siuman . Setelah mengenakan pakaian khusus, Rayi pun dipersilakan masuk.

 

"Bu e ..." Rayi menangis tersedu sambil memeluk erat ibunya. Rasa takut akan kehilangan perlahan memudar. Ia berulang kami meminta maaf telah menyakiti hati wanita yang telah melahirkannya. Diraihnya tangan yang terpasang selang infus itu dan mencium takzim. Bahunya tampak bergucang disertai isak tangis.

 

"Jangan nangis, Le. Bu e gak apa-apa. Cuma lemes aja." Ndoro mengusap kepala putra kesayangan. Air matanya luruh menyaksikan Rayi menangis tersedu. Mereka saling berpelukan erat. Dokter dan perawat yang menyaksikan menjadi terharu melihat hal itu. Mereka pun izin meninggalkan ruangan untuk proses pemindahan pasien ke ruang rawat inap.  

 

"Terima kasih banyak, Dok, Sus." Rayi mengantarkan sampai depan pintu. Ia kemudian memanggil Mbok Yati dan Pak Kusno. Mereka berhak merasakan kebahagiaan yang sama. Berkat doa mereka juga, Anjani cepat pulih. Tak henti Rayi mengucapkan banyak terima kasih pada kedua pelayan yang sangat setia. Begitu juga dengan Anjani.

 

"Mbok Yati, pak Kusno maturnuwun sudah menemani Rayi." ucap Ndoro Anjani. Suaranya masih terdengar lirih.

 

"Mbok, pak, kalian boleh pulang. Biar saya yang jaga Bu e di sini." Pinta Rayi pada para pelayannya setelah menyeka air mata. Ia tahu keduanya sudah sangat lelah.

 

"Saya mau tetap di sini, Den. Mau nemani Ndoro Anjani." Mbok Yati memaksa tinggal. Rayi dan Anjani tampak saling lempar pandang kemudian mengiakan.

 

"Kalau gitu, Pak Kusno yang jaga rumah, ya. Besok, pagi-pagi ke sini jemput mbok Yati." Pinta Rayi. 

 

"Siap, Den. Kalau gitu saya pamit sekarang. Lampu rumah juga belum dinyalakan," ucap pak Kusno. Ia pun berlalu meninggalkan majikan dan tuannya.

 

Malam itu juga Ndoro Anjani dipindah ke ruangan VIP. Rayi sengaja memesan supaya ibunya bisa tenang saat  beristirahat. Mbok Yati dan Rayi berjaga di sofa. Mereka kemudian berbincang hangat selayaknya ibu dan anak.

 

"Syukur alhamdulillah Ndoro Anjani sembuh. Tadi saya sangat khawatir. Selama ini ndoro nggak pernah sakit gitu. Amit-amit, jangan sampai kejadian lagi. Ampun ya Allah." Mbok Yati mengangkat kedua tangan memohon. Melihat hal itu Rayi tersenyum, Mbok Yati tampak seperti anak kecil.

 

"Oya, Den ... kira-kira lebaran ini, Raya boleh pulang nggak, ya? Saya sudah kangen." tanya mbok Yati sembari mengurut-urut kedua kakinya.

 

 

Rayi tampak salah tingkah. Rindunya juga sangat dalam. Namun, ia tak bisa mengutarakan pada siapapun sebelum Raya membuka hati untuknya. Ia ingin mendengar pengakuan gadis itu. Selama penantian keberadaan Mbok Yati sedikit mampu mengurangi beban hati yang terpendam. 

 

"Tentu saja boleh, Mbok. 'Kan sudah libur. Tergantung Raya juga, mau pulang apa nggak. Kalau nggak pulang pun temannya banyak." Rayi mencoba menjelaskan tradisi di pesantrennya. 

 

"Tolong nanti suruh pulang aja, ya, Den." Mbok Yati menarik selimut. Rayi membantu merapikan membuat pelayannya itu salah tingkah. Tak berapa lama ia pun terlelap. 

 

 

Malam semakin larut, tetapi Rayi masih terjaga. Ia bertanggung jawab mengawasi dua wanita hebat itu. Dipandanginya Mbok Yati yang sudah terbuai di pangkuan malam. Wajah yang mulai mengeriput, rambut yang memutih menjadi saksi betapa ia bekerja keras menghidupi buah hatinya. 

 

 

Rayi segera meraih selimut mbok Yati yang terjatuh dan memasangkan kembali. Pesan dari sang pujaan selalu terngiang di telinga. Dengan tatapan lekat, ia memohon supaya tuan muda selalu menjaga ibunya tercinta. 

 

Malam kian larut. Namun, Rayi masih belum dapat memejamkan mata. Ia pun memutuskan keluar kamar. Menatap langit gelap luas tanpa batas, mengagumi keindahan yang Allah berikan. Tak ada seorang pun berlalu lalang. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang terdengar nyaring bersahutan. 

 

Suka, duka, dan lara semua telah Rayi alami. Banyak harapan dan juga impian yang ingin diwujudkan. Semua takkan terjadi tanpa doa dan dukungan semua orang yang sangat menyayanginya. Tak henti ia berucap syukur.

 

Tiba-tiba saja angan Rayi menerawang. Tak lama lagi Ramadan akan segera tiba, seluruh santri dan santriwati akan pulang. Ia berharap Raya akan berpikir sama. Hal indah seketika memenuhi benak tuan muda. Ia menarik sudut bibirnya, membayangkan wajah cantik dan polah menggemaskan Raya yang selalu menggoda. Dadanya mendadak berdegup kencang, ia sudah tak sabar ingin segera berjumpa.

 

Beberapa jam menjelang fajar angin berembus semakin kencang, terasa sangat dingin menusuk ke dalam tulang. Rayi menggigil, ia pun segera masuk ke kamar. Tak lupa ia mengatur suhu ruangan supaya tetap nyaman. Sebelum tidur seperti biasa tuan muda itu melaksanakan salat malam. Setelahnya ia menjatuhkan diri di kursi di sisi Anjani. Ia tak mau kejadian buruk kembali menimpa wanita yang telah melahirkannya.

 

Sayup-sayup terdengar gema tilawah,  mengalun merdu menenangkan jiwa. Tak lama Anjani pun mengerjap. Kesadarannya sudah benar-benar pulih. Perlahan ia duduk, lalu menyandarkan tubuh yang masih lemah. Dengan buku-buku jari, ia merapikan rambut yang panjang tergerai kemudian menggulungnya. Matanya memindai ke seluruh ruangan.

 

Tak lama Mbok Yati pun terbangun. Ia segera bangkit mendapati majikannya yang sudah lebih dulu terbangun. Ibu Raya itu pun segera menghampiri kemudian bertanya apakah Anjani membutuhkan sesuatu.

 

"Nggak usah, Mbok. Saya bisa sendiri." Anjani perlahan turun dari ranjang rumah sakit. Mbok Yati segera menyiapkan sandal kemudian mengiringi langkah Anjani. Beberapa saat berlalu, tampak sang majikan telah keluar dengan wajah lebih segar. Ia pun gantian menuju toilet untuk persiapan salat Subuh.

 

Merasa ada gerakan di ranjang, Rayi pun terbangun. Ia segera mendekati Anjani khawatir terjadi sesuatu padanya.

 

"Bu e mau apa? Mau minum?" tanya Rayi cemas. Ia merapikan selimut menutupi kedua kaki jenjang Anjani. "Bu e mau salat? Rayi panggilin Mbok Yati, ya?"

 

Anjani tersenyum. Ia bahagia Rayi sangat memperhatikannya. Dengan lembut mengatakan ia baik-baik saja dan bisa mengerjakan sendiri. Ia pun meminta putranya itu ke musalla. "Udah, kamu salat dulu sana. Nanti ketinggalan jemaah."

 

Rayi pun segera menghampiri Mbok Yati yang baru saja keluar dari toilet. Ia meminta supaya menjaga ibu tercinta. Setelah berpamitan Rayi pun bergegas keluar kamar. 

 

 

Related chapters

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

Latest chapter

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

DMCA.com Protection Status