Home / Romansa / Menunggu Bulan / Penyesalan Rayi

Share

Penyesalan Rayi

Author: Parwati Rudra
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

#Part_06

 

 

Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.

 

Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.

 

Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya.

 

"Le ... Alhamdulillah. Usaha kita maju pesat. Banyak perusahaan besar yang ingin menjadi partner kita," ucap Anjani memulai pembicaraan disela-sela sarapan. Putranya menanggapi dengan santai, ia asyik melahap makanan yang tersedia di meja.

 

"Syukur alhamdulillah, Bu e," jawab Rayi singkat. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan meja. Berbincang lama-lama malah akan membuatnya sesak. Rayi paham betul arah pembicaraan sang ibunda.

 

"Belum juga setahun, kamu sudah seperti ini. Bu e bangga sama kamu, Le." Ndoro Anjani menepuk-nepuk lembut bahu putranya.

 

"Bu e juga gak bosan-bosan ingetin kamu. Umurmu sekarang sudah cukup. Sudah waktunya kamu menikah. Bu e sudah tua, jangan sampe keduluan dipanggil Yang Kuasa." Ndoro Anjani menatap lekat Rayi, ia berharap banyak padanya.

 

Bukan kali ini saja, Anjani membahas hal itu. Hampir setiap hari ibunya mengulang perkataan yang sama. Ia yakin Rayi mampu menjadi suami dan imam yang baik apalagi sejak mengetahui usaha yang dipimpinnya berkembang pesat. Ia kian bersemangat membujuk tuan muda untuk menikah. Wanita itu ingin putranya tidak sendiri lagi. Ia memiliki sandaran hati, tempat untuk berkeluh kesah dan memadu kasih sayang.

 

Rayi putra yang berbakti, walaupun tak menyukai hal itu ia tetap berlaku sopan. Ia hanya menjawab klise dengan meminta didoakan supaya segera bertemu jodoh yang tepat. Kemudian berlalu meninggalkan Anjani sendiri, lalu berangkat menuju pabrik atau tempat yang lain yang tenang.

 

Sama seperti harapan Anjani, Rayi pun ingin segera melepas masa lajang. Namun, hati dan jiwanya sudah terpaut lekat pada Raya. Gadis belia yang sederhana, tetapi penuh pesona. Dia hanya ingin bersama gadis itu dan siap untuk selalu menunggunya.

 

Pagi itu Rayi tak segera ke pabrik. Mendung gelap membuat suasana terasa sangat syahdu. Hujan rintik perlahan membasahi bumi, alunan melodi alam lembut menyentuh sanubari. Ditemani setumpuk kertas, Rayi duduk bersantai di teras. Aroma petrikor menguar kuat membawanya ke masa silam.

 

Saat itu Raya masih sangat kecil. Niatnya menghibur dengan mengajak Rayi bermain hujan-hujanan saat sedang berduka--setelah kepergian ayahanda--berakhir lara. Kasihan Raya, ia dihukum keluarga ayahnya. Raya kecil tidak boleh masuk rumah sampai hujan deras itu reda. 

 

"Huh ..." Rayi mengembuskan napas kasar. Dadanya terasa sakit mengingat kenangan pahit itu kembali. Ia merasa bodoh, tidak menolong Raya malah ikut menonton bersama saudara-saudara lainnya. Seketika Rayi memukuli kepalanya.

 

"Raya, semoga kau sudah melupakannya." Rayi bergumam. Lamunannya buyar melihat Mbok Yati tergopoh-gopoh mendatanginya. Wajah wanita itu tampak pucat penuh dengan kecemasan.

 

"Den Rayi! Ndoro, Den," teriak Mbok Yati terengah. Ia menunjuk-nunjuk ke dalam rumah.

 

"Tenang, Mbok, napas dulu. Cerita ada apa?" tanya Rayi. Ia memberi contoh untuk diikuti pelayannya.

 

"Den, Ndoro Anjani belum keluar kamar sejak habis sarapan. Saya takut ndoro kenapa-kenapa." Mbok Yati meremas tangannya. Hal yang selalu ditunjukkan saat wanita itu takut atau panik. 

 

Mendengar ucapan Mbok Yati, Rayi segera berlari ke kamar Anjani. Ia sangat takut terjadi sesuatu pada sang ibu. Kecemasan sangat terukir jelas di wajahnya.

 

Rayi  berusaha membuka pintu sembari terus berteriak memanggil Anjani. Namun, hanya senyap yang ia dapat, masih tak ada jawaban dari dalam kamar. "Bu e! Bu e! Buka pintunya! Bu e!" 

 

Rayi semakin khawatir dengan kondisi ibunya. Ia mencoba sekuat tenaga mendobrak pintu kamar. Pun Mbok Yati terlihat sangat panik, segala cara ia lakukan untuk membantu tuannya. Wanita paruh baya itu ikut berteriak--memanggil nama majikan--sembari menggedor-gedor pintu kamar.

 

Simbok Raya itu tak kehabisan akal, dengan sigap ia berlari menemui Pak Kusno untuk meminta bantuan. Tanpa banyak cakap, ia menarik tangan lelaki itu dan mengajaknya menuju kamar sang majikan. "Ayo cepet, Pak!"

 

Menyadari yang terjadi, Pak Kusno dan Rayi berusaha bersama-sama mendobrak pintu kamar. Setelah beberapa kali dorongan akhirnya kamar terbuka. Rayi terkejut mendapati Anjani sudah tergeletak di lantai. Wajahnya pucat dan kakinya terasa dingin. "Astaghfirullahal'adzim, Bu e!" 

 

Rayi seketika membopong tubuh ibunya. Diikuti Pak Kusno yang segera berlari membukakan pintu mobil. Tak kalah cepat, Mbok Yati juga telah membawa keperluan Anjani. Dalam sekejap mobil putih keluarga Rayi telah melaju kencang membelah jalan yang licin setelah beberapa waktu lalu diguyur hujan.

 

Di dalam mobil Rayi terus mengosok-gosok tangan Anjani yang mulai terasa dingin. Perlahan menepuk-nepuk wajah sang ibu mencoba menyadarkan. Ia terus menggoyang-goyangkan tubuh Anjani yang lemah. Sayangnya wanita itu tetap saja tak merespon. Tuan muda semakin khawatir, ia meminta Pak Kusno mengendarai lebih cepat. "Pak, lebih cepat lagi, ya."

 

Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di pelataran rumah sakit. Area yang padat membuat mobil putih itu tidak dapat bergerak. Rayi kemudian meminta Pak Kusno membukakan pintu. Seketika itu juga membopong tubuh Anjani yang lemah menuju ruang IGD.

 

Rayi bersyukur perawat bertindak cepat. Mereka membawakan brankar dan segera melakukan pemeriksaan. Namun, melihat kondisi Anjani perawat segera melarikannya ke ICU. Wanita itu membutuhkan penanganan lebih intensif.

 

 

Mbok Yati dan Pak Kusno saling pandang. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur tuan muda. Melihat begitu banyak alat terpasang di tubuh sang majikan kedua pelayan setia itu sangat sedih. Mereka hanya bisa mendoakan kesembuhan Anjani.

 

Rayi terpekur, duduk termenung di bawah jendela. Tak memedulikan pandangan orang-orang di sekitarnya. Ia sedih dan menyesal telah mengabaikan wanita terpenting dalam hidupnya. Melihat hal itu Mbok Yati memberi dukungan. Sesekali lembut mengusap bahu tuan muda. Dengan santun memberi nasihat supaya tuannya tak menyerah dan mudah putus asa.

 

Kegelisahan Rayi semakin membuncah kala dokter yang menangani belum bisa memberikan jawaban. Ia dan timnya harus melakukan serangkaian tes untuk memastikan keadaan Anjani. Kini, ketiganya hanya bisa pasrah.

 

Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno terlihat sudah sangat kelelahan. Mereka sudah seharian menunggu, tetapi belum juga ada tanda-tanda Anjani akan segera sadar. Rayi hanya bisa mondar-mandir di koridor karena dokter tak mengizinkan masuk sampai sang ibu siuman. Ketiganya hanya dapat memandangi Anjani dari kaca jendela yang buram.

 

Dalam hening tak terasa air mata meniti di pipi tuan muda. Rasa sesak, sesal, dan sedih menggelayuti jiwa. Rasa bersalah terus menghantui. Ucapan Anjani saat sarapan kembali terngiang. Bayangan kehilangan wanita yang paling dicintai itu pun bermain di pelupuk mata. Rayi semakin memeluk lutut erat tak kuasa menahan bulir bening yang semakin tak tertahan.

 

Sampai menjelang Maghrib masih belum ada kabar dari rumah sakit. Tampak Dokter dan perawat bergantian memasuki ruangan untuk memastikan perkembangan Anjani. Dari kejauhan Pak Kusno berlari-lari membawakan makanan dan minuman. Sopir pribadi itu kasihan melihat kondisi Rayi, sejak datang belum sempat makan.

 

"Gimana keadaan Ndoro, Den? Apa kata dokter tadi?" tanya Pas Kusno sembari menawarkan sebungkus nasi.

 

Alih-alih menerima, Rayi meminta sopirnya itu supaya pulang. Ia tak ingin semakin merepotkan. Akan tetapi, lelaki tua itu kukuh menolak. Yang dilakukannya hanyalah hal kecil, tak sebanding dengan kebaikan yang sudah dilakukan keluarga Rayi. Keluarga besarnya sudah banyak berhutang budi pada Anjani. Kusno bersikeras akan tetap menemani hingga sang majikan sadar.

 

Begitu juga dengan Mbok Yati. Ia terlihat baik-baik saja di depan Rayi walaupun lelah teramat sangat melanda. Ia pun menanyakan hal serupa pada tuannya. "Bagaimana, Den? Ndoro Anjani baik-baik saja, 'kan? 

 

"Belum tahu, Mbok. Masih ditangani dokter. Minta doanya, ya. Semoga Bu e baik-baik saja." pinta Rayi.

 

 

Related chapters

  • Menunggu Bulan   Senyum Anjani

    #Part_07Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih.Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stab

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

Latest chapter

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

DMCA.com Protection Status