Beranda / Romansa / Menunggu Bulan / Berdamai dengan Keadaan

Share

Berdamai dengan Keadaan

Penulis: Parwati Rudra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.

Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.

Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya.

"Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?" tanya Hanum sambil mengipas-ngipas wajah dengan tangannya. Dari dulu ia memang paling tidak suka berdandan. Penampilan yang selalu anggun, wajah cantik, dan kulit kuning langsat tanpa polesan pun ia sudah terlihat cantik jelita.

"Sebentar lagi, Den. Tolong Den Hanum jangan gerak-gerak dulu, nanti malah lama," ucap perias lirih sembari menakupkan kedua tangan di depan dada. Dia takut dihukum, kalau sampai Hanum marah padanya. 

"Berapa menit lagi?" tanya Hanum kesal, wajahnya gusar. Ia membanting pelan ponselnya di meja. 

 "Sebentarr ... lagi, Den." ucap perias sambil membungkuk. Ia pun ingin segera menyelesaikan tugas dan pergi dari ruangan berpendingin itu. 

"Sebentar lagi terus dari tadi!" ucap Hanum ketus.

"Assalamualaikum ..." Ndoro Sonia masuk ke kamar Hanum. Ia merengkuh bahu putrinya. Dipandangi penampilan putri semata wayang dari ujung kaki hingga kepala. 

"Masyaallah sangat sempurna." Sonia memuji putrinya. Perlahan ia membuka kotak berbingkai kuningan yang dibawa. Satu set perhiasan bertahta berlian yang mahal nan mewah untuk dipakai di hari istimewa.

"Sudah, Den. Sudah selesai." ucap perias. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Segera ia mengemasi barang-barangnya dan berlalu meninggalkan Hanum dan Sonia.

"Bu, aku gak mau nikah. Tapi Bopo terus saja maksa." Hanum menumpahkan kekesalan. Dibantu ibunya, ia mengenakan perhiasannya.

"Hust!  jangan bilang gitu. Kamu itu beruntung bisa nikah sama Rayi," ucap Sonia meletakkan ujung jari telunjuk menutupi bibirnya.

"Orangnya baik, saleh, ganteng lagi. Dari pada sama temanmu orang Jakarta yang gak jelas itu!" Ibu Hanum membujuk dan menasehati putri semata wayang. Ada rasa khawatir tiba-tiba menyelinap menggelayuti pikirannya. 

"Yuk, keluar. Pengajian udah mau dimulai." ajak Ndoro Sonia. Hanum bermalas-malasan mengikuti langkah kaki ibunya. Bak putri, perlahan Hanum menuruni anak tangga. Semua mata takjub menatap calon pengantin yang begitu menawan. Oleh pembawa acara, gadis itu dipersilakan duduk, diapit kedua orang tuanya. 

Para jamaah saling berbisik. Dari acara pengajian dimulai hingga akan selesai, Hanum sama sekali tak memperhatikan. Ia sangat gelisah dan berulang kali mengecek ponsel milikya. Juragan Suryo pun merasa gerah, melihat tingkah putri kesayangannya. Karena Hanum, masyarakat berani menggunjingkan dirinya. 

" Hanum!" juragan Suryo melotot. Matanya tajam menatap putrinya. Gadis muda itu terkejut, baru kali ini boponya membentak. Hanum tertunduk, dia semakin kesal. Bopo yang selama ini dibanggakan telah sangat melukai hatinya.

"Lungguh yang bagus. Dilihatin banyak orang gitu. Yang sopan." ucap juragan Suryo. Ia pun menarik napas panjang, 

Satu setengah jam berlalu, acara pengajian itu pun selesai. Hanum bersiap dengan acara selanjutnya yaitu melakukan prosesi siraman. Juragan Suryo meminta anak buahnya mengantarkan sebagian air siraman ke kediaman mempelai pria. Acara itu berjalan sangat meriah, semua keluarga ikut berbahagia. Semakin sore kediaman juragan Suryo, semakin penuh sesak. Mereka antusias menyambut keluarga Rayi diacara Midodareni.

***

Utusan Hanum tiba di kediaman Rayi. Tak kalah meriah dengan rumah Suryo, rumah joglo itu dihias sangat indah. Para tamu disambut Anjani dengan suka cita. Aneka makanan dan minuman disajikan untuk menghormati utusan besan. Setelah cukup beristirahat, mereka segera pamit untuk mempersiapkan acara berikutnya. Beberapa sesepuh mengiringi kepergian mereka.

Ndoro Anjani meminta Mbok Yati menyiapkan air untuk siraman Rayi. Wanita paruh baya itu mengangguk, ia melakukan dengan senang hati. Dengan telaten mencampur air kiriman dari keluarga Hanum dengan air yang sudah dipersiapkan untuk Rayi. Wanita itu tampak sangat bahagia.

"Den, Den Rayi. Airnya sudah siap, Den." Mbok Yati memanggil Rayi yang masih berada dalam kamar.

Perlahan pintu terbuka, Rayi keluar tanpa berucap sepatah kata. Dadanya sesak, tuan muda itu belum bisa menerima kenyataan. Ia berjalan diiringi sanak keluarga menuju tempat siraman. Mereka sangat berbahagia, akhirnya Rayi mendapatkan jodohnya. 

Ndoro Anjani mendapatkan kehormatan pertama mengguyur Rayi. Mata bulat dengan bulu lentik itu berkaca-kaca karena terharu dan bahagia. Pun Rayi dia menangis sejadi-jadinya. Menyesali diri tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ada rasa takut menyakiti hati ibunya yang membuat ia bertahan. Acara yang seharusnya penuh tawa berubah menjadi lautan air mata. Rayi sungguh rapuh, dia terjatuh bersimpuh di kaki pelayan keluarganya. 

Anjani terkejut. Ia tak menyangka Rayi rela merendahkan derajatnya di kaki pelayan. Wanita itu pun segera menolong supaya kembali duduk di kursi. Semua yang hadir tampak berbisik, mereka saling bertanya apa yang sedang terjadi.

Walau berjalan lambat, prosesi siraman Setelah prosesi selesai, didampingi saudara-saudara sepupunya, Rayi kembali ke dalam kamar. Tiba-tiba Rayi menahan tangan Mbok Yati saat ia akan berlalu pergi. 

"Di sini saja, Mbok. Tolong jangan pergi." Rayi memohon dengan sangat. Suasana kembali sunyi. Ia tak dapat menahan air matanya. Ndoro Anjani semakin heran. Dia merasa ada sesuatu antara Rayi dan Mbok Yati yang dirinya tak ketahui. 

"Maaf, Den. Saya gak bisa. Masih banyak pekerjaan di belakang. Den Rayi istirahat saja." Mbok Yati pun berjalan keluar meninggalkan tuan muda. 

Kini Rayi sendiri di dalam kamarnya. Mencoba menenangkan diri dan berdamai dengan kenyataan. Pandangannya nanar menatap langit-langit kamar. Merasa cintanya layu sebelum berkembang. Ia menyesal tak sempat menyatakan perasaannya pada Raya. Kembali air matanya luruh, ia tak berdaya.

Lepas Maghrib, keluarga Rayi bersiap mengunjungi kediaman juragan Suryo. Mereka akan menghadiri prosesi malam midodareni. Sang mempelai-Rayi awalnya tidak ingin ikut. Dia beralasan percuma saja, karena dirinya tidak diizinkan masuk. Keinginannya berubah setelah mendengarkan nasehat Mbok Yati. Dengan mengenakan beskap dan surjan, Rayi tampak sungguh menawan. Aura ningratnya benar-benar terpancar.

Anjani tersenyum simpul, melihat sang putra mengenakan pakaian kebesaran keluarganya. Baju yang sama yang dipakai (alm) Ndoro Chandra boponya, saat akan menikahinya. Berulang kali dia menciumi putra semata wayang itu membuat Rayi semakin tak berdaya.

"Bu e bahagia?" tanya Rayi. Anjani mengangguk, tak terasa bulir bening satu per satu membasahi pipinya.

"Bu e bahagia, Le. Semoga awakmu juga selalu bahagia." Ndoro Anjani mantab menggandeng putranya. Mereka berjalan berdampingan. Diantar iring-iringan mobil keluarga, perlahan mobil Rayi keluar halaman....

Bersambung ....

Bab terkait

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Pandangan Pertama

    #Part_01“Mbok, makanan sudah siap belum? Kamar tidur? Kamar mandi juga, sudah disikat belum? Hari ini Den Rayi pulang lho!" suara nyonya rumah terdengar lantang memekikkan telinga.Pagi itu kediaman Anjani yang biasa sunyi berubah gaduh. Seluruh penghuni bersiap menyambut tuan muda. Putra tunggal yang diharapakan menjadi penerus keluarga. Ia biasanya pulang setahun sekali hanya pada saat Ramadan tiba. Waktu yang singkat inilah yang membuat ibunya ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya.Akan tetapi, tahun ini berbeda. Rayi pulang karena telah menyelesaikan pendidikannya. Ia akan kembali untuk mengabdi dan berbakti pada ibu tercinta. Ndoro Anjani sangat senang akhirnya mereka bisa berkumpul bersama."Sampun, Ndoro," jawab mbok Yati setengah berteriak dari dapur. Ruangan yang luas membuatnya harus senan

Bab terbaru

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

DMCA.com Protection Status