Home / Romansa / Menunggu Bulan / Pandangan Pertama

Share

Menunggu Bulan
Menunggu Bulan
Author: Parwati Rudra

Pandangan Pertama

Author: Parwati Rudra
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

#Part_01

 

 

 

“Mbok, makanan sudah siap belum? Kamar tidur? Kamar mandi juga, sudah disikat belum? Hari ini Den Rayi pulang lho!" suara nyonya rumah terdengar lantang memekikkan telinga.

 

Pagi itu kediaman Anjani yang biasa sunyi berubah gaduh. Seluruh penghuni bersiap menyambut tuan muda. Putra tunggal yang diharapakan menjadi penerus keluarga. Ia biasanya pulang setahun sekali hanya pada saat Ramadan tiba. Waktu yang singkat inilah yang membuat ibunya ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya.

 

Akan tetapi, tahun ini berbeda. Rayi pulang karena telah menyelesaikan pendidikannya. Ia akan kembali untuk mengabdi dan berbakti pada ibu tercinta. Ndoro Anjani sangat senang akhirnya mereka bisa berkumpul bersama.

 

"Sampun, Ndoro," jawab mbok Yati setengah berteriak dari dapur. Ruangan yang luas membuatnya harus senantiasa berucap lebih keras.

 

"Jangan ada yang kelupaan, lo, ya! O ya mbok, Raya ke mana? Suruh mandi, pakai baju yang bagus. Terus nanti suruh duduk sini. Bilangin juga, jangan pecicilan!" pinta ndoro Anjani sambil menunjuk kursi kecil di dekat dapur. 

 

Anjani wanita mandiri. Ia tegas dan disiplinnya tinggi. Sejak meninggalnya sang suami semua urusan pekerjaan dan keluarga dilakukan sendiri. Banyak cobaan dan godaan yang dihadapi, tetapi keberadaan sang putra membuatnya tegar dan kuat menjalani.       

 

Rayi segalanya. Harta terindah satu-satunya yang dimiliki. Ia pun memutuskan untuk membesarkan sendiri dan tidak berkeinginan untuk menikah lagi.

 

"Enggeh, Ndoro." jawab Mbok Yati. Diapun berlalu meninggalkan majikannya untuk menemui Raya.

 

Mbok Yati sudah sangat lama bekerja di rumah ndoro Anjani. Bahkan sejak majikannya itu masih bersekolah. Gerakannya yang lincah dan cekatan membuat Anjani sangat cocok dengannya.

 

Mbok Yati pelayan generasi ketiga di kediaman Anjani. Para pendahulu sebelumnya pun setia mengabdi dan bekerja di kediaman mewah itu. Kejujuran dan kesederhanaan yang ditonjolkan  membuat keluarga mereka selalu dipercaya dan dibutuhkan jasanya.

 

"Raya! Raya!" Teriak mbok Yati memanggil anak kesayangannya. Ia takut putra majikannya pulang dan tidak ada yang menyambut. Wanita paruh baya itu setengah kesal, sudah keluar-masuk ruangan masih belum menjumpai putrinya.

"Raya!"

 

“Ada apa sih, Mbok. Raya denger, kok." Raya menghampiri ibunya yang sudah sepuh. Dirangkulnya wanita itu yang masih terengah. Sebagian rambutnya terlihat memutih dan guratan-guratan halus menghiasi wajah sendunya.

 

"Den Rayi mau pulang, kamu cepetan mandi. Habis itu tunggu di depan ya, jangan pecicilan. Nyonya rumah ini gak suka, nanti kamu kena marah!" Mbok Yati menasihati putrinya.

 

Mendengar ucapan ibunya, Raya segera bersiap. Berpakaian serba biru, kemudian duduk--menunggu--di kursi kesayangannya.

 

"Assalamualaikum ..."

 

Tiba-tiba seorang pria masuk ke rumah. Wajahnya bersih, bertubuh proporsional dengan senyum menawan melangkah menghampiri Raya. Sesaat ia tak berkedip melihat gadis di hadapannya.

 

"Den Rayi," sapa Raya semringah. Seketika wajahnya merona. Ada letupan-letupan kecil di hati Raya saat melihat senyum tuan muda. Namun ia mencoba terlihat biasa di hadapan pria di depannya. Raya sudah menganggap Rayi seperti kakaknya, begitu juga Rayi sebaliknya. Nama Raya sendiri diberikan atas ide Rayi.

 

"Raya ...udah gede kamu. Kelas berapa sekarang? tanya Rayi. Dia duduk di samping Raya. Seketika gadis belia itu berdiri. Dia takut kalau ndoro Anjani melihat kebersamaan mereka. Dia pun berdiri agak menjauh dari posisi semula. 

 

"Saya udah lulus, Den." Jawab Raya menunduk tak berani menatap. Rayi sangat mengenalnya. Apa yang ada di dalam pikiran gadis itu, Rayi bisa dengan mudah membacanya. 

 

"Ndo ... "

 

Seketika Rayi membungkam mulut Raya. Ia meminta gadis itu untuk tidak memberitahu ibunya. Ia ingin berbincang santai berdua lebih lama.

 

Sebenarnya bukan sekali ini saja Rayi bertemu Raya. Akan tetapi, kali ini terasa sangat berbeda. Bayi kecil yang dulu, tumbuh menjelma menjadi gadis cantik. Ia  laksana buah yang siap dipetik. Wajah ayu dan bibir basah merona membuat Rayi terpana. Beberapa kali tatapan mereka bertemu, dan langsung sama-sama membuang muka.

 

"Jangan kasih tahu bu e. Nanti saja," perintah Rayi.

 

Raya mengangguk pelan mengikuti perintah tuan muda. Sejujurnya dia gugup berdua dengan Rayi. Ia merasa pria itu terus saja memperhatikannya.

 

"Ambilin aku makan, ya. Udah laper banget nih!" Rayi memegangi perutnya.

 

Raya mengangguk dan meminta tuannya jalan terlebih dahulu. Ia tampak sangat hati-hati saat melayani tuan muda. Tanpa sepengetahuan gadis itu, Rayi tak bosan memperhatikan setiap gerak-gerik Raya.

 

Di sudut lain, sosok wanita dengan tampilan sempurna merajuk. Ia kesal melihat putranya sudah berada di ruang makan tanpa ada yang memberitahu. Ia merasa diabaikan.

 

Di ruang makan, Rayi dan Raya masih asyik berbincang. Sembari mengambilkan nasi dan lauk, gadis itu menjawab semua pertanyaan yang diajukan tuan muda. Percakapan kedua insan yang jarang bertemu itu mengalir hangat.

"Silakan, Den."

 

Setelah hidangan tersedia, Rayi makan dengan lahap. Sesekali terbahak mendengar celoteh gadis itu. Sepasang mata elangnya tak henti menatap. Perlahan Anjani berjalan menghampiri mereka. Menyadari keberadaan majikannya, Raya memberi isyarat pada tuan muda.

 

Ia menunjuk-nunjuk menggunakan dagunya ke arah belakang Rayi. Akan tetapi pria itu tak mengerti, ia semakin tertawa geli melihat aksi Raya. Gadis itu pun tertunduk semakin dalam saat Anjani menatapnya tajam. Ia merasa bersalah mengiakan saja permintaan tuan muda.

 

Rayi menghentikan makannya, saat melihat ekspresi wajah Raya. Ia pun segera berdiri dan berbalik. Tampak sang ibu dengan wajah kesal berdiri mematung. Seketika ia mendekat dan merangkul bahu ibunya. Terdengar jelas napas yang memburu menahan sesak. Namun begitu, Rayi tak kehilangan akal. Ia terus menggoda Anjani hingga senyuman tersungging di sudut bibir ibunya.

 

"Gak nemuin bu e dulu, malah cekikikan di sini!” sungut ndoro Anjani. Ia menjewer manja putranya. Rayi cepat-cepat menarik kursi dan mempersilakan ibunya duduk.

 

“Baru mau dijemput sudah datang. Naik apa tadi? Gak bilang-bilang.” Suara Anjani masih terdengar kesal. Ia juga menumpahkan kemarahannya pada Raya.

 

"Kenapa kamu diam aja tahu tuanmu udah pulang?" tanya Anjani. Raya hanya terdiam tak berani mengadahkan wajah manisnya.

 

Rayi seketika pasang badan untuk Raya. Ia menjelaskan yang sebenarnya bahwa dirinyalah yang meminta untuk tidak memberi tahu. Ia beralasan ingin memberikan kejutan pada Anjani.

 

“Tadi saya naik ojeg, Bu e. Dekat kok." jawab Rayi tenang. Ia pun kembali duduk dan melanjutkan makan yang sempat tertunda. Melihat Raya masih diam mematung, Rayi merasa bersalah. Karena dirinya, gadis polos itu menjadi sasaran ibunya. Ia pun mengerjapkan mata dan mengangguk pelan pada Raya. Mencoba menenangkan.

 

"Mbok! Mbok!" Anjani berteriak memanggil mbok Yati. Tampak ia menumpahkan kekesalannya. Rayi dan Raya saling pandang, lalu menutup kedua telinga mereka. 

 

"Dalem, Ndoro." Mbok Yati setengah berlari menghampiri majikannya. Ia mengira sesuatu telah terjadi pada sang ndoro. Mendadak wajahnya berubah cerah melihat tuan muda sudah duduk berada diantara mereka.

 

"MasyaAllah, Den, gimana kabarnya?” sapa Mbok Yati. Gurat kebahagiaan terpancar jelas di wajah wanita itu.

 

Seketika Rayi berdiri da  manyalami mbok Yati. Pria dewasa itu mencium takzim tangan wanita yang telah mengasuhnya dengan sepenuh hati yang membuat Anjani semakin cemburu. Putra semata wayang memperlakukan orang-orang di sekitarnya dengan sangat baik berbeda dengan dirinya. Ia pun melipat kedua tangan di depan dada kemudian membuang muka.

 

Mbok Yati terharu. Ia tampak berkaca-kaca. Tidak menyangka bayi yang dulu ditimang, cepat tumbuh menjadi pria dewasa dan siap melanjutkan usaha keluarga. 

 

"Jangan nangis, Mbok, nanti semua ikut nangis." Rayi mengusap-usap tangan sang pelayan. Anjani bertambah kesal. Ia mendengkus. Matanya membulat ke arah asisten rumah tangganya.

 

Mengetahui hal itu Rayi tersenyum geli. Hal yang sama yang sering dilakukan kala melihat dirinya dekat dengan mbok Yati. Di saat itu juga Rayi kembali menggoda ibunya. Ia mendatangi Anjani dan menciumi seluruh wajah. Wanita itu pun berteriak-teriak. Meminta Rayi menyudahi keisengan putranya.

 

"Wes, Le! Sudah, geli! Kamu ini udah tua nggak malu apa sama Raya." Anjani menakup wajah putranya dengan kedua tangan. Seketika Rayi berhenti. Ia lupa ada Raya yang sedari tadi memperhatikan. Ia tampak menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.

 

Melihat Rayi salah tingkah, Raya tak kuasa menahan tawa. Ia berusaha menutupi dengan kedua tangan, tetap saja masih terdengar. Keceriaan kembali hadir ditengah-tengah keluarga itu. Kehadiran Rayi seperti cahaya. Sinarnya memberi kehangatan dan mampu menerangi kegelapan. Rayi pun mengajak ibunya untuk makan bersamanya.

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Menunggu Bulan   Curahan Hati Raya

    Bopo Rayi, Raden Candra meninggal dunia saat usianya menginjak remaja. Sejak saat itu ia seperti kehilangan arah. Tak ada lagi keceriaan dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Anjani sangat khawatir dengan keadaan itu. Ia takut Rayi depresi. Atas saran keluarga besarnya, putra semata wayang itu pun dimasukkan ke pesantren. Ada banyak pertimbangan yang membuat Anjani rela melepas sang putra. Ia berharap hal itu akan memberikan manfaat untuk masa depan Rayi. Selain itu, di sana banyak teman sebaya dengannya sehingga perlahan ia dapat melupakan kesedihannya. Tepukan lembut Rayi menyadarkan Anjani dari lamunan. Ia tersenyum tipis, lalu mengusap kepala sang putra. Sepuluh tahun sudah Rayi menimba ilmu dan kini ia kembali. Tak ada yang berubah, putranya masih seperti dulu. Sedikit manja dan usil. "Le, mulai besok kamu yang ke pabrik, ya. Bu e capek, mau istirahat aja di rumah." Ndoro Anjani membuka pembicaraan. Ia berpikir sudah waktunya Rayi meneruskan ke

  • Menunggu Bulan   Merasa Kehilangan

    #Part_03 Raya sungguh berbahagia. Cita-citanya melanjutkan pendidikan di tempat impian akan segera tercapai. Rayi dan ndoro putri Anjani telah berhasil meyakinkan ibunya. "Nduk, nanti di sana jangan nakal ya. Bawa diri baik-baik. Belajar yang rajin. Jangan bikin malu Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati berlinang air mata menasehati putri bungsunya. Diusap lembut kepala Raya dengan penuh kasih sayang. "Iya, Mbok. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh." Raya memeluk erat simboknya. Mereka seakan tak ingin berpisah. Mbok Yati memiliki tiga buah hati. Dua laki-laki dan satu perempuan. Ayah Raya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Kehadiran Raya merupakan rizki terindah yang tak ternilai. Ia menjadi pelipur lara dalam kesedihan. Sejak saat itu semua kebutuhan mbok Yati dan ketiga anaknya menjadi tanggung ja

  • Menunggu Bulan   Gelora Cinta

    #Part_04 Alhamdulillah, ya, Allah!" rasa syukur terucap dari bibir Raya. Ia bersorak gembira, mendengar namanya disebutkan. Kini Ia akan belajar di pesantren Rayi bersama teman-teman yang berjumlah ratusan santri. Mereka pun bergegas menghambur ke luar menemui keluarganya. "Den, saya diterima! Saya diterima!" sorak Raya bersemangat. Raya segera berlari memeluk erat Rayi. Kemudian menyandarkan kepala di dada tuan muda. Tetes bulir bening mewarnai kelopak mata ungkapan rasa suka cita. Sungguh ia tak sadar apa yang telah dilakukannya. Gadis itu tenggelam dalam euphoria kebahagiaan. Entah apa yang dipikirkan Rayi, ia membalas pelukan Raya. Tangan kekarnya melingkar erat. Membenamkan semakin dalam dan mencium lembut kepala gadis kecil itu yang telah memberinya kebahagiaan. "Iya. Kamu memang pantas mend

  • Menunggu Bulan   Masa Penantian

    #Part_05Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik S

  • Menunggu Bulan   Penyesalan Rayi

    #Part_06Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya."Le ... Alhamdulillah. Us

  • Menunggu Bulan   Senyum Anjani

    #Part_07Azan Maghrib berkumandang. Suaranya begitu nyaring mengagungkan nama tuhan semesta alam. Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno mendengarkan dengan khusuk sembari menjawab panggilan azan. Rayi meminta Mbok Yati tidak pergi kemanapun selama dirinya berjemaah. Ditemani Kusno, Rayi melangkah menuju musalla segera setelah terdengar iqomah.Selepas jemaah mereka menuju ke ruangan. Serangkaian doa telah Rayi panjatkan, ia sangat berharap kesembuhan ibu tercinta. Ia pun berjanji akan menjadi anak yang lebih berbakti dan menuruti segala keinginan ibunda. Melihat tuannya kembali, Mbok Yati gantian izin melaksanakan salat. Sama halnya Rayi, ibu Raya itu pun ingin majikannya kembali segera pulih.Tampak seorang dokter dan dua perawat kembali masuk ke kamar. Mereka memeriksa nadi Anjani, denyut jantung, dan juga membuka matanya. Setelah beberapa kali pengecekan semuanya kembali stab

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

Latest chapter

  • Menunggu Bulan   Kejutan di Malam Pertama

    #Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang

  • Menunggu Bulan   Puisi Kerinduan

    #Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m

  • Menunggu Bulan   Kerinduan Raya

    #PoV Raya Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah. Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok. Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang. Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah

  • Menunggu Bulan   Air Mata di Hari Bahagia

    #Part_13 Malam sudah sangat larut, tetapi Rayi masih terjaga di dalam kamar. Ditemani suara riuh nyanyian jangkrik, angannya jauh berkelana. Putra Anjani itu merasa sangat gelisah membayangkan yang 'kan terjadi di hari esok. Hingga pukul setengah empat, Rayi masih juga belum dapat memejamkan mata. Angannya semakin tak menentu memikirkan Raya. Tak seperti biasa perasaannya kali ini benar- benar tak enak, entah mengapa ia sangat merindukan gadis itu. Wajahnya selalu saja muncul dalam pandangan. Rayi merasa sesuatu telah terjadi pada sang pujaan. Sayup -sayup gema tilawah telah terdengar. Lantunan merdu mendayu suara khas ustaz H. Muammar ZA terasa semakin menusuk relung kalbu. Rayi tak bisa berbuat banyak. Ia membolak-balikkan bantal sangat berharap segera terlelap. Bukan tanpa alasan kegundahan hati Rayi, pasalnya kurang dari seminggu masa liburan pesantren Raya tiba. Ia bingung dan sangat takut jikalau berita itu telah sampai di Ustaz S

  • Menunggu Bulan   Kekhawatiran Anjani

    #Part_12#PoV_AnjaniSemilir angin lembut menyapa Anjani dari lubang-lubang ventilasi di ruang pribadinya. Terasa sejuk dan juga menenangkan. Kamar yang didominasi warna putih dan coklat keemasan nan luas itu menjadi saksi kesendiriannya selama bertahun-tahun. Bahagia, suka, duka, dan lara ia sembunyikan dari tatapan banyak orang. Wanita itu sangat paham tanggung jawabnya. Oleh karena itu ia harus selalu terlihat tegar.Anjani kecil lahir di keluarga yang serba berkecukupan. Putri satu-satunya dari tiga bersaudara itu selalu mendapat limpahan kasih sayang dari keluarga besar. Setiap saat dikelilingi pelayan dan juga dayang. Para leluhur termasuk ayah dan ibunya keturunan darah biru yang sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi yang sudah turun-temurun. Selayaknya anak orang kaya, selalu terpenuhi, membuat Anjani sedikit keras kepala dan manja.Masa remaja Anjani tak ubahnya seperti gadis berdarah biru pada umumnya. Ia berkesempatan menuntut ilmu hingga s

  • Menunggu Bulan   Jejak Kenangan

    #Part_11Setelah mengabari Rayi, Ustaz Soleh kembali menelepon sang istri. Ia mengatakan bahwa telah menghubungi Rayi dan segera meminta adiknya menyiapkan keperluan Raya. Ia sangat menyesal belum bisa pulang karena masih ada urusan yang harus diselesaikan. Ustaz itu juga meminta, istrinya selalu mengaktifkan ponsel jikalau Rayi akan menghubungi."Udah paham, 'kan, Bu?"Di tempat lain, seorang kakak terlihat murung. Santo, pria yang selalu menjadi tumpuan keluarga termenung di dalam kamar setelah mendengar kabar miring dari ibunya. Perlahan matanya basah, meratapi nasib adik kandungnya. Ia tak habis pikir, bagaimana mungkin Raya jatuh cinta dengan tuan muda yang jelas-jelas beda kasta."Ada apa toh, Mas? Simbok kenapa?" tanya Tyas istri Santo. Ia melangkah mendekati pria itu kemudian duduk di samping suaminya. Gurat kecemasan sangat jelas terpancar."Gak kenap

  • Menunggu Bulan   Bimbang

    Gimana udah enakan? Obatnya udah diminum belum?" tanya ustazah Aisyah sambil terus mengompres Raya. Gadis itu lemah tak berdaya. Seminggu lebih sudah, Raya tak enak badan. Ia merasa dingin di pagi hari dan demam tinggi di saat malam. Teman-temannya mulai khawatir dengan keadaannya. Sudah berobat namun belum sembuh juga. Walaupun begitu ia tetap saja melakukan aktivitas seperti biasa. "Iya, Mbak. Alhamdulillah. Terima kasih." jawab Raya lirih. Bibirnya sangat kering, sangking panasnya. "Kamu ini memang susah kalau dibilangin, ngeyel!" Aisyah membelalakkan matanya. Dia gregetan dengan tingkah polah Raya yang tak pernah mau istirahat walau sedang tidak sehat. "Mbak, aku ini lagi sakit. Jangan diomelin." pinta Raya. Wajahnya mecucu membuat Aisyah tak bisa menahan tawa. Setelah malam itu, Ustazah Aisyah menjadi wali kamar Raya. Ia dipercaya Ustaz Solekh, sahabat baik Rayi untuk menjaga gadis itu. Ketika mendengar Raya sakit, di

  • Menunggu Bulan   Berdamai dengan Keadaan

    Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya."Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?

  • Menunggu Bulan   Bakti atau Hati

    #Part_08Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih."Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya."Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur

DMCA.com Protection Status