Dengan cepat ia kembali menaiki lereng landai tepian sungai dan bergabung dengan kedua temannya. Matahari sudah tinggi, sedikit mulai bergulir ke barat. Setelah setengah hari meninggalkan Karang Bendan, mereka menemukan tempat itu, tepat di tepi sungai kecil yang berair jernih.
Ketiganya kemudian berhenti untuk makan siang dengan nasi bungkus bekal dari keluarga Ki Soma. Sekarang perut sudah terisi, siap melanjutkan perjalanan tanpa henti hingga tiba di Kenipir yang berada di barat Karang Bendan. Karena berjarak tak terlalu jauh sehingga oleh karenanya sering dilewati, ruas jalan dari Karang Bendan menuju Kenipir memang telah cukup rapi. Selalu tersedia medan yang lapang dan rata, sehingga kuda-kuda dan kereta kuda serta berbagai jenis gerobak bisa melintas dengan baik.
Perjalanan pun cukup aman. Hampir tak ada gerombolan begal yang berkeliaran di antara kedua daerah ini, sehingga warga bisa bepergian dengan aman tanpa harus berkelompok dan menyewa tenaga pendekar silat atau jagoan kung fu untuk memberi mereka pengawalan.
Barulah pada kawasan-kawasan di sisi barat dan barat laut Kenipir hingga Kotaraja Pasir, hutan belantara dan medan perbukitan liar menunggu. Pengelana tak bisa dengan mudah naik kuda atau kereta sepanjang jalan, sehingga sebagian besar waktu perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki—atau dengan tandu, untuk para bangsawan dan terutama raja-raja.
Perjalanan dari Karang Bendan menuju Kenipir bisa ditempuh cukup gampang juga karena terdapat cukup banyak desa kecil di antara kedua daerah itu. Baru sebentar melintasi hutan lebat, kita akan cukup sering melintasi padang yang luas, bulak panjang di sesela persawahan, dan juga kawasan permukiman penduduk. Jika lelah, siapapun bisa mengaso dan pasti akan disambut hangat dan disuguhi macam-macam oleh para warga. Biasanya mereka juga mempersilakan para tamu untuk menginap tanpa bayaran.
Dengan perut kenyang, ketiga pria itu cukup leluasa memacu kuda masing-masing dalam kecepatan tinggi. Menjelang ashar, mereka tiba di sebuah daerah yang agak terbuka di kaki sebuah bukit kecil.
“Desa mana ini?” tanya Wisnumurti saat mereka mulai melintasi sawah dan kebun-kebun kecil milik warga.
“Srumbung,” sahut Jaladri, sambil celingukan. “Tapi tidak biasanya Srumbung sesepi ini. Kan masih sore.”
Mereka memperlambat laju kuda, pelan-pelan menyusuri jalan sempit di luar wilayah desa. Alis Bajul berkerut-kerut mengamati sekelilingnya.
“Aku mencium hawa yang tidak enak di tempat ini,” ujarnya kemudian.
“Aku juga,” kata Wisnumrurti.
Mereka maju lebih lambat lagi. Kali ini dengan diliputi aneka macam pertanyaan. Lalu Jaladri rnelihat sebentuk asap tipis mengepul dari arah desa. Ia melecut kudanya. masuk. Dan yang dilihatnya benar-benar membuatnya seakan tengah berada dalam mimpi buruk!
Sebutan “rata dengan tanah” pun masih terlalu manis untuk diucapkan. Tak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali di Srumbung. Desa itu seperti baru saja disapu badai dahsyat dan kebakaran raksasa sekaligus. Rumah-rumah penduduk roboh, sebagian lumat tinggal arang kayu dan abunya. Di segala tempat bergelirnpangan puluhan mayat, tua-muda, besar-kecil. Wisnumurti dan Bajul yang tiba belakangan hanya bisa melongo bengong.
“Astaga.. !” Bajul Kuning menggumam pelan. “Baru ada pesta rupanya...”
Ketiganya segera melakukan pemeriksaan ke seluruh sudut desa. Tak ada yang tersisa dari Srumbung, kecuali nama dan reruntuhan. Bajul meloncat turun dari kudanya dan membolak-balik tumpukan mayat tersebut dengan goloknya.
“Pembantaian berdarah dingin.. !” desisnya datar, seolah yang seperti ini sudah menjadi peristiwa biasa baginya.
Jaladri dan Wisnumurti ikut turun, dan menambatkan kuda masing-masing di pohon terdekat.
“Ini kelakuan orang Lambang Merah yang kemarin?” tanya Jaladri.
Wisnumurti berjongkok, memeriksa salah satu jenazah yang mulai membusuk dan menguarkan bau menyengat.
“Sepertinya bukan. Mereka mati karena senjata biasa saja, tanpa racun,” Wisnumurti lalu menoleh pada Bajul. “Bagaimana dengan yang di situ, Jul?”
“Sama. Hanya luka sayatan, tak ada jejak racun. Tapi baunya... minta ampun! Dan mereka menghabisi anak-anak juga...!”
Jaladri meringis. Pemandangan macam begini terang bukan santapan sehari-hari baginya. Ia tak terlalu terpukul melihat semuanya karena sudah sering mendengar cerita-cerita tentang peristiwa seperti ini dari Wisnumurti dan terutama Bajul. Kata mereka, baik gerombolan perampok, pendekar-pendekar perguruan silat golongan hitam, maupun petinggi negara sering melakukan pembantaian begini. Itu terjadi bila mereka tak merasa mendapat apa yang mereka mau dari para penduduk setempat. Berkaitan dengan para penguasa daerah atau pejabat tinggi, pembersihan—begitu mereka menyebutnya dalam istilah sopan—dilakukan bila kehendak mereka untuk mengambil perempuan yang mereka inginkan menemukan hambatan. Misal oleh suami perempuan bersangkutan.
Dan yang terjadi di Srumbung saat ini barangkali dipicu oleh hal-hal semacam itu. Semua dibasmi habis, termasuk anak-anak, para balita, dan Jaladri melihat dua bayi di antara tumpukan jenazah di sudut sana. Melihat kedudukan mayat-mayat itu, mereka sepertinya dikumpulkan dulu sebelum dibantai, sehingga jatuhnya menumpuk di satu titik berdekatan.
“Bukan ‘mereka’, tapi ‘dia’,” kata Wisnumurti, ikut memeriksa jenazah yang dilihat Bajul.
Pria itu mengernyitkan dahi. “Pelakunya satu orang?”
“Ya. Lihat ini! Sayatan-sayatannya mirip. Tipis, dan di titik yang sama di leher. Pelakunya tahu mengincar titik urat leher mana yang langsung mematikan dengan cepat dan seketika. Para korban langsung tewas, kemungkinan dengan tak merasakan sakit sama sekali.”
Mengikuti pemuda itu, Jaladri dan Bajul ikut memeriksa dua hingga tiga jenazah. Dia benar. Semua memiliki bekas sayatan pada leher kanan tepat di titik yang sama. Tipis saja, dan dengan panjang luka tak mencapai sejari telunjuk orang dewasa.
“Siapapun pelakunya, dia sangat ahli dalam soal membunuh,” kata Wisnumurti kemudian, mencari tempat yang masih cukup berudara segar dan belum tercemar bau jenazah.
“Pangeran Langit?” Jaladri menguntit, sambil meringis dan menutup hidung.
“Bisa siapa saja. Yang jelas pelakunya satu orang, dan kejadiannya belum lewat terlalu lama. Barangkali mereka semua meninggal antara kemarin sore hingga tengah malam tadi.”
Ketiga lelaki itu terdiam selama beberapa saat. Kesunyian mencekam. Hawa kematian rnenyengat keras. Ladang pembantaian di kanan-kiri mereka menyebarkan suasana yang amat asing. Matahari kian turun. Kabut tipis mulai tampak mengembang.
“Apa yang harus kita lakukan terhadap orang-orang malang ini?” tanya Jaladri kemudian.
“Memakamkan mereka, tentu saja,” ujar Bajul.
“Tapi tak akan cukup tiga hari kita bertiga mengubur mereka semua.”
“Ya, itulah sulitnya.”
“Apa ada desa lain lagi dekat-dekat sini?” tanya Wisnumurti.
“Ada, Jati. Memang kenapa?”
“Kita bisa minta bantuan orang-orang di sana untuk menguburkan orang-orang ini.”
Jaladri mengangguk mantap. “Biar aku yang ke sana. Jaraknya tak sampai tiga pal.”
Ia cepat-cepat bangkit dan naik ke kudanya. Dengan cepat, bayangan pemuda itu melesat dan hilang di balik pepohonan hutan. Sepeninggal Jaladri, Wisnumurti dan Bajul mengerjakan apa yang dapat mereka kerjakan lebih dulu. Mereka menata mayat-mayat itu berjajar.
Belum lagi genap sepenanak nasi terlewat, terdengar suara kaki kuda menderap dengan cepat ke tempat itu. Wisnumurti dan Bajul menoleh penuh kewaspadaan. Ternyata yang datang Jaladri. Wajah penada itu pucat bukan buatan. Di punggung kudanya, seseorang menggelayut tak sadarkan diri. Tubuhnya penuh berlumuran darah. Jaladri melompat turun dengan cepat.
“Jati juga tumpas,” ujarnya.
Wisnumurti menangkap tali kekang kuda Jaladri, sementara Bajul dengan sigap menurunkan orang yang terluka itu ke tanah.“Dengan luka sayatan yang sama?” tanya Wisnumurti.“Ya, sama persis” sahut Jaladri. “Bapak yang satu ini kemungkinan tak ada di tempat saat peristiwa terjadi, lalu dia sempat lari menyelamatkan diri. Luka-luka di tubuhnya disebabkan oleh hal lain. Mungkin dia bertemu macan atau ditabrak celeng.”Wisnumurti dan Bajul memeriksa pria itu, yang berumuran kira-kira sebaya dengan Ki Soma. Dia tergolek tak sadarkan diri. Darah di sekujur badannya keluar dari begitu banyak luka cabikan di sekitar dada, perut, dan bahkan leher. Sepertinya itu memang luka akibat binatang buas.Mengingat darah yang keluar terlalu banyak, pria itu tak akan bertahan. Yang jelas ia masih hidup. Dadanya naik turun, tersengal oleh napas satu-satu yang diperjuangkan sepenuh daya di tengah deraan rasa sakit yang pasti tak tertanggungkan
Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa d
Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia