Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.
“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.
“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”
Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.
“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya dia. “Tadi aku dengar Pak Rantang bilang begitu pas makan-makan.”
Karena peristiwa tak biasa tadi sore, ketiganya memang tak jadi melanjutkan perjalanan menuju Kenipir. Lagipula Ki Buyut Brabo langsung meminta dengan sangat agar mereka menginap begitu tahu putra sulung Ki Somanagara yang terhormat tengah berkunjung. Ki Buyut bahkan menyediakan rumahnya untuk mereka tempati semalam. Wisnumurti yang merasa pakewuh mengatakan bahwa mereka hanya perlu satu kamar, bukan keseluruhan rumah.
Baru setelah berdebat agak lama, Ki Buyut bisa menerima. Tapi tetap saja ia menyembelih cukup banyak ayam sehingga para warga dapat bersantap bersama-sama dengan ketiga tamu agung di luar, beralas tikar dan beratapkan langit penuh bintang. Mereka merasa berhutang budi karena hanya berkat kehadiran mereka bertiga, hal-hal yang tak diinginkan dapat dicegah.
Tapi mereka juga tak mengerti mengapa mendadak Senopati Natpada memerintah rombongannya untuk mengundurkan diri dan batal sepenuhnya membawa Sarni ke Keraton untuk dipersembahkan bagi Pangeran Candrakumala. Yang jelas para pria terus duduk berbincang hingga larut malam sesudah para wanita dan anak-anak pulang.
Jaladri dan Bajul yang tak kuat menahan kantuk mengundurkan diri menjelang tengah malam. Tak seberapa lama kemudian baru Wisnumurti muncul. Yang lain termasuk Ki Buyut dan Pak Tanu, ayah Sarni, masih ada di luar. Suara perbincangan mereka jelas sekali terdengar dari sini.
“Aku dengar juga gitu,” Wisnumurti naik ke amben, berada di kedudukan paling pinggir. “Senopati Natpada berpikir sakitnya Sarni tak bisa dijadikan alasan. Ia seret Sarni keluar. Ibunya agak nggondheli. Lalu terjadilah tarik-menarik.”
Jaladri mendengus. “Aku tadi aku nyaris tak tahan lihat si adik bayi jatuh lepas dari gendongan Bu Tanu gara-gara didorong-dorong kasar seperti itu. Untung dia tidak apa-apa.”
“Nah, sekarang kita masuk ke pokok permasalahan yang paling menarik. Tadi itu ada apa sebenarnya?”
Wajah Jaladri dalam keremangan nyala lentera di kamar terlihat lucu saat melongo.
“Ada apa apanya?”
Wisnumurti duduk bersila. Sarung menutup hingga kepala. Lalu ia memutar sehingga tepat menghadap Jaladri. Karena tertarik dengan bahan obrolan, Bajul ikut bangun juga. Tak jadi tidur.
“Mari kita urutkan kejadiannya. Karena mangkel kamu hampir saja melabraknya saat si bayi jatuh, Natpada lalu menyepakmu tepat di dada. Dan itu tadi benar-benar tendangan yang kuat. Orang biasa pasti langsung tewas karena tulang dadanya jebol. Dan kamu memang mencelat tadi. Tapi kenapa malah si Senopati yang jatuhnya lebih jauh, sampai menimpa pohon besar dan pohonnya tumbang seperti itu!?”
Jaladri termangu. “Nah, itu aku juga heran. Tadi aku tidak bisa menjelaskan waktu para bapak bertanya Senopati Natpada kenapa kok bisa sampai terbang melayang asyik sekali gitu.”
“Maka pertanyaan Bajul tadi harus kaujawab. Kauapakan Senopati Natpada tadi sebenarnya?”
Jaladri terdiam, garuk-garuk kepala.
“Kuapakan? Aku kan tidak kenapa-kenapa.”
Wisnumurti menarik napas. “Jadi gini. Dalam bidang keilmuan pencak silat, ada yang disebut tenaga dalam, yaitu kekuatan linuwih dari dalam tubuh yang bersumber dari latihan pernapasan. Orang yang pandai pencak belum tentu bisa membangkitkan tenaga itu. Maka kalau kena tendang seperti kau tadi, dia bisa saja nyungsep dan tidak bangun lagi. Tapi pada orang yang punya, kekuatan linuwih itu akan dengan sendirinya keluar melindungi saat tubuh kena serangan mematikan seperti tendangan si Natpada itu tadi padamu. Senopati Natpada jelas punya. Namanya juga senopati. Tapi bahwa dia lantas mencelat sejauh itu gara-gara menyerangmu, tidak ada kesimpulan lain kecuali bahwa dia kena dorong hentakan tenaga yang jauh lebih besar daripada punya dia sendiri. Dan bahwa yang ditendang dari kita bertiga hanya kau, itu artinya tenaga sakti yang mendobrak keluar menyerang Natpada itu datangnya dari dalam tubuhmu, bukannya dari bawah pohon bayem atau dari sari air kelapa. Mudeng?”
Baru kemudian Jaladri tertegun.
“Mosok sih?”
“Yang lucu kan bahwa kau tidak mudeng. Soalnya kalau kau sudah mudeng, karena sudah mulai berlatih pernapasan untuk membangkitkan tenaga itu, pastinya kau juga mengerti apa yang terjadi tadi.”
Jaladri garuk kepala lagi. “Iya ya?”
“Padahal kau kan belum latihan aneh-aneh sendiri tanpa sepengetahuanku, kan?” celetuk Bajul.
“Belum lah. Kan baru tempo hari kau membahas soal latihan pernapasan yang harus pakai puasa mutih, puasa ngebleng, pati geni, dan lain-lain. Belum latihan saja aku sudah pusing memikirkan puasa-puasanya.”
Wisnumurti mendadak mencengkeram bahu Jaladri, dan seketika sebentuk aliran hawa hangat menjalar dari situ.
“Anehnya, kau jelas sudah punya. Terasa sekali ini. Hanya saja, keberadaannya belum sepenuhnya kausadari. Yang jelas dia ada, dan keluar melindungi dirimu saat ada bahaya maut mengancam, yaitu tendangan Senopati Natpada tadi. Dan perlawanannya begitu kuat sampai dia bisa kaubikin nyangsang di pohon. Coba ceritakan lagi sosok yang kaulihat semalam saat tindhihen!”
Jaladri ternganga.
“Astaga! Masa dia? Dari dia? Ini maksudnya yang dia bilang mau dia ajarkan padaku?”
“Nyatanya, habis itu ada perubahan tak masuk akal pada dirimu, kan? Tingkat dobrakan tenaga dalam yang sehebat itu umumnya baru bisa tercapai setelah kita latihan pernapasan tanpa henti lebih dari sebulan. Tapi kau, yang kemarin sepertinya masih recehan, mendadak sekarang punya itu jauh tersembunyi di dalam tubuhmu.”
“Ingat-ingat lagi, apa yang dia lakukan terhadapmu semalam!” kata Bajul, penasaran.
Jaladri berpikir.
“Setelah aku ingat lagi, sepertinya dia menabok ulu hatiku, lalu aku merasa nyeri bukan main sampai untuk bernapas pun susah. Entah kenapa habis itu aku tak ingat apa-apa lagi. Mungkin saking kesakitannya lalu semaput, sampai pagi.”
“Bisa ya tenaga inti diberikan dengan cara segampang itu?” Bajul menoleh pada Wisnumurti. “Bukankah yang wajar adalah dengan dilatih pelan-pelan tiap hari?”
“Kalangan mahaguru tertinggi bisa melakukannya. Mereka bisa menyentuh, memukul, atau menabok untuk membuka aliran tenaga seseorang. Tapi hanya untuk membuka saja. Si penerima bisa saja tak menyadari bahwa dia sudah punya. Nanti penerapannya tinggal terpulang latihan dan ketekunannya saja.”
“Itu berarti, kalau yang dialami Jaladri semalam itu benar-benar nyata, dia baru saja didatangi seorang tokoh dengan tingkat kemampuan tertinggi...!” kata Bajul.
“Masalahnya, siapa?” sahut Wisnumurti. “Dan mengapa dia tahu-tahu saja mendatangi Jaladri? Itu terencana apa sekadar pilihan acak?”
“Katanya, dia tahu aku mau keluar bertualang untuk pertama kalinya,” kata Jaladri. “Maka dia lantas mengajariku sesuatu. Mungkin maksudnya sebagai bekal.”
Wisnumurti lekat menatap kawannya itu. “Dia bilang begitu?”
“Beberapa hal muncul satu-satu setelah aku ingat-ingat lagi. Salah satunya itu.”
“Berarti ini bukan kejadian acak,” Wisnumurti mendesis. “Dia memang sengaja memilihmu...!”
Jaladri tercengang. “Tapi siapa? Dan kenapa...?”
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia