Gadis kencur itu pastilah yang tengah dikehendaki Pangeran Candrakumala untuk menjadi selirnya yang kesekian. Mungkin sang pangeran mendengar berita tentangnya dari para bawahan yang melewati desa-desa tertentu, seperti Brabo sekarang ini. Lalu ia tertarik dan mengirimkan senopatinya untuk melakukan penjemputan.
Sebagai makhluk yang kerap keluyuran, Wisnumurti sudah terlalu sering melihat peristiwa semacam itu. Biasanya ia akan cuek saja, tak mau ikut campur dalam urusan orang-orang kerajaan. Kali ini masalahnya adalah kekerasan yang dilakukan para anak buah senopati itu terhadap keluarga sang gadis.
Ia bisa memahami mengapa Jaladri begitu marah barusan. Mereka baru saja melihat bayi dan anak-anak balita terbunuh di dua tempat. Maka ada bayi bergulir tergelincir lepas dari tangan ibunya yang didorong-dorong kasar ke tanah oleh tiga pria sekaligus jelas sangat mudah membuat tekanan darah naik.
Barangkali saja sebentar tadi sempat muncul sikap yang kurang legawa dan bersahabat dari keluarga sang gadis, sehingga mereka diseret seperti itu. Atau mungkin gadis itu sendiri yang terlihat tak rela, karena ia masih belum mau dilepas dari keluarga untuk seterusnya seumur hidup.
Wisnumurti berpikir cepat. Karena ada Jaladri, urusan jadi rumit. Nama dan wajah anak itu sudah dikenal luas di antara Karang Bendan dan Kenipir. Orang sedesa sini tahu siapa dia. Jika jati dirinya sampai terungkap, ia bisa saja dicap sebagai pemberontak. Keluarga Ki Soma akan berada dalam bahaya besar.
Maka tak ada pilihan lain selain mengalah. Satu kali kedipan penuh isyarat dari Wisnumurti untungnya membuat Jaladri dengan cepat paham pula peliknya keadaan. Pemuda itu, meski enggan, ikut berlutut.
Sayang semua ternyata tak berlalu dengan mudah begitu saja. Sang senopati memang menyarungkan kerisnya, tapi itu ternyata hanya untuk membuatnya bisa leluasa menapakkan kaki menghampiri tiga pendatang baru yang memang lancang itu. Dalam jarak seratus langkah, siapapun harus berjongkok atau bersimpuh di hadapan warga Keraton pusat, tanpa kecuali. Dan karena tak tahu sedang ada apa, ketiganya tadi masih ada di punggung kuda tepat di hadapan senopati itu dan para pengawalnya.
Tentu saja, karena tadi yang berulah paling awal adalah Jaladri, dialah yang kemudian didatangi Senopati Natpada.
“Kamu siapa?” tanya senopati itu, pelan dan datar namun penuh aura membunuh.
Jaladri meneguk ludah. Sial! Ia sangat tidak bersiap untuk kejadian begini. Kalau ia jawab terus terang siapa dirinya, yang kena hukuman bukan hanya ia satu orang. Ayah, ibu, dan adiknya bisa-bisa bakal kena juga. Terlebih ini bukan tentara dari negeri bawahan, melainkan langsung dari pusat.
“S-saya...” mati-matian ia mengarang nama. “Mohon beribu ampun. Hamba... Bajul.”
Bajul mendelik. Kalau Jaladri memakai nama itu, dirinya sendiri harus menggunakan nama apa jika nanti ditanyai juga?
Wisnumurti hampir tak sanggup menahan tawa.
“Bajul, kau dari mana?” Senopati Natpada menampol kepala Jaladri hingga ikat kepala anak itu mencelat, lalu menjambak rambutnya sekuat tenaga. “Perkasa sekali kau ya, di depan senopati Keraton tidak turun dari kuda lalu menyembah hingga hidung dan mulutmu yang tak berharga itu mencium tanah becek!”
Jaladri menggeram pelan dengan urat leher menegang sempurna. Bajingan orang ini! Jambakannya kuat sekali!
“H-hamba dari Karang Bendan.”
“Apakah semua orang Karang Bendan begitu? Merasa jumawa karena kota kalian makmur dan kaya? Ha!?”
Jaladri sudah membuka mulut untuk menjawab, tapi Senopati Natpada menoleh pada Bajul.
“Dan kau, siapa namamu!?”
Pria itu tercekat sesaat. “Hamba... hamba Murti.”
Alis Senopati Natpada berkerut. “Murti? Wajah? Pilihan nama yang salah untuk orang dengan muka sejelek kau. Bukankah itu sama saja dengan membohongi seisi alam semesta?”
Wisnumurti kembali nyaris tertawa.
“Dan siapa pula kau ini? Melihat ototmu, kau pastilah pakar bela diri. Aku betul, bukan?”
Wisnumurti batal ketawa. Kembali waspada tingkat dewa. Senopati satu ini ternyata seorang pengamat yang tajam dan cerdas.
“Nama hamba Seta. Hamba dari Gunung Cakrabuana.”
Seta berarti putih. Cocok dengan baju yang dipakainya saat ini. Dan ia menyebut nama perguruannya dengan harapan senopati di hadapannya ini akan segan lalu mengurusi kembali tugas utamanya di situ, dan bukan malah sibuk dengan dirinya, Jaladri, dan Bajul.
Nama padepokan sekaligus pondok pesantren Cakrabuana memang sangat berpengaruh, sehingga para penguasa pun harus berpikir dua kali saat bertemu orang-orang dari sana.
“Kau murid Panembahan Singgih?” tanya Senopati Natpada, dengan nada suara sedikit melunak.
“Hamba hanya pembantu rendahan di sana. Sama sekali tak berharga.”
Senopati Natpada mendengus. “Karena kau murid Panembahan Singgih, aku tidak mengganggumu. Tapi temanmu yang satu ini benar-benar kurang aj...!”
Makin gondok karena tak bisa melakukan tindak kekerasan pada pemuda bernama Seta itu, sasaran sang senopati yang paling empuk kembali ke anak muda yang mengaku bernama Bajul. Kakinya terangkat, menendang dengan sekuat tenaga ke arah si anak muda kurang ajar. Sesudah terjengkang kelenger dengan napas megap-megap nanti, anak itu akan bisa belajar lagi tentang perlunya memupuk rasa hormat pada para bangsawan Keraton.
Sayang bukan itu yang terjadi. Senopati Natpada bahkan tak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Sebab mendadak ia hilang dari hadapan hidung Wisnumurti dan Bajul.
Mereka hanya sempat mendengar suara keras saat kaki tepat mendupak dada, dan Jaladri mencelat terjengkang sejauh satu tombak sambil mengaduh keras.
Di mana senopati itu berada baru terjawab oleh suara lengkingannya, yang mirip bunyi jeritan bakul pasar dikejar kuda ngamuk.
Wisnumurti menoleh dan melongo takjub. Sesaat ia bingung sejak kapan manusia bisa terbang seperti burung.
Ia baru mudeng setelah melihat betapa kepala sang senopati ada di bawah saat menimpa pohon mahoni besar di kejauhan sana dan pohonnya ambruk dengan menimbulkan suara luar biasa keras. Oh, iya, itu namanya mencelat dan jatuh, bukan terbang!
Para warga menoleh takjub, lalu beberapa di antaranya bangkit berlarian membantu sang senopati bangun.
Di sisi sebelah sini, Wisnumurti dan Bajul sibuk menarik Jaladri berdiri. Wajah anak itu pucat, tapi lebih karena kaget, bukan karena sekarat ditendang seorang senopati tepat di dada.
“Ini berapa?” Wisnumurti mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah tepat di depan mata Jaladri.
“Wedhus! Aku masih sadar,” Jaladri menyingkirkan tangan Wisnumurti. “I-itu... itu Senopati Natpada kenapa?”
“Dia mencelat terbang, kena pohon sampai pohonnya roboh!” sahut Bajul. “Kau apakan dia?”
Jaladri melongo. “Hah? Aku? Kok malah aku yang disalahkan? Yang tidak sopan nendang kan dia!”
“Bukan itu, dasar bodoh! Maksudku, kamu apakan dia sampai mencelat seperti itu? Ilmu sihir ya!?”
Jaladri bengong, mata menatap lurus ke kejauhan sana, empat tombak dari kedudukan ketiganya saat itu. Kerumunan warga dan para prajurit berhasil membantu Senopati Natpada berdiri. Namun pria gagah itu mendadak seperti sedang mabok. Lututnya goyang. Jika tak kembali dipegangi dua tentara, ia pasti akan nyungsep dengan muka kena tanah becek terlebih dulu.
Sorot matanya bahkan sejenak tak terpusat. Kosong seperti orang mau kesurupan. Baru sekian helaan napas kemudian ia menemukan kembali mana atas mana bawah.
“Lin... Lintang Abyor...” ia mendesis, pelan tapi terdengar hingga telinga Wisnumurti. “Mun... mundur...!”
Alis pemuda itu berkerut. Lintang Abyor? Apa itu?
Dan yang lebih heran adalah prajurit jangkung yang ikut memegangi Senopati Natpada.
“Mundur? Tapi, Gusti...”
“Jangan membantah!” Senopati Natpada mendelik, sudah bisa kembali marah-marah. “Turuti saja perintahku! Kita mundur! Urusan di sini bisa diselesaikan belakangan.”
Para prajurit mengangguk patuh.
“Sendika, Gusti Senopati.”
Beberapa di antaranya terlihat belum rela. Mereka melirik tajam ke arah Jaladri dengan amarah membara. Bahkan ada yang masih sempat menuding-nuding gahar, menandakan bahwa dia sudah mengenali Jaladri dan akan menyelesaikan perhitungan di lain waktu.
Tapi yang jelas mereka memang mundur teratur, kembali melompat ke kuda masing-masing. Cepat sekali mereka menghilang utara, ke arah Kotaraja Pasir. Dan Wisnumurti masih belum sepenuhnya paham ketika kemudian tempat itu sunyi, lalu para warga bangkit berdiri dan berani kembali berceloteh.
“Hah? Kok langsung pada pergi...?” gumam Jaladri bingung.
Wisnumurti dan Bajul juga hanya bisa terdiam tak mudeng,
Pintu kamar terbuka. Wisnumurti masuk sambil menguap. Pintu ia tutup kembali. Jaladri dan Bajul yang sudah berbaring di amben lebar seketika bangkit. Mereka sudah sama-sama bersiap tidur, meringkuk di balik kain sarung yang dibekalkan oleh Ki Soma dari rumah.“Kupikir kau mau melek sampai subuh,” kata Jaladri, menguap juga.“Ki Buyut dan yang lainnya berharap begitu,” kata Wisnumurti, melepas kain bawahan dan meraih sarung pula dari kantung perbekalannya. “Mereka senang tiap kali ada pesilat yang mampir, terlebih ada kau. Para bapak itu cerita macam-macam, terutama kejadian penampakan hantu dan tempat-tempat angker.”Jaladri duduk, bersandar ke dinding bambu rumah itu. Ia pun setali tiga uang. Asal sudah ada Wisnumurti, ia bisa tahan melek sampai pagi mendengarkan cerita-cerita orang itu.“Jadi betul keluarga Sarni tadi nyaris dihukum penggal kepala Senopati Natpada hanya karena Sarni sedang sakit?” tanya di
“Makanya. Ini jadi menarik, kan? Apalagi karena lingkunganmu yang berpeluang melatihmu dalam soal ilmu bela diri kan sudah jelas kita semua tahu siapa saja. Bajul, lalu ada Ki Gede, ada Pratiwi. Kalau mereka tertarik bakatmu, misalnya, lalu ingin membantumu berlatih, kan tinggal dipanggil saja. Atau langsung diajak bertarung. Yang satu ini kenapa malah sok main rahasia begitu? Alasannya apa? Siapa dia? Mengapa memilihmu dan bukan Bajul?”“Dan kau sekarang tak merasa kenapa-kenapa, kan?” tanya Bajul. “Soalnya tendangan si senopati itu tadi benar-benar tendangan yang dimaksudkan untuk mencelakai. Kupikir kau bakal modar. Setidaknya pingsan sepekan lah. Tapi kau masih bisa bangun dan sepertinya baik-baik saja.”Jaladri meraba bagian dada yang tadi kena tendang.“Tadi cuma ngilu di sini, lalu aku sempat tidak bisa napas sebentar. Lalu ya biasa-biasa saja. Masih bisa jalan.”“Malah Senopati Natpada yang ter
Alis Senopati Natpada berkerut.Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.“D-dia... anak... Ki Soma...”“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. S
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia