Alis Senopati Natpada berkerut.
Kaki kanannya kemudian terulur, mengangkat dagu pria di depannya hingga kepalanya terdongak.
“Apa? Apa yang mau kausampaikan padaku?”
Pria rapuh itu makin kencang gemetar. Sebagian karena kedinginan, sebagian lagi karena keder berhadapan langsung dengan seorang senopati Keraton.
“D-dia... anak... Ki Soma...”
“Apa?” Senopati Natpada mendekatkan telinganya ke wajah orang itu, dengan tangan menjambak rambut kuat sekali. “Tidak dengar.”
“Katanya, anak muda yang kemarin kurang ajar terhadap Gusti Senopati adalah putra Ki Somanagara,” kata prajurit yang bernama Pangat.
“Anak Ki Somanagara? Pedagang beras dan perhiasan dari Karang Bendan itu?”
“Betul, Gusti. Orang ini warga Brabo juga, dan semalam ikut berkumpul makan-makan dengan mereka bertiga. Begitu ia sudah memastikan jadi diri mereka, ia langsung menyusul Gusti kemari. Semua ini demi cinta dan baktinya pada Keraton Pasir.”
Senopati Natpada meremas tinjunya. “Jadi dia bohong waktu bilang namanya Bajul?”
“Betul, Gusti. Agar Gusti tidak mengenai siapa dirinya, karena nama dan wajahnya sudah dikenal di seluruh wilayah Karang Bendan. Sedang Bajul tak lain ada pria satunya lagi, yang mengaku pada Gusti bernama Murti. Dia tak lain adalah pengawal pribadi Jaladri. Sementara itu, Murti adalah orang yang mengaku bernama Seta kepada Gusti. Tapi dia memang benar-benar berasal dari Gunung Cakrabuana. Bahkan anak itu merupakan salah satu wisudawan terbaik dari sana. Namanya Wisnumurti.”
Kepala yang mendidih menggerakkan kakinya menyepak sembarangan. Pria di depannya mengaduh, mencelat berguling masuk sesemakan lebat berduri dan lalu tak ada gerakan lagi dari sana.
“Bajingan! Aku dikerjai anak-anak kecil!”
Para prajurit seketika berlutut.
“Mohon perintah! Hamba dan kawan-kawan akan bereskan mereka bertiga!” kata Bekel Damar mewakili yang lainnya.
Senopati Natpada mengibaskan tangannya.
“Tidak perlu! Itu nanti saja. Sekarang kita harus sesegera mungkin tiba di istana. Ayo, cepat!”
Para serdadu bergegas mendatangi kuda masing-masing begitu sang pemimpin melesat pergi dengan kudanya. Mereka menghilang dengan cepat. Dan tempat itu kembali dicekam kesunyian seperti biasanya.
***
Pondok kecil itu terletak di salah satu sisi terluar sebelah utara dari Kenipir. Ada kebun ketela dan pisang di sekelilingnya. Pada pagi menjelang siang seperti sekarang ini, tak aneh bila rumah warga berada dalam keadaan sepi. Sang suami pasti sedang bekerja, atau ke sawah. Sedang sang istri barangkali tengah sibuk memasak di dapur.
Maka ketika kemudian Remak si bongkok menghentikan kudanya beberapa hasta dari pintu depan, ia sempat tak yakin ini tempatnya. Ia lalu menambatkan kuda di pohon terdekat, lalu melangkah masuk dengan santai seperti tengah akan menuju rumah sendiri.
Remak berumur akhir 30-an, memiliki ketidakberuntungan berupa bentuk punggung dan tengkuk yang tak sempurna. Bentuknya mirip punuk sapi, dan membuatnya selalu jauh dari lawan jenis. Kata mendiang ayahnya dulu, yang telah hampir tak ia ingat lagi wajahnya, itu ia terima karena karma buruk sang ayah pada masa lalu.
Atau barangkali karena ada gendruwo masuk ke rahim ibunya saat mengandungnya.
Apa pun itu, ia tak peduli lagi kini. Selalu ada hal besar yang jauh lebih penting untuk diurus. Dan itu membuat langkahnya mantap. Toh kalau ada yang mengganggu, ia tinggal sabet menggunakan tongkat kayu di tangannya. Habis perkara.
Mata tajam pada wajah yang penuh bekas bercak jerawat parah itu menghunjam ke satu arah. Ada aroma yang menggoda datang dari belakang. Ia melangkah melintasi ruang tengah yang hanya memuat satu amben besar dan satu peti tempat menyimpan pakaian. Di dapur, sumber aroma memastikan bahwa tempat ini tidaklah keliru.
“Sudah jadi?” tanya dia pendek.
“Kedatanganmu sangat tepat,” Suwung Saketi mengangkat daging dari penggorengan dan meletakkannya pada piring tanah liat yang dilapisi daun pisang. “Ambil nasinya!”
Suwung Saketi berwajah dan berkulit bersih, mirip kalangan bangsawan tinggi. Wajahnya selalu halus, karena ia rajin memangkas kumis dan jenggotnya. Dan itu membuat mukanya seperti terlihat pucat. Dengan tubuh yang kurus ramping dan perut yang masih rata, orang kerap mengira ia 10 tahun lebih muda dari usia sebenarnya yang telah menginjak akhir kepala empat.
Beda dari Remak yang sekilas mirip onggokan sampah, Suwung Saketi adalah kebalikan yang sangat nyata. Ia seperti terlahir untuk menjadi orang penting.
Dapur kemudian penuh asap saat Remak mematikan nyala api dari kayu di luweng. Periuk gerabah yang ada di mulut kedua luweng tepat di sisi mulut pertama yang memuat wajan memang berisi nasi yang baru saja masak. Ia ambil seperlunya untuk ia pindahkan ke wadah nasi yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu ia bawa wadah nasi itu ke amben di ruang tengah.
Saketi sudah menunggu di sana, bersama dua potong daging goreng besar yang sungguh nampak menyelerakan. Satu piring lain selain dua piring yang akan mereka gunakan bersantap berisi sambal merah yang baunya sangat menggoda indera penciuman.
Memasak memang satu lagi keahlian pria itu selain membunuh dengan tangan kosong.
“Daging apa ini?” tanya Remak, mengambil satu potong daging yang masih panas membara tanpa kerepotan sama sekali.
“Kaki,” Suwung Saketi menjawab pendek, lalu menunggu. “Bagaimana?”
Remak menggigit daging, sekali lagi tanpa terpengaruh hawa panas daging yang baru saja dikeluarkan dari minyak mendidih. Berikutnya ia menyusulkan nasi yang kuyup sambal ke mulut.
“Enak. Matangnya pas. Renyah juga. Aku suka cita rasa gurihnya. Membuat kita ingin lebih dan lebih.”
“Dagingnya bagaimana? Masih terasa terlalu berserat?”
Remak menatap ke arah lain selagi ia mengamati tiap kunyahannya pada daging. Beberapa bagian gigi yang bolong dan patah sedikit menyulitkannya untuk itu.
“Tidak kok. Entah bagaimana caranya, kau bisa membuat seratnya tak terasa. Orang yang tak tahu pasti mengira ini ayam, atau kambing.”
Saketi mengangguk-angguk puas. “Tak sia-sia aku berlatih. Jadi bagaimana? Semua berjalan lancar?”
Remak mengangguk sambil sibuk terus mengunyah.
“Tak ada hambatan. Acaranya nanti malam. Sebelum dzuhur ini nanti kau sudah harus ada di dapur untuk mulai memasak. Karena akan ada hidangan tambahan, maka kau akan bekerja lebih keras dari para juru masak lainnya”
Suwung mengangguk. “Tak soal. Demi pembalasan dendam Trah Wiramukti, kita lakukan yang perlu kita lakukan.”
“Dan jangan lupa! Ada satu pembalasan dendam lagi menunggu, terkait Salem.”
“Kita akan segera sampai ke sana. Tak lama lagi, sesudah yang ini beres.”
“Sudah ada berita lebih lanjut dari Bocor di Pajang?”
“Tidak bagus. Dia malah menjauh dari tempat ia seharusnya melakukan pencarian.”
“Ada apa?”
“Dia dipindahtugaskan ke Kedu dan Bagelen, menjadi penarik pajak di kedua wilayah itu, entah sampai kapan.”
Remak terpaku sesaat. “Kedu dan Bagelen justru mendekat ke wewengkon Pasir. Adipati Karang Bendan pernah berpikir untuk memasukkan Bagelen ke wilayahnya, agar ia bisa dengan lebih mudah mengamati kelompok kita di Saba.”
“Tak apa. Barangkali saja ia justru menemukan petunjuk tak terduga di tempat penugasannya yang baru. Siapa tahu?”
“Semoga saja begitu. Hmm... aku tak mengira daging kaki bisa seempuk dan seenak ini. Rasanya lumer di mulut.”
Suwung Saketi hanya mengangkat alis, tak menyahut. Pria yang terbaring tengkurap di sisi amben itu sudah pasti tak bisa juga memberi sahutan.
Darah kental masih menggenang dari luka menganga yang membuat lehernya nyaris putus. Satu luka lagi yang menjadi sumber pengeluaran darah adalah pada tungkai kaki kanan. Dan ada yang tak biasa di situ.
Bagian bawah dari lutut hingga telapak kaki tak ada lagi pada tempat seharusnya ia berada.
Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sul
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu
“Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia