Share

13

Penulis: Wiwien Wintarto
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-09 19:47:48

Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.

“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”

Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.

 “Sendika, Gusti Pangeran!”

Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.

Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, atau nyawa menjadi taruhannya. Sekali waktu dua pembantu salah memperkirakan tempat duduk. Akibatnya Candrakumala terjengkang. Para pembantu naas itu pun mati dengan kepala dan badan terpisah.

“Nah, nah, mana dia?” tanya Candrakumala kemudian, setelah duduk dengan nyaman di singgasananya. “Sudah kauantar ke kaputrenku?”

Di depan Senopati Natpada yang tegap, Candrakumala sepintas terlihat seperti kucing kurus yang baru saja tercemplung sungai. Tubuhnya cenderung kecil mungil dan sedikit bungkuk pada bagian punggung dekat tengkuk. Keseluruhan penampilannya tertolong oleh busananya yang tak pernah tidak mewah. Sore itu ia mengenakan blangkon hijau, baju lurik lengan panjang, kain yang dilipat sebatas lutut, serta celana hitam, dan semuanya bersulamkan benang emas.

Senopati Natpada lalu menyembah. Kedua tangannya gemetar.

“Mohon ampun! Hamba gagal menjalankan tugas...!”

Alis Candrakumala berkernyit. Mata mencorong menatap kepala pasukan pengawalnya itu.

“Bagaimana bisa begitu? Kau tidak terkalahkan. Aku mengirimmu secara khusus untuk tugas ini karena tahu kau tak terlawan. Kau pasti bisa. Dan mereka tidak akan berada dalam kedudukan untuk menjawab tidak.”

Senopati Natpada kembali menyembah. “H-hamba terhalang Lintang Abyor...!”

“Lintang Abyor? Apa yang terjadi?”

“Seseorang menghalangi tugas hamba, dan ia memiliki ilmu itu, Gusti Pangeran.”

“Siapa dia? Kakangmas Wiratmaka? Adimas Ranggajaya?”

“Namanya Jaladri, Gusti, putra sulung Ki Somanagara, pedagang beras dari Karang Bendan.”

Candrakumala terpaku. “Bagaimana mungkin dia bis...?”

“Maaf, hamba menyela. Dan biar soal ini kuambil alih, Senopati.”

Kedua pria itu menoleh kaget. Tumenggung Mertalaya yang bertubuh kurus tipis seperti lidi dan selalu mengenakan jubah warna pekat melangkah mendaki telundakan pendapa dari arah pringgitan rumah utama Dalem Kepangeranan Candrakumala.

“Loh, bukannya Paman masih di Telaga Wilis bersama 100 bidadari?” Candrakumala menatap sang tumenggung dengan mata tak berkedip.

“Hamba menggunakan Aji Sepi Angin sehingga bisa berada di dua tempat pada saat yang bersamaan. Dan ini diri hamba yang satunya lagi. Hamba yang asli masih berada di telaga, berenang bersama 20 bidadari.”

Mertalaya kemudian duduk bersila tepat di sisi Senopati Natpada. Matanya melirik tajam ke arah senopati itu sesudah memberikan sembah kepada Candrakumala.

“Sudah kubilang, urusan ini kuambil alih. Kau bisa kembali ke rumahmu, dan terhindar dari hukuman Gusti Pangeran karena kebijaksanaanku.”

Senopati Natpada mengangguk, lalu menyembah dengan tubuh merunduk.

“Mohon izin meninggalkan tempat ini, Gusti.”

Candrakumala berkacak pinggang dalam duduknya. Bagaimanapun ia belum puas, dan gatal sekali menjatuhkan hukuman. Namun kehadiran dan kata-kata Tumenggung Mertalaya selalu berarti banyak untuknya.

Ia membuang napas.

“Ya, ya, pergilah!” tangannya mengibas.

Senopati Natpada merunduk makin dalam, sebelum perlahan berjongkok melangkah mundur, dan baru berani berbalik sesudah tiba di tanah.

Lalu sunyi. Tumenggung Mertalaya menerawang menatap arah lain sambil menghela napas.

“Mohon Gusti untuk tidak gegabah menghadapi persoalan satu ini...” katanya kemudian, menggunakan hak istimewa yang ia terima, yaitu menjadi di antara segelintir manusia di muka Bumi yang dapat mendului berkata-kata tanpa perlu ditanyai terlebih dulu oleh Pangeran Candrakumala.

“Soal Jaladri dari Karang Bendan ini?”

Mertalaya mengangguk. “Benar sekali.”

“Dan mengapa begitu?”

“Ada sesuatu yang dulu hanyalah gunjingan. Dan mungkin ini saatnya untuk membuktikan hal itu.”

“Gunjingan? Soal apa?”

Tumenggung Mertalaya menarik napas. “Semua akan dapat kita ketahui dengan pasti jika berhasil membawa mereka kemari.”

“Mereka siapa?”

“Keluarga Jaladri. Dia memiliki seorang adik perempuan, yang juga cantik. Dan mereka kaya raya, sehingga tubuh dan wajah gadis itu pasti lebih bersih terawat daripada si kembang desa itu.”

Candrakumala ternganga. “Benarkah?”

“Ya. Gusti Pangeran bisa memintanya untuk menjadi istri Gusti Pangeran, dan keluarga Ki Soma akan dengan senang hati menerima. Itu akan sepadan sebagai pengganti perbuatan Jaladri menghalangi tugas Senopati Natpada mengambil gadis Brabo itu. Anggap saja itu hukumannya. Sekaligus nanti saya bisa bertanya pada Ki Soma untuk memastikan kebenaran gunjingan itu.”

“Secantik apa dia?”

“Jauh lebih cantik daripada semua selir Gusti Pangeran saat ini. Hamba akan mengirimkan utusan atas nama Gusti Pangeran ke Karang Bendan untuk memanggil mereka kemari. Dengan demikian Gusti dapat menyaksikan secara langsung seperti apa kecantikan adik Jaladri itu. Selanjutnya tentu, seperti biasa, semua terserah Gusti Pangeran.”

Candrakumala tersenyum, mengangguk-angguk.

“Gagasan bagus. Para utusan harus berangkat pagi-pagi subuh esok!”

Mertayala menyembah. “Kehendak Gusti akan segera terlaksana.”

“Dan untuk merayakannya, aku ingin makan daging sapi. Perintahkan orang untuk menyembelih sapi!”

Mertalaya membungkuk.

Sendika, Gusti Pangeran.”

***

Matahari sudah jauh bergulir ke barat ketika Wisnumurti membelokkan kudanya mengikuti ruas jalan setapak. Ia mendengar debur ombak di kejauhan memecah pantai. Pada belokan berikutnya, ia langsung tahu telah berada pada tujuan yang tepat sebagaimana ancar-ancar yang diberikan Ki Gede Nipir tadi.

Betul ini tempatnya. Ia melompat turun dari kuda. Di depan sana, lima ekor kuda terlihat ditambatkan pada sebuah pohon besar. Lebat hutan seketika berakhir. Di depannya terbentang padang yang cukup terbuka, berakhir pada bibir tebing karang tepat di tepi samudera laut selatan. Dan di ujung kejauhan sana, hanya beberapa tombak dari tepian tebing, berdiri sebuah pondok kayu berukuran kecil yang terlihat memang sangat cocok digunakan untuk menyepi.

Dengan cepat ia menuntun kudanya ke arah kuda-kuda itu, yang pasti merupakan kendaraan Ki Sembada dan keluarganya dalam pelarian menghindari Tanpa Aran.

Setelah menambatkan kudanya, ia bergegas mendekati pondok kecil itu. Matanya menatap tajam penuh kewaspadaan. Hingga ia agak jauh maju menapak, tak ada apa pun yang terlihat di sana. Pintu pondok tertutup rapat. Sedikit terlalu sunyi. Harusnya ada yang berjaga di sekeliling rumah.

Dan rasa gatal yang menggelitik tengkuk membuat pemuda itu kemudian melesat berlari. Jantung berdegupan saat ia masuk tidak dengan cara biasa, melainkan dengan menendang pintu sampai jebol terlepas dari engselnya.

“Ki Semb...?”

Seruannya terpotong. Wisnumurti berdiri terpaku di ambang pintu dengan napas memburu.

Mata nanar. Sejenak kaku tak bisa berbuat apa pun.

Bagian dalam pondok kecil yang hanya terdiri atas satu ruangan tunggal itu seperti terkena banjir. Bukan air, melainkan darah. Merah pekat kehitaman ada di mana-mana, terutama di sekeliling delapan jenazah yang terbaring kaku dalam posisi tak beraturan di dekat amben bambu. Empat mayat tergolek di balai-balai. Sepasang pria dan wanita berbusana bagus serta dua anak remaja perempuan. Mereka pastilah Ki Sembada sekeluarga.

Empat lainnya adalah pria-pria berbadan kekar. Agaknya murid sekaligus pengawal Ki Sembada. Mereka tergeletak tepat di pusat kolam darah.

Wisnumurti tak merasa perlu memeriksa. Ia langsung melihat bekas luka sayatan di leher mereka, yang tepat berkedudukan di titik yang persis sama—juga dengan para korban di Jati dan Srumbung kemarin.

Dan sesuatu menarik perhatiannya. Darah masih mengalir pada salah satu jenazah. Peristiwanya belum terjadi lama berselang!

Wisnumurti keluar lagi, menoleh ke segala arah dengan tenaga dalam terpusat di kedua tangan. Lalu mata yang tajam seketika melihatnya.

Di kejauhan sana, pada jarak sekitar 25 atau 30 tombak dari tempatnya berdiri, tepat di bibir tebing tertinggi, sesosok bayangan berdiri dengan kaki kangkang dan menghunus pedang berwarna pekat. Seluruh pakaiannya berwarna hitam, termasuk kain yang tak digunakan di pinggang melainkan membebat leher untuk menahan hawa dingin. Ia mengenakan caping lebar, dan menunduk, sehingga wajahnya sama sekali tak terlihat.

Hawa kematian bergolak. Wisnumurti merinding. Itu manusia sungguhan apa hantu?

“Jangan ikut campur! Ini bukan urusanmu.”

Jelas dan jernih. Pesan itu dikirimkan lewat Aji Pameling, menandakan betapa sosok itu memiliki tataran kemampuan bela diri yang menyeramkan.

Apalagi kemudian sosok bayangan hitam itu menjejakkan kaki, ke arah belakang. Kain berkibar saat ia melayang dan menghilang di balik tebing. Sekuat tenaga Wisnumurti berlari ke tempat itu, lalu menengok ke balik dinding karang.

Tak ada apa-apa, selain ombak raksasa yang bergulung dahsyat menggempur bebatuan 10 tombak di bawah sana.

Napasnya memburu, masih mencoba mencari bayangan itu tadi di arah lain. Tapi tetap tak ada apa pun.

Ia terlambat hanya beberapa detik.

Bab terkait

  • Menuju Matahari   14

    Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   15

    Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-09
  • Menuju Matahari   16

    Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Menuju Matahari   17

    “Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Menuju Matahari   18

    “Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Menuju Matahari   19

    “Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”Wisnumurti terdi

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Menuju Matahari   20

    “Kalau mau membantu, bantu saja. Malah cuma ngoceh!”Pratiwi sempat juga mengamati sekilas orang itu. Siapapun dia, ditilik dari caranya melakukan penampakan yang sangat tidak umum, pastilah pria itu juga seorang jagoan kelas tinggi seperti Wisnumurti.Pria di atap kemudian berdiri. Dengan gerakan yang sangat enteng, ia melompat tinggi sekali, seperti sengaja menjatuhkan diri ke tanah. Sedepa sebelum tiba di Bumi, tangan kanannya menghentak ke depan dengan kelima jari terentang sempurna. Detik itu gempa terjadi. Warga yang berkerumun menjerit karena merasakan tanah di pijakan benar-benar bergoyang.Wisnumurti melancarkan empat kali tendangan berantai yang membuat lawannya kembali nyungsep. Dalam arah gerakan yang sama, ia bergeser mendekati Pratiwi, dan tepat berada di depan gadis itu saat hentakan tenaga dari pria pendatang baru itu tadi tiba di titik tempat Pratiwi berada.Lalu mereka terlempar. Lebih tepatnya, Wisnumurti menabrak Pratiwi, s

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10
  • Menuju Matahari   21

    Ki Soma menguap lebar saat menutup salat magribnya di mushala yang berada tepat di kiri kediamannya. Tepat di ambang pintu, seorang pengawal menunggunya dengan wajah tegang.“Ndara, ada Kanjeng Gusti Adipati,” kata sang pengawal sambil mengacungkan ibu jari ke arah pendapa.Mata Ki Soma melebar. “Kanjeng Adipati?”Pengawal itu mengangguk. “Bet-betul, Ndara Soma. Itu... di pendapa.”Ki Soma langsung bergegas, bahkan setengah berlari. Memang terlihat sesosok pria tegap berbusana serba hitam duduk menunggu seorang diri di pendapa. Dalam keremangan cahaya lentera, sosok itu nampak angker dan berwibawa. Ki Soma menaiki pendapa rumahnya sendiri sambil berjongkok dan menyembah. Memang yang hadir adalah Adipati Jayapati, namun menyamar menjadi rakyat kebanyakan dengan mengenakan busana dan ikat kepala yang sangat sederhana sekaligus murahan.“Tidak usah menyembah, Adimas! Nanti orang tahu siapa aku. Padahal sudah k

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-11

Bab terbaru

  • Menuju Matahari   79

    Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den

  • Menuju Matahari   78

    Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta

  • Menuju Matahari   77

    “Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai

  • Menuju Matahari   76

    “Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi

  • Menuju Matahari   75

    Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya

  • Menuju Matahari   74

    Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding

  • Menuju Matahari   73

    Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten

  • Menuju Matahari   72

    Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta

  • Menuju Matahari   71

    Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia

DMCA.com Protection Status