“Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”
“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”
“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.
“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”
Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”
“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”
“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”
“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”
Wisnumurti terdi
“Kalau mau membantu, bantu saja. Malah cuma ngoceh!”Pratiwi sempat juga mengamati sekilas orang itu. Siapapun dia, ditilik dari caranya melakukan penampakan yang sangat tidak umum, pastilah pria itu juga seorang jagoan kelas tinggi seperti Wisnumurti.Pria di atap kemudian berdiri. Dengan gerakan yang sangat enteng, ia melompat tinggi sekali, seperti sengaja menjatuhkan diri ke tanah. Sedepa sebelum tiba di Bumi, tangan kanannya menghentak ke depan dengan kelima jari terentang sempurna. Detik itu gempa terjadi. Warga yang berkerumun menjerit karena merasakan tanah di pijakan benar-benar bergoyang.Wisnumurti melancarkan empat kali tendangan berantai yang membuat lawannya kembali nyungsep. Dalam arah gerakan yang sama, ia bergeser mendekati Pratiwi, dan tepat berada di depan gadis itu saat hentakan tenaga dari pria pendatang baru itu tadi tiba di titik tempat Pratiwi berada.Lalu mereka terlempar. Lebih tepatnya, Wisnumurti menabrak Pratiwi, s
Ki Soma menguap lebar saat menutup salat magribnya di mushala yang berada tepat di kiri kediamannya. Tepat di ambang pintu, seorang pengawal menunggunya dengan wajah tegang.“Ndara, ada Kanjeng Gusti Adipati,” kata sang pengawal sambil mengacungkan ibu jari ke arah pendapa.Mata Ki Soma melebar. “Kanjeng Adipati?”Pengawal itu mengangguk. “Bet-betul, Ndara Soma. Itu... di pendapa.”Ki Soma langsung bergegas, bahkan setengah berlari. Memang terlihat sesosok pria tegap berbusana serba hitam duduk menunggu seorang diri di pendapa. Dalam keremangan cahaya lentera, sosok itu nampak angker dan berwibawa. Ki Soma menaiki pendapa rumahnya sendiri sambil berjongkok dan menyembah. Memang yang hadir adalah Adipati Jayapati, namun menyamar menjadi rakyat kebanyakan dengan mengenakan busana dan ikat kepala yang sangat sederhana sekaligus murahan.“Tidak usah menyembah, Adimas! Nanti orang tahu siapa aku. Padahal sudah k
Begitu mereka dilumpuhkan, arwah-arwah di dalam tubuh para warga itu tak bisa lagi berbuat apa-apa. Jika tidak, mereka semua termasuk dua warga yang menyerang Wisnumurti dan Pratiwi akan mampu terus bergerak hingga badan mereka remuk rusak sendiri karena kelelahan.Dan sesudah dipingsankan, mereka semua bangun sebagai diri asli masing-masing. Rombongan arwah yang disalahgunakan langsung pada pergi entah ke mana.“Sepertinya mereka makin berani bertingkah di luaran,” kata Wisnumurti. “Apakah ada gejala bahwa mereka akan melakukan serangan besar-besaran?”“Aku khawatir begitu. Laporan-laporan mengenai terjadinya pengacauan dengan ciri khas cara kerja Lambang Merah makin meningkat belakangan ini. Aku juga takut itu semua adalah latihan sebelum mereka melakukan satu serangan pengacauan besar. Masalahnya adalah, kapan, dan di mana?”“Dan yang seperti ini bakalan sangat susah diatasi dengan cara-cara biasa, bahkan denga
“Kakang, bangun! Ini sudah subuh. Mau salat tidak?”Jaladri terbangun mendadak, dan seketika tersadar akan hawa luar biasa dingin yang mencekam kulit. Dalam gelap, yang paling awal tertangkap matanya adalah goyangan nyala api unggun yang seketika memberi rasa damai pada terkaman suhu dingin itu.“Lagian aneh ini. Kelenger karena pingsan kok berlanjut tidur pulas semalaman.”Pemuda itu seketika bangkit oleh suara yang belakangan ini, soalnya lembut dan merdu sekali. Saat ia menoleh, yang ia lihat adalah seorang gadis manis yang menggunakan baju dan kain berlapis-lapis untuk menahan dingin. Di sebelah satunya lagi ada seorang pemuda. Dan ia seketika mengenalinya.“Loh... kau...?” ia menuding.“Ya, betul. Dan tadi itu aku mendekati Kakang dan dua orang yang bersama Kakang itu untuk mengalihkan perhatian kalian, agar Ningrum punya waktu untuk memasukkan ular ke rumah banjar itu tadi.”Jaladri kemba
Dari tempat mereka berbincang-bincang bersama para pendekar di dekat api unggun, Ki Randu Alas dan Pratiwi menoleh. Wisnumurti terlihat bergegas keluar meninggalkan pintu rumah banjar. Dilihat dari raut wajah pemuda itu, sepertinya ada hal penting yang baru saja didapatkannya di dalam.“Bapak-bapak yang barusan kutanyai bilang, dia sempat melihat Jaladri bicara dengan seseorang tepat sebelum ular masuk ke sana,” katanya tanpa menunggu ditanyai terlebih dulu oleh Ki Randu Alas.Blarak dan para pria itu ikut berdiri dan memerhatikan Wisnumurti.“Apa dia sempat mengamati ciri-cirinya?” tanya Ki Randu.“Ya. Anak muda seumuran aku dan Jaladri. Kata dia, anak itu cukup bersih, kemungkinan orang kaya. Lalu ada orang lain lagi yang bilang dia sempat ngobrol sebentar dengan anak muda itu. Dia ternyata orang Paranggelung. Mau pulang ke sana sesudah bepergian beberapa hari ke Tanggul Wetan. Dia jalan bersama adiknya, perempuan. Karena g
Matahari belum sepenuhnya muncul ketika kesibukan Ki Gede Nipir mengaji di mushala terusik oleh gerakan di pintu gerbang rumah itu. Ia menoleh sekilas, dan langsung tahu yang datang adalah seseorang yang sudah sangat dikenal dan berpangkat cukup tinggi. Para penjaga gerbang menyambut orang itu sambil membungkuk hormat dan tertawa-tawa ramah. Lalu, dia dengan leluasa menapak pekarangan rumah hingga sisi pendapa tanpa perlu turun dari kuda.Pria tersebut baru melompat ke tanah sesudah seorang pegawai rumah kediaman Ki Soma menyambut tali kekang kudanya. Setelah agak dekat baru Ki Gede Nipir tahu bahwa orang itu adalah Senopati Bantala. Karena saling melihat, sang senopati langsung bergegas mendatangi mushala dan berjabat tangan hangat dengan Ki Gede sebelum ikut duduk bersila di situ.Karena Senopati Bantala mencari Ki Soma, Ki Gede Nipir pun menyuruh seorang karyawan untuk memanggil Ki Soma. Sebentar kemudian yang dicari sudah datang tergopoh-gopoh ke tempat itu.
“Jadi bagaimana ini? Kita pergi kan untuk membunuh Nipir. Lalu itu gagal. Dan ternyata kita malah mendapat yang lebih baik, yaitu anak aneh yang menguasai kemampuan Lintang Abyor. Kita berencana membawanya pulang ke Margalayu untuk mempelajari kemampuannya itu, tapi sekarang malah dia hilang. Kita harus bagaimana ini?”“Aku yakin sebentar lagi akan ada petunjuk mengenai keberadaan anak itu.”“Itu jadi tujuan utamamu sekarang rupanya.”“Karena aku penasaran. Anak itu menguasai Lintang Abyor. Padahal ilmu itu berasal dari aliran silat Keraton, yang tidak diajarkan pada orang-orang di luar lingkaran terdekat Sultan. Entah bagaimana asal-usulnya, dia juga pasti terkait dengan istana. Aku ingin tahu itu.”“Dia bilang dia berasal dari Kenipir.”“Aku tidak percaya. Pasti dia bohong, atau memang sama sekali tidak ahu.”“Tak mungkinkah Ki Soma itu punya darah keturunan Wira
“Ini kapan selesainya?”“Ya suka-suka mereka saja. Kalau belum capek, tentu tidak akan selesai begitu saja. Kadang bisa molor sampai semalaman.”Pratiwi membelalak. “Dan tidak tidur sama sekali?”“Iya lah. Kalau tidur kan ya namanya sudah selesai.”Gadis itu kembali menatap tontonan di kejauhan sana.“Lucu ya. Ada orang berkelahi tanpa ada tujuan apa-apa. Harusnya kan gara-gara rebutan apa gitu, atau nyawa terancam, atau debat kusir lalu naik darah dan tabok-tabokan.”Wisnumurti mendecak. “Itu kan kamu. Kalau marah, tabok-tabokan, lalu jambak-jambakan.”Pratiwi tertawa.Mereka kembali asyik menonton. Ki Randu Alas masih sibuk bertarung melawan temannya itu, yang tadi mengaku bernama Gagak Panolih dari lereng Merbabu. Tadi mereka bertiga sedang membelok meninggalkan alur jalan utama menuju Paranggelung ke jalan setapak mendaki ke Padepokan Gunung Walang. Tah
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia