“Ini kapan selesainya?”
“Ya suka-suka mereka saja. Kalau belum capek, tentu tidak akan selesai begitu saja. Kadang bisa molor sampai semalaman.”
Pratiwi membelalak. “Dan tidak tidur sama sekali?”
“Iya lah. Kalau tidur kan ya namanya sudah selesai.”
Gadis itu kembali menatap tontonan di kejauhan sana.
“Lucu ya. Ada orang berkelahi tanpa ada tujuan apa-apa. Harusnya kan gara-gara rebutan apa gitu, atau nyawa terancam, atau debat kusir lalu naik darah dan tabok-tabokan.”
Wisnumurti mendecak. “Itu kan kamu. Kalau marah, tabok-tabokan, lalu jambak-jambakan.”
Pratiwi tertawa.
Mereka kembali asyik menonton. Ki Randu Alas masih sibuk bertarung melawan temannya itu, yang tadi mengaku bernama Gagak Panolih dari lereng Merbabu. Tadi mereka bertiga sedang membelok meninggalkan alur jalan utama menuju Paranggelung ke jalan setapak mendaki ke Padepokan Gunung Walang. Tah
“Agar lebih jelas bagi kalian anak-anak muda, aku ceritakan saja semua sejak awal,” katanya pelan. “Jadi, dulu sekali, Pasir merupakan wilayah negara bawahan Keraton Demak. Itu sudah berlangsung sejak masa pemerintahan mendiang Sultan Alam Akbar Al Fath, pendiri Demak yang waktu mudanya bernama Senopati Jimbun itu. Semua berubah ketika sultan ketiga Demak, Trenggana, wafat dalam perang di Panarukan. Penggantinya, raja wali Hadiwijaya yang memindahkan Kotaraja ke Pajang, disibukkan dengan ancaman perang saudara dari para penguasa Bang Wetan, sehingga ia mulai abai pada wilayah tengah-barat. Tiga dasawarsa lalu, adipati terakhir Pasir sebagai negara bawahan Demak adalah Pangeran Senopati. Saat ia meninggal karena penyakit tua, putranya yang akan menggantikannya sebagai Pangeran Senopati II ketahuan menyebarkan ajaran-ajaran lama justru pada saat Pasir tengah menerima kunjungan kenegaraan Tumenggung Wirajaya dari Demak. Ia pun ditangkap dan dibawa ke Demak sebagai bud
Dibanding kampung halamannya, yaitu Karang Bendan, Paranggelung bagi Jaladri lebih mirip sebuah desa besar. Orang-orang tak terlalu banyak terlihat di jalanan. Gerak-gerik mereka pun cenderung lamban dan berkesan malas. Mungkin karena pengaruh suhu juga. Berada di lereng Pegunungan Dieng, tempat itu selalu sejuk sepanjang hari. Mungkin bahkan kala tengah hari dan matahari bersinar terang benderang pun, hawa udara tetap terasa dingin di kulit. Dan ia ingin melihat pagi subuh di sini. Barangkali akan ada kabut tebal, dan mulut kita mengeluarkan uap hangat saat bicara.Saat ia tiba bersama Wira dan Ningrum, waktu sudah menjelang magrib. Begitu memasuki wilayah kota, Wira langsung memimpin di depan dan mengarahkan laju kudanya menuju alun-alun. Tak terlalu ramai di sana. Maklum, tak lama lagi senja. Semua orang tentu sedang mandi untuk bersiap-siap menunggu azan salat magrib.Karena hanya tamu, Jaladri ikut saja ke mana Wira pergi. Tahu-tahu saja mereka sudah tiba di dekat
“Waduh!”Bajul menghentikan laju kudanya, yang segera diikuti tiga kuda lain di belakang. Dan seketika masa depan langsung berubah menjadi suram.Dalam cahaya sore yang mulai meredup menuju senja, air sungai lebar di depan mereka terlihat mirip gambaran mengenai neraka. Tak saja bergerak dalam kecepatan luar biasa tinggi, melainkan juga bergolak dan meluap-luap. Tak lama lagi air mungkin bahkan meluber naik hingga ke lereng tepian sungai.Barangkali hujan lebat berhari-hari terjadi di puncak Dieng sana, sehingga kemudian airnya menjelma banjir besar di titik ini.Penunggang kuda yang bertubuh mungil dan sejak tadi selalu ditempatkan di titik paling tengah mengurai jilbabnya, yang membungkus rapat dan hampir menutup keseluruhan wajah. Ia menatap nanar ke aliran sungai tepat di hadapannya.“Tak bisa menyeberang ya?” tanya dia, yang berhidung bangir dan berpipi tirus namun justru nampak serasi dengan bentuk tubuh dan wajahnya:
“Nanti Kakang bertiga tidurnya di sini,” kata Ni Sanadi. “Nanti Mbah bikinkan nasi goreng yang enak. Nah, khusus untuk Pramesti, kau tidur di dalam. Ayo!”Kembali Pramesti dengan patuh mengikuti sang nenek. Ia diajak masuk ke kamar yang berada tepat di balik amben bambu lebar di ruang depan.“Nanti kau tidur di situ,” Ni Sanadi menunjuk balai-balai bambu di sudut kamar. “Itu sudah ada selimut.”Pramesti meletakkan pantatnya di amben. Enak sekali, setelah menempuh perjalanan panjang dari Karang Bendan sejak subuh tadi. Rasanya ia ingin langsung rebahan.“Mbah sendiri nanti tidur di mana?” tanya dia.“Mbah bisa tidur di rumah tetangga. Kau istirahat dulu. Kalau mau, nanti kau bisa bantu Mbah membuat nasi goreng. Nasinya sudah ada, tinggal membuat bumbu dan menggoreng.”Pramesti mengangguk. “Mau, Mbah. O, ya, ini Ki Dewaningrat Pakulangit di mana?”&ldquo
Jaladri maju dengan langkah berjongkok. Ia menyembah. Pangeran Wiratmaka duduk di batu takhtanya, di sudut ruangan lebar itu, menghadapi sebuah meja rendah dari kayu berukir yang amat indah dan mewah.“Hamba menghadap, Gusti Pangeran.”Pangeran Wiratmaka menoleh. “Tidak usah menyembah! Tak ada yang lihat juga.”Jaladri mengangkat wajahnya.“Beneran?”“Iya. Biasa saja seperti seharian tadi di jalan. Ayo, sini! Ada yang mau kubicarakan denganmu.”“Asiiiik...!”Jaladri melompat ke arah Wiratmaka.“Tapi ya jangan lantas ndeso gitu.”“Peduli setan! Aku sudah pegal sejak tadi sok resmi seperti sedang ada jumenengan.”Jaladri bergegas mendekati meja dan duduk bersila di situ. Wiratmaka kemudian turun dari batu takhta untuk ikut duduk juga di karpet permadani.“Baik. Ini sangat penting. Kau siap mendengarnya?”
Senopati Bantala menutup kembali kedok di wajahnya saat ia mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. Ia mundur merapat ke batang pohon besar di belakangnya, menyamarkan dirinya dalam kegelapan yang terlindung dedaunan dari sinar bulan yang sangat cerah malam ini.Lalu ia meraba hulu pedang saat kuda itu menapak pelan ke arahnya. Namun saat hidungnya menghidu bau tubuh yang sudah sangat ia hapal itu, seluruh kewaspadaannya seketika terurai. Ia bahkan melangkah maju agar terlihat. Kedok kain ia turunkan kembali.Yang datang memang Rinjani. Perempuan remaja itu juga sama sepertinya, mengenakan busana serba biru gelap untuk membuat diri tak terlihat dalam kegelapan malam.“Bagaimana? Semua lancar?” tanya Senopati Bantala.“Lancar, Senopati. Kami berangkat siang tadi selepas makan siang dengan naik kuda. Begitu masuk Kademangan Larangan Lor, pihak istana Pangeran Candrakumala menyambut dengan menyediakan tandu bagi kami bertiga. Perjalan
Pramesti merapatkan selimutnya. Enak. Hangat sekali. Dan baru sekian saat kemudian ia menyadari sesuatu yang tak biasa. Betul. Ia tak sedang berada di rumah. Rasa dingin yang asing dan tak nyaman itu seketika membangunkannya hingga terlompat bangkit dengan punggung tegak. Ia sibuk melihat sekeliling.“Apa ini?” ia menyingkirkan kain hitam lebar yang tadi ia pikir selimut tempat tidurnya di rumah.Jelas itu bukan sesuatu yang seharusnya dipakai tidur. Baunya aneh.Hal pertama yang ia lihat adalah nyala api unggun tak jauh dari tempatnya tergolek tidur beralaskan kain lain lagi yang juga berukuran lumayan lebar. Sekelilingnya adalah pepohonan dan sesemakan lebat. Lalu telinganya menangkap bunyi gemericik air. Pasti ini di dekat sungai. Masalahnya, ini di tlatah sebelah mana?Semua ingatan kembali dengan cepat. Sungai banjir, Ringin Pitu, Dewaningrat yang gila, lalu kemunculan seorang pria aneh bersenjata pedang yang hanya dengan satu ka
“Sebentar lagi akan ada orang datang, berusaha menculikmu lagi. Waspadalah!”Jaladri mengernyitkan dahi. Matanya mencoba mengenali pria yang duduk di hadapannya, di tengah-tengah keriuhan pasar pagi sekarang ini.“Siapa?”Mereka makan nasi bungkus, duduk di atas los daging. Dan daging lauknya tinggal mencomot yang ada di atas lapak.“Kau akan kenal nanti. Sudah pernah ketemu kok.”Pria di depannya itu mengenakan baju panjang mirip jubah. Mukanya jelas, tapi tak terlihat. Ia sedang memancing di pantai. Jaladri menendang-nendang sesuatu yang berbentuk bulat dan terbuat dari kulit.“Kapan ketemunya?”“Dulu. Yang jelas, untuk membangunkan lintangmu, cukup kenali getaran di dalam dada. Lalu alirkan ke tangan. Pukul saja sekuatmu. Kita lihat hasilnya.”“Lintang apa?”Kini mereka naik kuda melintasi gurun pasir.“Lintang kemukus dini hari, pada
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia