“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”
Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.
“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”
“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”
Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.
“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”
Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota kademangan di wilayah Karang Bendan. Jaraknya 30 pal, di sebelah timur laut Kenipir, tepat di lereng Pegunungan Dieng yang berhawa dingin sepanjang tahun.
“Dia dikejar seseorang, hendak dibunuh,” kata Ki Gede Nipir. “Sembada cerita, beberapa hari lalu dia didatangi seseorang yang mengatakan bahwa ada yang menghendaki Sembada untuk menyerahkan nyawanya. Orang itu juga membawa potongan-potongan tubuh dan kepala beberapa murid Sembada. Katanya, dia juga akan dibikin seperti itu. Karena takut, dia lalu mengungsi kemari, minta perlindungan padaku. Sepanjang jalan, dia mengaku bernama Ki Jalung, pedagang gerabah, agar tidak mudah dikenali.”
Alis Wisnumurti berkerut. “Dia pesilat tangguh, kenapa takut pada ancaman pembunuhan?”
“Aku juga tak paham. Sepertinya, ini berkait dengan satu urusan yang amat khusus. Tapi urusan apa? Sembada itu kan suka judi. Paling-paling dia berhutang dalam jumlah besar gara-gara itu dan tidak bisa melunasi.”
“Sekarang dia ada di mana?”
“Pondok penyepianku di dekat Karangbolong. Dia akan aman di sana untuk sementara waktu, bersama anak istri dan beberapa pengawal terdekatnya.”
“Memangnya siapa orang itu? Dia menghabisi dua desa dalam rangka mengejar Ki Sembada. Saya tak menceritakan ini di depan tadi biar tidak membuat takut Nyai Gede dan Pratiwi, karena cara mereka mati benar-benar sangat mengenaskan. Dan semuanya mati, termasuk perempuan dan bayi-bayi.”
Punggung Ki Gede tegak. “Apa? Menghabisi dua desa? Di mana saja?”
“Jati dan Srumbung. Salah satunya masih termasuk dalam wilayah perlindungan Kenipir, bukan?”
Wisnumurti mengisahkan secara rinci apa saja yang ia temui bersama Jaladri dan Bajul di kedua desa itu. Ia juga mengatakan bahwa urusan pemakaman sudah ditangani oleh para warga Brabo yang merasa berterimakasih atas bantuan ketiganya dalam kekacauan kemarin sore terkait Senopati Natpada dan Sarni.
“Demi Tuhan...!” Ki Gede termangu, mengelus janggut dan sejenak lupa pada arak. “Aku akan kirim orang untuk memeriksa keadaan terkini di sana.”
“Permasalahannya pasti sangat gawat, sampai orang itu melakukan pembantaian yang sekejam itu. Dan ilmu bela dirinya kelihatannya sangat mengerikan. Ia membunuh semuanya hanya dengan satu sayatan kecil, tepat di urat darah di leher yang paling mematikan. Semua korban punya luka yang sama, dan tepat di titik yang sama. Pembunuh ini cerdas sekali. Tahu bagaimana melakukan pembunuhan secara ringkas dan cepat.”
“Kata Sembada, orang itu memperkenalkan diri sebagai Tanpa Aran.”
“Tanpa Aran? Konyol. Itu bukan perkenalan sama sekali.”
Tentu saja, karena Tanpa Aran sama saja dengan Tanpa Nama. Tak menjelaskan apa pun.
“Dan baru sekarang, setelah mendengar ceritamu, aku jadi berpikir bahwa urusannya mungkin tak sesederhana utang-piutang karena judi.”
“Masih ada satu pembunuh lagi.”
Wisnumurti menceritakan soal sepak terjang sosok berjuluk Pangeran Langit yang menghabisi Kiai Sangkrah dan Ki Saradipa, dua tokoh pesilat yang berada pada tataran kemampuan di atas Ki Sembada.
“Mungkinkah Tanpa Aran dan Pangeran Langit itu sebenarnya orang yang sama?” gumam Ki Gede Nipir. “Dia hanya menggunakan nama julukan beda di hadapan orang yang berbeda.”
“Saya juga berpikir begitu, karena senjata mereka sama, yaitu pedang. Satu hal jelas, tingkat keahliannya memang sangat mengerikan. Andai kita harus berhadapan dengan orang ini, urusannya bakal gawat. Dia seperti bisa membunuh orang dengan enteng dan gampang, termasuk yang setara Kiai Sangkrah.”
Ki Gede Nipir mendadak termangu dengan raut wajah menyiratkan kecemasan yang amat sangat.
“Kau mau membantuku tidak?” gumamnya.
“Sudah pasti. Membantu soal apa?”
“Tapi kau harus berangkat sekarang, agar masih sempat ikut acara makan-makan nanti malam.”
“Baik. Ke mana?”
“Karangbolong. Ajak Sembada dan orang-orangnya kemari, sebelum tempat persembunyiannya ketahuan Tanpa Aran! Awalnya kupikir, karena hanya dikejar tukang tagih utang, dia cukup kuungsikan saja ke sana sepekan dua pekan. Tapi sekarang, setelah tahu urusannya mungkin memang sangat gawat, rumahku yang itu malah jadi seperti ladang pembantaian yang empuk bagi Tanpa Aran.”
Wisnumurti mengangguk. “Baik. Saya berangkat sekarang juga.”
“Ajak Bajul, atau beberapa orangku! Kau mungkin perlu bantuan andai Tanpa Aran benar-benar muncul.”
“Ah, tidak perlu. Ki Sembada kan bukan orang lemah juga. Saya bisa berangkat sendiri, malah lebih cepat nyampainya karena saya suka ngebut. Tapi sebelum pergi, ada sesuatu yang mau saya tanyakan pada Paman Gede.”
“Apa itu?”
“Apakah Paman Gede tahu soal Lintang Abyor?”
Ki Gede Nipir termangu heran.
“Maksudmu yang semacam ilmu kesaktian atau pukulan pemunah dalam pencak silat?”
“Ya, seperti itu.”
“Nanti dulu! Mengapa kau tanya soal itu?”
“Panjang ceritanya. Nanti saja saya cerita sesudah balik lagi kemari.”
Jakun Ki Gede bergerak oleh ludah yang ia telan.
“Sebab itu adalah salah satu ilmu paling rahasia dari Keraton Pasir. Hanya boleh dipelajari Sinuwun Sultan dan para putra terdekat.”
Wisnumurti melongo. Dagunya seperti hendak runtuh ke lantai.
***
“Dibuang di sungai saja ini, Kang?”
“Iya. Buang aja. Aku ke sana sebentar. Mau pipis.”
Suwung Saketi membawa panci besar berisi jeroan dan usus ayam dan kambing ke arah sungai. Semua isinya ia buang ke situ, sembari mata masih sempat mengawasi ke mana pelayan dapur bernama Kendi itu tadi berada.
“Lancar, kan?”
Saketi tak perlu menoleh. Ia sudah sangat hapal bau dan suara Remak.
“Nyai Gede terpesona saat mencicipi kari ayam buatanku. Sepertinya mulai besok aku akan diminta untuk menjadi juru masak tetap di sini.”
Remak terkekeh pelan. “Besok bahkan tempat ini sudah tak akan ada lagi.”
“Kau yakin kita berdua cukup untuk memberesi mereka semua? Kulihat dia dikawal sekitar 30 orang.”
“Kau bereskan dia, aku pengawal-pengawalnya. Sesudah pekerjaanku beres, aku bisa membantumu. Di sekitar sini kan hanya dia yang perlu diwaspadai. Lainnya tidak penting.”
“Sepertinya ada tamu tadi. Siapa mereka? Jangan-jangan pesilat teman dekat si Nipir.”
“Bukan. Itu rombongan keponakannya dari Karang Bendan. Bocah kencur kaya raya, anak dari Somanagara pedagang beras.”
Suwung Saketi berdiri setelah mencuci pancinya sampai bersih.
“Hanya perlu bahan mentah untuk hidangan khusus.”
Remak menggoyang dagunya ke arah lain. “Itu bisa. Cukup berisi.”
Saketi menoleh. Kendi muncul lagi. Tubuh pemuda itu memang cukup gempal berlemak. Ia tersenyum ke arah Remak.
“Wah, kau ada di sini juga,” katanya. “Sudah selesai memandikan kuda?”
Remak menggeleng. “Belum. Masih ada dua lagi. Aku hanya istirahat sebentar.”
Kendi lalu menoleh pada Saketi. “Ayo, balik ke dapur! Kamu punya banyak pekerjaan habis ini!”
“Sebentar! Aku mau kasih tahu sesuatu,” sahut Saketi.
“Kasih tahu apa?”
“Tolong nanti kalau namamu kupanggil, kedipkan mata ya!”
Kendi melongo. “Memangnya kenapa, kok pakai berkedip?”
“Soalnya mau ada ini.”
Telapak tangan Suwung terentang mendatar ke arah leher Kendi. Dengan sekali ayun, telapak tangan datar itu memotong semudah pisau mengiris pisang. Darah muncrat menyembur dan kepala Kendi terpisah dari badan. Remak berlarian mengikuti benda itu, yang jatuh bergulir menuruni lereng sungai dan baru berhenti setelah membentur batu cukup besar.
“Ndi! Kendi!”
Sepasang mata itu berkedip.
Suwung Saketi ikut merubung melihat.
“Kendi! Hai!”
Mata kembali berkedip, sebelum kemudian tak memberikan gerakan apa pun. Terbuka dan tak menutup lagi. Seterusnya.
“Oo... ternyata kepala masih hidup beberapa saat setelah terlepas dari badan,” Suwung mengangguk-angguk, berkacak pinggang.
“Aku juga sudah lama penasaran akan hal ini, dan belum pernah mencobanya langsung.”
“Sekarang kau tahu,” Suwung lalu menoleh ke arah jasad Kendi yang tak lengkap. “Dan karena kerjaanku banyak, menjadi tugasmu untuk mengatur bagaimana baiknya dia. Yang penting bentuk utuhnya tak terlihat saat masuk dapur nanti untuk dikuliti. Kalau sudah berupa potongan-potongan kecil kan siapapun tak tahu itu sebenarnya daging apa. Paling dikiranya sapi, atau kerbau.”
Remak berlalu, mendatangi jenazah Kendi. Ia membuang napas dengan jengkel.
“Selalu aku yang kebagian tugas tidak enak...!”
“Tapi kau kan bisa mencicipi mentahannya.”
“Oh, betul juga.”
Dengan santai Remak menghunus golok, dan mulai mengayunkannya sekuat tenaga.
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu
“Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert
“Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”Wisnumurti terdi
“Kalau mau membantu, bantu saja. Malah cuma ngoceh!”Pratiwi sempat juga mengamati sekilas orang itu. Siapapun dia, ditilik dari caranya melakukan penampakan yang sangat tidak umum, pastilah pria itu juga seorang jagoan kelas tinggi seperti Wisnumurti.Pria di atap kemudian berdiri. Dengan gerakan yang sangat enteng, ia melompat tinggi sekali, seperti sengaja menjatuhkan diri ke tanah. Sedepa sebelum tiba di Bumi, tangan kanannya menghentak ke depan dengan kelima jari terentang sempurna. Detik itu gempa terjadi. Warga yang berkerumun menjerit karena merasakan tanah di pijakan benar-benar bergoyang.Wisnumurti melancarkan empat kali tendangan berantai yang membuat lawannya kembali nyungsep. Dalam arah gerakan yang sama, ia bergeser mendekati Pratiwi, dan tepat berada di depan gadis itu saat hentakan tenaga dari pria pendatang baru itu tadi tiba di titik tempat Pratiwi berada.Lalu mereka terlempar. Lebih tepatnya, Wisnumurti menabrak Pratiwi, s
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia