Wisnumurti menatap sekeliling. Selalu saja tak pernah ada yang tak ia sukai dari kota ini. Ia merasa Kenipir adalah rumahnya juga, selain Karang Bendan dan tentunya Cakrabuana. Ia menyukai penduduknya, dan juga keahlian mereka memasak segala hal yang datang dari laut.
Mereka tiba tepat ketika azan dzuhur berkumandang dari masjid besar tepat di pusat kota. Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul memimpin di depan dengan kuda, sedang keluarga Ki Tanu naik pedati sederhana yang ditarik seekor kuda. Arah tujuan tentu langsung ke Gedong Gede, rumah besar Ki Gede Nipir yang terletak tak jauh dari alun-alun.
Berdasar penuturan orang-orang tua yang ia dengar, kedudukan Kenipir sebagai tanah perdikan didapat berkat peran almarhum Ki Wanacaya saat membantu mendiang Sultan Sindunagara bertakhta lebih dari 30 tahun lalu. Ia merupakan salah satu pembantu terpercaya Sultan kala itu.
Sebagai tanah perdikan, Kenipir bebas dari kewajiban untuk membayar pajak atau upeti kesetiaan pada Sultan. Mereka boleh melakukan apa saja sebagai sebuah daerah mandiri, kecuali membentuk pasukan tentara.
Saat Ki Wanacaya meninggal, putranya yang bernama Ki Rangganata melanjutkan gelar sebagai Ki Gede Nipir atas restu sultan kedua Pasir, Giriwangsa. Ayah Jaladri adalah putra kedua Ki Wanacaya. Sejak kecil memang ia tak menunjukkan minat pada dunia kepemimpinan dan ilmu bela diri. Bakat terbesarnya ada pada ranah perdagangan.
Dengan cepat mereka memasuki pekarangan lebar Gedong Gede. Wisnumurti sudah sangat akrab dengan tempat ini. Hanya saja sepertinya ada yang berbeda siang ini.
Banyak orang berkeliaran di sekitar halaman depan. Mereka menghias pendapa dengan memasang banyak sekali lentera. Obor-obor besar juga dijajar di pekarangan tepat di kanan-kiri pendapa. Ki Gede Nipir bahkan terlihat ada di depan, mengawasi langsung semua kesibukan.
“Wah, mau ada keramaian apa ini?” tanya Jaladri pelan, sambil mengamati suasana di sekelilingnya.
Sudah pasti Ki Gede Nipir membelalak senang melihat tamu-tamu yang datang tanpa pemberitahuan itu. Terlebih karena Wisnumurti si tukang keluyuran ada pula bersama mereka.
“Kudengar kau baru saja mengembara ke timur dan utara,” kata Ki Gede Nipir penuh semangat, dan tak sabar untuk bisa segera latihan adu otot melawan Wisnumurti besok pagi.
“Betul, Paman Gede. Karena sudah rindu rumah, saya pun balik kemari,” kata Wisnumurti sopan.
Ki Gede Nipir baginya adalah salah satu kenalan terdekat. Ia kenal pria tegap berewokan berusia akhir 40-an itu justru lebih dahulu daripada perkenalannya dengan keluarga Ki Soma. Sang penguasa Kenipir berkali-kali berkunjung ke Gunung Cakrabuana, dan ia mengenal Ki Gede Nipir dalam salah satu kunjungan itu sekitar delapan atau sembilan tahun lalu.
“Nah, ini siapa?” lalu mata Ki Gede mampir ke keluarga Ki Tanu.
“Mereka dari Brabo, ingin suwita di sini, jika diperkenankan,” kata Wisnumurti, menyebut kata “suwita” yang berarti keinginan untuk bekerja dalam arti mengabdi, dan bukan semata-mata untuk mencari penghasilan semata. “Ki Tanu ini pandai besi. Mungkin ada lowongan pekerjaan di sini. Sedang Nyai Tanu pintar memasak.”
“Wah, wah, kebetulan sekali. Aku memang perlu pandai besi baru. Bilik kerjaku baru saja menerima pesanan arit dan cangkul dalam jumlah besar dari Saba.”
Ki Gede memanggil salah seorang pembantunya, yang diberi perintah agar memberikan tempat tinggal sementara pada keluarga Ki Tanu. Mereka pun mengikuti sang pembantu ke tempat lain, setelah mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga pada Wisnumurti, Jaladri, dan Bajul.
“Anak itu manis juga,” kata Ki Gede kemudian, setelah ia dan mereka bertiga menghadapi camilan dan minuman di pendapa. “Kau belum ingin beristri, Dri?”
“Belum, Wa,” Jaladri menggeleng. “Kata Bapak, tahun depan aku dicarikan calon istri.”
“Kenapa tidak mencari sendiri, seperti kebiasaan orang rimba persilatan?”
Jaladri melongo. “Bisa ya?”
Ki Gede tertawa. Wisnumurti juga.
Umumnya kalangan masyarakat memang menikah lewat perjodohan, yang dilakukan orangtua atau wali. Warga kasta rendah mengusahakan agar anak perempuan selekas mungkin diboyong pergi oleh seorang pria. Sedang bangsawan dan kalangan atas mengikatkan anak-anak mereka demi kerjasama usaha, penggabungan lahan tanah, atau persekutuan antarnegara.
Para anak juga tak pernah membantah alur penyatuan yang demikian itu. Mereka dipertemukan satu kali dengan calon jodoh, lalu pekan berikutnya pernikahan sudah terselenggara. Dan cara ini menjumpai kesimpulan yang paripurna saat ajaran Islam datang dan mengajarkan soal ta’aruf, yang kurang lebih juga menganjurkan pernikahan melalui alur serupa.
Hal beda terjadi di kalangan pesilat. Rata-rata berjiwa bebas dan penuh gairah pemberontakan, mereka nerak wewaler atau melawan tatanan dengan menolak perjodohan. Mereka akan menikmati ketertarikan pada lawan jenis sepuas mungkin, memilih satu calon yang paling cocok, dan baru kemudian menikah.
Ini tentu saja dianggap sebagai penyimpangan yang menyesatkan oleh sebagian besar kalangan masyarakat. Apalagi karena para perempuan yang seharusnya harus puas menerima peran sebagai kanca wingking atau teman di belakang--yaitu di dapur--pun nekad ingin mengambil peran menonjol dengan mempelajari ilmu bela diri atau bidang-bidang ilmu lainnya.
“Tentu saja bisa,” kata Ki Gede Nipir. “Lihat saja sekelilingmu! Kalau ada yang membuatmu tertarik, datangi saja. Ajak berkenalan! Gadis mana pun pasti mau didekati oleh anak kaya raya sepertimu. Lalu kau tinggal lapor pada bapakmu agar dia dilamar.”
“Dan Paman Gede benar, Sarni itu manis sekali,” sahut Wisnumurti. “Dia bisa menjadi calon Nyai Jaladri yang sempurna. Pangeran Candrakumala saja tertarik.”
Ki Gede melengak. “Astaga! Jadi itu alasannya dia dan keluarga kalian bawa ke sini?”
Wisnumurti mengangguk. “Bukan karena akan diambil Jaladri. Belum, setidaknya. Hanya saja, terjadi sedikit kerumitan saat kemarin para bawahan sang pangeran tengah berusaha menjemput Sarni dari rumahnya.”
Ia kemudian menceritakan peristiwa kemarin sore di Brabo. Ki Gede ngakak keras sekali waktu cerita Wisnumurti sampai pada bagian ketika Jaladri dan Bajul saling menukar-nukar nama kepada Senopati Natpada.
“Ki Buyut Brabo saya minta agar memberitahu bahwa keluarga Ki Tanu hijrah ke Paranggelung di timur laut untuk mencari kehidupan baru, jika suatu saat Pangeran Candrakumala mengirim utusan lagi untuk kembali mengambil Sarni,” kata Wisnumurti mengakhiri kisahnya. “Tapi sepertinya kecil kemungkinan itu terjadi. Dia pasti menerima puluhan laporan tentang gadis cantik tiap hari. Sarni hanya salah satu di antaranya, yang akan segera dia lupakan.”
“Dia sepertinya cukup cerdas. Aku akan coba memberinya sedikit pendidikan, agar dia tak menjadi seperti perempuan pada umumnya. Mungkin saja tulangnya cukup bagus untuk dilatih bela diri. Sekalipun tidak, itu setidaknya cukup untuk membuatnya berolahraga dan membuka wawasan pikirannya terhadap hal-hal baru.”
“Dan jika dia dipoles dengan cukup baik sehingga derajatnya naik, Paman Soma pasti akan dengan senang hati mengambilnya untuk Jaladri.”
“Lebih bagus lagi kalau dia kuangkat sebagai anak. Jaladri bisa bisa jadi mantuku, meski hanya mantu angkat.”
Wisnumurti tertawa. “Setuju, setuju.”
Jaladri memukul-mukul lantai pendapa tepat di depannya.
“Maaf ya. Menggunjingkan orang lain itu harusnya dilakukan saat orangnya sedang tidak ada di sini! Mudeng tidak!?”
Mereka semua tertawa. Dan suasana langsung menjadi hiruk pikuk saat dari dalam rumah muncul para perempuan kesayangan Ki Gede. Siapa lagi kalau bukan Nyai Gede yang ramah dan keibuan serta Pratiwi yang bandel dan sejak kecil bertingkah polah mirip anak laki-laki. Mereka berdua sudah pasti jauh lebih heboh dari Ki Gede menyambut mereka, terutama pada Wisnumurti.
“Lha kok pas. Ini mau ada acara,” kata Nyai Gede sumringah, sementara Pratiwi dengan santainya langsung nemplok di pangkuan Wisnumurti.
“Acara apa, Bibi Gede?” sahut pemuda itu sambil menguyel-uyel pipi Pratiwi. “Sepertinya bakal ramai banget nanti malam.”
“Cuma bersih desa, dan mengirim sesajian ke pantai. Tapi Ki Gede mau yang kali ini mengundang beberapa demang di sekitar sini. Makanya nanti pesertanya agak banyak, dan orang-orang penting semua.”
“Wah, pasti ada kambing guling tuh!” celetuk Jaladri.
“Jelas. Dan salah satu pembantu baru di sini menyarankan seorang tukang masak baru yang masakannya luaaaar biasa enak katanya. Dia yang akan khusus memasak santapan nanti malam. Kita nanti akan cicip seperti apa cita rasanya,” Ki Gede lalu menoleh ke anak gadisnya. “Heh, yang sopan sama tamu! Masa langsung diduduki seperti itu?”
Pratiwi tertawa, malah merangkulkan kedua tangannya ke leher Wisnumurti.
“Si Kakang ini kan bukan tamu, tapi warga sini juga,” kata dia dengan logat yang lucu. “Jadi sah-sah saja kalau diduduki.”
Wisnumurti tertawa, tapi sambil menahan napas.
Putri tunggal Ki Gede itu berkulit bersih, kecoklatan sawo matang, dengan mata yang lebar dan alis yang tebal pekat. Tindak tanduknya yang mirip anak laki-laki membuat sang ayah kemudian melatihnya ilmu bela diri. Dan dia cukup bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik.
Terakhir kali Wisnumurti singgah kemari tahun lalu, Pratiwi sudah cukup enak diajak bertarung satu lawan satu maupun dengan senjata. Gerakannya cekatan dan mantap. Dalam beberapa hal, sebagai sesama pembelajar yang tak secara khusus memang ingin hidup di jalan pedang yang keras, Pratiwi lebih berbakat dalam olah kanuragan daripada Jaladri.
Tapi bukan itu yang kini muncul di pikiran Wisnumurti.
Setahun lalu, saat berusia 13 tahun lebih sedikit, Pratiwi masih berwujud layaknya anak kecil yang lucu dan konyol. Tapi hari ini mendadak dia sudah jauh berubah. Di mata Wisnumurti, kulit Pratiwi terutama pada bagian wajah makin nampak terang. Selain itu dadanya sudah terbentuk sempurna.
Dan sekarang, dengan gadis itu masih bertingkah seperti anak kecil padanya dengan tahu-tahu duduk di pangkuannya bahkan merangkul, satu perbedaan yang amat khusus sangat jelas terasa. Dulu memangku Pratiwi kecil adalah sebuah kebiasaan sehari-hari. Kini hal itu membuatnya berpikir tentang satu bentuk kehangatan yang menyenangkan sekaligus mendebarkan. Dan ia menikmatinya, serta mendadak merasa sungkan—hanya karena saat ini ada banyak orang di sekeliling mereka.
Baru kemudian pemuda itu menyadari sesuatu. Pratiwi pasti telah mendapatkan haidnya yang pertama. Tak aneh dia berubah.
“Oh, itu hanya nama samaran. Nama aslinya bukan itu.”Wisnumurti meletakkan pantatnya di lantai marmer yang jernih dan bersih itu, tepat di depan meja rendah. Ia menatap lekat pada Ki Gede Nipir.“Jadi Jalung hanya samaran? Lalu aslinya dia siapa?”“Sembada, Ketua Padepokan Tirta Maruta yang suka judi dadu itu. Dia dulunya bekas saudara seperguruan Randu Alas dari Kalibening.”Sesudah makan siang yang menyenangkan dengan sajian berupa nasi urap dan ikan asap khas Kenipir, Wisnumurti mengikuti Ki Gede Nipir ke ruang kerja pribadi yang berada di salah satu sudut rumah utama pria itu. Jaladri masih ada di luar, ngobrol dengan Pratiwi dan Nyai Gede. Bajul yang tahu diri dan kedudukan sudah sejak acara makan tadi membaur dengan para pembantu dan pengawal Ki Gede Nipir.“Lalu kenapa harus pakai nama samaran begitu?”Tirta Maruta adalah sebuah perguruan kecil yang bertempat di Kajoran, salah satu kota
Pangeran Candrakumala menoleh sekilas. Seseorang duduk bersila dengan khidmat di pendapa. Ia lalu membersihkan tangannya di kobokan, lalu beringsut meninggalkan amben bambu yang penuh sesak dengan sebegitu banyak piring berisi berbagai macam hidangan terlezat.“Nanti sore aku mau sate daging kuda,” katanya. “Sembelih 10 ekor kuda!”Abdi dalem Keraton yang sejak tadi duduk bersila di lantai tepat di sisi amben menyembah.“Sendika, Gusti Pangeran!”Candrakumala lalu melangkah cepat menuju pendapa. Dua pelayan tergopoh-gopoh membawa batu tempat duduk yang berwarna hitam pekat dan berbentuk kubus sempurna setinggi sehasta. Badan mereka bergoyang-goyang karena bobot batu jelas tidaklah ringan. Mereka harus bergerak cepat dan meletakkan batu pada satu titik tepat di mana Pangeran Candrakumala akan duduk—yang ia pilih secara acak sesukanya.Para pelayan terdekat harus melatih itu secara sempurna, at
Bagian depan kediaman Ki Gede Nipir terang benderang dan meriah malam itu. Pendapa dan halaman di sekelilingnya dipenuhi deretan obor yang dipasang pada tiang-tiang bambu setinggi kepala orang dewasa. Tamu-tamu mulai berdatangan sejak sebelum beduk magrib dibunyikan di Masjid Besar, dan makin menyemut selepas waktu salat magrib berlalu.Empat pemimpin kademangan terdekat dari Kenipir diundang oleh Ki Gede dalam pesta makan kali ini, yaitu Kajoran, Kalang Wetan, Kalang Kulon, dan Gebang. Mereka datang hampir bersamaan. Tiga demang naik kuda bersama rombongan masing-masing, satu lagi naik tandu seperti para bangsawan kerajaan.Keempatnya mendapat kehormatan duduk di meja pendapa bersama keluarga dekat dan pembantu Ki Gede Nipir. Jaladri tentu ikut berada di sana, duduk tepat di samping Pratiwi. Sejak awal ada di situ, yang dicarinya belum ketemu.Sore tadi ia diberitahu bahwa Wisnumurti sedang keluar sebentar karena disuruh Ki Gede mengerjakan satu urusan, entah a
Semua orang berdiri dan menghunus pedang. Sambil meludah berkali-kali dan membuang apa pun yang tengah ada di mulut, Ki Gede Nipir menendang mejanya sehingga terbalik dan menumpahkan segala hal di atasnya.Jaladri melepas baju atasannya, lalu sibuk memijit-mijit tengkuk Pratiwi.“Bajingan! Apa maumu!?” Ki Gede menuding Sawung. “Kau siapa sebenarnya!?”Bajul dan belasan pengawal Kenipir maupun para pengikut keempat demang langsung mengepung rapat kedua pria itu, yang sekarang jadi tampak begitu aneh dan mengancam. Apalagi karena mereka nampak acuh dan santai saja meski rapat terkepung—menandakan betapa mereka sangat percaya diri.“Baiklah, namaku bukan Sawung, melainkan Suwung Saketi,” kata pria jangkung itu. “Suwung Saketi sekaligus nama dari pukulan pamungkas yang sudah berhasil kusempurnakan, beberapa bulan lalu. Dan yang di sebelahku ini bukan Ceki si tukang cuci kuda, melainkan adik angkatku. Namanya Rem
Wisnumurti mengumpat kasar saat ia melayang turun dari kuda. Kali ini tak ada yang menyambut tali kekang, jadi terpaksa ia bergegas menalikan sendiri kudanya ke tempat tambatan tak jauh dari pendapa. Lalu ia berlarian dengan mata jelalatan nanar ke segala arah.“Demi Tuhan! Ada apa ini...?”Sebab yang terlihat di sekelilingnya terlihat seperti medan sisa perang. Belasan bahkan puluhan jenazah terbujur centang perentang kacau, sebagian saling bertumpuk tumpang tindih tak keruan. Beberapa mayat ditangisi perempuan-perempuan yang menangis meraung-raung keras sekali.Dan di dekat ambang pintu bangunan samping yang digunakan sebagai dapur, beberapa perempuan paruh baya duduk menggelesot, berjongkok, dan bersimpuh dengan tingkah laku tak teratur. Semuanya menangis menjerit, memukul-mukul tanah, lalu menyebut nama Allah berulang-ulang.Wisnumurti kedinginan. Kuduknya merinding. Ia memanggil semua yang ia kenal, sejak Ki Gede dan Nyai Gede, Pratiwi, J
“Aku sudah kirimkan orangku yang masih sehat untuk memberitahu para lurah, buyut, dan demang di kawasan utara. Mereka akan memberikan laporan bila melihat dua orang laki-laki dengan ciri mencurigakan seperti Saketi dan Remak, terlebih bila mereka terlihat bersama seorang anak remaja. Kuduga, mereka akan menuju kampung mereka yang bernama Margalayu itu, meski aku juga belum pernah dengar itu tepatnya ada di mana. Kau masih akan punya cukup waktu dan petunjuk jejak untuk memburu mereka.”Wisnumurti tercenung. “Betul juga. Dan Remak juga tengah terluka, bukan, gara-gara Lintang Abyor dari Jaladri? Membawa satu sandera dan satu orang luka, Saketi tak akan bisa bergerak cepat. Malam ini mungkin dia masih berada di kawasan hutan sekitar sini, berusaha mengobati Remak sampai sembuh.”“Ya. Kita tenangkan diri dulu, agar bisa menyusun langkah terbaik besok pagi.”“Bagaimana keadaan Pratiwi dan Bajul? Sepertinya Bajul tak terlalu
“Maka, sebelum aku sampai pada pertanyaan soal bagaimana kau bisa mendapatkan ilmu itu, ada satu hal yang lebih menarik, yaitu siapa sebenarnya kau? Orang-orang di dapur tadi bilang, kau adalah Jaladri, putra Ki Somanagara, pedagang besar yang adalah adik dari Ki Gede Nipir. Tapi aku tidak percaya. Itu pasti hanya nama samaranmu untuk mengelabui semua orang!”Jaladri sudah bisa bernapas lagi, namun ia kembali dibikin megap-megap dan terbata oleh pertanyaan itu.“Ap-apa maksudmu? Aku memang Jaladri, anak Ki Soma dari Karang Bendan.”“Hanya anak saudagar? Bukan warga Keraton?”Jaladri menggeleng. “Bukan. Keraton apaan? Keraton setan!?”“SEBAB ILMU ITU HANYA BOLEH DIAJARKAN UNTUK ORANG-ORANG KERATON! MUDENG!?”Ada dua hal yang membuat Jaladri nyaris kelenger.Satu, bau napas Suwung Saketi mirip ikan busuk yang sudah enam pekan mendekam tak terurus di dapur. Apalagi pria itu bert
“Kapan itu, Mbah?” tanya Pratiwi. “Sudah agak siang ini atau masih pagi sesudah subuh tadi?”“Masih pagi sekali, Mas Rara. Persis setelah subuh. Mereka lewat sini, minta nasi dan lauk ikan, tapi tidak baik hati seperti Mas Rara berdua.”“Mereka jalan kaki apa naik kuda?” tanya Wisnumurti.“Berkuda, Denmas. Dua ekor. Yang bongkok dibonceng pria yang tinggi. Anak muda satunya lagi menunggang kuda sendiri. Dia kelihatannya juga sakit. Matanya lebam, yang kiri.”Wisnumurti tercekat, menahan napas. “Tapi dia baik-baik saja, bukan? Tidak pincang atau terlihat kesakitan?”“Tidak, Denmas. Dia bisa jalan biasa saja, dan lebih kuat dari si bongkok.”“Ke arah mana mereka pergi, Mbah?”“Waktu Mbah tanya, katanya mau ke Kajoran. Apakah mereka musuh Nakmas berdua? Sepertinya mereka dan Denmas berdua sama-sama pesilat.”Wisnumurti terdi
Pangeran Wiratmaka terbangun oleh cahaya matahari yang masuk jendela dan tepat menimpa mukanya. Ia tutupi mata dengan lengan tangan kiri, dan sedikit menggeliat untuk merasakan punggungnya berada pada permukaan kasur empuk yang mirip dengan yang ia miliki di istana Paranggelung.Seperti biasa, ingatannya selalu kembali dengan cepat, dan dengan seketika langsung mengenali ini bukan rumah. Baik rumah pertamanya di Pasir maupun kediamannya saat ini di Paranggelung. Lantai kayunya sangat asing, juga dinding dari anyaman bambu merah tua dan kuning emas itu.Ia bangkit, duduk di pembaringan, lalu melihat kanan-kiri. Di mana ini? Hal terakhir yang ia ingat adalah tidur siang satu amben bersama Jaladri di kedai makan milik dua pria aneh itu. Kamar ini jelas berbeda dengan kamar yang itu. Jauh lebing lapang, berangin, dan mewah.“Waaa… Kakang sudah bangun!”Ia menoleh kaget. Ada Pramesti di ambang pintu, mengenakan kemben gelap sebatas dada, den
Jaladri keluar dari kamar tidurnya. Tepat di depan kamar adalah sebuah ruangan yang seluas ruang makan rumahnya di Karang Bendan namun tanpa perabotan apa pun kecuali rak-rak berisi guci hias dan pot-pot tanaman, hiasan ukiran banyak sekali di dinding, dan permadani tebal biru tua yang menutupi hampir seluruh lantai.Kata Senopati Jalanidhi semalam, ruang kecil itu biasa digunakan mendiang Sultan Giriwangsa untuk memanggil para pembantu terpercaya guna diajak membicarakan masalah-masalah penting—atau hanya untuk mengobrol saja. Bila pertemuan resmi kenegaraan diadakan di Bangsal Sitihinggil di depan sana, maka pertemuan yang bersifat kurang resmi, rapat-rapat kecil, atau sekadar berbincang melewatkan waktu, dilakukan di sini.Dan kini, pada pagi selepas fajar ini, Senopati Jalanidhi sudah menunggu di sana bersama dua pria lain. Yang satu adalah Patih Natawirya, perdana menteri dari almarhum Sultan Giriwangsa. Satunya lagi Mantri Wilatikta, petugas kepala rumah ta
“Apa ada baju atau kain di situ?”Rinjani membongkar isi peti. “Ada beberapa, tapi baju anak-anak. Ada juga baju kecil. Kau tak akan muat. Ah, ini dia ada satu kain jarik. Kupakai dulu ya. Aku kedinginan.”Ia menarik sehelai kain batik, yang biasa dipakai sebagai pakaian bawahan, baik bagi perempuan maupun pria. Sekaligus ia gunakan itu sebagai handuk untuk mengeringkan tubuh yang basah, sebelum kemudian ia bebatkan kain hingga menutup badan dari dada hingga sedikit di atas lutut.Beres dengan dirinya sendiri, ia melanjutkan pencarian ke peti. Warga jelata memang kerap kali tak memiliki almari atau rak, yang digunakan menyimpan barang sesuai bentuk atau kegunaannya. Semua mereka simpan di peti kayu, yang bisa dipesan dengan harga murah atau bahkan dibuat sendiri. Apa pun lalu masuk ke peti itu, sejak simpanan uang, gabah, pakaian, dan juga alat makan yang terbuat dari tanah liat.“Nah, ini ada satu!” ia melempar sehelai
“Cobalah! Rasakan kedahsyatannya!”Blarak menatap ragu pada Begawan Ripu. Lututnya bahkan sudah goyah saat tadi ia kali pertama diajak kemari oleh orang itu.“Ayolah! Kau sudah berhak. Ingat, Somanagara sudah memberimu gelar Kanjeng Tumenggung Wirasuta, dan kau sebentar lagi akan menjadi pelaksana tugas harian di istana ini selama dua hari ke depan. Kau harus mencobanya!”Bibir Blarak bergerak-gerak, tapi gagal mengucapkan satu kata pun. Ia hanya menangguk patuh, lalu mendaki trap-trap lebar menuju puncaknya di mana sebuah batu hitam berbentuk kotak sempurna telah menunggu.“Duduklah di singgasana! Tepat menghadap ke arah Mantri Nalacitra. Nanti semua bawahan dan pejabat tinggi kadipaten akan menghadapmu di sana.”Jantung Blarak seperti berhenti bekerja saat ia tempelkan pantatnya di permukaan batu. Dingin. Ia menggigil. Nyaris tak percaya ia kini duduk di tempat yang hanya boleh digunakan oleh penguasa tertinggi
Dan untuk kesekian kalinya, kecepatan gerak alami sebagai hasil latihan keras bertahun-tahun kembali menjadi penyelamat.Wisnumurti bangkit luar biasa cepat. Nyaris seperti bukan digerakkan oleh pemikirannya sendiri. Ia sambar kasur sebagai tameng darurat, lalu pada saat bersamaan tenaga dalamnya meledak sehingga benda itu melesak ke depan dan menghantam telak kesepuluh anak panah yang mengincar tubuhnya.Detik itu, banyak hal terjadi beruntun saling susul menyusul.Nyai Gede Nipir mendelik marah dan berteriak gahar.“Bunuh dia! Habisi!”Sepuluh anak panah kembali meluncur, bahkan langsung disusul dengan luncuran-luncuran berikutnya hingga persediaan anak panah masing-masing pengawal habis.Tepat ketika Wisnumurti jumpalitan menghindari sepuluh luncuran pertama, mendadak terdengar suara jeritan kaget dan bunyi bergedebukan keras ketika mereka itu mencelat terdorong dan jatuh terjerembab menimpa lantai.Dan wajah pertama ya
Saat Jaladri membuka mata, yang melintas kali pertama di pelupuk matanya adalah sosok Windyaningrum, dan Sawer, bergantian. Setelah beberapa detik, baru kemudian seluruh panca inderanya bisa berjalan dengan lancar, terutama penglihatannya. Seketika dahinya berkerut tajam. Tak mengerti bagaimana mungkin atap warung sederhana milik Maesa Alit dan Gajah Lemu bisa setinggi itu, dihiasi lampu gantung yang amat mewah pula.Dan ia masih bertanya-tanya, sejak kapan ada warung makan dilengkapi dengan lampu gantung.Jawabannya tentu baru muncul setelah ingatan dan pemahamannya akan keadaan sekeliling terbentuk sempurna. Kepala berputar, mata menatap sekeliling dengan saksama. Meski tubuh lemah, ia tetap bisa beringsut bangkit perlahan-lahan. Wajahnya menyeringai mencermati setiap depa di sekitarnya.Ia tidur, beralas kasur bulu angsa yang tak saja terasa empuk namun juga cair. Tempat tidurnya tak terbuat dari kayu, melainkan besi gelap berkilauan, dan berkelambu. Dinding
Wisnumurti dan Rinjani seketika memperlambat laju kuda. Dalam keremangan selepas senja, hanya nyala obor di tepi jalan itu yang membantu penglihatan mereka. Lalu obor dibawa mendekat oleh dua dari enam pria bersenjata yang berjaga tak jauh dari sepasang pohon trembesi raksasa. Ada batang-batang kayu dipasang melintang di sana, dan menyisakan hanya secuil ruang bagi siapapun untuk bisa melintasi jalan dengan lancar.Sepertinya ada penjagaan khusus di Karang Bendan. Jantung Wisnumurti berdegupan.Namun begitu obor tiba, kedua pria itu tertawa.“Woalah! Ternyata kau, Rinjani,” kata salah satunya, yang berjenggot namun tak berkumis. “Lho, ada Wisnumurti juga? Kok kalian bisa barengan?”Wisnumurti kenal dua pria itu. Yang memegang obor dan barusan bicara adalah Jlagra, anggota pengawal Ki Soma yang juga sekaligus berdinas di ketentaraan Karang Bendan. Satunya lagi yang berperut buncit adalah Ki Panyut, prajurit pengawal istana kadipaten
Blarak bersendawa keras sekali. Khas orang kampung yang belum belajar tata krama masyarakat kalangan atas. Dan baru kemudian ia menyadari bahwa yang lainnya, kecuali Begawan Ripu, sudah tertidur pulas.Suami istri Somanagara tertidur sambil berpelukan. Tadi mereka memang sempat bermesraan panas sesaat setelah makan. Sedang Pangeran Candrakumala tidur meringkuk dan tubuhnya hampir masuk sepenuhnya ke kolong meja. Pemuda itu mengeluarkan suara ngorok keras dari kerongkongannya.“Nah, ada pertanyaan sebelum aku menjelaskan semuanya padamu?”Blarak menoleh. Begawan Ripu duduk bersila agak jauh dari meja, diam dan memejamkan mata. Sepertinya dia bersamadi. Sejak tadi pria itu tak ikut makan. Malah hanya sibuk diam saja.“T-tanya apa?” Blarak malah balik bertanya.“Apa saja. Hal-hal yang membuatmu tidak paham. Ah, kalian wong cilik memang tidak terdidik untuk selalu mau tahu, sehingga bisa menemukan pertanyaan-perta
Bajul membuka mata. Sebentuk aroma yang sangat enak menyelinap hidung. Dan itu membuat kesadarannya datang jauh lebih cepat daripada seharusnya.“Bangun, bangun! Mau kelinci bakar tidak? Ini enak lho…!”Yang kali pertama menyinggahi matanya adalah cahaya redup dari lentera kecil di sudut sana. Berikutnya ada perasaan keras berbatu yang menyesaki setiap bagian punggungnya. Ia merayap bangkit, mengucek-ucek mata untuk mencermati sekeliling. Hampir gelap pekat, dengan hanya berpenerangan lentera kecil itu.Sempat ia kira ini sudah malam. Begitu mata melihat saksama dinding yang tak berupa tembok bata atau kayu atau anyaman bambu, ia jadi mafhum tempat keberadaannya sekarang ini. Saat masih berdiam di Alas Kalimati, tempat huniannya pun seperti ini, yang gelap gulita setiap saat meski pada tengah hari terik benderang.Tak lain karena ini bagian dalam sebuah gua. Tak selapang gua tempat tinggalnya dulu, tapi tetap enak dijadikan tempat hunia