Arisa sudah tak lagi menggigil. Perawat sudah menyuntikan obat pada selang infus. Meski suhu tubuh masih cukup tinggi, tetapi perempuan itu terlihat lebih nyaman beristirahat. Tidak lagi gelisah seperti semalam.Setelah memastikan putrinya beristirahat dengan baik, Linda segera menarik Yanu keluar. Dia masih penasaran mengapa Arisa pulang dalam keadaan bercucuran air hujan.“Katakan sejujurnya, kemarin kalian dari mana? Bukankah Tante sudah bilang, tunggu hujan reda dulu baru pulang.”“Maaf, Tante. Sebenarnya kemarin kami bertengkar. Arisa marah lalu pergi sejak siang ….” Mulut Yanu bertutur panjang lebar. Ia ceritakan dari awal sampai kemudian menemukan Arisa yang sedang memeluk nisan sang ayah.Linda menghela napas panjang. Seraya memegangi lutut, ia duduk di salah satu bangku.“Yanu,” lirih Linda, memanggil keponakan suaminya.Pria itu menoleh tanpa bicara.“Sebaiknya kamu jauhi Arisa.”Mendung yang belum usai, kian mencekam saat guntur peringatan terlontar. Bola mata Yanu membesar
Lima menit yang dijanjikan telah dilanggar. Nyatanya Bahtiar terlarut dalam tangis tanpa mengingat batasan yang ia buat sendiri. Linda pun mulai was-was. Ia cemas Arisa mengetahui keberadaan Bahtiar di sisinya.“Tiar.” Linda menyentuh pundak Bahtiar, agar pria itu lekas menegakkan badan. “Sebaiknya kamu pulang. Saya takut Arisa bangun.”Kenyataannya waktu sebentar tak cukup memuaskan dahaga Bahtiar untuk bisa melihat Arisa. Rasa haus akan kebersamaan dengan gadis yang begitu ia cinta teramat menyiksa. Bahtiar masih berharap diberi kesempatan lebih lama.Namun demikian, ia tetap bangkit. Meraup kasar permukan wajah. Menghapus jejak basah, ungkapan perasaan sesak yang menghimpit dada.Tak pelak rasa iba menyeruak dalam hati Linda. Meski pria itu pernah membuat banyak luka dalam hati Arisa, tapi tak bisa dipungkiri kalau dia juga sempat memberi putrinya bahagia.“Tante, bolehkah nanti Tante kabari saya soal Arisa. Beritahu saya kalau dia sudah membaik. Beritahu juga kalau nanti sudah bol
Dalam kegugupan atas pertanyaan putrinya, ternyata Tuhan begitu baik pada Linda. Dia mengirim orang-orang yang menginterupsi percakapan mereka.Pintu terbuka dan tiga orang berbeda usia masuk ke dalam kamar rawat Arisa.“Sayang, apa sudah membaik?” Sofi lebih dulu maju dan menyapa Arisa.Tangannya bergerak mengusap kepala putri tunggal mendiang adiknya.“Sudah, Tante,” jawab Arisa, hampir tak terdengar.“Kenapa tidak tidur saja?” Wanita berambut blonde itu terheran melihat Arisa yang berdiri di samping tempat tidur.“Tadi dia mau ke kamar mandi.” Linda berinisiatif menjawab.“Yanu, tolong bantu Arisa. Kasihan Mamanya.” Sofi segera menyuruh sang putra untuk menggantikan peran Linda.Tentu saja pria berusia dua puluh sembilan tahun itu dengan senang hati melakukan apa yang diminta. Yanu cepat-cepat memapah Arisa sampai masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia keluar lagi dan menunggu di depan pintu.Sementara itu, Linda menyapa ayahnya Yanu yang katanya baru kembali ke dalam negeri. Meski h
“Mbak, kamu lihat jam tangan aku gak?”“Enggak, Mas.”“Mbak kemarin beres-beres kamar aku kan?”“Iya, Mas.”“Itu jam tangan aku yang coklat kok aku cari gak ada.”“Saya gak Tahu, Mas. Kan semua jam tangan saya taruh di kotak biasa. Mas cari di situ aja.”“Udah, Mbak. Tapi, gak ada. Aku cari di laci, dimana-mana juga gak ada.”“Wah, ya gak tahu ya, Mas.”Pagi-pagi rumah terdengar heboh. Bahtiar kehilangan jam tangan sudah seperti kebakaran jenggot. Semua penghuni rumah sampai asisten rumah tangga diinterogasi. Ditanyai dengan detail layaknya seorang polisi.“Kamu lupa kali,” kata Naima, yang entah sudah berapa kali.“Jam tangan kamu kan banyak. Tinggal pakai yang lain aja. Repot banget deh.” Adam pun turut menimpali.“Iya, kamu itu bikin seisi rumah heboh aja. Lagian gak mungkin Mbak Isti ngambil jam tangan kamu. Dia kerja udah lama di sini.” Sang ibu tak kalah geram melihat tingkah putranya pagi itu.“Bukan nuduh nyuri, Ma. Siapa tahu Mbak Isti lupa naruhnya,” kilah Bahtiar.“Yang ada
Melihat gelagat Yanu yang seperti itu, Arisa pun bersiap untuk berteriak. Ia akan memanggil sang ibu agar segera mengusir Yanu. Karena hanya wanita itu yang mampu membuat Yanu patuh.Namun, ketika mulut Arisa hampir terbuka, pria itu justru bangkit dari sofa seraya menghempaskan kaki adik sepupunya yang numpang seenaknya.“Ya ampun, Kak Yanu jahat banget. Aku kan lagi sakit. Masa dikasarin gini sih?” pekik Arisa, mengeluhkan sikap Yanu yang tega melempar kakinya tanpa ada kelembutan sedikit pun.“Lagian siapa suruh numpang-numpang. Pakai mancing-mancing pula. Aku khilaf beneran baru tahu rasa kamu,” sungut Yanu, lalu melenggang pergi ke arah dapur.Arisa memerhatikan sosok itu sampai menghilang di balik dinding. Ia lantas menggeleng, menepis pikiran negatif yang sempat singgah. Ia kira Yanu akan berbuat sesuatu seperti yang ada dalam bayangannya.“Duh, Risa, kamu ini mikir apa sih?” gumamnya, kemudian menutup wajah dengan bantal sofa.Tak lama dari itu, Yanu kembali membawa segelas ai
“Kenapa dibuka?” Haidar berdesis ketika Melia menurunkan kaca pintu mobil.“Gerah,” jawab Melia, singkat.“Jangan ngarang kamu, Melia. Kau pikir ini angkot?” Haidar kesal, lalu menaikan kaca itu hingga tertutup lagi.Namun, Melia kembali melakukan hal yang sama. Hal tersebut membuat Haidar geram dibuatnya.“Maumu apa sih? Kau sengaja membukanya supaya orang-orang melihat kita?” maki Haidar, berang. “Saya hanya pengap berada satu ruangan dengan Anda.” Melia tak kalah keras saat membalas ucapan Haidar.Kembali pria itu menekan tombol untuk menutup kaca. Tetapi, lagi-lagi Melia menurunkannya. Hal itu terus berulang sampai berkali-kali. Hingga tak mereka sadari saat kaca terbuka, ada seseorang yang melihat mereka dengan sangat jelas.Haidar menepikan mobilnya. Ia bahkan sengaja berhenti secara mendadak, sehingga membuat Melia tersentak. Hampir saja kepalanya menghentak ke depan. Andai tak mengenakan sabuk pengaman, mungkin ia sudah terbentur dengan keras.“Kau jangan buat masalah, Melia.
Setetes embun jatuh dari pelupuk mata seorang ibu. Melihat sang putri diikat dalam janji suci, Aida pun dilanda rasa haru. Namun, selain itu ada pula perasaan yang begitu mengganggu, yakni melihat gelagat keluarga Bahtiar yang tampak kurang setuju.Sempat terbayangkan dirinya akan disambut hangat oleh orang tua Bahtiar. Tapi, kenyataannya selain tangan yang dijabat, tak sepatah kata pun mereka ucap. Di depannya, Melia dan Bahtiar berdiri berdampingan memamerkan buku nikah yang baru saja dibubuhi tanda tangan. Seorang Photographer membimbing keduanya agar hasil jepretan bisa terlihat sempurna.Jangan bayangkan pesta meriah di tempat mewah, pernikahan Melia dan Bahtiar justru digelar sederhana di sebuah gedung serba guna yang tak seberapa luas. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga, dan beberapa kerabat terdekat saja. Bahkan Melia pernah memberitahu bahwa teman kantor mereka tidak ada yang diundang.“Ibu, lapar.” Rengekan si bungsu mengalihkan perhatian Aida dari sepasang pengantin b
Hari pertama menjadi seorang istri, tugas Melia adalah menyiapkan segala keperluan suami. Saat Bahtiar tengah berada di kamar mandi, Melia sigap memilihkan pakaian yang akan dikenakan pria tersebut.“Hari ini Ibu mau langsung pulang,” ujar Melia, sambil mengancingkan baju Bahtiar.Pria itu hanya diam. Padahal Melia sangat berharap ia memberi tanggapan. Apapun itu, setidaknya menjadi bukti bahwa Bahtiar mendengar apa yang sedang dibicarakan.“Kita antar Ibu ke terminal, ya?”“Kau saja. Aku capek.”Jangan tanya bagaimana yang Melia rasakan. Sedih sudah pasti, tapi kecewa … apakah masih boleh bagi Melia? Sedangkan dirinya pun telah begitu tega menjerat Bahtiar dalam sebuah pernikahan yang berdasar pada kata tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.Keduanya turun untuk sarapan. Di ruang makan orang tua Bahtiar sudah menunggu. Meski hari ini kedatangan anggota baru yang tidak mereka suka, tetapi tradisi sarapan bersama tak boleh dilewatkan begitu
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami