“Kenapa dibuka?” Haidar berdesis ketika Melia menurunkan kaca pintu mobil.“Gerah,” jawab Melia, singkat.“Jangan ngarang kamu, Melia. Kau pikir ini angkot?” Haidar kesal, lalu menaikan kaca itu hingga tertutup lagi.Namun, Melia kembali melakukan hal yang sama. Hal tersebut membuat Haidar geram dibuatnya.“Maumu apa sih? Kau sengaja membukanya supaya orang-orang melihat kita?” maki Haidar, berang. “Saya hanya pengap berada satu ruangan dengan Anda.” Melia tak kalah keras saat membalas ucapan Haidar.Kembali pria itu menekan tombol untuk menutup kaca. Tetapi, lagi-lagi Melia menurunkannya. Hal itu terus berulang sampai berkali-kali. Hingga tak mereka sadari saat kaca terbuka, ada seseorang yang melihat mereka dengan sangat jelas.Haidar menepikan mobilnya. Ia bahkan sengaja berhenti secara mendadak, sehingga membuat Melia tersentak. Hampir saja kepalanya menghentak ke depan. Andai tak mengenakan sabuk pengaman, mungkin ia sudah terbentur dengan keras.“Kau jangan buat masalah, Melia.
Setetes embun jatuh dari pelupuk mata seorang ibu. Melihat sang putri diikat dalam janji suci, Aida pun dilanda rasa haru. Namun, selain itu ada pula perasaan yang begitu mengganggu, yakni melihat gelagat keluarga Bahtiar yang tampak kurang setuju.Sempat terbayangkan dirinya akan disambut hangat oleh orang tua Bahtiar. Tapi, kenyataannya selain tangan yang dijabat, tak sepatah kata pun mereka ucap. Di depannya, Melia dan Bahtiar berdiri berdampingan memamerkan buku nikah yang baru saja dibubuhi tanda tangan. Seorang Photographer membimbing keduanya agar hasil jepretan bisa terlihat sempurna.Jangan bayangkan pesta meriah di tempat mewah, pernikahan Melia dan Bahtiar justru digelar sederhana di sebuah gedung serba guna yang tak seberapa luas. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga, dan beberapa kerabat terdekat saja. Bahkan Melia pernah memberitahu bahwa teman kantor mereka tidak ada yang diundang.“Ibu, lapar.” Rengekan si bungsu mengalihkan perhatian Aida dari sepasang pengantin b
Hari pertama menjadi seorang istri, tugas Melia adalah menyiapkan segala keperluan suami. Saat Bahtiar tengah berada di kamar mandi, Melia sigap memilihkan pakaian yang akan dikenakan pria tersebut.“Hari ini Ibu mau langsung pulang,” ujar Melia, sambil mengancingkan baju Bahtiar.Pria itu hanya diam. Padahal Melia sangat berharap ia memberi tanggapan. Apapun itu, setidaknya menjadi bukti bahwa Bahtiar mendengar apa yang sedang dibicarakan.“Kita antar Ibu ke terminal, ya?”“Kau saja. Aku capek.”Jangan tanya bagaimana yang Melia rasakan. Sedih sudah pasti, tapi kecewa … apakah masih boleh bagi Melia? Sedangkan dirinya pun telah begitu tega menjerat Bahtiar dalam sebuah pernikahan yang berdasar pada kata tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.Keduanya turun untuk sarapan. Di ruang makan orang tua Bahtiar sudah menunggu. Meski hari ini kedatangan anggota baru yang tidak mereka suka, tetapi tradisi sarapan bersama tak boleh dilewatkan begitu
Siapapun di dunia ini pastilah ingin bisa bersanding dengan orang yang dicintai. Bilamana itu terjadi, maka sungguh bahagia yang di rasa. Bayangan masa depan indah, kisah manis dengan bumbu romantis, menari-nari di dalam kepala.Pun dengan apa yang Melia kira. Rasa kagumnya terhadap sosok Bahtiar yang penuh cinta, membuatnya jatuh sedalam-dalamnya. Sekalipun tak terbersit akan menerima rasa pahit ketika bisa hidup bersama pria penyayang seperti dia. Namun, baru sekedipan mata saja Melia harus mengelus dada. Sesak yang kini mendera mungkin akan bertambah sepanjang cintanya tak berbalas.Segera Melia mengemas kembali lembaran berwarna marun yang sebagian terlihat kotor bahkan hangus. Entah apa yang terjadi sebelumnya, siapa yang ingin membakar kertas-kertas tersebut. Yang pasti Bahtiar pasti berusaha menyelamatkannya. Terbukti dengan caranya yang menyimpan barang yang sudah kadaluarsa ini dengan sangat rapi.*****Di antara keheningan malam, Arisa menatap hampa gelapnya dunia. Ingatanny
Kedua orang tua Bahtiar jatuh lemas mendengar segala kata yang Melia muntahkan. Meski Bahtiar sudah mencoba menghentikan, tetapi Melia sulit dikendalikan. Semua rahasia yang tertutup selama ini, terbongkar bersamaan luapan amarah sekaligus kesedihan Melia.Sepasang suami istri yang sudah puluhan tahun hidup bersama itu, seketika dirundung duka. Ini bukan tentang kekecewaan terhadap Melia yang sudah menipu dan menjebak Bahtiar. Tetapi, ini soal Utami yang diam-diam menjalani kehidupan yang teramat sulit.Di balik tawa dan ekspresi bahagia yang kerap pamerkan di hadapan banyak orang, nyatanya dia tersiksa dengan segala kesempurnaan tersebut. Alih-alih beruntung memiliki suami seperti Haidar, faktanya Utami tertekan dengan semua tuntutan khalayak.Lalu, apakah Melia puas dengan semua itu?Tidak.Usai seluruh endapan kemarahan itu tumpah ruah, Melia justru tergugu pilu. Tubuhnya jatuh terduduk. Melia memeluk lutut meratap pedih segala kepahitan hidup.“Maafkan aku,” ucapnya di antara isak
“Sudah?”Arisa mengangguki pertanyaan Yanu ketika dirinya berhasil menutup pintu mobil. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Bahkan sorot mata pun hanya mengarah ke depan.Entah apa yang sudah terjadi di dalam sana, Yanu pun enggan bertanya. Dalam hati, sungguh ia tak menyetujui permintaan Arisa yang ingin bertemu Bahtiar lagi. Meski dengan dalih untuk terakhir kali.Yanu bukan anak ingusan yang tidak tahu apa-apa. Sepenuhnya ia sadar bahwa lelaki yang nyaris menikahi Arisa itu masih sangat berpengaruh dalam kehidupan perempuan yang kini terlihat lebih pendiam.Namun, Yanu mengabaikan semua fakta tersebut. Dari awal ia tak pernah menyukai Bahtiar. Tak peduli walau harus dikatakan tingkat percaya dirinya terlalu tinggi, tetapi Yanu yakin hanya dia yang pantas bersanding dengan Arisa.Keempat roda terus berotasi di atas jalanan hitam beraspal. Lajunya tidak begitu kencang, namun tidak pula terlalu lambat. Volume kendaraan terpantau lanca
Sebulan berlalu pasca pertemuan dengan Melia. Arisa masih menjalani keseharian seperti biasa. Bekerja dari hari Senin sampai Jumat dan beristirahat di akhir pekan. Apa yang sempat diutarakan Melia waktu itu, sama sekali tak membuat Arisa tersentuh. Baginya, Bahtiar dan Melia hanya bagian dari masa lalu. Tak perlu diungkit lagi. Apalagi sampai harus kembali merajut tali kasih. Meski dengan dalih masih cinta, nyatanya apa yang pernah Bahtiar lakukan dulu, tetap saja menyisakan luka. Hari libur terkadang ia habiskan bergelung di atas kasur, tapi tak jarang Yanu mengajaknya keluar mencari suasana baru.Seperti hari ini, Yanu sudah duduk manis di ruang tamu disuguhi secangkir kopi yang terlihat masih mengepul. Pria itu tampak santai dengan pakaian casual yang ia kenakan. Namun demikian, sedikit pun tak mengurangi kadar ketampanannya. Mau tampil seperti apapun Yanu selalu pantas dan mampu menempatkan diri pada segala situasi. Hal itu pula yang menjad
“Gimana? Enak ya dipeluk mantan?”Arisa mendengkus sebal. Semenjak pulang dari pemakaman, Yanu sudah berulang kali menanyakan hal yang sama. Awalnya Arisa pun malas menanggapi. Ia memilih mengabaikan pertanyaan konyol pria tersebut.Namun, lama kelamaan rasanya jengkel juga. Arisa mengerti kalau sebenarnya Yanu sedang cemburu, tetapi seharusnya ia mengerti kalau semua itu terjadi begitu saja. Entah refleks atau memang Bahtiar pintar memanfaatkan kesempatan. Yang pasti saat itu Arisa tak membalas perlakuan Bahtiar.“Kak Yanu bisa diam gak sih? Berisik tahu. Aku ini capek,” keluh Arisa, berharap Yanu berhenti membahas hal yang sebetulnya sangat tidak perlu.Dia tidak sadar kalau semakin ia menggoda, maka ingatan Arisa saat Bahtiar memeluk menjadi sulit lupa.“Papa aku pergi, Ris. Papa pergi gara-gara aku. Aku udah bikin Papa sakit. Aku udah bikin Mama jadi janda, aku juga bikin Kak Utami sama Melia jadi janda. Aku udah nyakitin banyak orang
Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti
Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p
Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l
Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur
Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo
“Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n
Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe
“Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu
Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami