Setetes embun jatuh dari pelupuk mata seorang ibu. Melihat sang putri diikat dalam janji suci, Aida pun dilanda rasa haru. Namun, selain itu ada pula perasaan yang begitu mengganggu, yakni melihat gelagat keluarga Bahtiar yang tampak kurang setuju.Sempat terbayangkan dirinya akan disambut hangat oleh orang tua Bahtiar. Tapi, kenyataannya selain tangan yang dijabat, tak sepatah kata pun mereka ucap. Di depannya, Melia dan Bahtiar berdiri berdampingan memamerkan buku nikah yang baru saja dibubuhi tanda tangan. Seorang Photographer membimbing keduanya agar hasil jepretan bisa terlihat sempurna.Jangan bayangkan pesta meriah di tempat mewah, pernikahan Melia dan Bahtiar justru digelar sederhana di sebuah gedung serba guna yang tak seberapa luas. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga, dan beberapa kerabat terdekat saja. Bahkan Melia pernah memberitahu bahwa teman kantor mereka tidak ada yang diundang.“Ibu, lapar.” Rengekan si bungsu mengalihkan perhatian Aida dari sepasang pengantin b
Hari pertama menjadi seorang istri, tugas Melia adalah menyiapkan segala keperluan suami. Saat Bahtiar tengah berada di kamar mandi, Melia sigap memilihkan pakaian yang akan dikenakan pria tersebut.“Hari ini Ibu mau langsung pulang,” ujar Melia, sambil mengancingkan baju Bahtiar.Pria itu hanya diam. Padahal Melia sangat berharap ia memberi tanggapan. Apapun itu, setidaknya menjadi bukti bahwa Bahtiar mendengar apa yang sedang dibicarakan.“Kita antar Ibu ke terminal, ya?”“Kau saja. Aku capek.”Jangan tanya bagaimana yang Melia rasakan. Sedih sudah pasti, tapi kecewa … apakah masih boleh bagi Melia? Sedangkan dirinya pun telah begitu tega menjerat Bahtiar dalam sebuah pernikahan yang berdasar pada kata tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.Keduanya turun untuk sarapan. Di ruang makan orang tua Bahtiar sudah menunggu. Meski hari ini kedatangan anggota baru yang tidak mereka suka, tetapi tradisi sarapan bersama tak boleh dilewatkan begitu
Siapapun di dunia ini pastilah ingin bisa bersanding dengan orang yang dicintai. Bilamana itu terjadi, maka sungguh bahagia yang di rasa. Bayangan masa depan indah, kisah manis dengan bumbu romantis, menari-nari di dalam kepala.Pun dengan apa yang Melia kira. Rasa kagumnya terhadap sosok Bahtiar yang penuh cinta, membuatnya jatuh sedalam-dalamnya. Sekalipun tak terbersit akan menerima rasa pahit ketika bisa hidup bersama pria penyayang seperti dia. Namun, baru sekedipan mata saja Melia harus mengelus dada. Sesak yang kini mendera mungkin akan bertambah sepanjang cintanya tak berbalas.Segera Melia mengemas kembali lembaran berwarna marun yang sebagian terlihat kotor bahkan hangus. Entah apa yang terjadi sebelumnya, siapa yang ingin membakar kertas-kertas tersebut. Yang pasti Bahtiar pasti berusaha menyelamatkannya. Terbukti dengan caranya yang menyimpan barang yang sudah kadaluarsa ini dengan sangat rapi.*****Di antara keheningan malam, Arisa menatap hampa gelapnya dunia. Ingatanny
Kedua orang tua Bahtiar jatuh lemas mendengar segala kata yang Melia muntahkan. Meski Bahtiar sudah mencoba menghentikan, tetapi Melia sulit dikendalikan. Semua rahasia yang tertutup selama ini, terbongkar bersamaan luapan amarah sekaligus kesedihan Melia.Sepasang suami istri yang sudah puluhan tahun hidup bersama itu, seketika dirundung duka. Ini bukan tentang kekecewaan terhadap Melia yang sudah menipu dan menjebak Bahtiar. Tetapi, ini soal Utami yang diam-diam menjalani kehidupan yang teramat sulit.Di balik tawa dan ekspresi bahagia yang kerap pamerkan di hadapan banyak orang, nyatanya dia tersiksa dengan segala kesempurnaan tersebut. Alih-alih beruntung memiliki suami seperti Haidar, faktanya Utami tertekan dengan semua tuntutan khalayak.Lalu, apakah Melia puas dengan semua itu?Tidak.Usai seluruh endapan kemarahan itu tumpah ruah, Melia justru tergugu pilu. Tubuhnya jatuh terduduk. Melia memeluk lutut meratap pedih segala kepahitan hidup.“Maafkan aku,” ucapnya di antara isak
“Sudah?”Arisa mengangguki pertanyaan Yanu ketika dirinya berhasil menutup pintu mobil. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Bahkan sorot mata pun hanya mengarah ke depan.Entah apa yang sudah terjadi di dalam sana, Yanu pun enggan bertanya. Dalam hati, sungguh ia tak menyetujui permintaan Arisa yang ingin bertemu Bahtiar lagi. Meski dengan dalih untuk terakhir kali.Yanu bukan anak ingusan yang tidak tahu apa-apa. Sepenuhnya ia sadar bahwa lelaki yang nyaris menikahi Arisa itu masih sangat berpengaruh dalam kehidupan perempuan yang kini terlihat lebih pendiam.Namun, Yanu mengabaikan semua fakta tersebut. Dari awal ia tak pernah menyukai Bahtiar. Tak peduli walau harus dikatakan tingkat percaya dirinya terlalu tinggi, tetapi Yanu yakin hanya dia yang pantas bersanding dengan Arisa.Keempat roda terus berotasi di atas jalanan hitam beraspal. Lajunya tidak begitu kencang, namun tidak pula terlalu lambat. Volume kendaraan terpantau lanca
Sebulan berlalu pasca pertemuan dengan Melia. Arisa masih menjalani keseharian seperti biasa. Bekerja dari hari Senin sampai Jumat dan beristirahat di akhir pekan. Apa yang sempat diutarakan Melia waktu itu, sama sekali tak membuat Arisa tersentuh. Baginya, Bahtiar dan Melia hanya bagian dari masa lalu. Tak perlu diungkit lagi. Apalagi sampai harus kembali merajut tali kasih. Meski dengan dalih masih cinta, nyatanya apa yang pernah Bahtiar lakukan dulu, tetap saja menyisakan luka. Hari libur terkadang ia habiskan bergelung di atas kasur, tapi tak jarang Yanu mengajaknya keluar mencari suasana baru.Seperti hari ini, Yanu sudah duduk manis di ruang tamu disuguhi secangkir kopi yang terlihat masih mengepul. Pria itu tampak santai dengan pakaian casual yang ia kenakan. Namun demikian, sedikit pun tak mengurangi kadar ketampanannya. Mau tampil seperti apapun Yanu selalu pantas dan mampu menempatkan diri pada segala situasi. Hal itu pula yang menjad
“Gimana? Enak ya dipeluk mantan?”Arisa mendengkus sebal. Semenjak pulang dari pemakaman, Yanu sudah berulang kali menanyakan hal yang sama. Awalnya Arisa pun malas menanggapi. Ia memilih mengabaikan pertanyaan konyol pria tersebut.Namun, lama kelamaan rasanya jengkel juga. Arisa mengerti kalau sebenarnya Yanu sedang cemburu, tetapi seharusnya ia mengerti kalau semua itu terjadi begitu saja. Entah refleks atau memang Bahtiar pintar memanfaatkan kesempatan. Yang pasti saat itu Arisa tak membalas perlakuan Bahtiar.“Kak Yanu bisa diam gak sih? Berisik tahu. Aku ini capek,” keluh Arisa, berharap Yanu berhenti membahas hal yang sebetulnya sangat tidak perlu.Dia tidak sadar kalau semakin ia menggoda, maka ingatan Arisa saat Bahtiar memeluk menjadi sulit lupa.“Papa aku pergi, Ris. Papa pergi gara-gara aku. Aku udah bikin Papa sakit. Aku udah bikin Mama jadi janda, aku juga bikin Kak Utami sama Melia jadi janda. Aku udah nyakitin banyak orang
Sepahit-pahitnya Americano tak sebanding dengan kepahitan hidup yang harus Bahtiar terima. Sempat terpikir bahwa perceraiannya dengan Melia akan membuka kembali jalan untuk bersama Arisa lagi. Tetapi, surat undangan yang kini tergeletak di meja, sungguh sukses meruntuhkan seluruh asa.Arisa semakin jauh dari jangkauan. Jangankan wujudnya bisa diraih, bayangannya pun tak boleh lagi hadir dalam mimpi. Ingin sekali Bahtiar berteriak dan memaki takdir. Namun, apalah arti dari semua itu. Tak ada yang akan berubah, meski ia meronta menolak kehendak Sang Kuasa.Sedetik Bahtiar menatap layar, detik kemudian kembali menyesap minuman panas dalam cup. Cairan hitam yang sedikit lebih encer itu tandas hanya dalam waktu sekejap. Bahkan rasa pahitnya seperti tak bisa dicecap. ***** Sore ini Arisa pulang lebih awal. Mulai besok dia sudah tak diperbolehkan bekerja. Hal tersebut tentu mendapat penolakan dari Yanu. Akan tetapi, percum