Dalam kegugupan atas pertanyaan putrinya, ternyata Tuhan begitu baik pada Linda. Dia mengirim orang-orang yang menginterupsi percakapan mereka.Pintu terbuka dan tiga orang berbeda usia masuk ke dalam kamar rawat Arisa.“Sayang, apa sudah membaik?” Sofi lebih dulu maju dan menyapa Arisa.Tangannya bergerak mengusap kepala putri tunggal mendiang adiknya.“Sudah, Tante,” jawab Arisa, hampir tak terdengar.“Kenapa tidak tidur saja?” Wanita berambut blonde itu terheran melihat Arisa yang berdiri di samping tempat tidur.“Tadi dia mau ke kamar mandi.” Linda berinisiatif menjawab.“Yanu, tolong bantu Arisa. Kasihan Mamanya.” Sofi segera menyuruh sang putra untuk menggantikan peran Linda.Tentu saja pria berusia dua puluh sembilan tahun itu dengan senang hati melakukan apa yang diminta. Yanu cepat-cepat memapah Arisa sampai masuk ke kamar mandi. Setelah itu ia keluar lagi dan menunggu di depan pintu.Sementara itu, Linda menyapa ayahnya Yanu yang katanya baru kembali ke dalam negeri. Meski h
“Mbak, kamu lihat jam tangan aku gak?”“Enggak, Mas.”“Mbak kemarin beres-beres kamar aku kan?”“Iya, Mas.”“Itu jam tangan aku yang coklat kok aku cari gak ada.”“Saya gak Tahu, Mas. Kan semua jam tangan saya taruh di kotak biasa. Mas cari di situ aja.”“Udah, Mbak. Tapi, gak ada. Aku cari di laci, dimana-mana juga gak ada.”“Wah, ya gak tahu ya, Mas.”Pagi-pagi rumah terdengar heboh. Bahtiar kehilangan jam tangan sudah seperti kebakaran jenggot. Semua penghuni rumah sampai asisten rumah tangga diinterogasi. Ditanyai dengan detail layaknya seorang polisi.“Kamu lupa kali,” kata Naima, yang entah sudah berapa kali.“Jam tangan kamu kan banyak. Tinggal pakai yang lain aja. Repot banget deh.” Adam pun turut menimpali.“Iya, kamu itu bikin seisi rumah heboh aja. Lagian gak mungkin Mbak Isti ngambil jam tangan kamu. Dia kerja udah lama di sini.” Sang ibu tak kalah geram melihat tingkah putranya pagi itu.“Bukan nuduh nyuri, Ma. Siapa tahu Mbak Isti lupa naruhnya,” kilah Bahtiar.“Yang ada
Melihat gelagat Yanu yang seperti itu, Arisa pun bersiap untuk berteriak. Ia akan memanggil sang ibu agar segera mengusir Yanu. Karena hanya wanita itu yang mampu membuat Yanu patuh.Namun, ketika mulut Arisa hampir terbuka, pria itu justru bangkit dari sofa seraya menghempaskan kaki adik sepupunya yang numpang seenaknya.“Ya ampun, Kak Yanu jahat banget. Aku kan lagi sakit. Masa dikasarin gini sih?” pekik Arisa, mengeluhkan sikap Yanu yang tega melempar kakinya tanpa ada kelembutan sedikit pun.“Lagian siapa suruh numpang-numpang. Pakai mancing-mancing pula. Aku khilaf beneran baru tahu rasa kamu,” sungut Yanu, lalu melenggang pergi ke arah dapur.Arisa memerhatikan sosok itu sampai menghilang di balik dinding. Ia lantas menggeleng, menepis pikiran negatif yang sempat singgah. Ia kira Yanu akan berbuat sesuatu seperti yang ada dalam bayangannya.“Duh, Risa, kamu ini mikir apa sih?” gumamnya, kemudian menutup wajah dengan bantal sofa.Tak lama dari itu, Yanu kembali membawa segelas ai
“Kenapa dibuka?” Haidar berdesis ketika Melia menurunkan kaca pintu mobil.“Gerah,” jawab Melia, singkat.“Jangan ngarang kamu, Melia. Kau pikir ini angkot?” Haidar kesal, lalu menaikan kaca itu hingga tertutup lagi.Namun, Melia kembali melakukan hal yang sama. Hal tersebut membuat Haidar geram dibuatnya.“Maumu apa sih? Kau sengaja membukanya supaya orang-orang melihat kita?” maki Haidar, berang. “Saya hanya pengap berada satu ruangan dengan Anda.” Melia tak kalah keras saat membalas ucapan Haidar.Kembali pria itu menekan tombol untuk menutup kaca. Tetapi, lagi-lagi Melia menurunkannya. Hal itu terus berulang sampai berkali-kali. Hingga tak mereka sadari saat kaca terbuka, ada seseorang yang melihat mereka dengan sangat jelas.Haidar menepikan mobilnya. Ia bahkan sengaja berhenti secara mendadak, sehingga membuat Melia tersentak. Hampir saja kepalanya menghentak ke depan. Andai tak mengenakan sabuk pengaman, mungkin ia sudah terbentur dengan keras.“Kau jangan buat masalah, Melia.
Setetes embun jatuh dari pelupuk mata seorang ibu. Melihat sang putri diikat dalam janji suci, Aida pun dilanda rasa haru. Namun, selain itu ada pula perasaan yang begitu mengganggu, yakni melihat gelagat keluarga Bahtiar yang tampak kurang setuju.Sempat terbayangkan dirinya akan disambut hangat oleh orang tua Bahtiar. Tapi, kenyataannya selain tangan yang dijabat, tak sepatah kata pun mereka ucap. Di depannya, Melia dan Bahtiar berdiri berdampingan memamerkan buku nikah yang baru saja dibubuhi tanda tangan. Seorang Photographer membimbing keduanya agar hasil jepretan bisa terlihat sempurna.Jangan bayangkan pesta meriah di tempat mewah, pernikahan Melia dan Bahtiar justru digelar sederhana di sebuah gedung serba guna yang tak seberapa luas. Tamu-tamu yang hadir pun hanya keluarga, dan beberapa kerabat terdekat saja. Bahkan Melia pernah memberitahu bahwa teman kantor mereka tidak ada yang diundang.“Ibu, lapar.” Rengekan si bungsu mengalihkan perhatian Aida dari sepasang pengantin b
Hari pertama menjadi seorang istri, tugas Melia adalah menyiapkan segala keperluan suami. Saat Bahtiar tengah berada di kamar mandi, Melia sigap memilihkan pakaian yang akan dikenakan pria tersebut.“Hari ini Ibu mau langsung pulang,” ujar Melia, sambil mengancingkan baju Bahtiar.Pria itu hanya diam. Padahal Melia sangat berharap ia memberi tanggapan. Apapun itu, setidaknya menjadi bukti bahwa Bahtiar mendengar apa yang sedang dibicarakan.“Kita antar Ibu ke terminal, ya?”“Kau saja. Aku capek.”Jangan tanya bagaimana yang Melia rasakan. Sedih sudah pasti, tapi kecewa … apakah masih boleh bagi Melia? Sedangkan dirinya pun telah begitu tega menjerat Bahtiar dalam sebuah pernikahan yang berdasar pada kata tanggung jawab. Tanggung jawab atas perbuatan yang sama sekali tak pernah dilakukan.Keduanya turun untuk sarapan. Di ruang makan orang tua Bahtiar sudah menunggu. Meski hari ini kedatangan anggota baru yang tidak mereka suka, tetapi tradisi sarapan bersama tak boleh dilewatkan begitu
Siapapun di dunia ini pastilah ingin bisa bersanding dengan orang yang dicintai. Bilamana itu terjadi, maka sungguh bahagia yang di rasa. Bayangan masa depan indah, kisah manis dengan bumbu romantis, menari-nari di dalam kepala.Pun dengan apa yang Melia kira. Rasa kagumnya terhadap sosok Bahtiar yang penuh cinta, membuatnya jatuh sedalam-dalamnya. Sekalipun tak terbersit akan menerima rasa pahit ketika bisa hidup bersama pria penyayang seperti dia. Namun, baru sekedipan mata saja Melia harus mengelus dada. Sesak yang kini mendera mungkin akan bertambah sepanjang cintanya tak berbalas.Segera Melia mengemas kembali lembaran berwarna marun yang sebagian terlihat kotor bahkan hangus. Entah apa yang terjadi sebelumnya, siapa yang ingin membakar kertas-kertas tersebut. Yang pasti Bahtiar pasti berusaha menyelamatkannya. Terbukti dengan caranya yang menyimpan barang yang sudah kadaluarsa ini dengan sangat rapi.*****Di antara keheningan malam, Arisa menatap hampa gelapnya dunia. Ingatanny
Kedua orang tua Bahtiar jatuh lemas mendengar segala kata yang Melia muntahkan. Meski Bahtiar sudah mencoba menghentikan, tetapi Melia sulit dikendalikan. Semua rahasia yang tertutup selama ini, terbongkar bersamaan luapan amarah sekaligus kesedihan Melia.Sepasang suami istri yang sudah puluhan tahun hidup bersama itu, seketika dirundung duka. Ini bukan tentang kekecewaan terhadap Melia yang sudah menipu dan menjebak Bahtiar. Tetapi, ini soal Utami yang diam-diam menjalani kehidupan yang teramat sulit.Di balik tawa dan ekspresi bahagia yang kerap pamerkan di hadapan banyak orang, nyatanya dia tersiksa dengan segala kesempurnaan tersebut. Alih-alih beruntung memiliki suami seperti Haidar, faktanya Utami tertekan dengan semua tuntutan khalayak.Lalu, apakah Melia puas dengan semua itu?Tidak.Usai seluruh endapan kemarahan itu tumpah ruah, Melia justru tergugu pilu. Tubuhnya jatuh terduduk. Melia memeluk lutut meratap pedih segala kepahitan hidup.“Maafkan aku,” ucapnya di antara isak