Malang, Desember 2016
Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun.
"Apa kau tak punya partner?"
Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.
Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu.
"Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.
Setelah menghela napas, Denis kembali melanjutkan kegiatannya bersama ponsel. Tepatnya, tengah menyelesaikan tantangan game balapan mobil bersama sahabat karibnya sejak SD, Shaka.
Sesekali, pemuda itu terkekeh-kekeh geli saat Shaka harus menerima kekalahan darinya. Tak jarang pula dia menggerutu, saat sang sahabat menyalip skornya.
"Sepertinya asyik. Lagi nge-game bareng Shaka, ya?"
Kali ini suara sang kakak, David Anggara Wibisono, membuat Denis harus mengalihkan fokus lagi dari ponselnya.
Pemuda itu hendak menjawab pertanyaan David, tapi urung ketika tiba-tiba muncul sosok perempuan cantik di belakang kakaknya itu. Dengan tinggi 168 cm, berkulit putih, berpenampilan glamour. Dia memakai gaun berwarna biru tua dengan lengan tertutup, tapi leher sampai dada atas terbuka, menampakkan sedikit belahan di sana.
Kedua iris perempuan cantik itu, yang dipakaikan lensa warna biru keabu-abuan malam ini, bertemu dengan milik Denis. Membuat Denis segera mengalihkan lagi tatapan matanya ke ponsel.
"Sayang, lima menit lagi sambutan Papa, setelahnya kita makan bersama keluarga di ruang VIP. Pastikan adikmu tidak berniat kabur lagi." Perempuan itu, Nadia Dewanti Wardoyo, berbisik lembut kepada David, tunangannya.
"Kamu dengar apa kata calon kakak iparmu, 'kan, Den?" David mengerling ke Denis, yang masih asyik berkutat dengan ponselnya.
"Ya," jawab Denis singkat, tanpa mengalihkan tatapan mata dari gadgetnya itu.
"David!" Tiba-tiba terdengar suara Adi Wibisono, ayah David dan Denis, memanggil anak lelaki pertamanya. Lelaki paruh baya itu tampak sedang bersama Seno Wardoyo, ayah dari Nadia. Mereka berdiri sekitar satu meter dari tempat Denis, David, dan Nadia berada.
"Aku ke Papa dulu, Sayang. Sepertinya mau membicarakan persiapan makan malam nanti." David berbisik lembut ke Nadia. Di mana gadis itu hanya tersenyum kecut.
"Sepertinya aku tak terlalu diharapkan oleh mereka, padahal posisiku di perusahaan lebih tinggi darimu, Dave!"
Sindiran Nadia membuat David terbahak-bahak. Dia lalu menyelipkan juntaian anak rambut di pelipis kiri tunangannya itu, ke balik telinga.
"Ini karena kami akan membicarakan surprise untukmu pekan depan, di saat ulang tahunmu. Jangan sampaikan pada siapa pun kalau aku membocorkan ini padamu, Nad."
Nadia terkekeh-kekeh. "Kamu lupa ada dua telinga lain selain milik kita berdua, Dave?" Lalu, perempuan cantik itu melirik Denis yang masih asyik berkutat dengan ponselnya.
"Kalau Denis, sih," David ikut mengerling adik lelakinya, "tanpa diminta juga gak bakalan bilang siapa pun."
David lalu kembali tertawa, sebelum akhirnya pamit untuk segera menuju ke ayah dan calon ayah mertuanya.
Setelah David pergi, Nadia masih bertahan di tempatnya berdiri, dan memanggil pelayan mendekat untuk memberinya segelas wine.
"Kamu tak minum beginian, ya?" Nadia bertanya ke Denis setelah meneguk habis wine-nya.
Denis tak segera menjawab, dia memilih menyelesaikan dulu lap terakhir di game-nya, baru beberapa detik setelahnya logout dan mematikan ponsel, untuk menatap Nadia.
"Retoris." Denis memasukkan ponselnya ke saku jas, lalu dia bersandar ke dinding dan menyilangkan lengan di dada.
"Bagaimana penampilanku malam ini? Sudah cocok jika berdiri di samping David?" Nadia, masih memegang gelas pialanya, berputar pelan. Memamerkan tubuh indah dan gaun glamour-nya pada Denis.
Denis mengamati Nadia dari atas ke bawah, lalu terkekeh-kekeh. "Ya, lumayan lah! Kalau kamu memakai pakaian lebih sopan begini, itu akan cocok dengan image Mas David."
Nadia tersenyum sinis. "Serius? Ini sudah sopan menurutmu?"
Denis mengangguk, masih menyilangkan lengan di dada. "Daripada biasanya. Meski dadamu masih sedikit terekspos begitu."
Nadia langsung terbahak-bahak. "Ternyata masih ada yang luput juga. Ah sudahlah, aku lama-lama lelah juga mengikuti saranmu."
"Kalau begitu tak usah ikuti dan kembali saja berpakaian seperti kesukaanmu biasanya." Denis membalas dengan enteng.
"Kamu memang tak bisa dikalahkan dalam hal berdebat, Denis." Nadia menaikkan alisnya.
Denis melepas lengannya dari dada dan mengangkat bahu. "Kalau begitu, tak usah mengajakku berdebat. Karena aku juga tak akan pernah bisa mengimbangi segala sikap aroganmu yang selalu memandang rendah keluargaku."
Nadia kembali terbahak-bahak. "Hei, Bocah! Aku kan sudah berbaik hati ingin lebih akrab denganmu sebagai calon kakak ipar. Mengikuti saranmu untuk tampil lebih sopan setelah bertunangan dengan David, juga karena aku ingin bisa lebih dekat dengan keluargamu. Apa itu kurang?"
Denis menatap tajam kedua mata Nadia. Entah kenapa, setiap melihat senyum perempuan itu, Denis selalu kesal. Rasanya emosi dalam dirinya bisa saja akan meledak sewaktu-waktu.
Nadia itu seperti ular. Tak ada yang tahu senyum yang dia tampakkan itu benar-benar tulus atau hanya sebuah kamuflase belaka.
Perempuan itu sangat angkuh dengan posisinya yang dia anggap sangat tinggi dibanding siapa pun. Bersedia bertunangan dengan David yang lebih muda darinya lima tahun, karena ingin lepas dari kesan 'bekas' seseorang, setelah bercerai dengan mantan suaminya yang seorang warga negara Jepang satu setengah tahun lalu.
Denis selalu berpikir, betapa bodoh David yang sejak dulu menyukai perempuan itu. Sampai saat tiba waktunya Seno Wardoyo meminta Adi Wibisono untuk menyatukan David dan Nadia dalam ikatan pertunangan menuju pernikahan, kakaknya itu senang bukan main.
Padahal, di luar sana banyak sekali perempuan-perempuan cantik yang antri ingin menjadi belahan jiwa dan pendamping hidup kakaknya tersebut.
Mereka jauh lebih sopan, lebih tulus, meski dari segi fisik dan wajah, tak diragukan lagi bahwa seorang Nadia, Wakil Presiden Direktur WW Tech, salah satu perusahaan konstruksi terbesar di Indonesia ini, seolah tak memiliki cela, dan tak bisa dibandingkan dengan perempuan mana pun.
"Hah." Denis terlihat mulai kesal. Dia kemudian berjalan mendekat ke Nadia, dan berkata pelan, "Seseorang sepertimu akan sulit untuk bisa menemukan cinta sejati, kalau kamu tak benar-benar merubah sikap dan kepribadian, Nad."
Nadia tersenyum sinis. "Seorang Denis menasihatiku? Luar biasa!" Lalu, meraih dasi Denis dan menariknya, hingga kepala pemuda jangkung itu sejajar dengannya.
"Orang kaku yang sangat egois dan hanya bisa memikirkan dirinya sendiri, mimpinya sendiri, keasyikan dalam hidupnya sendiri ... sampai ayahnya lelah, dan lebih memilih melepas anak keduanya ini untuk hidup sesukanya saja. Begitu?"
Denis menepis tangan Nadia dan menatap kesal perempuan itu, sambil kembali berdiri tegak dan membenarkan posisi dasinya. "Aku bukan budak ambisi seperti kalian semua. Hidupku murni milikku. Lalu, satu hal lagi. Tolong jangan menampakkan wajah atau kesan manis padaku hanya untuk bisa membuat David percaya bahwa kamu tulus ingin bisa menjadi bagian penuh keluarga Wibisono."
Denis merapikan jasnya."Sebab, itu tak berguna. Semua orang tahu betapa liciknya seorang Nadia Wardoyo itu. Daripada mempercayaimu, lebih baik percaya pada Sunny, kucing Shaka."
Nadia langsung terbahak-bahak. Setelah mengumpat, perempuan itu menyindir Denis dengan frontal. "Seseorang yang kaku sepertimu, yang harusnya mendapatkan banyak nasihat tentang bagaimana cara mendapatkan cinta sejati. Sebab, hatimu itu keras bagai batu sungai."
"Ya, ya, ya. Kak Nadia memang hebat!" Denis tersenyum dibuat-buat. Lalu, dia melambaikan tangan dan berjalan pergi, meninggalkan Nadia yang menatap pemuda itu dengan ekspresi kesal.
"Sialan!" umpat Nadia. "Kalau tidak untuk bertahan hidup, kamu pikir orang-orang sepertiku akan mau terus diperbudak oleh ambisi kekuasaan?"
Perempuan itu lalu memanggil pelayan, menyerahkan gelas pialanya, dan berjalan dengan langkah yang anggun, menuju ruang makan VIP.
Malam itu, hujan turun cukup deras di luar hotel. Tempat di mana diselenggarakan acara ulang tahun perusahaan WW Tech yang ke 53 tahun.
Acara yang seperti itu memang selalu membuat Denis kesal, tapi tak bisa menghindarinya. Menjadi bagian dari keluarga yang berkutat di dunia bisnis, dengan segala ambisi kekuasaan dan kemewahan hidup yang berputar di dalamnya, membuat pemuda itu mau tak mau tetap harus hadir dalam momen-momen publik, sebagai anak dari salah satu tokoh di WW Tech dan juga aktor dunia bisnis di Kota Malang.
Saat ini, Malang telah menjadi kota kedua, setelah Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, yang menjadi pusat kehidupan bisnis paling besar. (*)
Meski hatinya berontak sekali pun, Denis tetap berusaha terlihat tenang di muka umum. Menampilkan wajah datar dan kesan bersahaja dirinya, yang telah menjadi image publik sejak dulu.
Anak kedua sosok Adi Wibisono, yang diasuh oleh Jenar Ayu, mantan istri pengusaha itu, sampai usia 18 tahun karena wanita yang memiliki usaha bakery itu meninggal. Denis kemudian kembali pulang ke rumah sang ayah, dan terpaksa mengikuti alur kehidupan di keluarga Wibisono.
Bermodal image anak yang ditinggal mati ibunya, korban perceraian, hanya seorang anak bungsu dari keluarga pengusaha kaya yang ingin hidup dengan tenang di antara para pelaku bisnis besar itu, Denis akhirnya bertahan hidup bersama ayah dan kakaknya.
Membuatnya mampu mendapat izin dari sang ayah untuk kuliah di jurusan yang dia inginkan, menikmati aktivitas melukis dan bermain bersama dua sahabatnya, Shaka serta Sarah, asalkan dia tidak banyak protes atau menunjukkan pemberontakan yang bisa mencoreng nama baik keluarga Wibisono.
Setidaknya begitu yang harus terus Denis lakukan. Menjadi manusia kaku, tak banyak bicara, tak usah protes atau berpendapat apa pun. Cukup diam, menjalani hidup dengan normal, dan tak mengusik semua rencana dan jalan-jalan yang sudah disusun ayahnya.
***
Malang, Januari 2017
Isak tangis mewarnai suasana pemakaman David Anggara Wibisono, yang meninggal semalam karena kecelakaan tunggal di tol Semarang, saat perjalanan pulang menuju Malang. Dia dan supirnya tewas seketika di tempat.
Meninggalkan Adi Wibisono yang tak bisa menghentikan tangisnya dan terus meratap di tengah gerimis, dekat pusara anak pertamanya. Serta, Denis yang hanya bisa menatap hampa makam basah sang kakak.
Padahal, kemarin lusa, David masih bercanda dengannya. Menggoda dirinya kenapa tidak berkencan saja dengan Sarah, karena sudah berteman akrab dengan gadis itu sejak SMA.
"Lihat tuh! Mas-e** meninggal tapi dia biasa aja. Emang anak kaku, bagaimanapun juga tetep gak bisa tersentuh. Entah apa yang membuat dia hidup dengan kepribadian seperti itu."
"Padahal, ayahnya meraung-raung meratapi kematian David. Eh, dia cuma bengong dan seolah tak masalah jika kakak satu-satunya itu pergi untuk selamanya."
Serta, masih banyak lagi perkataan-perkataan sumbang di sekitar telinga Denis. Bagaimana reaksi pemuda itu? Tentu saja dia sudah terbiasa.
Menjadi bagian dari keluarga pengusaha yang sukses di mata publik, dibicarakan dengan baik atau buruk sudah menjadi santapan yang harus dilahapnya setiap hari, jam, menit, maupun detik.
Dia tak lagi peduli. Menganggap itu semua hanya sebagai lalat-lalat yang tengah berpesta di atas bangkai, yaitu tubuhnya sendiri.
Matanya masih menatap sosok sang ayah yang belum mau bangun, dan masih menangis di dekat nisan David. Kuncoro Jati, sahabat Adi yang juga adalah adik ipar Seno Wardoyo itu, masih setia memayungi ayah Denis tersebut. Agar gerimis tipis yang turun di Bumi Arema, tidak membasahi jas hitam mahal Adi.
Denis menghela napas, lalu melirik Seno Wardoyo yang ditemani Nadia, berdiri di belakang ayahnya. Seno tampak terpukul, dan Nadia dengan wajah masih sembab setelah menangis, menatap hampa nisan David. Tak ada tanda-tanda sosok istri Seno hadir, dan itu sudah biasa, yaitu karena alasan mengurus usaha butiknya yang sudah go internasional.
Denis menghela napas lagi, lalu mendongak ke langit. Masih membiarkan dirinya basah karena gerimis.
Dengan pelan dia bergumam sambil menutup mata, agar air hujan tak membasahi kedua matanya, "Aku iri padamu, Mas Dave. Sudah bebas dari kehidupan gila ini."
====
(*) Di sini author membuat latar fiktif, bahwa Malang telah menjadi kota bisnis dan metropolitan kedua terbesar dan termaju di Indonesia setelah Jakarta, untuk mendukung alur cerita.
(**) Mas-e= Kakak laki-lakinya.
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na