Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.
Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.
Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.
Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.
Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan cinta dan perhatian kepadanya seperti seorang kakak pada adiknya, tetapi Denis juga tak mau menampik kenyataan bahwa David seperti itu karena didikan Adi yang ambisius pada duniawi saja, tanpa memedulikan kasih sayang dalam keluarga.
Jujur, Denis sangat lelah. Ingin bisa keluar dari rumah Wibisono secepatnya. Ketika Jenar, ibunya, meninggal dulu, dia bagai menelan buah simalakama. Antara di luar sana tak memiliki siapa pun dan bingung harus melakukan apa, atau masuk ke keluarga Wibisono tapi siap diatur begini dan begitu oleh sang ayah.
Pilihan Denis bisa dikatakan tepat, karena dia memiliki akses dan support material untuk melanjutkan pendidikan dan menjalani hari-harinya sebagai pelukis, meski sekadar sebagai mahasiswa.
Namun, juga bisa dikatakan salah, karena dia harus siap menjalani hidup sesuai kemauan Adi, dan pada akhirnya sekarang saat David meninggal, harus siap menggantikan posisi David sebagai bidak catur utama Adi.
Saat dia kebingungan harus bagaimana, datanglah Nadia menawarkan sesuatu yang menurutnya tak masuk akal, tetapi juga membuat hatinya bimbang. Kesempatan bisa lepas dari jeratan Adi Wibisono, dengan mengandalkan support material dan semuanya yang dia butuhkan, dari seorang Nadia yang jauh lebih kaya dari ayahnya.
Namun, dia harus siap menjalankan peran sebagai pendamping wanita itu, sedangkan dia tak memiliki perasaan apa pun pada Nadia. Jangankan perasaan kagum atau sekadar cinta monyet, Denis tak menyukai Nadia, baik sifat maupun dunia yang wanita itu jalani sekarang. Meski pemuda itu tak mengelak, bahwa Nadia memang memiliki paras cantik dan tubuh yang indah.
Otomatis, jika menjadi pendamping Nadia, maka dia akan berada di kubu wanita itu. Mau tak mau, meski Nadia mengatakan bahwa dia tak akan ikut campur urusan Denis dalam menjalani hidup demi meraih mimpi sebagai pelukis dan bebas dari cengkeraman Adi Wibisono, tetapi bukankah dengan posisi Denis yang lebih minor daripada Nadia, suatu saat pemuda itu harus siap mengikuti apa yang dimau oleh wanita itu?
Denis membuka matanya lagi, lalu mendengkus kesal. Tawaran dari Nadia benar-benar menggiurkan. Namun, apa dia sudah siap menjadi boneka perempuan itu? Berlaku manis dan mesra layaknya sepasang kekasih. Lalu ... menikah?
Denis mendadak duduk tegak dan wajahnya menegang karena baru teringat bahwa sesuatu yang bernama pernikahan itu bukan hal yang sepele. Apalagi Nadia tadi menyinggung tentang anak.
"Ah, sialan!" Denis menutup wajahnya dengan kedua tangan, karena entah kenapa tiba-tiba ada rona merah muncul di kedua pipi dan kupingnya.
Baru membayangkan dia akan berakting mesra dengan Nadia saja, sudah membuat perutnya bagai digelitik, apalagi kalau mereka melanjutkan hubungan palsu itu ke jenjang pernikahan. Apa Nadia akan benar-benar mengajaknya berhubungan layaknya suami dan istri?
"Gila si Nadia," Denis membuka kedua tangannya, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "apa aku harus melakukan hal-hal itu selama kontrak, atau bagaimana mau dia sebenarnya?"
Denis kembali menghempaskan diri ke kasur, menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang lagi. 'Kalau aku menolak, aku tak perlu memusingkan diri dengan melakukan akting mesra atau apalah itu. Namun, masalahnya aku tetap akan jadi mainan Ayah.' Denis bergumam dalam hati.
Pemuda itu lalu memaki udara kosong. Kepalanya benar-benar sakit sekarang. Rasa pusing yang tadi hanya terasa sekitar enam puluh persen, mendadak berubah menjadi seratus persen.
"Oke, kupikirkan besok saja. Tidur, Denis, tidur!"
***
Ini hari ketiga Adi Wibisono tak pulang ke rumah. Denis tak peduli. Mau tak pulang seterusnya ke rumah juga dia tak akan melakukan protes pada ayahnya itu. Pemuda tersebut pernah mendengar bahwa ada seseorang yang memergoki ayahnya bersama dengan seorang wanita masuk ke hotel.
Namun, menurut Denis itu tak masuk akal. Otak dan hati Adi Wibisono sudah mati, tepatnya dimatikan oleh nafsu untuk bisa kembali meraih kekayaan dan kekuasaan yang katanya dulu adalah milik keluarga Wibisono, sebelum akhirnya jatuh ke tangan keluarga Wardoyo.
Sampai-sampai, ayahnya itu tega meninggalkan, ah tidak ... membuang maksudnya, Jenar Ayu yang adalah istrinya sendiri, seolah sudah tidak membutuhkan perempuan yang dia nikahi karena perjodohan itu.
Sebelumnya, Jenar memiliki seorang kekasih. Namun, keluarga Jenar yang memiliki hutang budi pada keluarga Wibisono, menawarkan untuk mengikat jalinan kekeluargaan dengan menikahkan Jenar dan Adi.
Denis tersenyum kecut saat mengingat bagaimana ekspresi wajah sang ibu, tatkala ayahnya dengan tanpa perasaan mengatakan, "Pergi dari rumah ini dan tunggu surat cerai dariku!"
Pemuda itu lalu mengusap mulutnya dengan serbet makan, setelah menghabiskan satu gelas penuh susu vanilla dan sepiring nasi goreng telur sebagai sarapan paginya.
Belum juga beranjak dari meja makan, ponsel Denis bergetar. Pemuda tersebut lalu merogoh kantung celana jeans-nya dan mengerutkan kening, saat menemukan nama 'Nadia' terpampang di layar benda pipih itu.
"Apa?" Denis menyapa dengan malas.
'Makan siang, yuk!'
Ajakan Nadia membuat isi perut Denis hampir keluar. "Apa? Maksudmu apa, sih?"
Nadia terkekeh-kekeh di seberang sana. Lalu, wanita itu berkata, 'Hanya ingin memastikan kalau kamu masih tetap hidup setelah kemarin terlihat sangat syok dengan tawaranku.'
"Sialan!" Denis mengumpat, sambil kembali menghempaskan diri ke kursi makan.
'Den, kalau aku kasih kamu waktu seminggu, cukup gak? Buat kasih jawaban.'
"Terlalu cepat. Sialan kamu, Nad! Kamu pikir itu hal yang mudah untuk segera diputuskan?"
Nadia kembali terkekeh-kekeh, kali ini lebih keras. Membuat perut Denis makin terasa diaduk-aduk.
'Kamu tahu? Saat ini sedang ada tender besar yang itu sangat memberikan jalan atau peluang besar bagi Om Adi memasukkan kamu dengan segera ke dalam perusahaan. Jadi, aku pikir, pasti sebentar lagi Om Adi akan menekanmu untuk mau masuk ke WW Tech. Bagaimanapun caranya.'
"Hah?" Denis mulai merasakan kepalanya berputar hebat, saat mendengar kabar dari Nadia itu.
'Yap, makanya aku nawarin kamu waktu seminggu. Kalau kamu oke, kita bisa muncul dengan manis secara perlahan-lahan di publik, dengan seolah-olah tertangkap mata wartawan atau orang di WW Tech di mana kita sedang berduaan—'
"Nad," Denis memotong, "Mas David baru beberapa bulan lalu meninggal. Kamu yakin?"
'Kenapa? Aku bisa saja bilang kita dekat karena awalnya saling menghibur setelah kematian David.'
Denis gusar setelah mendengar kata-kata Nadia itu. "Dan orang akan memandang kita aneh-aneh karena berpacaran setelah Mas Dave gak ada—"
'Denis,' kali ini Nadia yang memotong, 'itu urusan aku nanti. Oke? Kamu terima beres saja, asal bisa menjalankan peranmu dengan baik. Apa kamu tahan terus diintimidasi Om Adi dengan cara aksesmu diblokir begini?'
"Hei!" Denis mengerutkan kening. "Dari mana kami tahu?"
'Aku Nadia. Kamu lupa?'
"Brengsek!" Denis mendengkus kesal, sementara Nadia kembali terkekeh-kekeh.
"Oke kalau begitu, seminggu, atau enam hari lagi akan kusampaikan apa jawabanku untukmu. Aku butuh konsultasi juga dengan Shaka dan—"
'Wait!' Nadia memotong dengan cepat. 'Ini rahasia antara kita berdua saja. Tak ada yang boleh tahu. Siapa pun. Termasuk dua sahabatmu itu.'
"Tapi—"
'Nggak, Den!' Nadia menolak dengan tegas apa yang hendak Denis pinta. 'Ini rawan. Kamu gak pernah tahu, siapa orang yang benar-benar tulus ada buat kamu, dan siapa yang akhirnya akan menusukkan pisau ke punggungmu suatu hari nanti.'
Denis menggigit bibir bawahnya dengan hati ngilu. Satu sisi dia membenarkan apa kata Nadia, sisi lain ... dia merasa aneh, membayangkan andai Shaka mengkhianati dia suatu hari nanti.
Dengan Nadia yang hidup keras di dunia yang gelap itu, kali ini Denis mengalah dan percaya. Sebab, Denis yakin wanita itu pasti memiliki banyak pengalaman pahit selama hidup di antara orang-orang yang bagai serigala berbulu domba. Termasuk, mantan suami yang mengkhianati dia dulu.
'Karena udah gak ada lagi yang mau aku sampaikan, aku tutup dulu teleponnya—'
Perkataan Nadia terpotong oleh panggilan Denis. Meski awalnya ragu, tetapi akhirnya pemuda itu bertanya dengan agak malu-malu, "Jadi makan siang bareng gak?"
Nadia tak langsung menjawab, tetapi beberapa detik kemudian dia tertawa keras. Lalu, wanita itu menjawab, 'Oke. Jemput aku di rumah. Hari ini aku baru pulang dari Batu pukul 10.00, sampai Malang mungkin jam 10.30. Kita makan di rumahku saja.'
Kemudian mereka memutuskan sambungan telepon. Denis menatap layar ponselnya sambil bergumam, "Yah, tak ada salahnya makan bersama. Sambil aku bisa mengetahui lebih dalam apa motif yang mungkin Nadia sembunyikan dariku."
Tiba-tiba Denis merasa gusar. Perutnya seperti terasa geli. Buru-buru dia membuka lagi ponselnya dan mengirmkan pesan chat ke Nadia.
'Jangan pernah anggap makan siang kita ini adalah kencan. Oke?'
Beberapa detik kemudian, datang balasan dari Nadia. 'Tenang saja, Sialan!'
"Dasar wanita brengsek!" Denis segera berdiri dan memasukkan lagi ponselnya ke saku celana jeans-nya. Sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dia menggerutu tak jelas. Tanpa pemuda itu sadar, bahwa kedua kupingnya sudah memerah.
***
Nadia tersenyum tipis dan meletakkan ponselnya ke meja. Masih menikmati segelas espresso hangatnya di pagi yang cerah ini. Wanita itu lalu menatap ke luar jendela kamar hotel tempatnya berada.
Entah mengapa, ingatannya kembali berputar pada kejadian hampir 20 tahun lalu, saat pertama kali dengan malu-malu Denis menunjukkan sesuatu padanya. Gambar yang dibuat Denis kecil, sebuah rumah mungil dengan tiga anak di halamannya.
'Yang paling tinggi ini Mas Dave, paling pendek aku, dan di tengah pakai rok dan pita ini kamu, Mbak!'
Nadia masih ingat, pancaran ceria dan polos di mata Denis kecil kala itu. Sosok bocah yang masih setia memanggilnya 'Mbak Nadia'. Sebelum kemudian anak lelaki mungil itu berubah menjadi begitu pendiam dan tatapan matanya redup, setelah perceraian kedua orang tuanya, dan mengetahui kenyataan bahwa dia tengah hidup di dunia yang begitu gelap.
'Kenapa aku ada di antara kalian? Kan aku bukan anak keluarga Wibisono?' tanya Nadia kala itu.
Denis kecil dengan cepat segera menjawab, 'Karena Mbak Nadia suatu hari akan jadi keluarga Wibisono. Soalnya Ibu sayang sama Mbak Nadia, jadi aku pikir akan lebih baik kalau Mbak Nadia juga jadi anak Ibu.'
Nadia terkekeh-kekeh secara tiba-tiba saat mengingat wajah polos Denis kecil itu. "Tante Jenar, semoga Tante tenang dan bahagia di alam sana. Terima kasih, karena Tante sudah mau menyayangi saya, jauh melebih Papa dan Mama."
Nadia lalu menyesap habis semua espresso-nya, dan kemudian segera bangkit untuk menuju ke kamar mandi. Entah mengapa, ada sedikit semangat yang tiba-tiba menyusup masuk ke hatinya, untuk segera pulang kembali ke Malang. Padahal, biasanya dia sangat malas kembali ke kota kelahirannya itu, karena pasti akan menjumpai lagi rutinitas dan orang-orang menyebalkan di sekitarnya.
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
Malang, Februari 2018.Hujan gerimis masih turun dengan indahnya di Bumi Arema. Membuat lelaki muda itu, yang tengah asyik menggoreskan kuasnya di atas kanvas, semakin terbawa suasana.Wanita yang kini sedang dia gambar, adalah sosok manusia paling indah menurutnya. Paling cantik, dan sungguh memesona.Wanita bernama Jenar Ayu, ibunya. Telah meninggal enam tahun lalu, saat dia masih berusia 18 tahun, dan dua bulan sebelum menempuh ujian masuk perguruan tinggi.Ada kalanya dia sedikit bersyukur, karena dengan kematian ibunya, banyak orang yang iba pada dirinya. Membuat sang ayah yang begitu keras memaksanya masuk ke Jurusan Ekonomi Bisnis, akhirnya menyerah, dan membolehkan dia menjadi mahasiswa Program Studi Seni Lukis.Semua itu tak lepas dari perkataan orang-orang sekitar, yang membuat sang ayah sedikit gusar."Kasihan, sejak kecil tidak mendapatkan kasih s
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na