Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu.
"Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"
Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya.
"Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.
Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"
Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!"
"Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kupunya sekarang setelah David tak ada!"
"Tapi—"
"Teruslah mengatakan 'tapi', 'tapi', dan 'tapi' ...! Persetan! Keputusanku tak bisa dirubah karena tak ada anak lain yang kupunya selain kau!"
Denis menatap nyalang ayahnya. Dengan kesal dia berkata asal-asalan, "Kalau begitu menikah lagi saja dan buat anak sebanyak-banyaknya kalau tujuan Ayah hanya menjadikan anak-anak sebagai bidak catur ambisi!"
Adi melempar gelas pialanya ke arah Denis. Namun, meleset. Tentu, karena lelaki itu memang tak serius benar-benar mengarahkan benda yang terbuat dari kaca itu pada anak lelakinya tersebut.
Gelas piala itu pecah berkeping-keping di dekat kaki Denis. Membuat sang pemuda melirik pecahannya sekilas, lalu kembali menatap dengan pandangan menantang pada Adi.
"Tak ada opsi lain. Harus kau! Masalah training, kau akan berada di bawah pelatihan Kuncoro yang memegang kendali sebagai Sekretaris Direktur saat ini, selama setahun ke depan. Sementara, Kuncoro juga akan memegang dulu posisi David di Manajer Eksekutif. Nanti, enam bulan ke depan, kau yang akan pegang itu. Saat aku sudah naik ke Wakil Presiden Direktur, kau yang akan mengambil posisiku di Direktur—"
"Kenapa Ayah percaya diri sekali?" Denis melontarkan pertanyaan sinis pada ayahnya itu. Membuat Adi mengerutkan kening, sambil menyimpangkan lengan di dada, dan bersandar pada dinding di antara dua jendela kaca besar rumah mewah mereka itu.
"Saham ayah tak pernah bisa unggul dibandingkan Om Seno, dan setiap tender selalu kalah dari Nadia—"
"Oh, ya. Perempuan sialan itu. Janda bekas orang Jepang mesum yang hanya menjadikannya pemuas nafsu." Adi lalu terkekeh-kekeh. Dia kemudian mengeluarkan cerutu dari dalam saku celananya, dan mengambil korek api di meja kayu kecil di sampingnya. Lalu, menyalakan benda berwarna cokelat tersebut dan mengisapnya kuat-kuat.
"Aku mengizinkan David bertunangan dengan dia, siapa tahu bisa mempelajari kelemahannya. Bagaimana perempuan angkuh itu selalu memandang rendah keluarga kita, terlebih David yang tergila-gila padanya sejak dulu. Kalau Mas Seno yang minta mereka bertunangan, aku tak bisa apa-apa, sementara saham milik Wibisono masih dalam cengkeraman Seno Wardoyo."
Adi lalu menatap tajam Denis. "Makanya, jangan sampai posisi Direktur diisi dari keluarga Seno, apalagi di luar lingkaran keluarga Wardoyo atau Wibisono ini. Aku benar-benar akan sangat mengandalkanmu, Denis."
"Ayah lupa?" Denis berdiri, tak sadar mengepalkan kedua tangannya. "Saat aku kembali pulang ke sini, Ayah berkata akan memberiku kebebasan asal aku tak berontak, tak melakukan protes, atau hidup gila hingga menimbulkan skandal memalukan di luar sana bagi keluarga Wibisono."
Kini giliran Denis yang menyilangkan lengannya di dada, dan menatap Adi dengan pandangan tajam. "Maaf, tapi Denis Aditya Wibisono tak sama dengan seorang David Anggara Wibisono, yang sudah teracuni oleh ambisi dari Adi Wibisono untuk bisa terus merangkak naik dan naik menuju puncak ambisi dalam dunia bisnis kalian itu. Seorang Denis hanya tahu makna dari sakit hati saat ayah kandungnya menendang keluar rumah wanita yang telah melahirkan dirinya, bersama dia saat kecil dulu, hanya karena dianggap tak berguna. Membuat wanita itu dan Denis kecil harus hidup merangkak dari bawah, tak merasakan bahagia, tapi akhirnya itu yang membuat sosok Denis tumbuh menjadi pribadi bebas dan tak mau dikekang oleh ambisi dari ayahnya, Adi Wibisono."
Adi terbahak-bahak setelah mendengar perkataan panjang lebar anak lelakinya itu. Dia lalu mematikan cerutu, meletakkan sisa benda itu di asbak yang berada di atas meja kayu kecil, lalu berjalan pelan menghampiri Denis.
"Memang seharusnya dulu tak kuijinkan kau kuliah di seni lukis, karena kau lebih cocok kuliah di hukum. Cara bicaramu yang kurang ajar, pemikiranmu yang liar seperti anak tak berpendidikan, kehidupan yang kau impikan itu juga sangat rendahan ... benar-benar, kau mirip sekali dengan Jenar—"
"Berhenti membicarakan Ibu dengan mulut kotormu, Ayah!" Denis menggeram marah, tepat saat Adi, yang lebih pendek darinya sekitar 10 cm, sudah berada di depannya, sekitar dua jengkal.
"Aku mengizinkanmu menjadi pelukis, melakukan aktivitas kekanak-kanakan yang kau sebut perjuangan meraih mimpi atau kebebasan hidup atau jati diri atau entah julukan setan apa lagi itu, karena tak mau orang-orang memandangku kolot, dan agar kau mau kembali ke rumah ini, setelah Jenar meninggal, sehingga aku bisa mengontrolmu agar tak memalukan nama Wibisono jika kau hidup bebas di luar sana."
Adi menepuk pelan dada Denis. "Kau tak akan pernah tahu alasan tepat, kenapa seorang ayah sepertiku harus melakukan ini, baik pada David maupun kepadamu, sebelum kau menjadi seorang ayah. Camkan itu!"
Adi hendak berbalik dan pergi meninggalkan Denis, tapi pemuda itu segera bersuara, membuat Adi mengurungkan niat, dan kembali menatap Denis.
"Kalau begitu, sejak awal tak seharusnya Ayah menceraikan Ibu dan membuangku—"
"Kau tahu apa soal hubunganku dengan Jenar?" Adi mengerutkan dahinya yang sudah penuh keriput. "Yang kau tahu hanya Jenar yang terlihat lemah, tak berdaya, dan aku yang nista. Iya, 'kan?"
"Bukankah begitu kenyataannya?" Denis masih tak mau kalah. Membuat Adi kembali terbahak-bahak.
"Ah, sudahlah. Dulu memang aku maunya kau ikut aku saja, tapi pengadilan tolol itu memberikan hak asuhmu pada Jenar karena kau masih kecil. Akhirnya aku meminta David saja, yang sudah masuk SMP, karena dia juga memohon-mohon tinggal denganku saja, ingin bisa tetap hidup mewah dan jauh dari kesusahan kalau ikut Jenar. Ah, anak itu memang sesuatu!"
Adi lalu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Denis. Saat dia sampai di pintu keluar ruang keluarga tempatnya berada dengan Denis itu, dia menatap anak lelakinya tersebut, dan berkata, "Kau sudah tak punya pilihan lain. Pilihan hidupmu itu hanya di tanganku, Denis. Ingat itu!"
Adi lalu membanting pintu dengan keras, meninggalkan Denis yang menggeram sendiri di ruangan, dengan emosi yang memuncak.
Dia lalu menatap jam dinding di ruang keluarga itu, menunjukkan pukul 22.15. Segera, pemuda itu mengambil ponsel di saku celana jeans-nya, kemudian mencari kontak bernama 'Shaka'.
Denis lalu mencoba melakukan sambungan telepon dengan Shaka, sahabatnya, dan setelah tiga kali dering terdengar di sambungan, suara Shaka menyapa.
"Kamu masih di Bakery? Aku ke sana sekarang. Tunggu!"
Setelah sang sahabat mengatakan 'oke', pemuda jangkung itu segera memutuskan sambungan dan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana jeans. Lalu, dia meraih jaket dan kunci mobilnya, berjalan keluar ruangan, terus keluar menuju arah depan, dan meninggalkan rumah yang tak pernah membuatnya nyaman itu, menuju Heaven Bakery, toko roti dan studio seni kecil yang sedang dia rintis pelan-pelan dengan Shaka.
***
Denis menyesap pelan espresso single shot hangatnya, sambil asyik menatap layar televisi di dinding bagian barat Heaven Bakery. Pengembangan toko kue dan mini art studio itu masih mencapai sekitar 60%.
Denis, Shaka, dan Sarah, tiga serangkai itu, menguras tabungan mereka demi mewujudkan Heaven Bakery and Mini Art Studio dengan target selesai 100% dua tahun ke depan.
Beberapa calon investor juga coba didatangi, tapi hasilnya nihil. Akhirnya mereka memang memulai dari jerih payah sendiri. Jangan ditanya tentang meminta bantuan orang tua masing-masing.
Adi Wibisono, ayah Denis ... ya begitulah. Kedua orang tua Shaka bekerja sebagai pegawai negeri dengan pangkat menengah, gaji mereka lebih difokuskan untuk menyambung hidup sehari-hari dan biaya sekolah dua adik Shaka yang masih SMA dan SMP.
Lalu, kedua orang tua Sarah telah meninggal. Meski tinggal dengan kakeknya yang pensiunan tentara, serta neneknya yang punya ruko sembako lumayan besar di Pasar Kota, Sarah tak berani merepotkan apa pun, karena dia sendiri telah bekerja.
Siaran televisi pukul 23.00 menyajikan tayangan berita seputar dunia bisnis. Menyoroti WW Tech yang semakin berjaya dengan segala proyek-proyek yang ditanganinya.
Shaka datang dari balik meja bar, setelah selesai membuat satu cangkir caffe latte, dan duduk di samping Denis yang masih fokus menatap layar televisi.
Profil seorang Nadia Wardoyo disorot dalam rubrik Sosok di acara televisi itu. Digambarkan sebagai seorang wanita sangat cantik, cerdas, berpendidikan tinggi, dan sangat lihai dalam bidang bisnis.
Nadia adalah lulusan S3 Manajemen Bisnis di salah satu universitas swasta terkenal di USA. Pendidikan S2-nya di jurusan yang sama diambil di universitas swasta terkenal di London, sedangkan untuk pendidikan S1 di universitas yang sama dengan tempat Denis mengenyam pendidikan saat ini.
"Mbak Nadia pesonanya memang luar biasa. Sayang, dia akhirnya engga jadi kakak iparmu." Shaka berkomentar asal, lalu menyesap pelan caffe latte yang ada di cangkirnya itu.
Denis melirik Shaka sekilas, lalu kembali menatap televisi. "Kami bersyukur kalau itu dilihat dari segi sifat yang dimiliki Nadia. Aku dan ayahku sama-sama tak suka dengan keangkuhan dan kesombongan perempuan itu. Namun, ayahku sangat kesal karena rencana mengikat keluarga Wibisono dan Wardoyo gagal."
Shaka terkekeh-kekeh geli. Dia lalu tertarik bertanya, "Jadi, gimana? Kamu pada akhirnya memutuskan mau menjalankan perintah ayahmu itu? Kalau enggak, bukannya kamu tahu kalau akibatnya semua fasilitas yang kamu miliki itu bakal diblokir, tapi kamu gak diizinin kerja di luar dan tetep dikurung di rumah seperti cewek pasungan?"
Denis mencebik kesal. "Entah. Aku tadi sudah mengirim pesan chat pada Ayah dan mengatakan kalau mau fokus pada pameran akhir bulan depan dulu. Dia gak balas."
"Dan itu artinya apa?" Shaka melirik sahabatnya itu dari balik cangkir yang akan kembali disesap isinya.
Denis meraih remote dan mematikan televisi yang terus menyiarkan Nadia itu, lalu menjawab, "Kalau gak dijawab artinya setuju, asal aku gak ingkar janji, atau akibatnya justru aku semakin dikekang. Sialan!"
Denis meletakkan dengan kasar cangkirnya di atas meja. Dia tak menyangka, kehilangan David membuat sebuah masalah besar dalam hidupnya. Ya memang, dia dan kakaknya itu tak memiliki hubungan erat layaknya saudara, sehingga wajar jika berkomunikasi pun ala kadarnya.
Namun, Denis benar-benar sangat terpukul tatkala mengetahui bahwa dampak dari meninggalnya David adalah terpenjaranya dia pada sang ayah untuk selamanya. Bahkan, saat tiba waktunya nanti, pasti dia akan menikah dengan wanita pilihan sang ayah, bukan atas pilihannya sendiri.
Mau bagaimana lagi. Buah simalakama sudah dia telan. Dia tak bisa ke mana pun lagi sekarang. Masuk ke rumah Wibisono, karena tak tahu lagi harus ke mana dan hanya Adi wali sah dia kala sang ibu, Jenar, meninggal dulu.
Lalu, hidupnya seperti di antara dua cabang. Sebagai sosok pelengkap saja dalam keluarga Wibisono yang harus terlihat patuh dan tak menunjukkan sisi buruk di depan umum, atau sewaktu-waktu akan ditarik menjadi salah satu bidak permainan ayahnya sendiri dalam kehidupan ini.
Denis berdiri, mengambil kunci mobilnya, lalu menatap Shaka yang sudah lebih dulu melihat ke arahnya. "Thanks udah nemeni ngobrol. Agak lega lah setidaknya. Kamu tidur sini lagi?"
Shaka mengangguk. "Hati-hati di jalan, fokus aja. Gak usah ngelamun. Besok datang gak ke rumah Sarah? Dia kangen kamu tuh, udah dua mingguan gak ketemu, 'kan?"
Denis menggeleng. "Gak. Besok aku mau di rumah saja, selesain lukisan."
Shaka terbahak-bahak. "Benar-benar kasihan si Sarah."
"Salam aja buat dia. Aku pulang dulu." Denis lalu segera keluar dari Heaven Bakery, berjalan dengan langkah ringan menuju mobilnya.
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
Malang, Februari 2018.Hujan gerimis masih turun dengan indahnya di Bumi Arema. Membuat lelaki muda itu, yang tengah asyik menggoreskan kuasnya di atas kanvas, semakin terbawa suasana.Wanita yang kini sedang dia gambar, adalah sosok manusia paling indah menurutnya. Paling cantik, dan sungguh memesona.Wanita bernama Jenar Ayu, ibunya. Telah meninggal enam tahun lalu, saat dia masih berusia 18 tahun, dan dua bulan sebelum menempuh ujian masuk perguruan tinggi.Ada kalanya dia sedikit bersyukur, karena dengan kematian ibunya, banyak orang yang iba pada dirinya. Membuat sang ayah yang begitu keras memaksanya masuk ke Jurusan Ekonomi Bisnis, akhirnya menyerah, dan membolehkan dia menjadi mahasiswa Program Studi Seni Lukis.Semua itu tak lepas dari perkataan orang-orang sekitar, yang membuat sang ayah sedikit gusar."Kasihan, sejak kecil tidak mendapatkan kasih s
Ada tiga hal yang kusesali dalam hidup ini, kalau kamu tahu. Pertama adalah lahir menjadi anak dari seorang Adi Wibisono, kedua adalah menjadi adik dari David Wibisono, dan ketiga adalah mengetahui kenyataan bahwa sebenarnya David, kakakku itu, bukanlah anak kandung ayahku. Dari mana aku tahu? Itu pasti yang akan kamu tanyakan ke aku, bukan? Hm, mungkin saat itu aku masih berusia sekitar 10 tahun, saat Ibu yang menangis menatap foto seorang lelaki di dalam kamarnya. Aku hendak memanggil wanita itu, tapi urung karena rasa penasaran untuk mengetahui siapa lelaki yang tengah ditangisi ibuku itu lebih besar daripada keinginan untuk mengalihkan atensi wanita tersebut dari foto yang tengah dipeluknya kepadaku. Aku mengintip dan terkejut, karena lelaki itu bukan Adi Wibisono. Ya, aku memang sudah sering dengar dari mulut-mulut busuk di sekitarku, bahwa pernikahan ibu dan ayahku karena bisnis semata. Tapi, kurasa ayahku cukup perhatian pada ibuku. Setidaknya,
"Dari mana kamu?" Suara Adi membuat Denis yang baru saja datang dan melewati ruang keluarga, langsung menghentikan langkah kakinya.Pemuda itu menatap sang ayah yang tengah duduk di sofa beludru merah marun di tengah ruangan tersebut, dengan tangan kanan memegang gelas piala berisi wine, dan tangan kiri memegang cerutu."Bukan urusan Ayah." Denis hendak pergi meninggalkan ayahnya, tetapi Adi langsung berdiri dan berteriak padanya."Kurang ajar kamu lama-lama! Kamu pergi menemui Nadia, 'kan?"Denis mengurungkan niat melangkahkan kakinya dan balik menatap tajam Adi. "Kalau iya, memang kenapa?" tantang Denis.Wajah Adi terlihat memerah menahan amarah yang sepertinya mulai memuncak merasuki dirinya. Dengan kasar dia letakkan gelas pialanya ke meja samping sofa, dan kembali meneriaki putra satu-satunya tersebut."Berapa kali sudah kubilang! Aku tak mau kamu sama dengan David. Apa kamu jatuh cinta dengan Nadia? Kamu sadar bagaimana wanita itu? Dia
Denis menatap makanan yang terhidang di hadapannya tersebut. Spaghetti saus bolognese, croissant, buah-buahan segar, puding susu, serta dua botol air mineral dan sebotol wine lengkap dengan sepasang gelas piala kosong.Nadia menatap Denis yang terlihat agak bingung menatap hidangan tersebut. Wanita itu lantas memanggil personal chef-nya dan setelah pemuda yang usianya mungkin hampir sama dengan Denis itu muncul, dia lalu berkata, "Singkirkan wine ini. Tamu saya tidak minum yang begini."Personal chef itu agak terkejut, secara spontan dia melirik ke arah Denis yang ternyata tengah menatapnya. "Baik, Nyonya," jawab sang personal chef dengan patuh.Dia lalu memanggil dua pelayan wanita untuk segera membereskan botol wine itu, dan mengganti dengan dua gelas es lemon tea. Setelah merasa bahwa Nadia tak meminta apa pun lagi, ketiganya lalu pamit undur diri."Maaf, Den. Mereka belum terbiasa. Lagi pula ini juga pertama kalinya kamu makan di sini, 'kan?" Nadia me
Denis menatap langit-langit kamar sambil berbaring telentang di atas kasur king size miliknya. Otaknya berputar cepat, membuat kepalanya menjadi sedikit pusing. Dia lalu memijat kedua pelipisnya, sambil mulai memejamkan mata.Ingatan tentang ekspresi wajah Nadia, dan apa yang disampaikan wanita itu padanya di siang hari tadi, benar-benar membuatnya tak selera makan malam. Tubuhnya yang lelah setelah seharian beraktivitas di pameran seni, ditambah dengan memikirkan tawaran Nadia, membuatnya mual.Apalagi melihat menu makanan yang selalu itu-itu saja di meja makan. Hampir tak pernah ada sosok Adi Wibisono yang akan duduk bersama dengannya di sana.Sebelumnya, ketika David masih hidup, Denis agak terhibur atau sekadar masih memiliki minat makan di rumah itu, karena kakaknya tersebut masih sudi menemaninya makan. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan. David sudah tak ada di dunia ini lagi.Meski Denis tak menyangkal bahwa David juga tak banyak memberikan ci
Denis menepis tangan Nadia. Pemuda itu terlihat akan beranjak pergi meninggalkan wanita cantik tersebut, tetapi Nadia segera meraih lengan Denis."Den!" Nadia terlihat kesal, karena seolah Denis menganggapnya main-main.Denis mengerutkan kening saat menatap tangan Nadia di lengannya. Namun, sebelum pemuda itu menepis lagi tangannya, Nadia lebih dulu melepaskan lengan Denis."Aku yakin tawaran ini akan menguntungkan dirimu—""Menguntungkan dari segi apa? Yang ada aku akan berada dalam bawah cengkeramanmu dan kamu akan bebas bermain-main dengan keluarga Wibisono!"Melihat Denis mulai tak bisa mengendalikan emosinya, Nadia kemudian segera menghela napas. Dia berpikir, memang harusnya dia yang bersikap lebih tenang di sini, mengingat Denis jauh lebih muda darinya."Kumohon, duduklah dulu!"Denis masih diam membisu. Nadia menghela napas lagi. Dengan agak kasar, dia hempaskan tubuh indahnya ke sofa, dan menarik pelan tangan Denis yang
"Denis, tunggu!" Teriakan Shaka membuat Denis menghentikan langkah dan langsung berbalik untuk menatap sahabatnya tersebut."Kamu ke mana dulu tadi, kok telat? Gak ngelakuin hal aneh-aneh, 'kan?"Denis mengernyitkan alis, lalu sebentar kemudian terbahak-bahak usia mendengar pertanyaan Shaka itu. "Emang apa yang mau kulakuin? Berusaha bunuh diri atau mabuk-mabukkan gitu?" Denis bertanya balik.Shaka menghela napas lega. Dia lalu menepuk pelan bahu kanan Denis dan berkata, "Den, kalau kamu ada ganjalan, cerita ke aku atau Sarah, ya? Please, jangan kamu pendam sendiri. Kami berdua akan siap sedia ada buat kamu. Kamu harus ingat itu."Denis menatap lekat-lekat sahabatnya tersebut. Lalu, pemuda berwajah manis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Tentu. Namun, kali ini aku ingin sendiri dulu, Ka. Yah, setidaknya, karena ini masalah keluarga, aku gak mau kamu repot dan akhirnya gak fokus dengan urusanmu sendiri.""Tapi—""It's okay, Bro. Santa
Denis mengeluarkan semua makian kasar untuk sang ayah, di depan Shaka yang masih terlihat santai mengutak-atik gitar elektriknya. Mereka berdua saat ini sedang berada di mini art studio, lantai dua Heaven Bakery.Denis tak menyangka, jika biasanya sang ayah akan memberikan sedikit kelonggaran berpikir setelah memberinya sebuah mandat atau pilihan, kali ini sangat beda.Segala fasilitas milik Denis, baik atm, credit card, tabungan, dan semuanya—kecuali mobil—diblokir oleh Adi. Lelaki paruh baya itu tak merespon sama sekali semua pesan WA Denis, baik ketika pemuda itu meminta waktu berpikir sampai selesai pameran seni akhir semester, atau tentang bagaimana dia mengutarakan keberatan.Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Adi langsung melakukan tindakan pemblokiran itu. Membuat Denis emosi dan semakin kesal pada sang ayah."Benar-benar!" Denis yang telah lelah mengeluarkan semua makian, mengempaskan tubuh ke sofa dengan kesal. "Kalau begini caranya aku
Mata Denis melebar setelah mendengar perkataan Adi yang tengah memunggunginya, sambil menatap bulan purnama dari balik kaca jendela rumah mewah mereka itu."Ayah gak serius, 'kan? Kenapa tiba-tiba aku harus menggantikan Mas Dave di posisi Direktur kelak, padahal aku sama sekali tak pernah terjun ke dunia bisnis?"Adi tak langsung menjawab, masih menikmati langit malam cerah yang juga penuh bintang itu, sambil tetap menggenggam gelas pialanya meski benda itu sudah kosong, tak ada cairan di dalamnya."Yah!" Denis mulai merasakan kekesalan merambat dalam hatinya.Akhirnya Adi membalik tubuh dan menatap tajam putra keduanya tersebut. Dengan suara beratnya yang khas, lelaki paruh baya itu menjawab santai, "Kalau bukan kau, siapa lagi? Darmono, supirku? Atau Agung, tukang kebun kita?"Denis mendengkus kesal. "Jangan bercanda, Yah!""Apa kau lihat aku sedang melakukan pertunjukan komedi saat ini, Denis? Kau yang aneh! Jelas-jelas hanya kau yang kup
Malang, Desember 2016Suasana dalam ballroom Hotel Angkasa Cendana itu tampak ramai. Penuh tamu dengan pakaian indah mereka. Hidangan lezat tersaji dengan cantik di atas meja prasmanan. Beberapa pelayan mondar-mandir melayani dengan ramah dan sopan.Pemuda itu masih berdiri di sudut ruangan, berdiri sambil memainkan ponselnya. Denis Aditya Wibisono, anak kedua Adi Wibisono dan Jenar Ayu yang telah bercerai saat pemuda itu berusia 10 tahun."Apa kau tak punya partner?"Sebuah sapaan dari seorang perempuan cantik berbaju seksi warna merah marun, yang tengah menggenggam gelas piala berisi wine, membuat pemuda jangkung berkulit sawo matang itu terkejut.Terpaksa Denis mengalihkan fokus dari ponsel ke perempuan yang kini berjarak sangat dekat dengan tubuhnya itu."Oh, ada." Jawaban singkat dengan ekspresi wajah datar dari Denis, membuat perempuan itu menggerutu kesal, dan segera pergi meninggalkan pemuda tersebut.Setelah menghela na